BAB 1 PENDAHULUAN. yang tangguh baik secara fisik, mental maupun intelektual dan kepribadian. pendidikan di indonesia yaitu Madrasah Aliyah (MA).

dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN MERAIH NILAI TINGGI DENGAN INTENSITAS PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA MENENGAH KEJURUAN SKRIPSI.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN KECENDERUNGAN MENYONTEK PADA MAHASISWA. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari hari tetapi jarang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sangat cepat. Seiring dengan perkembangan zaman, siswa selaku peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. ( Suryabrata, 2002 : 293 ).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kadang berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Salah satu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perbuatan curang dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. 1. Pendidikan nasional Indonesia memiliki tujuan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki budi pekerti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengetahuan dimana kunci suksesnya terletak pada dunia pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. belajar baik di sekolah maupun di kampus. Hasil survey Litbang Media Group

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak, sehingga terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penilaian bahkan sampai pada penulisan tugas akhir. Cheating merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menyadari akan pentingnya menciptakan warga negara yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar, membahas soal bersama-sama, atau bahkan ada yang berbuat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan lingkungannya, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. Prilaku menyontek atau cheating adalah salah satu fenomena pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecurangan akademik merupakan fenomena umum di sekolah menengah dan perguruan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk yang paling tinggi derajatnya, makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat dilakukan dengan peningkatan mutu pendidikan. Keberhasilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial (homo sosius), yang dibekali

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku menyontek atau cheating merupakan salah satu fenomena dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Persiapan Proses Pelaksanaan Penelitian

PERILAKU MENYONTEK DITINJAU DARI KEPERCAYAAN DIRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prestasi belajar mahasiswa merupakan salah satu faktor penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan investasi kemanusiaan yang menjadi tumpuan harapan

BAB I PENDAHULUAN. perilaku yang diinginkan. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting

JUDUL PENELITIAN ILMIAH Disusun oleh : Siti Shara Npm : Pembimbing : Faisal Rachmat S.psi, M.A.

PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA SMA NEGERI 1 WIROSARI. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat S-1

SELF-REGULATED LEARNING SISWA YANG MENYONTEK (SURVEY PADA SISWA KELAS X DI SMA N 52 JAKARTA UTARA TAHUN AJARAN 2010/2011)

BAB I PENDAHULUAN. memprihatinkan kita semua, sekaligus menyisakan pekerjaan rumah bagi

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimana sistem pendidikan tidak dijalankan secara proporsional. Sistem

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang benar, tetapi juga disertai dengan tanggung jawab atas apa yang dikerjakan

PERILAKU MENYONTEK SISWA SMA NEGERI DI KOTA PADANG SERTA UPAYA PENCEGAHAN OLEH GURU BK

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia (SDM) yang berkualitas. Manusia harus dapat menyesuaikan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekolah. Dikenal karena ada yang melakukan atau hanya sebatas mengetahui perilaku

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keunggulan suatu bangsa tidak lagi tertumpu pada kekayaan alam,

BAB I PENDAHULUAN. diartikan sebagai usaha atau keinginan yang dilakukan dengan sengaja dan teratur

BAB I PENDAHULUAN. belajar sesungguhnya tidak ada pendidikan. Demikian pentingnya arti belajar,

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan dunia pendidikan yang akan diangkat dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan menjadi perilaku yang tidak baik dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hasil akhir dari pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Ujian Nasional merupakan gerbang dari sebuah keinginan besar bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan para mahasiswa yang tanggap akan masalah, tangguh, dapat di

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berinteraksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seperti yang diketahui pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

Amanda Luthfi Arumsari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja menurut Elizabeth B Hurlock, (1980:25) merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan perilaku maupun sikap yang diinginkan. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. sikap ( attitudes), perilaku (behaviours), motivasi (motivations) dan keterampilan

PPKn. Dosen PJMK : Mohammad Adib. Artikel Ilmiah Populer/Essay Bebas. Pendidikan Anti Korupsi. Kelas D

BAB I PENDAHULUAN. bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. mental sehingga menghasilkan perubahan-perubahan dalam bersikap (Ihsan,

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. hidup semaunya sendiri, karena di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan globalisasi serta perubahan-perubahan lain yang terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terus membangun dan meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sekolah tertentu. Siswa SMP dalam tahap perkembangannya digolongkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa akhir anak-anak berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Dunia ini tidak pernah lepas dari kehidupan. Ketika lahir, sudah disambut

BAB I PENDAHULUAN. Ridwan, Penanganan Efektif Bimbingan Dan Konseling di Sekolah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm.9.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu sumber penyebab kecemasan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB I PENDAHULUAN. peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan

RENCANA PELAYANAN BIMBINGAN KONSELING (Cyber Counseling)

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Hal ini dikarenakan sebagian besar perkembangan manusia melalui

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dicita-citakan bangsa ini berada di tangan mereka. Banyak orang menganggap bahwa

PENDAHULUAN. mengajar yang berkaitan dengan program studi yang diikutinya serta hasil

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dunia pendidikan diperlukan untuk mempersiapkan generasi muda

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diperlukan adanya pembinaan dan bimbingan yang dapat dilaksanakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. penanaman nilai-nilai yang baik dan luhur. Menurut UU No. 20 tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan, di dalam suatu pembelajaran harus ada motivasi belajar, agar

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN PERILAKU MENYONTEK

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran (Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan istilah kunci yang penting dalam kehidupan manusia,

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung dengan interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahanperubahan dalam pengetahuan pemahaman, keterampilan dan nilai saikap (Winkel, 1987). Generasi mudah adalah salah satu unsur lapisan masyarakat yang berpotensi besar bagi pembangunan bangsa. Generasi yang tangguh baik secara fisik, mental maupun intelektual dan kepribadian merupakan sumber daya manusia yang akan mampu melanjutkan proses pembangunan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan sebuah pembinaan yang dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak salah satunya adalah sekolah. Sekolah ada beberapa jenjang dari yang tingkat pendidikan paling rendah sampai paling tinggi secara formal. Salah satu jenjang pendidikan di indonesia yaitu Madrasah Aliyah (MA). Pendidikan adalah untuk membelajarkan semua pihak akan pentingnya proses untuk mempelajari ilmu. Upaya pengembangan dan pendidikan dilakukan untuk mencapai tujuan yang luhur serta pendidikan yang fungsional, efektif, efisien dan untuk mewujudkan tujuan itu semua, pelajar masih menemui hambatan-hambatan dalam proses belajar. Proses belajar yang baik memiliki delapan ciri. Pertama, membaca semua materi pelajaran, memahami, mencatat, dan menandai yang penting. Kedua, 1

2 mengembangkan materi yang dipelajari, mengulang kembali mata pelajaran yang telah dipelajari dengan kata-kata sendiri. Ketiga, memilih waktu belajar yang tepat. Keempat, memanfaatkan waktu belajar di sekolah dengan banyak bertanya. Kelima, mendengarkan penjelasan guru. Keenam, memilih tempat belajar yang nyaman. Ketujuh, membentuk kelompok belajar yang efektif dan efisien. Kedelapan, menghindari belajar sistem kebut semalam atau yang lebih dikenal SKS (Kompas, 2006). Tujuan yang mulia ini tampaknya sulit untuk dicapai apabila pelajar yang saat ini dituntut untuk menguasai berbagai ilmu yang dipelajarinya dengan belajar lebih tekun, tetapi mereka lebih suka menggunakan cara-cara pintas yaitu dengan menyontek. Cara pelajar untuk mendapatkan hasil yang baik dalam ujian adalah dengan cara mencontek. Ada yang sengaja membuat catatan dalam kertas kecil, menulis rumus di meja, atau yang paling berani membawa buku catatan di ruang ujian. Namun beberapa siswa di China telah meninggalkan cara konvensional dan memanfaatkan teknologi untuk menyontek. Mereka menggunakan earphone kecil dan alat komunikasi radio saat menghadapi ujian (http://www.google. detikcom-teknologi untuk mencontek.htm.) Saat ini fenomena ketidak jujuran telah menjadi realitas sosial. Fenomena ketidak jujuran ini telah berlangsung demikian transparan dan terjadi di berbagai wilayah kehidupan manusia. Salah satu bentuk ketidak jujuran yang sudah membudaya di negara kita adalah semakin meluasnya

3 perilaku korupsi yang semakin sulit untuk di atasi. Mencontek adalah perilaku yang tidak jujur atau tidak adil yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Jika dilihat dari pengertian dan fenomena diatas perilaku korupsi mungkin diawali perilaku mencontek yang sudah menjadi kebiasaan dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Menurut survey yang dilakukan Andi dalam Survey Litbang Media Group (2007) mayoritas anak didik, baik di bangku sekolah maupun perguruan tinggi melakukan kecurangan akademik dalam bentuk mencontek. Hal sama terungkap dalam survei yang dilakukan 19 April 2007 di enam kota besar di Indonesia yaitu: Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Medan. Namun, permasalahan mencontek ini kurang diperhatikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku mencontek yang banyak terjadi di setiap lembaga pendidikan tumbuh dengan subur, tanpa ada upaya penyelesaian dari masing-masing lembaga pendidikan perilaku tidak jujur dan hampir terjadi di setiap lembaga pendidikan termasuk di Madrasah Aliyah Salafiyah Bangil Pasuruan. Praktik mencontek sekarang banyak dijumpai di dunia pendidikan, masyarakat pun cenderung mentolelir dan menganggapnya sebagai hal yang wajar (Haryono, dkk, 2001, h. 10). Sering terdengar ungkapan bahwa mencontek adalah seni dalam sekolah dan merupakan hal yang aneh dan tidak wajar jika ada orang yang tidak pernah melakukan mencontek

4 selama hidupnya (Peodjinugroho, 2005). penelitian Schab (dalam Sujana dan Wulan, 1994, h, 3) menunjukkan 93 % siswa menyatakan bahwa mencontek merupakan suatu yang normal dalam pendidikan. Menurut survei yang dilakukan oleh penulis dalam wawancara dengan guru BK. Penulis mendapatkan informasi dari guru BK bahwa terdapat siswa yang melakukan perilaku mencontek ketika ujian berlangsung di Madrasah Aliyah Salafiyah Bangil Pasuruan. Penulis juga mendapatkan informasi dari pelajar yang sekolah di Madrasah Aliyah Salafiyah Bangil Pasuruan, mereka mengatakan bahwa pernah bekerjasama dalam ujian, misalnya menukar jawaban kepada teman satu kelasnya, membuat contekan sebelum ujian, mencari jawaban ulangan, dan perilaku ini dilakukan ketika akan menghadapi ujian, mereka mengatakan bahwa tindakan mencontek adalah hal yang wajar. Kebijakan pemerintah menaikkan standar minimal nilai kelulusan menjadi 5,5 pada Uian Nasional tahun 2011 telah membuat siswa dan guru merasa resah dan terpacu untuk melakukan kecurangan demi menaikkan tingkat kelulusan. Menurut Irawan Sekertaris Koalisi pendidikan (2006), salah satu penyebab terjadinya berbagai kecurangan yang dilakukan oleh siswa dan guru dalam Ujian Nasional adalah citra daerah dan sekolah yang dipertaruhkan dari hasil ujian Nasional. Uijan Nasional tampaknya tidak lagi berhubungan dengan kepentingan pendidikan, tapi menjadi instrumen bagi daerah dan sekolah agar dianggap berhasil memajukan pendidikan.seperti Kasus pelaporan praktik contek massal di SDN Gade II,

5 Tandes, Surabaya, Jawa Timur, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta ini mengaku kecewa dengan tindakan yang dilakukan warga. Dia bahkan menyalahkan tindakan tindakan masyarakat yang mengusir dan menyebut tindakan itu salah. Lebih jauh dijelaskan kasus ini membuktikan bahwa sistem yang ada kini belum sempurna, tak hanya Ujian Nasional perilaku mencontek juga sudah lazim terjadi pada ujian atau ulangan lainnya di sekolah. Sistem pendidikan memang tidak sempurna, bukan hanhya Ujian Nasional saja yang menjadi kebiasaan mencontek bahkan ujian biasa juga. Selain itu, perlu tindakan tegas sebagai solusi permasalahan ini manajemen evaluasi yang tidak baik karena ada guru dan pihak yang mendorong tindakan itu terjadi. Bagi pelajar mencontek bukanlah hal yang tabu, seakan-akan menyontek menjadi kebiasaan sejak dulu. Seseorang siswa SMA di Surabaya, pernah melakukan penelitian terhadap teman sekolahnya dengan 7 % sampel dari seluruh siswa (lebih dari 1400 siwa). Ternyata ada 80% dari sampel yang pernah menyontek (52% sering dan 28% jarang). Data ini cukup memperhatikan, sebagian besar siswa dari jumlah sampel pernah menyontek (Widiawan, 1995. Hal:27). Bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa tidak ada penghargaan terhadap proses belajar dan kerja keras siswa dan guru. Dampak paling berbahaya adalah lewat kecurangan, siswa secara tidak langsung belajar untuk tidak menghargai proses, cara apapun boleh digunakan, benar atau salah, asalkan tujuan dapat tercapai. Kondisi ini tidak sesuai dengan tujuan

6 pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Indarto dan Masrun (2004, h, 411) mendefinisikan mencontek sebagai perbuatan curang, tidak jujur, dan tidak legal mendapatkan jawaban pada saat tes. Mencontek juga dapat didefinisikan sebagai tindakan kecurangan dalam tes melalui pemanfaatan informasi yang berasal dari luar secara tidak sah (Sujana dan Wulan, 1994, h. 1). Mencontek sesungguhnya adalah perilaku yang yang didapatkan dari hasil belajar dan faktor kondisional. Mencontek terkait dengan moral dan kondisi psikologis si pelaku. Oleh karena itu untuk mencegah tidaklah cukup dengan hanya melakukan intervensi kepada faktor kognitif para pencontek, tetapi harus diarahkan kepada faktor-faktor penyebab terjadinya mencontek, seperti sistem ujian, sikap penguji, sistem pengawasan, dan lain-lain. Kapan mencontek mulai terjadi? pertanyaan ini sama dengan pertanyaan yang mengatakan kapan manusia mulai berbohong, atau kapan manusia mulai mengenal perbuatan curang? Hal ini dapat dipahami karena sesungguhnya mencontek adalah salah satu bentuk dariketidakjujuran dan perbuatan curang dari manusia itu sendiri. Apabila pertanyaan tersebut dikembangkan menjadi sejak kapan menyontek dalam dunia pendidikan mulai dilakukan orang? Jawabannya dapat dipastikan bahwa praktik mencontek adalah setua dengan usia pelaksanaan penilaian pendidikan. Jika penilaian hasil pendidikan telah dilakukan manusia melaksanakan usaha mendidik, maka sejak itu pulalah perbuatan mencontek telah ada (Alhadza, 2001)

7 Anderman, dkk (1998, h.84-5) menjelaskan bahwa mencontek merupakan hal yang biasa di kalangan remaja Madrasah Aliyah karena siswa sekolah lanjutan lebih berfokus pada peringatan dan performa dibandingkan dengan siswa sekolah dasar. Menurut Schab (dalam Klausmeier, 1985, h. 388), siswa Madrasah Aliyah mencontek karena adanya tekanan untuk memperoleh nilai baik agar dapat masuk Universitas atau untuk mempertahankan rata-rata nilai yang sudah diperolehnya. Kemungkinan mengalami kegagalan dianggap sebagai ancaman dan merupakan ancaman dan stimulus yang tidak menyenagkan. Ada berbagai respon yang dilakukan siswa dalam menghadapi ancaman kegagalan, misalnya mempelajari materi secara teratur atau berlatih mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan guru. Ada pula siswa yang memberikan respon menghindari ancaman kegagalan tersebet dengan mencontek (Gibson dalam Sujana dan Wulan, 2004, h. 1). Nugroho (2008) mengutip sebuah artikel dalam harian Jawa Pos yang memuat tentang hasil poling yang dilakukan atas siswa-siswi yang di Surabaya mengenai persoalan mencontek dengan hasil yang mengejutkan. Data itu menyebutkan bahwa, jumlah mencontek langsung tanpa malumalu mencapai 89,6 persen, langsung bertanya kepada teman mencapai 46,5 persen sedangkan 20 persen lebih berhati-hati pakai kode dan 14,9 mengandalkan lirikan, jumlah responden yang lulus dari pengawasan sensor guru, sejumlah 65,3 persen.

8 Pernyataan tersebut diperkuat oleh Litbang Media Group dengan hasil survey yang dilakukan pada tanggal 18 April 2007, yang dilakukan di 6 kota besar di Indonesia diantaranya (Makasar, Surabaya, Bandung, Jakarta dan Medan) yang menjelaskan hammpir 70 persen responden menjawab pernah melakukan praktik mencontek ketika masih sekolah maupun kuliyah. Artinya bahwa mayoritas responden pernah melakukan mencontek. Survey yang melibatkan 480 respoden dewasa yang dipilih secara acak dari petunjuk telepon residensial di kota-kota tersebut, serta dilakukan dengn kuisioner dan wawancara bahawa kecurangan akademik berupa mencontek muncul karena faktor lingkungan sekolah atau pendidikan(halidah, 2007). Haryono, dkk (2001) menyatakan bahwa mencontek yang menjadi kebiasaanakan berakibat negatif bagi diri pelajar sendiri maupun dalam skala yang lebih luas. Pelajar yang terbiasa mencontek akan senang menggantungkan pencapaian hasil belajarnya pada orang lain atau sarana tertentu dan bukan pada kemampuan dirinya sendiri. Pelajar mencontek karena berbagai alasan. Ada yang menyontek karena malas belajar, ada yang takut bila mengalami kegagalan, ada pula yang dituntut orang tuanya untuk memperoleh nilai yang baik. Dorongan untuk mencontek akan semakin kuat apabila pendidik membangkitkan suasana bersaing antar pelajar. Pelajar yang merasakan tingkat persaingan yang tinggi dan merasa tidak percaya diri dengan kemampuannya akan terdorong untuk mencontek.

9 Perilaku mencontek akan berakibat negatif dan menjadi kebiasaan bagi diri sendiri maupun dalam skala yang lebih luas. Pelajar yang sering menyontek akan terbiasa menggantungkan pencapaian hasil belajarnya kepada orang lain atau sarana tertentu dan bukan kepada kemampuannya sendiri. Selain itu sikap masyarakat yang acuh-tak acuh terhadap kecurangan kecil yang dilakukan sejak dini seperti mencontek juga merupakan akar dari permasalahan moral yang lebih besar. Selain akibat bagi diri sendiri juga berdampak pada penilaian tingkat keberhasilan. Perilaku mencontek sangat terkait dengan moral dan kondisi psikologis. Salah satu kondisi psikologis yang terkait dengan perilaku mencontek adalah percaya diri perilaku menyontek. Percaya diri terikat dengan sikap individu terhadap dirinya sendiri. Percaya diri juga menjadi salah satu faktor yang mengarahkan perilaku remaja. Remaja yang percaya dirinya kurang ia kan tidak puas dengan kemampuan yang dimilikinya dan usaha untuk meraih prestasi kurang. Ini berarti bahwa siswa tidak mau berusaha untuk berprestasi yinggi, untuk mendapatkan prestasi tinggi siswa melakukan kecurangan dengan mencontek. Jadi, dalam dalam hidup ini kita tidak perlu lagi membandingbandingkan kemampuan kita dengan orang lain dan jangan mudah terpengaruh oleh orang lain. Berusahalah agar tidak berharap dengan dukungan orang lain, karena kita harus mengerti apa yang kita butuh dan harapkan dalam hidup ini.

10 Perilaku mencontek bukan cara yang benar untuk mencapai nilai yang tinggi. Menurut Indarto dan Masrun (2004, h. 411-413) perilaku mencontek menjadi masalah karena akan menimbulkan kekaburan dalam pengukuran kemampuan siswa, guru juga merasa kesulitan untuk menentukan penilaian secara objektif. Nilai yang diperoleh tidak mampu membedakan antara siswa yang memperoleh nilai tinggi karena kemampuan dan penguasaannya terhadap materi dengan siswa yang memperoleh karena mencontek. Tumbuhnya kebiasaan mencontek akan membentuk generasi yang tidak jujur, tidak ada keuletan dalam mencapai sesuatu dan pandai dalam memanipulasi sesuatu. Mengingat sedikitnya penelitian mengenai perilaku mencontek di Indonesia, serta semakin merajalelanya perilaku mencontek yang dilakukan pelajar maka penulis ingin meneliti perilaku mencontek yang disebabkan faktor lkinternal yakni kepercayaan diri. Berdasarkan uraian di atas maka diasumsikan bahwa terdapat hubungan negatif antara kepercayaan diri dengan perilaku mencontek. Semakin tinggi kepercayaan diri maka semakin rendah tingkat perilaku mencontek pada siswa Madrasah Aliyah dan sebaliknya. Dari makna yang beberapa psikolog di atas, mungkin bagi kebanyakan orang memang terlalu mentah untuk benar-benar memahami hal tersebut. Orang yang percaya diri mempunyai perasaan atau sikap yang yakin pada kemampuan sendiri. Keyakinan itu dapat muncul setelah seseorang tahu apa yang dibutuhkan dalam hidupnya. Semua orang tahu bahwa untuk mencapai kemakmuran haruslah bekerja keras, serta harus

11 bijak dalam mengatur keuangan. Rasa yakin akan muncul setelah seseorang tahu apa yang diharapkan dalam hidup, sehingga mereka mampu melihat kenyataan yang ada. Uraian di atas menunjukkan bahwa percaya diri berperan penting dalam pembentukan tingkah laku mencontek. Meskipun tidak sesuai dengan tujuan pendidikan dan tidak meningkatkan kualitas manusia dari dimensi intelektual maupun krepribadian. (Indarto dan Marsun, 2004, h. 143), perilaku mencontek masih banyak dilakukan di dunia indonesia. Perilaku menyontek terjadi karena masyarakat memiliki pandangan bahwa prestasi belajar tercermin dalam pencapaian nilai yang tinggi, sehingga membuat siswa terpaku untuk memperoleh niali tinggi dengan cara apapun. Masyarakat cenderung semakin permisif sehingga menyebabkan perilaku mencontek semakin sulit dihilangkan. Bukti-bukti diatas juga menunjukkan bahwa tidak ada penghargaan proses belajar dan kerja keras siswa dan guru. Dampak yang paling berbahaya adalah, lewat kecurangan siswa secara tidak langsung belajar untuk tidak menghargai proses, cara apapun boleh digunakan, benar atau salah, asalkan tujuan dapat tercapai. Kondisi ini tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dari hasil paparan di atas menunjukkan bahwa mencontek merupakan suatu permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dari tinjauan psikologi. Untuk itulah penilaian ini diadakan, yaitu untuk menguji ada atau tidaknya hubungan antara percaya diri dengan intensitas

12 perilaku mencontek dan peneliti mengambil judul HUBUNGAN ANATARA PERCAYA DIRI DENGAN PERILAKU MENCONTEK SISWA KELAS XI MADRASAH ALIYAH SALAFIYAH BANGIL PASURUAN. 2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat Percaya Diri siswa kelas XI di Madrasah Aliyah Salafiyah Bangil Pasuruan? 2. Bagagaimana Perilaku Mencontek siswa kelas XI di Madrasah Aliyah Salafiyah Bangil Pasuruan? 3. Apakah ada hubungan Percaya Diri dengan Perilaku Mencontek siswa kelas XI di Madrasah Aliyah Salafiyah Bangil Pasuruan? 3. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui tingkat Percaya Diri siswa kelas XI di Madrasah Aliyah Salafiyah Bangil Pasuruan. 2. Untuk mengetahui Perilaku Mencontek siswa kelas XI di Madrasah Aliyah Salafiyah Bangil Pasuruan. 3. Untuk mengetahui hubungan Percaya Diri dengan Perilaku Mencontek siswa kelas XI di Madrasah Aliyah Salafiyah Bangil Pasuruan.

13 4. Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dan kegunaan baik secara teoritis maupun praktis, yaitu : 1. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi pengembangan ilmu psikologi terutama dibidang psikologi pendidikan yang berhubungan dengan percaya diri dengan perilaku mencontek dan bagi konselor diharapkan juga untuk membantu memupuk tingkat percaya diri siswa. 2. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai hubungan antara percaya diri dengan perilaku mencontek pada siswa. Selain itu dapat memberikan masukan atau bahan pertimbangan bagi pihak sekolah maupun guru dalam memberikan kegiatan belajar mengajar sehingga guru mampu melakukan tindakan preventif perilaku mencontek siswa.