Marsono Peneliti Madya Pusat Inovasi Pelayanan Publik

dokumen-dokumen yang mirip
Penerapan Manajemen Pelayanan Inklusif Abstrak

BUPATI ACEH JAYA PERATURAN BUPATI ACEH JAYA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakatnya. Transportasi ini dikenal dengan nama Transjogja. Perencanaan

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

DEPUTI BIDANG PELAYANAN PUBLIK KEMENTERIAN PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

Kata Pengantar BAB 4 P E N U T U P. Laporan Kinerja Pemerintah Provinsi

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN BAB I

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

- 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK

BAB VI PENUTUP. dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

Tabel 6.1 Strategi dan Arah Kebijakan Kabupaten Sumenep

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR...

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN BELITUNG

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG

KINERJA DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL DALAM PELAYANAN AKTE KELAHIRAN. (Suatu Studi di Kabupaten Halmahera Utara) Oleh : Arki Tabaga

BAB I PENDAHULUAN. tersebut bisa dalam bentuk barang ataupun jasa. Atas dasar itu negara sebagai

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN STANDAR PELAYANAN

Strategi Percepatan Terwujudnya Reformasi Birokrasi

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

MEWUJUDKAN TATAKELOLA PEMERINTAHAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. sangat luas. Pelayanan Publik adalah segala kegiatan dalam rangka pemenuhan

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

2015, No Mengingat : perlu dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun ; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PROVINSI JAWA TENGAH

DAFTAR ISI. Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Maksud dan Tujuan... 1

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

Terwujudnya birokrasi sehat, masyarakat kuat dan lingkungan bersahabat demi tercapainya Kabupaten Sampang yang Bermartabat

BAB IV P E N U T U P

PEMERINTAHAN KOTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BUPATI KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

BAB V VISI DAN MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

LESSON LEARNED PENGIMPLEMENTASIAN UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2016 DI TINGKAT PROPINSI

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

DAFTAR ISI PENGANTAR

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Oleh: Drs. Hamdani, MM, M.Si, Ak, CA,CIPSAS Staf Ahli Mendagri Bidang Ekonomi dan Pembangunan

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN. Visi Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013-

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

Kata Kunci : Evaluasi Kinerja, Protokol

Bab I Pendahuluan. Pembangunan Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 menetapkan

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH

RINGKASAN UU 25/2009 tentang PELAYANAN PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

VISI DAN MISI DINAS PERHUBUNGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN TANAH DATAR

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB 6 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. disabilitas yang tidak menyadari dengan potensi yang mereka miliki. Sudah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

2017, No Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-H

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELAYANAN PUBLIK. menyediakan segala apa yang diperlukan oleh orang lain untuk perbuatan

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PROGRAM DAN KEGIATAN PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai peranan penting untuk menyediakan layanan publik yang

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN DAERAH

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN BONDOWOSO

DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH Jl. Pahlawan No. 12 Semarang Telp

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR... TAHUN.. TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

WALIKOTA BALIKPAPAN, PROVINSI KALIMANTANN TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KATA PENGANTAR. Kepala Badan Pengawasan, Dr. H.M. SYARIFUDDIN, SH., MH.

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggara negara atas kepercayaan yang diamanatkan kepada mereka. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kondisi global yang semakin maju membawa dampak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

PENINGKATAN KINERJA MELALUI ANGGARAN BERBASIS KINERJA PADA SEKSI ANGGARAN DINAS PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BINTAN

BAB 13 PENCIPTAAN TATA PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 1 BISNIS PROSES DALAM REFORMASI BIROKRASI. A. Pendahuluan

BAB IV PENUTUP. Berdasarkan gambaran pelaksanaan UU KIP oleh Pemkab Kediri selama

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 064 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2018, No.2-2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 41 TAHUN 2013 TENTANG PENERAPAN DAN RENCANA PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG SOSIAL

BAB II PERENCANAAN KINERJA.

Transkripsi:

STRATEGI MEMBANGUN INKLUSIFITAS PELAYANAN PUBLIK : UPAYA MEWUJUDKAN KEADILAN DAN KESETARAAN PELAYANAN TERHADAP SELURUH WARGA NEGARA Marsono Peneliti Madya Pusat Inovasi Pelayanan Publik Email : marsonoahmadi@yahoo.com PENDAHULUAN Sebagaimana telah diamanatkan konstitusi negara bahwa pemerintah memiliki kewajiban memberikan pelayanan secara adil dan transparan kepada seluruh warga negara, baik pelayanan yang bersifat welfare (kesejahteraan) seperti kesehatan, pendidikan, sandang dan pangan atau yang sering disebut pelayanan dasar maupun pelayanan terkait dengan barang publik, jasa publik, serta pelayanan administratif. Terkait dengan pelayanan dasar, upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya pelayanan inklusif sangat terkait dengan peran pemerintah dalam memberikan pelayanan yang adil, transparan, terjangkau dan mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk bagi kelompok penyandang disabilitas. Oleh karena itu, peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan katalisator menjadi penting dalam mewujudkan pelayanan inklusif melalui berbagai kebijakan, pedoman maupun standar-standar serta penyediaan sarana dan prasarana yang aksesibel bagi semua warga negara tanpa kecuali bagi kelompok penyandang disabilitas. Lembaga Administrasi Negara, 2014 57

Namun demikian, praktik penyelenggaraan pelayanan publik yang selama ini berjalan di Indonesia masih banyak mengabaikan asas-asas pelayanan yang seharusnya dianut. Salah satu yang juga belum dilaksanakan adalah inklusifitas. Seharusnya prinsip ini juga bisa diterapkan dalam keseluruhan jenis pelayanan, bukan hanya dalam dunia pendidikan saja. Sistem pelayanan publik harus bersifat terbuka dan mudah diakses oleh siapapun termasuk warga yang karena keterbatasan fisik, status, dan ciri sosial ekonomi, umur, dan tempat tinggalnya mengalami kesulitan untuk mengakses pelayanan tersebut secara wajar. Penerapan prinsip inklusivitas harus menjadi indikator kinerja yang penting dari suatu manajemen pelayanan publik. Birokrasi pelayanan dan aparatnya yang gagal menerapkan prinsip inklusivitas harus dinilai memiliki kinerja pelayanan yang buruk. Hanya dengan cara itu, maka birokrasi publik akan menjadi lebih peduli dengan kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi oleh kelompokkelompok marginal. Dalam praktiknya, manajemen pelayanan publik yang selama ini berkembang juga masih diwarnai oleh model birokrasi Weberian yang memang mengedapankan ciri keseragaman. Dengan demikian, jenis dan prosedur pelayanan yang dikembangkan dalam iklim birokrasi seperti ini pun memiliki kecenderungan untuk bersifat standar dan umum. Kecenderungan seperti ini wajar terjadi dalam birokrasi pemerintah yang dikembangkan mengikuti prinsip birokrasi Weberian, yang memang dirancang untuk mampu memproduksi pelayanan yang standardized tanpa membedakan warga pengguna. Artinya, dalam melaksanakan tugas atau kegiatan sehari-hari, didasarkan pada suatu sistem aturan yang ditaati secara konsisten. Sistem yang distandarisasikan ini dirancang untuk menjamin adanya keseragaman dalam melaksanakan setiap tugas, tanpa memandang jumlah personel yang melaksanakan setiap tugas, dan koordinasi tugas yang berbeda-beda. 58 Lembaga Administrasi Negara, 2014

Harus disadari bahwa birokrasi pemerintah beroperasi dalam masyarakat yang pluralistik dan memiliki latar budaya, modernitas, lingkungan geografis, ciri demografis, dan tingkat perkembangan sosial ekonomi yang berbeda. Masyarakat yang pluralistik dengan tingkat keragaman yang tinggi tentu memiliki jenis kebutuhan yang berbeda-beda, dan karenanya mereka juga menuntut jenis pelayanan yang berbeda-beda pula. Ketika birokrasi Weberian mengajarkan pelembagaan nilai-nilai impersonalitas ke dalam dirinya, maka birokrasi Weberian cenderung gagal menjawab keragaman kebutuhan dan aspirasi pelayanan yang berkembang dalam masyarakat. Kegagalan birokrasi menjawab keragaman kebutuhan dan aspirasi pelayanan yang berkembang dalam masyarakat dapat dibuktikan bahwa sampai hingga saat ini penyediaan pelayanan dengan kualitas yang baik belum sepenuhnya dapat dilakukan oleh pemerintah meskipun hal ini adalah merupakan tugas utamanya. Kondisi pelayanan publik yang demikian tentu lebih dirasakan lagi terutama oleh masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus (customer with special needs) seperti masyarakat penyandang cacat fisik, anak-anak dan ibu hamil, orangtua usia lanjut, masyarakat dengan kemampuan bahasa nasional yang terbatas, dan masyarakat internasional yang kurang mampu berbahasa Indonesia, masih dapat dikatakan sangat minim. Dapat dikatakan aksesibilitas terhadap fasilitas pelayanan publik masih merupakan barang langka di Indonesia. Dengan kata lain, dalam praktek penyediaan pelayanan, kesetaraan dan aksesibilitas untuk semua (pelayanan inklusif) dalam sektor pelayanan publik belum menjadi prioritas utama dan bahkan terkesan masih belum ada koordinasi antar berbagai instansi penyedia pelayanan. Lembaga Administrasi Negara, 2014 59

KONSEP PELAYANAN INKLUSIF Perkembangan terbaru dalam memandang dan menangani masalah keragaman adalah apa yang dinamakan dengan model inklusif. Model ini sebenarnya banyak mengadopsi konsep pendidikan inklusif yang mulai berkembang pesat sejak adanya Pernyataan Salamanca pada tahun 1994. Penyataan Salamanca menekankan hal-hal berikut: (a) Hak semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan temporer dan permanen untuk memperoleh penyesuaian pendidikan agar dapat mengikuti sekolah; (b) Hak semua anak untuk bersekolah di komunitas rumahnya dalam kelas-kelas inklusif; (c) Hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan yang berpusat pada anak yang memenuhi kebutuhan individual; (d) Pengayaan dan manfaat bagi mereka semua yang terlibat akan diperoleh melalui pelaksanaan pendidikan inklusif; (e) Hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan berkualitas yang bermakna bagi setiap individu; (f) Keyakinan bahwa pendidikan inklusif akan mengarah pada sebuah masyarakat inklusif dan akhirnya pada keefektifan biaya. Berkaitan dengan pelayanan inklusif, Dwiyanto (2010) menyatakan bahwa sebuah pelayanan bisa dikatakan inklusif jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Keterbukaan yang menyeluruh; Artinya ada jaminan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama (equitable access), untuk dapat berpartisipasi secara sama dalam proses pelayanan. Ciri-ciri subjektif seseorang tidak boleh menghalangi partisipasinya dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 2. Togetherness (kebersamaan); Sudah menjadi Sifat alamiah manusia sebagai makhluk sosial, secara umum keterlibatan dalam masyarakat menjadi kebutuhan. Karena itu, jika seseorang dikucilkan dan tidak diikutsertakan dalam proses 60 Lembaga Administrasi Negara, 2014

kehidupan bermasyarakat akan melukai perasaan. Dengan kata lain, being included adalah sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya being excluded adalah sesuatu yang menyakitkan. Jika dalam masyarakat, terjadi kondisi di mana keinginan untuk mengakses jenis pelayanan tertentu terhalang karena tidak adanya aksesibilitas, misal infrastruktur yang tersedia tidak mengakomodasi kepentingan masyarakat dengan kebutuhan tertentu, maka menyakitkan pihak-pihak tersebut. Hal-hal seperti ini, cepat atau lambat akan menimbulkan friksi dalam masyarakat. Untuk itulah pelayanan inklusif pelayanan yang ketika diselenggarakan membuat semua orang yang berbeda karakteristik dan kendalanya dapat mengakses pelayanan secara sama dan menyenangkan sangat penting utuk diselenggarakan. 3. Pengakuan terhadap diversitas; Manusia memiliki kesamaan dan perbedaan. Oleh karena itu, sistem pelayanan harus melihat diversitas sebagai sesuatu yang memiliki nilai positif tinggi, bukan sesuatu persoalan yang negatif. Perbedaan harus dilihat sebagai satu kekayaan. Perbedaan dalam kesamaan adalah menguntungkan semuanya. Jika kita bisa membangun suatu mozaik dalam manajemen pelayanan publik tentu akan membentuk sebuah manajemen yang mengakui perbedaan dan mampu merespon semua kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda dan menguntungkan bagi semua pihak. Dengan melihat ciri-ciri tersebut di atas, maka konsep pelayanan inklusif juga dapat dilihat sebagai suatu kontinum. Artinya akan sulit bagi kita untuk mengklasifikasikan secara mutlak apakah penyelenggaraan suatu jenis pelayanan itu bersifat inklusif atau tidak inklusif. Kita hanya dapat melihat derajat atau tingkat inklusivitas dari penyelenggaraan suatu jenis pelayanan. Lembaga Administrasi Negara, 2014 61

Untuk dapat menerapkan prinsip inklusifitas dengan baik, maka nilainilai inklusivitas perlu diintegrasikan ke dalam visi dan misi birokrasi pelayanan publik. Keterjangkauan pelayanan publik oleh semua kelompok masyarakat harus menjadi bagian dari visi birokrasi pelayanan. Birokrasi pelayanan bukan monopoli bagi mereka yang menempati arus utama, tetapi harus mengabdi kepada semua kelompok warga yang ada di wilayahnya. Melayani semua warga dan menjaga akses mereka terhadap pelayanan publik harus menjadi misi utama birokrasi pelayanan. Pelayanan Inklusif dapat dilihat sebagai tujuan dan proses. Sebagai tujuan, pelayanan inklusif berusaha mewujudkan kesamaan akses terhadap pelayanan publik. Pencapaian pelayanan inklusif sebagai tujuan, secara sederhana dapat dilihat dari: a. Representasi pengguna pelayanan; artinya jika kita melihat komposisi pengguna layanan, seberapa besar pengguna pelayanan tersebut merepresentasikan warga secara keseluruhan. Kemampuan representasi sebenarnya juga menggambarkan seberapa besar pelayanan itu bisa diakses oleh seluruh warga. Artinya, apakah semua warga dengan perbedaan-perbedaan mengenai umur, jenis kelamin, status sosial, disabilitas, letak geografis tempat tinggal, bahasa dan lain-lain memiliki akses yang sama untuk memanfaatkan jenis pelayanan publik tersebut. b. Distribusi pengguna Layanan; apakah beneficiaries (pengguna) dari pelayanan itu terdistribusi secara wajar, dan menggambarkan distribusi dalam populasi warga. Artinya jika dilihat pengguna layanan, apakah distribusi beneficiaries juga menggambarkan distribusi populasi. Misalnya, jika di suatu daerah distribusi masyarakat miskin lebih besar daripada masyarakat berpenghasilan tinggi, seharusnya distribusi pengguna layanan juga begitu. Jika sebaliknya, mayoritas populasi menjadi minoritas pengguna, berarti ada sesuatu yang salah dalam 62 Lembaga Administrasi Negara, 2014

distribusi penggguna, artinya jenis layanan tersebut kurang bersifat inklusif. Pelayanan Inklusif juga dapat dilihat sebagai proses, dalam hal ini pelayanan inklusif menggambarkan sebuah sistem pelayanan yang berusaha memperbaharui secara terus menerus dan sistematis kebijakan dan prosedur yang selama ini telah menjadi kendala bagi kelompok warga untuk mengakses pelayanan publik secara sama (equal). Dengan demikian pelayanan inklusif adalah sesuatu yang bersifat kontinum dan tidak sekedar bersifat dikotomi. Pelayanan inklusif dari sisi proses dapat dilihat dari kualitas kebijakan, prosedur, SDM aparatur dan budaya pelayanan yang ada dalam birokrasi pelayanan (Dwiyanto, 2010). Ciri-ciri pelayanan inklusif dilihat dari sisi proses diantaranya adalah sebagai berikut: a. Adanya pengakuan terhadap hak semua warga untuk terlibat dalam pelayanan dan kewajian rezim pelayanan untuk melayani semuanya. Artinya pelayanan dianggap sebagai hak warga dan kewajiban negara untuk menyediakannya. Meskipun demikian, ada batas-batas mengenai jenis pelayanan apa saja yang benar-benar menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Hal ini akan sangat bergantung pada cara pandang negara tersebut terhadap welfare state. Meskipun sebenarnya di dalam konstitusi di Indonesia, sudah menjamin bahwa setiap penduduk untuk terpenuhi semua kebutuhan minimumnya. Jadi dalam hal ini berarti bahwa pelayanan inklusif adalah sebuah upaya yang terus menerus dan sistematis untuk memperbaiki pemenuhan hak dan kewajiban tersebut, termasuk di dalamnya upaya-upaya untuk menghilangkan semua kendala masyarakat dalam mengakses jenis pelayanan tertentu. b. Upaya terus menerus dan sistematis untuk mewujudkan hak semua warga dalam pelayanan dan membuat rezim pelayanan mampu melayani semua warga yang membutuhkannya. Lembaga Administrasi Negara, 2014 63

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pelayanan inklusif adalah sebuah sistem pelayanan yang menjamin bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk dapat berpartisipasi dalam proses pelayanan, mengakui dan menghargai keragaman serta adanya kebersamaan. Prinsip-prinsip tersebut direalisasikan secara lengkap dari aspek kebijakan, implementasi, sarana prasarana dan budaya. KEBIJAKAN PELAYANAN INKLUSIF Upaya membangun pelayanan publik yang inklusif telah diamanatkan secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dimana dinyatakan pada Pasal 29 Ayat (1) Penyelenggara berkewajiban memberikan pelayanan dengan perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya pada Ayat (2) dinyatakan Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik dengan perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang digunakan oleh orang yang tidak berhak. Selanjutnya dalam bagian penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan rentan adalah masyarakat tertentu merupakan kelompok rentan, antara lain penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam, dan korban bencana sosial. Dan yang lebih penting adalah perlakuan khusus kepada masyarakat tertentu tersebut harus diberikan tanpa tambahan biaya. Perangkat kebijakan dalam upaya memberikan perlindungan, kesejahteraan, dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas khususnya, serta guna mewujudkan pelayanan publik yang inklusif pada umumnya, sebenarnya sudah sangat memadai. Terkait dengan perlindungan bagi kelompok disabilitas telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, dimana pada satu pasalnya mengamanatkan bahwa setiap perusahaan harus mempekerjakan 1% dari 64 Lembaga Administrasi Negara, 2014

jumlah karyawan perusahaan bagi penyandang cacat, artinya setiap 100 orang karyawan paling sedikit ada 1 orang karyawan penyandang disabilitas. Sedangkan terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana yang aksesibel (mudah diakses) juga telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Bangunan Gedung, dimana telah ditetapkan bahwa setiap pembangunan gedung baru 8% dari total anggaran pembangunan gedung diperuntukkan bagi penyediaan sarana dan prasarana bagi penyandang disabilitas. Sebagai tindaklanjut dari peraturan perundangan tersebut di atas, juga telah ditetapkan berbagai peraturan dan kebijakan operasionalnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat. Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Bangunan Gedung. Dibidang transportasi juga telah diterbitkan Kepmenhub RI No. KM 71/1999 tentang Aksesibilitas bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit pada Sarana dan Prasarana Perhubungan. Selanjutnya terkait dengan penyediaan aksesibilitas bangunan telah diterbitkan Permen PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung dan Permen PU No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Sedangkan terkait dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan bagi penyandang disabilitas, telah diterbitkan Surat Edaran Menteri PAN RI. No. SE/09/M.PAN/2004 tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Bagi Para Penyandang Cacat, Surat Menteri Sosial RI No. A/A-50/VI-04/MS tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik bagi Penyandang Cacat, Surat Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. 3064/M.PPN/05/2006 tentang Perencanaan Pembangunan yang Memberi Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat. Lembaga Administrasi Negara, 2014 65

Sebagai tindaklanjut dari berbagai kebijakan operasional sebagaimana tersebut di atas, beberapa daerah telah menetapkan Peraturan Daerah terkait dengan upaya perlindungan dan peningkatan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas. Beberapa Pemerintah Daerah yang telah menyusun Perda Disabilitas antara lain Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Bali, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sumatera Barat, Pemerintah Kota Surakarta serta Pemerintah Kabupaten Sleman. STRATEGI MENDORONG PENERAPAN INKLUSIFITAS PELAYANAN PUBLIK Kondisi penyelenggaraan pelayanan publik yang masih banyak mengabaikan asas-asas pelayanan yang seharusnya dianut selama ini, telah menyebabkan penyelenggaraan pelayanan juga belum dilaksanakan secara inklusif. Oleh karena itu, harus dibangun sistem pelayanan publik yang bersifat terbuka dan mudah diakses oleh siapapun termasuk warga negara yang karena keterbatasan fisik, status, dan ciri sosial ekonomi, umur, dan tempat tinggalnya mengalami kesulitan untuk mengakses pelayanan tersebut secara wajar. Untuk mempercepat terwujudnya pelayanan publik yang inklusif tersebut, beberapa strategi yang perlu dilakukan antara lain sebagai berikut: Perbaikan Dalam Aspek Kebijakan Strategi perbaikan pada aspek kebijakan merupakan wujud nyata dari komitmen semua pihak untuk mewujudkan pelayanan inklusif. Perbaikan dalam aspek kebijakan pada intinya adalah bahwa program dan kegiatan pelayanan inklusif harus secara eksplisit masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/Daerah (RPJMN/D) dan didukung dengan penganggaran-nya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/D). Dengan demikian, program dan kegiatan 66 Lembaga Administrasi Negara, 2014

yang telah direncanakan dan disusun oleh masing-masing instansi Pusat dan daerah (SKPD) dapat dilaksanakan secara optimal. Program dan kegiatan pelayanan inklusif tersebut harus memenuhi ciriciri adanya keterbukaan yang menyeluruh, adanya pengakuan terhadap diversitas, dan adanya kebersamaan (togetherness). Oleh karena itu, program dan kegiatan pelayanan harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut : (a) Harus ada partisipasi dari seluruh golongan masyarakat dalam penyusunan program dan kegiatan; (b) Program dan kegiatan harus dapat diakses oleh semua orang; (c) Program dan kegiatan harus disusun dengan mengakomodasi berbagai kebutuhan masyarakat; dan (d) Program dan kegiatan harus didesain sesuai dengan peran dari masing-masing golongan masyarakat. Perbaikan Dalam Aspek Implementasi (Tatalaksana) Strategi perbaikan pada aspek tatalaksana pada intinya adalah bahwa standar-standar pelayanan harus memenuhi ciri-ciri adanya keterbukaan yang menyeluruh, adanya pengakuan terhadap diversitas, dan adanya kebersamaan (togetherness). Oleh karena itu, standar pelayanan harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut : (a) Ada partisipasi dari seluruh golongan masyarakat dalam penyusunan Standar Pelayanan; (b) Standar Pelayanan harus disusun dan dilaksanakan untuk mempermudah aksesibilitas bagi seluruh golongan masyarakat; (c) Standar Pelayanan harus dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh masyarakat dengan segala perbedaannya; dan (d) Standar Pelayanan harus dapat diakses dan dijangkau serta dapat memberikan keadilan dan kepastian bagi seluruh lapisan masyarakat. Lembaga Administrasi Negara, 2014 67

Membangun Sistem Pengaduan dan Manajemen Pengetahuan Untuk mewujudkan manajemen pelayanan inklusif perlu didukung dengan sistem pengaduan dan manajemen pengetahuan yang harus memenuhi ciri-ciri adanya keterbukaan yang menyeluruh, adanya pengakuan terhadap diversitas, dan adanya kebersamaan (togetherness). Oleh karena itu, sistem pengaduan dan manajemen pengetahuan harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut : (a) Sistem pengaduan dan manajemen pengetahuan harus dapat diakses oleh seluruh masyarakat; (b) sistem pengaduan dan manajemen pengetahuan harus dapat memberikan jaminan dan rasa aman terhadap seluruh masyarakat tanpa ada pembedaan, termasuk kelompok masyarakat yang memiliki kendala dan keterbatasan (penyandang disabilitas); (c) sistem pengaduan dan manajemen pengetahuan harus dapat memberikan responsivitas yang sama terhadap setiap pengaduan dari seluruh masyarakat, termasuk kelompok masyarakat yang memiliki kendala dan keterbatasan (penyandang disabilitas). Perbaikan dalam aspek Sarana dan Prasarana (Sarpras) Strategi perbaikan sarana dan prasarana dalam mendukung terwujudnya manajemen pelayanan inklusif secara umum dimaksudkan untuk membuka aksesibilitas seluas-luasnya bagi seluruh pengguna layanan tanpa membeda-bedakan. Oleh karena itu, penyediaan sarana dan prasarana pelayanan harus aksesibel dengan memperhatikan asas-asas sebagai berikut: (1) azas kemudahan; dimana semua orang dapat mencapai tempat atau bangunan bersifat umum dalam satu lingkungan; (2) azas kegunaan; setiap orang harus dapat menggunakan seluruh tempat atau bangunan bersifat umum dalam satu lingkungan; (3) azas keselamatan, setiap bangunan bersifat umum di lingkungan 68 Lembaga Administrasi Negara, 2014

tertentu harus memperhatikan aspek keselamat-an tanpa membedabedakan orang; dan (4) azas kemandirian, setiap orang harus dapat mencapai dan mempergunakan semua tempat bersifat umum tanpa bantuan orang lain. Perbaikan Dalam Aspek Budaya Kerja Strategi perbaikan pada aspek budaya kerja pada intinya adalah adanya budaya kerja yang secara konsisten dikembangkan pada organisasi penyelenggara pelayanan publik, sehingga akan terwujud iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi, serta terinternalisasinya budaya kerja yang membentuk perubahan sikap dan perilaku serta motivasi kerja. Dengan pengembangan budaya kerja, maka dapat terbentuk sikap, perilaku dan budaya kerja aparatur pelayanan yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan dari masyarakat. Dengan demikian, budaya kerja yang dibangun adalah yang memenuhi ciri-ciri adanya keterbukaan yang menyeluruh, adanya pengakuan terhadap diversitas, dan adanya kebersamaan (togetherness). PENUTUP Penyelenggaraan pelayanan publik harus didorong kearah pelayanan publik yang inklusif. Untuk mewujudkan pelayanan publik yang inklusif tersebut, perlu dilakukan strategi-strategi antara lain: (a) strategi perbaikan kebijakan; (b) strategi perbaikan tatalaksana; (c) strategi membangun sistem pengelolaan pengaduan dan manajemen pengetahuan; (d) strategi perbaikan sarana dan prasarana; (e) strategi perbaikan budaya kerja. Untuk dapat melaksanakan strategi-strategi tersebut di atas, maka Lembaga Administrasi Negara, 2014 69

diperlukan upaya menumbuh kembangkan budaya kerja bagi aparatur pelayanan yang memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: (a) Seluruh jajaran aparatur pelayanan mulai dari pimpinan sampai pada petugas layanan harus memiliki komitmen, integritas dan tanggung jawab dalam mewujudkan aksesibilitas pelayanan yang sama; (b) Pimpinan dan seluruh aparatur pelayanan harus memiliki komitmen, integritas dan tanggung jawab untuk memberikan responsivitas yang sama kepada masyarakat dengan mempertimbangkan kelompok masyarakat yang beragam; (c) Seluruh jajaran aparatur pelayanan harus memiliki komitmen, integritas dan tanggung jawab untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pelayanan bagi semua kelompok masyarakat; (d) Seluruh jajaran aparatur pelayanan harus profesional dalam memberikan akses pelayanan yang sama kepada seluruh masyarakat; (e) Seluruh jajaran aparatur pelayanan harus profesional dalam memberikan pelayanan yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat; dan (f) Seluruh jajaran aparatur pelayanan harus profesional dalam memberikan pelayanan yang sama bagi semua kelompok masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/2006 Tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 65/1993 Tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 71/1999 Tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Prasarana Perhubungan. 70 Lembaga Administrasi Negara, 2014

Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung (UUBG). Permen PU Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesiblitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 71 Tahun 1999 tentang Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit Pada Sarana dan Prasarana Perhubungan. Surat Edaran Menteri PAN RI. No. SE/09/M.PAN/2004 tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Bagi Para Penyandang Cacat. Surat Menteri Sosial RI No. A/A-50/VI-04/MS tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik bagi Penyandang Cacat. Surat Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. 3064/M.PPN/05/2006 tentang Perencanaan Pembangunan yang Memberi Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat. Lembaga Administrasi Negara : Kajian Penerapan Pelayanan Khusus (Services For Customer With Special Needs), Laporan Kajian, LAN Jakarta 2008. Agus Dwiyanto, Manajemen Pelayanan Publik Yang Responsif dan Inklusif: Strategi Peningkatan Kapasitas Pemerintah Dalam Menyelenggarakan Pelayanan Khusus, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas, LAN 9 11 Oktober 2008. Lembaga Administrasi Negara, 2014 71

72 Lembaga Administrasi Negara, 2014