BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang di maksudkan untuk di gunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia (Anief, 1991). Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih banyak juga orang yang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila obat salah digunakan dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan menimbulkan keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak akan memperoleh penyembuhan (Anief, 1991). 2.2 Pengertian Tablet
Tablet adalah bentuk sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, tablet dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah ke dalam lubang cetakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan (Ditjen POM, 1995). Komposisi utama dari tablet adalah zat berkhasiat yang terkandung di dalamnya, sedangkan bahan pengisi yang sering digunakan dalam pembuatan tablet yaitu bahan penghancur, bahan penyalut, bahan pengikat, bahan pemberi rasa dan bahan tambahan lainnya (Ansel, 1989). 2.3 Syarat-Syarat Tablet Syarat-syarat tablet adalah sebagai berikut (Syamsuni, 2007) : 1. Keseragaman ukuran. 2. Diameter tablet tidak lebih dari tiga kali dan tidak kurang dari satu sepertiga kali tebal tablet. 3. Keseragaman bobot dan keseragaman kandungan Tablet harus memenuhi uji keseragaman bobot jika zat aktif merupakan bagian terbesar dari tablet dan cukup mewakili keseragaman kandungan. Keseragaman bobot bukan merupakan indikasi yang cukup dari keseragaman kandungan jika zat aktif merupakan bagian terkecil dari tablet atau jika tablet bersalut gula. Oleh karena itu, umumnya farmakope
mensyaratkan tablet bersalut dan tablet yang mengandung zat aktif 50 mg atau kurang dan bobot zat aktif lebih kecil dari 50% bobot sediaan, harus memenuhi syarat uji keseragaman kandungan yang pengujiannya dilakukan pada tiap tablet. 4. Waktu hancur Waktu hancur penting dilakukan jika tablet diberi per oral, kecuali tablet yang harus di kunyah sebelum di telan. Uji ini dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian batas waktu hancur yang ditetapkan pada masing masing monografi. Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan atau bahan aktifnya terlalu sempurna. Pada pengujian waktu hancur, tablet dinyatakan hancur jika ada bagian tablet yang tertinggal di atas kasa, kecuali fragmen yang berasal dari zat penyalut. Kecuali dinyatakan lain, waktu yang diperlukan untuk menghancurkan keenam tablet tidak lebih dari 15 menit untuk tablet tidak bersalutdan tidak lebih dari 60 menit untuk tablet bersalut. 5. Disolusi Disolusi adalah suatu proses perpindahan molekul obat dari bentuk padat ke dalam larutan suatu media. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui banyaknya zat aktif yang terabsorbsi dan memberikan efek terafi di dalam tubuh. Kecepatan absorbsi obat tergantungpda cara pemberian yang dikehendaki dan juga harus dipertimbangkan frekuensi pemberian obat. 6. Penetapan kadar zat aktif
Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat aktif yang terkandung di dalam suatu sediaan sesuai dengan yang tertera pada etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Bila zat aktif obat tidak memenuhi syarat maka obat tersebut tidak akan memberikan efek terapi dan juga tidak layak untuk dikonsumsi. 2.4 Parasetamol H 3 C O HO NH Struktur Asetaminofen (parasetamol) N- acetyl-para-aminophenol Berat molekul 151.17 Rumus empiris C 8 H 9 NO 2 Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit. Kelarutan : larut 1:70 dalam air dingin, 1:20 dalam air mendidih, 1:7 dalam etanol, 1:13 dalam aseton, 1:40 dalam gliserol, 1:9 dalam dalam propilen glikol. Larut dalam metanol, dimetilformamida, etil diklorida, etil asetat, dan dalam larutan alkali hidroksida. Titik leleh : 168-172 o C ph : 5,3-6,5 Stabilitas : Laju penguraian parasetamol dalam larutan bervariasi tergantung pada ph dan temperatur. Parasetamol dapat dihidrolisis oleh katalis asam maupun
katalis basa, dan merupakan hal yang utama yang berkenaan dengan parasetamol, ion hidrogen dan konsentrasi ion hidroksida. Laju penguraian parasetamol secara langsung tergantung pada konsentrasi parasetamol dan tidak dipengaruhi kekuatan ion. Pada rentang ph 2-9 energi aktivasi penguraian parasetamol 73,22 kj/mol dan reaksi hidrolisis minimum pada ph 5-7 (Ditjen POM, 1995). Tablet parasetamol mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 105,0 % dari jumlah yang tertera pada etiket (Ditjen POM, 1995). Parasetamol adalah metabolit fenasetin dengan khasiat analgetik dan antipiretik yang sama (sedikit lebih lemah dari pada asetosal). Sifat-sifat farmakokinetiknya lebih kurang sama dengan fenasetin, efek-efek sampingnya lebih ringan, khususnya tidak nefrotoksis dan tidak menimbulkan euphoria dan ketergantungan psikis. Karena tidak menimbulkan perdarahan lambung seperti asetosal, maka pada tahun-tahun terakhir parasetamol banyak sekali digunakan di Indonesia sebagai analgetikum-antipiretikum yang aman (Tjay, 2002). Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat analgesik dan antipiretik yang popular dan banyak digunakan di Indonesia, baik dalam bentuk sediaan tunggal maupun kombinasi. Penyerapan obat dalam saluran cerna cepat dan hampir sempurna, kadar plasma tertinggi dicapai 1-2,5 jam (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Parasetamol mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal,
parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat antipiretik, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Asetaminofen (Sartono, 1996) Diantara ketiga obat tersebut, Asetaminofen mempunyai efek samping yang paling ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak dibawah umur dua tahun sebaiknya digunakan Asetaminofen, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahwa kombinasi Asetosal dengan Asetaminofen bekerja lebih efektif terhadap demam dari pada jika diberikan sendiri-sendiri (Sartono, 1996). 2.4.1 Sejarah Parasetamol Sebelum penemuan asetaminofen, kulit sinkona digunakan sebagai agen antipiretik, selain digunakan untuk menghasilkan obat antimalaria, kina.karena pohon sinkona semakin berkurang pada 1880-an, sumber alternatif mulai dicari. Terdapat dua agen antipiretik yang dibuat pada 1880-an, asetanilida pada 1886 dan fenasetin pada 1887. Pada masa ini, parasetamol telah disintesis oleh Harmon Northrop Morse melalui pengurangan p-nitrofenol bersama timah dalam asam asetat gletser. Biarpun proses ini telah dijumpai pada tahun 1873, parasetamol tidak digunakan dalam bidang pengobatan hingga dua dekade setelahnya. Pada 1893, parasetamol telah ditemui di dalam air kencing seseorang yang mengambil fenasetin, yang memekat kepada hablur campuran berwarna putih dan berasa pahit. Pada tahun 1899, parasetamol dijumpai sebagai metabolit asetanilida. Namun penemuan ini tidak dipedulikan pada saat itu (Amelia, 2009).
Pada 1946, Lembaga Studi Analgesik dan Obat-obatan Sedatif telah memberi bantuan kepada Departemen Kesehatan New York untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan agen analgesik. Bernard Brodie dan Julius Axelrod telah ditugaskan untuk mengkaji mengapa agen bukan aspirin dikaitkan dengan adanya methemoglobinemia, sejenis keadaan darah tidak berbahaya. Di dalam tulisan mereka pada 1948, Brodie dan Axelrod mengaitkan penggunaan asetanilida dengan methemoglobinemia dan mendapati pengaruh analgesik asetanilida adalah disebabkan metabolit parasetamol aktif. Mereka membela penggunaan parasetamol karena memandang bahan kimia ini tidak menghasilkan racun asetanilida (Amelia, 2009). 2.4.2 Indikasi Parasetamol berguna untuk menurunkan panas dan nyeri ringan sampai sedang seperti sakit kepala, mialgia, nyeri pasca persalinan dan keadaan lain, dimana aspirin efektif sebagai analgesik. Parasetamol atau Asetaminofen saja adalah terapi yang tidak adekuat untuk inflamasi seperti arthritis rheumatoid, sekalipun ia dapat dipakai sebagai tambahan analgesik terhadap terapi anti inflamasi. Untuk analgesik ringan, Aseataminofen adalah obat yang lebih disukai pada pasien yang alergi terhadap aspirin atau bilamana salisilat tidak bisa di toleransi. Ia lebih disukai dari pada aspirin pada pasien dengan hemophilia atau dengan riwayat ulkus peptikum dan pada mereka yang mengalami bronkospasme
yang dipicu oleh aspirin. Berbeda dengan aspirin, asetaminofen tidak mengantagonis efek-efek, agen-agen urikosurik (Katzung, 2002). 2.4.3 Efek samping dan Toksisitas Keuntungan utama asetaminophen terhadap aspirin adalah kurangnya daya toksik pada lambung dan tidak adanya efek pada agregasi platelet. Akan tetapi, daya toksik asetaminophen terhadap hepar bisa berakibat serius dan over dosis yang akut sebesar 10-15 g dapat menyebabkan nekrosis hepar yang fatal (Woodley dan Whelan, 1992). 2.4.4 Farmakokinetika Asetaminophen di berikan secara oral. Penyerapan dihubungkan dengan tingkat pengosongan perut, dan konsentrasi darah puncak biasanya tercapai dalam 30-60 menit. Asetaminophen sedikit terikat pada protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hati dan diubah menjadi sulfat dan glukoronida acetaminophen, yang secara farmakologis tidak aktif. Kurang dari 5% diekresikan dalam keadaan tidak berubah. Metabolit minor tetapi sangat aktif (Nacetyle-p-benzoquinone) adalah penting dalam dosis besar karena efek toksisnya terhadap hati dan ginjal. Waktu-paruh asetaminophen adalah 2-3 jam dan relative tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal. Dengan kuantitas toksik atau penyakit hati, waktu-paruhnya dapat meningkat dua kali lipat atau lebih (Katzung, 2002). 2.4.5 Dosis
Nyeri akut dan demam bisa diatasi dengan 325-500 mg empat kali sehari dan secara proporsional dikurangi untuk anak-anak (Katzung, 2002). 2.5 Spektrofotometri Absorpsi spektrofotometri UV-Vis adalah istilah yang digunakan ketika radiasi ultraviolet dan cahaya tampak diabsorpsi oleh molekul yang diukur. Alatnya disebut UV-Vis spektrofotometer. Spektrofotometer UV-Vis (Ultra Violet-Visible) adalah salah satu dari sekian banyak instrumen yang biasa digunakan dalam menganalisa suatu senyawa kimia. Spektrofotometer umum digunakan karena kemampuannya dalam menganalisa begitu banyak senyawa kimia serta kepraktisannya dalam hal preparasi sampel apabila dibandingkan dengan beberapa metode analisa (Herliani, 2008). Spektrofotometri uv-vis adalah pengukuran serapan cahaya di daerah ultraviolet (200-400 nm) dan sinar tampak (400-800 nm) oleh suatu senyawa. Serapan cahaya uv atau cahaya tampak mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Panjang gelombang cahaya uv atau cahaya tampak bergantung pada mudahnya promosi elektron. Molekulmolekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi elektron, akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih panjang. Senyawa yang menyerap cahaya dalam daerah tampak (senyawa