I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
VI. EVALUASI TINGKAT PENCEMARAN MINYAK DI PERAIRAN SELAT RUPAT

III. METODE PENELITIAN

VII. PRIORITAS TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT. Kata Kunci: pencemaran minyak, teknologi pengendalian, dispersant

VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK. Kata kunci: Selat Rupat, pencemaran minyak, pengendalian pencemaran.

10.1 Sumber pencemaran minyak di Selat Rupat

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

V. KARAKTERISTIK LINGKUNGAN SELAT RUPAT ABSTRAK

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT RUPAT. Syahril Nedi 1)

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. sangat mendesak untuk segera di tangani bagi kehidupan manusia, karena dalam

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

pada akhirnya dapat mengganggu keseimbangan biogeokimia perairan laut terutama di areal sepanjang pantai. Bahkan sejalan dengan berbagai pemanfaatan

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Wilayah pesisir kota Bandar Lampung merupakan suatu wilayah yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. khatulistiwa karena keanekaragaman hayati dan agroekosistem Indonesia

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 Tentang : Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Laut dan kehidupan di dalamnya merupakan bagian apa yang disebut

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut

KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN SELAT RUPAT

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

02/03/2015. Sumber daya Alam hayati SUMBER DAYA ALAM JENIS-JENIS SDA SUMBERDAYA HAYATI. Kepunahan jenis erat kaitannya dengan kegiatan manusia

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki potensi surnberdaya. pesisir dan lautan yang besar. Dari pulau yang dimilikinya, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pengertian Pencemaran Laut dan Penyebab Terjadinya Pencemaran Laut

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut merupakan ekosistem yang kaya akan sumber daya alam termasuk keanekaragaman sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Sebagian besar wilayah permukaan bumi (70%) terdiri atas lautan dan lebih dari 90% kehidupan biomasa di bumi, hidup di laut (Dahuri 2001). Oleh karena itu lautan merupakan bagian penting dari kelangsungan hidup manusia. Laut memiliki peran strategis dalam bidang ekonomi dan ekologi bagi pengembangan jasa-jasa lingkungan. Secara ekonomi laut memiliki potensi besar sebagai penghasil komoditi, karena memiliki sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (ikan, rumput laut dan lain-lain) dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (bahan tambang, minyak bumi, gas dan lain-lain). Secara ekologi, wilayah laut merupakan bentang alam yang di tempati oleh berbagai macam ekosistem seperti mangrove, terumbu karang dan padang lamun yang menjadi habitat bagi biota untuk hidup dan merupakan sumber nutrien bagi organisme perairan, termasuk ikan. Pelestarian wilayah laut merupakan upaya yang harus dilakukan, karena menyangkut kelestarian sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang (Anwar & Gunawan 2007). Pertumbuhan populasi manusia yang cepat dan besarnya pengembangan wilayah kota ke arah pantai menyebabkan terjadinya pembukaan wilayah tersebut untuk berbagai aktivitas industri dan pemukiman yang memicu terjadinya pencemaran laut (Ashley 2005). Pencemaran laut diartikan sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (PP No.19/1999) Pencemaran laut dapat memberikan pengaruh yang membahayakan terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan kenyamanan ekosistem laut, kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem laut (Clark 2003). Pencemaran laut juga dapat mengurangi nilai estetika dan nilai lingkungan laut intrinsik yang penting untuk rekreasi. Apabila laut tercemar maka sebagian dari biomasa juga akan turut tercemar.

2 Salah satu polutan yang berpotensi mencemari laut adalah minyak. Pencemaran minyak merupakan penyebab utama pencemaran laut. Pencemaran minyak dapat membahayakan ekosistem laut karena ekosistem perairan sangat rentan terhadap minyak (Mukhtasor 2007). Pencemaran minyak berpengaruh besar terhadap ekosistem laut, penetrasi cahaya matahari akan menurun akibat tertutup lapisan minyak. Proses fotosintesis akan terhalang pada zona euphotik, sehingga rantai makanan akan terputus. Lapisan minyak juga menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya perairan tidak mampu lagi untuk mendukung kehidupan laut yang aerob (IPIECA 2000). Ancaman utama pencemaran minyak terhadap biota perairan adalah terjadinya penutupan permukaan perairan. Hewan dan tumbuhan sangat beresiko kontak dan terkontaminasi di permukaan laut yang telah terkontaminasi minyak. Kura-kura, reptil laut, dan burung yang hidup mencari makan dengan menyelam terkena dampak utama dari pencemaran minyak, begitu juga halnya dengan biota laut lain termasuk ikan (Mukhtasor 2007). Menurut Darmono (2001), komponen hidrokarbon aromatis dari minyak bumi seperti senyawa benzen dan toluen merupakan senyawa toksik yang lansung membunuh biota perairan saat terjadinya pencemaran minyak di perairan. Senyawa ini pada konsentrasi tertentu, dapat mematikan organisme laut yang hidupnya menetap seperti kerang, larva ikan karena tidak mampu melarikan diri dengan cepat. Efek sub-letal dari minyak bumi adalah dapat mengganggu kemampuan organisme laut untuk berproduksi, tumbuh dan mencari makan karena terjadinya perpanjangan paparan konsentrasi minyak. Hewan yang tinggal menetap di perairan dangkal (kerang dan remis) yang secara rutin menyaring sejumlah besar air laut untuk mengekstrak makanan, biasanya akan mengakumulasi komponen minyak. Keberadaan minyak dalam tubuh organisme dapat menyebabkan hewan tersebut menjadi tidak enak dikonsumsi, karena adanya rasa atau aroma minyak. Hal ini merupakan masalah penting yang berhubungan dengan kehidupan nelayan dan masyarakat yang mengkonsumsi hewan laut, termasuk ikan hingga kembali ke kondisi normal.

3 Pencemaran minyak telah terjadi di berbagai lokasi perairan Indonesia, salah satu diantaranya adalah perairan Selat Rupat. Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan Pulau Rupat Propinsi Riau yang memiliki panjang ± 72.4 km dan lebar (dari garis Pantai Dumai hingga pantai Pulau Rupat) 3.8 8.0 km. Pulau Rupat merupakan sebuah pulau yang termasuk wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis dan pada umumnya masih belum memiliki aktivitas selain perkebunan rakyat. Oleh sebab aktivitas di Kota Dumai sangat mempengaruhi ekosistim perairan Selat Rupat. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 (Lampiran III) tentang Baku Mutu Air Laut, konsentrasi maksimum kandungan minyak pada air laut untuk kegiatan budidaya adalah 1 mg/l. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan di lokasi studi konsentrasi minyak di perairan Selat Rupat telah melampaui nilai ambang batas yang ditetapkan. Selat Rupat memiliki arti penting baik dan segi ekonomis, maupun ekologis. Dari segi ekologis, perairan Selat Rupat memiliki keanekaragaman hayati berbagai jenis mangrove yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan, melindungi pantai dari terjangan angin dan gelombang laut. Oleh sebab itu, banyak dari masyarakat di wilayah ini yang berprofesi sebagai nelayan, sekaligus sebagai pencari kayu bakau. Berdasarkan kedalamannya (3.0 27 m), Selat Rupat dapat dilayari oleh berbagai kapal-kapal berbobot besar, termasuk kapal tanker. Selat ini berpotensi penting sebagai pelabuhan utama yang mampu menunjang perekonomian Propinsi Riau. Seiring dengan terbentuknya Propinsi Kepulauan Riau, maka Kota Dumai telah diprogramkan sebagai ujung tombak sentra bisnis Propinsi Riau menggantikan Kota Batam. Sehubungan dengan hal itu, maka di beberapa lokasi tertentu di sekitar kawasan Pesisir Dumai telah ditetapkan sebagai kawasan industri (Pelintung dan Lubuk Gaung), sehingga berpotensi meningkatkan pencemaran di Perairan Selat Rupat. Berdasarkan survei lapangan, pencemaran perairan Selat Rupat berasal dari dua sumber utama, yaitu aktivitas industri di daratan dan aktivitas transportasi di pelabuhan, seiring dengan pengembangan Kota Dumai sebagai Kota Industri.

4 Selat Rupat, merupakan jalur transportasi strategis dan pilihan rute kapal yang produktif. Pelabuhan Dumai banyak dikunjungi oleh kapal-kapal penumpang, baik antar pulau di wilayah Indonesia maupun manca negara. Kunjungan kapal setiap tahunnya (2002-2008) berkisar 4089 7332 kali dengan jumlah penumpang berkisar 731.188 hingga 1.012.529 orang (ADPEL 2009). Kota Dumai merupakan pangkalan utama dua perusahaan minyak terbesar (PT.CPI dan Pertamina UP II Dumai) yang mengeksploitasi minyak mentah dari berbagai sumur minyak di Propinsi Riau dan mengolahnya menjadi produk bahan bakar minyak (BBM). Industri minyak di Kota Dumai mampu mengolah minyak mentah menjadi BBM dengan kapasitas 170.000 barel perhari yang didukung oleh tangki timbun dan pelabuhan (Pertamina 2002). Dumai juga sebagai lokasi penimbunan minyak mentah dengan tangki timbun yang mampu menampung minyak dengan kapasitas 5.1 juta barel (CPI & PPLH UNRI 2005). Berbagai aktivitas transportasi, penyimpanan, pengolahan dan distribusi minyak maupun kegiatan industri di pesisir Pantai Dumai menyebabkan perairan Selat Rupat rawan terhadap pencemaran minyak. Posisi Selat Rupat yang semi tertutup berpotensi bagi polutan minyak untuk terakumulasi di perairan yang dapat menimbulkan kerusakan ekosistem perairan termasuk mangrove. Oleh karena itu maka kajian mengenai pencemaran minyak di perairan Selat Rupat sangat menarik untuk dilakukan. Mengingat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat merupakan masalah kompleks yang sangat penting untuk diselesaikan. Kompleksnya masalah ini menyebabkan penyelesaiannya harus dilakukan secara holistik dengan terlebih dahulu membuat model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat yang sangat berpotensi untuk tercemar minyak. 1.2 Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat Riau. Selanjutnya sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai maka secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk: 1 Mempelajari karakteristik lingkungan perairan Selat Rupat. 2 Mengevaluasi tingkat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. 3 Menentukan prioritas teknologi pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat.

5 4 Menentukan stakeholder yang dominan dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat. 5 Merumuskan model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. 1.3 Kerangka Pemikiran Kebutuhan akan energi bagi masyarakat secara dominan masih menggunakan sumber energi bahan bakar fosil (hidrokarbon). Seiring dengan peningkatan status Dumai dari Kota Administratif menjadi Kotamadya Dumai berdasarkan Undang-undang No.16 Tahun 1999, maka pertumbuhan industri dan aktivitas transportasi di Selat Rupat terus meningkat. Berbagai kegiatan transportasi, penyimpanan, pengolahan dan distribusi minyak di Selat Rupat selalu menyisakan polutan minyak ke lingkungan perairan. Undang-undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan penyempurnaan dari Undangundang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi usaha dan/atau Minyak dan Gas serta Panas Bumi, Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal merupakan konsep umum yang digunakan dalam pengendalian pencemaran minyak di laut hingga saat ini. Pada kenyataannya, penerapan instrumen regulasi di lapangan ada indikasi belum berjalan secara optimal sebagaimana yang diharapkan. Selat Rupat merupakan jalur transportasi strategis. Padatnya lalu lintas berbagai kapal (kapal tanker, kargo dan penumpang) di perairan ini berpotensi memberikan kontribusi besar terhadap peningkaan polutan minyak di perairan Selat Rupat. Di lain pihak, karakteristik lingkungan perairan Selat Rupat sangat peka terhadap pencemaran minyak. Pencemaran minyak dapat mengakibatkan gangguan terhadap ekosistem. Upaya pengendalian pencemaran minyak di

6 perairan Selat Rupat memerlukan suatu kajian yang menyeluruh (holistic) termasuk aspek kehidupan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan hal itu, diperlukan suatu model pengendalian pencemaran minyak di perairan sebagai upaya mencegah kerusakan ekosistem di sekitarnya. Pendekatan pengendalian pencemaran minyak di perairan memerlukan kajian permasalahan yang berkaitan dengan karakteristik lingkungan perairan, tingkat pencemaran minyak di Selat Rupat, teknologi yang tepat untuk pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat dan stakeholder yang dominan dalam pengendalian pencemaran minyak. Model pengendalian ini diharapkan dapat digunakan sebagai arahan bagi pengambilan kebijakan dalam pengendalian pencemaran minyak di perairan laut, khususnya Selat Rupat (Gambar 1). UU No.16 Tahun 1999, pertumbuhan industri dan lalu lintas kapal di Selat Rupat UU No. 17/2007, PP No.21/ 2010, PP No. 19/1999, PerMenHub No.4/2005, UU No.32 / 2009, KepMenLH No.51/2004, PerMenLH No.04/2007. Peningkatan beban pencemaran minyak di Selat Rupat Konsep umum pengendalian pencemaran minyak di perairan laut Pemodelan umum pengendalian pencemaran minyak di perairan Evaluasi tingkat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat Karakteristik lingkungan di Selat Rupat hidrooseanografi, mangrove, kepekaan lingkungan. Kondisi eksisting aktifitas (di daratan dan laut) sekitar perairan Selat Rupat sebagai sumber pencemar minyak Stakeholders yang dominan dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat Teknologi pengendalian pencemaran minyak (oilboom, dispersant dan bioremediasi) Model Pengendalian Pencemaran Minyak di Perairan Selat Rupat Arahan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Minyak di Perairan Selat Rupat Gambar 1 Kerangka pemikiran pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat

7 1.4 Perumusan Masalah Selat Rupat merupakan selat kecil di Selat Malaka yang terletak antara pesisir pantai Kota Dumai dengan Pulau Rupat. Pada kawasan ini terdapat vegetasi mangrove dan wilayah tangkapan yang sangat peka terhadap pencemaran minyak. Selain itu, Selat Rupat merupakan perairan yang semi tertutup yang mengalami dua kali pasang dan dua kali surut setiap harinya. Kondisi pergerakan arus pasang-surut setiap selang waktu enam jam akan memberikan pengaruh yang besar terhadap penyebaran polutan minyak di Selat Rupat. Tipe pasang-surut ini menyebabkan polutan minyak di perairan Selat Rupat terperangkap dan tidak mampu keluar mencapai laut lepas (Selat Malaka). Minyak yang memiliki molekul resisten (sukar terurai) berpotensi untuk terakumulasi dan menyebabkan kerusakan ekosistem perairan. Karakteristik lingkungan merupakan hal penting untuk mengetahui kondisi eksisting lingkungan dan responnya terhadap pencemaran minyak. Karakteristik lingkungan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap polutan minyak. Kepekaan lingkungan adalah gambaran suatu ekositem yang digunakan sebagai prioritas respon terhadap pencemaran, khususnya minyak. Dampak pencemaran minyak berimplikasi terhadap tingkat kepekaan ekosistem Selat Rupat. Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi, akan memberikan respon negatif yang membahayakan ekosistem di sekitarnya walaupun konsentrasi minyaknya relatif rendah. Sebaliknya, wilayah yang kurang peka akan memberikan respon yang tidak membahayakan ekosistem di sekitarnya. Pulau Rupat pada umumnya masih belum memiliki aktivitas selain perkebunan rakyat, namun aktivitas di Kota Dumai sangat mempengaruhi kondisi lingkungan perairan Selat Rupat. Seiring dengan peningkatan status Dumai dari Kota Administratif menjadi Kotamadya Dumai berdasarkan Undang-undang No.16 Tahun 1999, maka pertumbuhan industri dan aktivitas transportasi di Selat Rupat terus meningkat. Dumai juga dikenal sebagai kota minyak karena di kota ini terdapat dua perusahaan minyak terbesar yang bergerak dalam bidang eksploitasi, pengolahan dan distribusi minyak (PT.Chevron Pacific Indonesia dan PT.Pertamina UP II

8 Dumai). Dumai juga merupakan pelabuhan utama di Propinsi Riau yang mampu melayani pergerakan regional maupun internasional. Berbagai aktivitas industri dan transportasi laut mampu memicu terjadinya pencemaran minyak sehingga menambah tekanan ekologis terhadap Selat Rupat. Berdasarkan hal itu, untuk menurunkan potensi ancaman terhadap sumberdaya alam di Selat Rupat dan mengembangkan Kota Dumai sebagai ujung tombak ekonomi Propinsi Riau perlu suatu solusi model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. Sehubungan dengan konteks pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat, diajukan beberapa pertanyaan penelitian yaitu: 1 Bagaimana kondisi eksisting lingkungan di perairan Selat Rupat dan sumber pencemar minyak di Selat Rupat? 2 Bagaimana kondisi tingkat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat? 3 Model apa yang tepat diterapkan untuk pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat? 1.5 Manfaat Penelitian Model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah, khususnya Propinsi Riau dalam menentukan arahan kebijakan dalam menyelesaikan permasalahan pencemaran laut yang disebabkan oleh minyak. 1.6 Novelty (Kebaruan Gagasan) Penelitian ini merupakan sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan berkaitan dengan pengendalian pencemaran minyak di perairan selat, khususnya Selat Rupat yang disebabkan oleh aktivitas di daratan dan transportasi di laut. Pada penelitian ini digunakan pendekatan sistem dengan mengintegrasikan secara holistik kepentingan para pelaku yang terlibat dalam sistem pengendalian pencemaran minyak. Berdasarkan hal itu, kebaruan utama penelitian ini terdapat pada konsep penggunaan model dalam pengendalian pencemaran minyak di perairan selat agar kerusakan ekosistem laut dapat dikendalikan. Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh:

9 1 PERTAMINA UP II Dumai dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau. 2002. Sedimentasi dan Dispersi Limbah Cair Pertamina Dumai. 2 PT.Chevron Pacific Indonesia dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau. 2005. Studi Sensitivitas Tumpahan Minyak di Selat Rupat. Selat Rupat merupakan wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda terhadap pencemaran minyak. Wilayah yang memiliki tingkat kepekaan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap pencemaran minyak. Wilayah sangat peka akan memberikan respon yang cukup berbahaya terhadap pencemaran minyak. Sebaliknya, wilayah yang ekosistemnya kurang peka tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap pencemaran minyak di sekitarnya. Berdasarkan hal itu, untuk mengatasi ancaman kerusakan lingkungan di Selat Rupat akibat pencemaran minyak di wilayah yang sangat peka, perlu dilakukan pengendalian. Penggunaan model pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat belum pernah dilakukan. Untuk itu, penulis bermaksud merumuskan suatu model dalam upaya mengendalikan pencemaran minyak di perairan laut, khususnya Selat Rupat Riau.