V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

III HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Operasi dalam Erdas 12/18/2011 IMAGE ENHANCEMENT (PENAJAMAN CITRA) A. Radiometric Enhancement. a. Histogram Match Mengapa perlu Histogram Match :

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

SAMPLING DAN KUANTISASI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Wilayah lokasi penelitian tumpahan minyak berada di sekitar anjungan

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

BAB II LANDASAN TEORI

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

BAB IV PENGOLAHAN DATA

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


KONSEP DASAR PENGOLAHAN CITRA

7.7 Pelembutan Citra (Image Smoothing)

5. IDENTIFIKASI JENIS TANAMAN. Pendahuluan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 4 HASIL DAN ANALISA

PENERAPAN METODE SOBEL DAN GAUSSIAN DALAM MENDETEKSI TEPI DAN MEMPERBAIKI KUALITAS CITRA

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

Pertemuan 2 Representasi Citra

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

Pengenalan Telur Berdasarkan Karakteristik Warna Citra Yustina Retno Wahyu Utami 2)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4 Subset citra QuickBird (uint16).

DAFTAR ISI BAB II TINJAUAN PUSTAKA...4

TEKNIK PENGOLAHAN CITRA. Kuliah 4 Pengolahan Titik (2) Indah Susilawati, S.T., M.Eng.

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

KULIAH 2 TEKNIK PENGOLAHAN CITRA HISTOGRAM CITRA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

BAB II TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

BAB V PEMBAHASAN UMUM

Interpretasi Citra SAR. Estimasi Kelembaban Tanah. Sifat Dielektrik. Parameter Target/Obyek: Sifat Dielektrik Geometri

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Ketahanan Pangan Nasional

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 LANDASAN TEORI. dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

PENGATURAN KECERAHAN DAN KONTRAS CITRA SECARA AUTOMATIS DENGAN TEKNIK PEMODELAN HISTOGRAM

BAB II TEORI PENUNJANG

Sesi 3 Operasi Pixel dan Histogram. : M. Miftakul Amin, S. Kom., M. Eng.

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

DETEKSI NOMINAL MATA UANG DENGAN JARAK EUCLIDEAN DAN KOEFISIEN KORELASI

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

PENERAPAN SEGMENTASI MULTI KANAL DALAM MENDETEKSI SEL PARASIT PLASMODIUM SP. I Made Agus Wirahadi Putra 1, I Made Satria Wibawa 2 ABSTRAK

BAB 2 LANDASAN TEORI

Kreasi Foto Hitam. Teknik Editing I

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

III. BAHAN DAN METODE

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Page 1

Dasar-dasar Photoshop

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengolahan citra. Materi 3

BAB III METODE PENELITIAN

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

Gambar 6 Kenampakan pada citra Google Earth.

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMBINASI BAND PADA CITRA SATELIT LANDSAT 8 DENGAN PERANGKAT LUNAK BILKO OLEH: : HILDA ARSSY WIGA CINTYA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan Penguji... iii. Halaman Persembahan... iv. Abstrak... viii. Daftar Isi... ix. Daftar Tabel... xvi

Transkripsi:

27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk tiga jendela grup yaitu Image Window, Scroll Window dan Zoom (4x) Window (Gambar 8a dan 9a). Bentuk dan batas administrasi Wilayah Kecamatan Dramaga, Kabupaten bogor, Provinsi Jawa Barat pada masing-masing citra tersebut ditampilkan pada ArcView GIS 3. 3 (Gambar 8b dan 9b). Gambar 8a. Image window [kiri], Zoom (4x) window [kanan atas], dan Scroll window [kanan bawah] Citra Polarisasi HH Gambar 8b. Wilayah Kecamatan Dramaga Citra Polarisasi HH (dalam Garis Merah) Full Extent dan Zoom To Themes

28 Gambar 9a.. Image window [kiri], Zoom (4x) window [kanan atas], dan Scroll window [kanan bawah] Citra Polarisasi HV Gambar 9b. Wilayah Kecamatan Dramaga Citra Polarisasi HV (di dalam Garis Merah) Full Extent dan Zoom To Themes Pada penelitian ini tumpang tindih antara citra polarisasi dengan batas administrasi (Gambar 8b dan 9b) sangat bermanfaat dalam pemotongan citra (cropping imange). Citra hasil cropping tersebut memperlihatkan bentuk wilayah penelitian (Gambar 10). Penampilan citra polarisasi HH dan polarisasi HV pada Gambar 10 sama-sama belum dapat memperlihatkan karakteristik objek apapun. Hal ini disebabkan oleh mata manusia yang sulit mengidentifikasi objek menggunakan perbedaan rona pada suatu citra polarisasi tunggal (citra gray scale). Penampilan tersebut juga diperparah oleh adanya speckle akibat interferensi acak pada sel resolusi citra tersebut. Dengan demikian, perlu dilakukan proses penajaman citra (enhancement image). Pada penelitian ini

29 spasial filter dengan metode Lee dan Frost dipilih untuk memenuhi kebutuhan penajaman citra tersebut. Gambar 10. Hasil Cropping Citra Polarisasi : HH dan HV [kiri-kanan] 5.2. Reduksi Speckle Speckle dapat menyebabkan piksel-piksel pada citra tidak dapat menampilkan pola spektral yang sebenarnya dari objek. Oleh karenanya, speckle perlu direduksi dengan menggunakan filter seperti filter Lee dan filter Frost. Proses pemfilteran Lee dan Frost citra dual polarimetry PALSAR / ALOS dilakukan pada jendela filter 5x5. Pemilihan ukuran jendela filter 5x5 memiliki pengertian bahwa noise yang berupa speckle di wilayah yang diamati (interest site) pada citra akan direduksi pada luas wilayah pemfilteran sebesar 25 piksel. Pada penelitian ini, lahan sawah dijadikan sebagai wilayah yang diamati (interest site) pada citra. Luas pemfilteran tersebut diduga cukup sesuai dengan luasan lahan sawah di lokasi penelitian. Cara yang demikian diharapkan mampu menonjolkan keberadaan dan keadaan objek sawah dibandingkan objek lainnya

30 pada citra. Penampilan objek sawah yang demikian diduga akan mempermudah proses ekstraksi penutup lahan sawah pada citra hasil filter nanti. Pada Image Window (Gambar 11a dan 12a) dan Scroll Window (Gambar 11b dan 12b), objek-objek citra terfilter Lee baik pada polarisasi HH maupun HV terlihat lebih tajam dibandingkan citra terfilter Frost dan tetap mempertahankan tingkat kecerahan citra aslinya. Objek-objek pada citra terfilter Frost baik pada polarisasi HH maupun polarisasi HV terlihat lebih cerah dibandingkan citra terfilter Lee. Namun tingkat ketajaman objek-objek pada citra terfilter Frost masih berada di bawah tingkat ketajaman objek-objek pada citra terfilter Lee. Tampilan citra sintetik terfilter Lee dan Frost (yang hanya menampilkan wilayah penelitian) pada tulisan ini bertujuan agar kebenaran hasil temuan dapat dilihat secara jelas pada citra oleh Pembaca tulisan ini. Hal ini tentu saja hanya untuk kepentingan publikasi semata. Pada proses penelitian, tahap pemfilteran Lee dan Frost dilakukan pada seluruh tampilan citra dual polarimetry (polarisasi HH dan HV) PALSAR/ALOS. Gambar 11a. Image Window Citra Polarisasi HH terfilter : Frost dan Lee [kiri-kanan]

31 Gambar 11b. Scroll Window Citra Polarisasi HH Terfilter : Frost dan Lee [kiri-kanan] Gambar 12a. Image Window Citra Polarisasi HV terfilter : Frost dan Lee [kiri-kanan]

32 Gambar 12b. Scroll Window Citra Polarisasi HV Terfilter : Frost dan Lee [kiri-kanan] Filter Frost menganggap bahwa piksel-piksel yang berada di pinggir objek dan menjadi batas dengan objek lainnya sebagai speckle. Zoom (7x) Window menunjukkan hasil pemfilteran Frost yang serupa dengan generalisasi objek. Efek dari filter Frost menghilangkan objek yang memiliki luasan kecil pada citra polarisasi. Sedangkan pada filter Lee, piksel yang dianggap sebagai speckle adalah piksel yang memiliki nilai intensitas sangat tinggi dari area terang dan nilai intensitas sangat rendah dari area gelap. Zoom (7x) Window menunjukkan hasil pemfilteran Lee yang serupa dengan proses penghalusan (smoothing) tekstur objek. Efek dari filter Lee justru akan memperjelas tampilan objek yang memiliki luasan sempit pada citra polarisasi (Gambar 13a dan 13b). A B C Gambar 13a. Peragaan Visual Citra Polarisasi HH (A), Citra Polarisasi HH terfilter Frost (B), dan Citra Polarisasi HH terfilter Lee (C)

33 A B C Gambar 13b. Peragaan Visual Citra Polarisasi HV (A), Citra Polarisasi HV terfilter Frost (B), dan Citra Polarisasi HV terfilter Lee (C) Pada penelitian ini, objek yang memiki luasan sempit akan sangat membantu proses ekstraksi sawah. Hal ini disebabkan adanya galangan pada sawah yang biasanya memiliki luasan yang sempit. Galangan tersebut diduga ditampilkan dengan garis kecil pada citra. Dengan demikian, proses pengolahan citra digital selanjutnya akan menggunakan citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee. Proses pengolahan citra dual polarimetry pada penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi metode dalam upaya optimalisasi fungsi data SAR yang tersedia untuk berbagai bidang pemanfaatan. Pada penelitian ini, pengolahan citra dual polarimetry ditujukan untuk ekstraksi penutup lahan sawah. Proses pengolahan citra dilakukan secara digital melalui uji coba kualitatif (pengamatan visual citra) dan kuntitatif (pengamatan Digital Number dan Horizontal Profile) pada citra dual polarimetry, citra sintetik dan citra RGB. Uji coba tersebut dilakukan pada seluruh tampilan citra (full scene). Tujuannya agar hasil penelitian pada wilayah Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat merupakan representasi keadaan objek di seluruh wilayah yang terekam pada seluruh citra. 5.3. Citra Sintetik dan Citra RGB Citra sintetik pada penelitian ini merupakan citra hasil band math dengan formula substraksi (B1-B2 dan B2-B1) maupun rasio (B1/B2 dan B2/B1) antara citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee sebagai variabel B1 dan B2. Band math merupakan perangkat yang memungkinkan pengolah citra digital (interpreter)

34 menentukan dan mengaplikasikan ekspresi matematika pada data spasial citra. Hasil band math berupa citra baru disajikan pada Gambar 14. A B C D Gambar 14. Tampilan Visual Citra Sintetik Band Math Substraksi : [HH HV & HV HH] (A-B) dan Rasio : [HH/HV & HV/HH] (C-D) Keempat citra sintetik di atas menampilkan objek dengan perbedaan tingkat keabuan (rona), sedangkan mata manusia lebih mudah membedakan objek berwarna dibandingkan objek dengan tingkat keabuan tersebut. Oleh sebab itu, identifikasi suatu objek tidak dilakukan pada citra sintetik tunggal (citra gray scale). Proses identifikasi objek untuk ekstraksi penutup lahan sawah dilakukan pada citra RGB. Citra RGB merupakan citra hasil penyusunan 3 citra gray scale

35 pada setiap lapisan Red-Green-Blue. Citra gray scale yang digunakan untuk menyusun citra RGB adalah citra dual polarimetry hasil filter Lee (citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee) dan citra sintetik [(HH-HV), (HV-HH), (HH/HV), dan (HV/HH)]. Variasi citra RGB yang dihasilkan oleh komposit citra-citra gray scale tersebut seluruhnya berjumlah 24 variasi citra RGB (Tabel 3). Tampilan visual 24 variasi citra RGB disajikan pada Lampiran 3. Pemilihan satu citra RGB terbaik dari 24 variasi citra RGB tersebut dilakukan melalui Analisis Digital Number dan Analisis Citra Sintetik. 5.4. Analisis Digital Number (DN) Tujuan Analisis Digital Number (DN) adalah mendapatkan variasi citra RGB yang memiliki variasi dominasi warna paling banyak dan sesuai dengan prinsip RADAR polarimetry. Dominasi warna pada citra RGB akan mempermudah identifikasi sejumlah objek pada citra tersebut. Citra RGB yang dapat menampilkan objek sebanyak-banyaknya, dapat memberikan informasi yang lengkap dan benar tentang keadaan objek pada wilayah yang diamati. Dominasi warna pada penelitian ini dipelajari melalui nilai intensitas sinyal hamburan balik ke sensor yang dinyatakan oleh DN. Oleh sebab itu, penentuan variasi RGB yang memiliki variasi dominasi warna paling banyak dilakukan melalui pengamatan nilai DN pada citra-citra gray scale penyusun 24 variasi citra RGB. Pemilihan susunan citra RGB pada penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian Bariguna (2008). Variasi dominasi warna diperoleh pada susunan yang dimulai dari citra gray scale ber-dn tinggi hingga citra gray scale ber-dn rendah dan masing-masing secara berurutan menempati lapisan Red Green-Blue. Susunan yang demikian menyebabkan variasi intensitas piksel yang besar dari Citra pada lapisan Red, tidak akan menutupi variasi intensitas piksel yang lebih kecil dari citra-citra pada lapisan Green dan lapisan Blue. Pada penelitian ini, ilustrasi penemuan Bariguna (2008) disajikan pada Gambar 15.

36 Gambar 15. Ilustrasi Variasi Intensitas pada citra RGB Pengamatan terhadap nilai DN minimum dan DN maksimum dari citra-citra yang digunakan, sangat efektif untuk mengetahui besarnya kisaran variasi intensitas piksel dari suatu citra. Oleh karena itu pada penelitian ini, nilai DN minimum dan DN maksimum suatu citra gray scale digunakan untuk mengetahui dimana posisinya yang tepat pada citra RGB. DN minimum dan DN maksimum citra polarisasi HH terfilter Lee masing-masing adalah 0 dan 65535. DN minimum dan DN maksimum citra polarisasi HV terfilter Lee masing-masing adalah 0 dan 60826. Citra sintetik substraksi dan rasio memiliki DN relatif lebih kecil dibandingkan DN citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee (Lampiran 5 dan 6). Dengan demikian, citra RGB terbaik dapat dipilih dari susunan : citra polarisasi HH terfilter Lee pada lapisan Red, citra polarisasi HV terfilter Lee pada lapisan Green, dan citra sintetik pada lapisan Blue. Susunan RGB yang terpilih berdasarkan DN antara lain : [HH HV-(HH-HV)]; [HH HV-(HV-HH)]; [HH- HV-(HH/HV)]; dan [HH HV-(HV/HH)]. Pemilihan citra sintetik mana yang tepat pada lapisan Blue merupakan kunci untuk menemukan citra RGB terbaik. Analisis citra sintetik dilakukan untuk memilih citra sintetik tersebut. Penyajian DN suatu citra dimulai dari DN minimum hingga DN maksimum dalam suatu interval yang ditentukan oleh nilai Bin. Penyajian yang demikian, tentu saja menyulitkan upaya untuk mengetahui hubungan algoritma setiap piksel antar citra-citra gray scale pembentuk citra sintetik. Padahal hubungan algoritma tersebut dibutuhkan dalam analisis citra sintetik. Pada penelitian ini, hubungan algoritma pada citra sintetik dipelajari menggunakan Horizontal Profile. Oleh karena itu, analisis citra sintetik dilakukan dengan menggunakan Horizontal Profile.

37 5.5. Horizontal Profile Horizontal Profile (HP) adalah grafik yang menggambarkan nilai intensitas piksel dari beberapa sampel yang terentang searah sumbu x, pada suatu line tertentu dari citra. Pada citra gray scale (citra dual polarimetry dan citra sintetik), nilai intensitas digambarkan dengan satu garis grafik. Fluktuasi nilai intensitas pada citra tersebut menunjukkan tingkat kecerahan citra rona dari pikselpikselnya. Pengamatan HP dan citra gray scale menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai intensitas suatu piksel, maka rona pada citra tersebut semakin cerah. Demikian berlaku sebaliknya jika intensitasnya rendah. Pada citra RGB, HP digambarkan dengan 3 garis grafik yang berbeda warnanya. Nilai intensitas piksel-piksel pada citra yang menempati lapisan Red, Green, dan Blue masingmasing digambarkan dengan garis grafik berwarna merah, hijau dan biru. Pada citra sintetik substraksi, nilai intensitas piksel-piksel dari citra sintetik formula substraksi merupakan selisih antara nilai intensitas piksel-piksel pada citra yang menjadi variabel-variabel dalam formula substraksi tersebut. Angkaangka pada bagian pojok kiri bawah Gambar 17 menunjukkan bahwa nilai intensitas piksel line 233 sampel 4499 citra sintetik (HH HV) adalah 5113,59473. Nilai intensitas piksel ini merupakan selisih antara nilai intensitas piksel yang sama pada citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee masing-masing sebesar 8349,97266 dan 3236,37793 pada Gambar 16. Pada citra sintetik rasio, nilai intensitas piksel-piksel dari citra sintetik formula rasio merupakan hasil bagi antara nilai intensitas piksel-piksel pada citra yang menjadi variabel-variabel dalam formula rasio tersebut. Angka-angka pada bagian pojok kiri bawah Gambar 17 menunjukkan bahwa nilai intensitas piksel line 233 sampel 4499 citra sintetik (HV/HH) adalah 0,38759. Nilai intensitas piksel ini merupakan hasil bagi antara nilai intensitas piksel yang sama pada citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee masing-masing sebesar 8349,97266 dan 3236,37793 pada Gambar 16.

38 Gambar 16. Horizontal Profile Line 233 Sampel 4267-4666 pada Citra Polarisasi HH Terfilter Lee dan Citra Polarisasi HV Terfilter Lee [kiri-kanan] Gambar 17. Horizontal Profile Line 233 Sampel 4267-4666 pada Citra Sintetik (HH-HV) dan (HV/HH) [kiri-kanan] Pengamatan nilai intensitas setiap piksel pada seluruh tampilan citra seperti yang telah dijelaskan pada alinea di atas akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Oleh karenanya, dilakukan pengamatan terhadap bentuk pola dan wilayah distribusi nilai intensitas piksel-piksel pada HP suatu citra. Langkah ini dijadikan suatu alternatif untuk mengetahui hubungan algoritma antara variabel-variabel pada citra sintetik. Pada penelitian ini, pengamatan terhadap bentuk pola HP suatu citra sintetik dikaitkan dengan pengaruh posisi variabel-variabel pada citra sintetik tersebut. Pembahasan mengenai hal tersebut disajikan dalam Analisis Posisi Variabel pada Band Math. Pengamatan terhadap wilayah distribusi nilai intensitas piksel-piksel pada HP suatu citra sintetik dikaitkan dengan pengaruh tipe formula band math

39 yang dipakai oleh citra sintetik tersebut. Pembahasan mengenai hal tersebut disajikan dalam Analisis Tipe Formula pada Band Math. 5.6. Analisis Posisi Variabel pada Band Math Pengaruh posisi variabel pada band math formula substraksi menyebabkan objek-objek yang tampak gelap pada citra sintetik (HH HV), terlihat terang pada citra sintetik (HV HH). Sebaliknya objek-objek yang tampak terang pada citra sintetik (HH HV), terlihat gelap pada citra sintetik (HV HH) (Gambar 14). Penampilan objek-objek yang demikian disebabkan oleh bentuk pola HP citra sintetik (HH-HV) merupakan transformasi dari bentuk pola HP citra sintetik (HV- HH) terhadap garis Y=0 (Gambar 18a). Gambar 18a. Bentuk Pola Horizontal Profile Citra Sintetik : (HH-HV) dan (HV-HH) [kiri-kanan] Pengaruh posisi variabel pada band math formula rasio menyebabkan objekobjek yang tampak gelap pada citra sintetik (HH/HV), terlihat terang pada citra sintetik (HV/HH). Sebaliknya objek-objek yang tampak terang pada citra sintetik (HH/HV), terlihat gelap pada citra sintetik (HV/HH) (Gambar 14). Penampilan objek-objek yang demikian disebabkan oleh bentuk pola HP citra sintetik (HH/HV) merupakan transformasi dari bentuk pola HP citra sintetik (HV/HH) terhadap garis Y=n (Gambar 18b).

40 Gambar 18b. Bentuk Pola Horizontal Profile Citra Sintetik : (HH/HV) dan (HV/HH) [kiri-kanan] Pada analisis ini, pengaruh posisi variabel terhadap citra sintetik tidak hanya dilakukan melalui pembandingan bentuk pola HP antara 2 citra sintetik yang memiliki perbedaan posisi variabel-variabel (B1-B2 dibandingkan B2-B1 dan B1/B2 dibandingkan B2/B1) pada suatu band math yang sama (substraksi atau rasio). Pengamatan bentuk pola HP citra sintetik juga dilakukan dengan cara membandingkannya terhadap citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee. Hal ini bertujuan agar citra sintetik yang terpilih pada tahap analisis ini merupakan citra sintetik yang dapat menghasilkan citra RGB terbaik. Perbandingan hasil pengamatan bentuk pola HP antara suatu citra sintetik dengan citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee menunjukkan bahwa bentuk pola HP pada citra sintetik (HH-HV) dan (HH/HV) relatif sejajar terhadap citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee (Gambar 19a dan 19b). Gambar 19a. Bentuk Pola Horizontal Profile Citra : Polarisasi HH Terfilter Lee, Polarisasi HV terfilter Lee, dan Sintetik (HH-HV) [kiri-kanan]

41 Gambar 19b. Bentuk Pola Horizontal Profile Citra : Polarisasi HH Terfilter Lee, Polarisasi HV terfilter Lee, dan Sintetik (HH/HV) [kiri-kanan] Tampilan bentuk pola HP pada citra RGB yang disusun oleh citra sintetik (HH-HV) dan citra sintetik (HH/HV) disajikan pada Gambar 20. Kesejajaran bentuk pola HP seperti yang ditunjukkan Gambar 20 merupakan indikasi homogenitas tingkat kepekaan antar objek pada suatu citra RGB. Dengan demikian baik citra RGB yang disusun oleh citra sintetik (HH-HV) maupun (HH/HV), keduanya sama-sama memiliki keterbatasan dalam menampilkan objek-objek. Jumlah objek-objek yang ditampilkan pada kedua citra RGB tersebut diduga relatif sedikit. Gambar 20. Bentuk Pola Horizonal Profile Citra RGB : [HH HV (HH HV)] (kiri) dan [HH HV (HH/HV)] (kanan) Tampilan visual citra RGB [HH-HV-(HH-HV)] dan [HH-HV-(HH/HV)] disajikan pada Gambar 21 dan 22. Zoom (4x) Window kedua citra RGB tersebut menunjukkan banyaknya objek yang ditampilkan dengan spektral berwarna putih (area dalam kotak berwarna merah pada Gambar 21 dan 22). Pada proses tumpang susun lapis warna Red-Green-Blue (proses warna substraktif), warna putih merupakan komposit warna yang diperoleh dari warna merah pada lapisan Red

42 sebesar 0%, warna hijau pada lapisan Green sebesar 0%, dan warna biru pada lapisan Blue sebesar 0%. Minimumnya nilai spektral dari ketiga lapisan warna tersebut menyebabkan objek yang ditampilkan dengan warna putih tesebut tidak dapat diidentifikasi karakteristiknya. Pada proses klasifikasi, objek yang demikian akan dikelaskan menjadi objek yang tidak dapat dikelaskan (unclassified). Oleh karena itu, jumlah objek-objek yang ditampilkan pada kedua citra RGB tersebut diduga relatif sedikit. Gambar 21. Scroll Window (kiri), Image Window (tengah), Zoom (4x) Window (kanan) Citra RGB [HH-HV-(HH-HV)] Gambar 22. Scoll Window (kiri), Image Window (tengah), Zoom (4x) Window (kanan) Citra RGB [HH-HV-(HH/HV)]

43 Hasil pengamatan bentuk pola HP suatu citra sintetik dengan citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee menunjukkan bahwa bentuk pola HP pada citra sintetik (HV-HH) dan (HV/HH) relatif tidak sama dan spesifik terhadap citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee (Gambar 23a dan 23b). Gambar 23a. Bentuk Pola Horizontal Profile Citra : Polarisasi HH Terfilter Lee, Polarisasi HV terfilter Lee, dan Sintetik (HV-HH) [kiri-kanan] Gambar 23b. Bentuk Pola Horizontal Profile Citra : Polarisasi HH Terfilter Lee, Polarisasi HV terfilter Lee, dan Sintetik (HV/HH) [kiri-kanan] Tampilan bentuk pola HP pada citra RGB yang disusun oleh citra sintetik (HV-HH) dan citra sintetik (HV/HH) disajikan pada Gambar 24. Perbedaan bentuk pola HP seperti yang ditunjukan Gambar 24 merupakan indikasi heterogenitas tingkat kepekaan antar objek pada suatu citra RGB. Dengan demikian baik citra RGB yang disusun oleh citra sintetik (HV-HH) maupun (HV/HH), keduanya sama-sama memiliki keunggulan dalam menampilkan objek. Jumlah objek-objek yang ditampilkan pada kedua citra RGB tersebut diduga relatif banyak.

44 Gambar 24. Bentuk Pola Horizonal Profile Citra RGB : [HH HV (HV HH)] (kiri) dan [HH HV-(HV/HH)] (kanan) Tampilan visual citra RGB [HH-HV-(HV-HH)] dan [HH-HV-(HV/HH)] disajikan pada Gambar 25 dan 26. Objek-objek yang ditampilkan dengan spektral berwarna putih pada citra RGB [HH HV (HV HH)] dan [HH HV (HV/HH)] (Gambar 23 dan 24) ditampilkan dengan variasi spektral yang menunjukkan karakteristik suatu objek tertentu pada citra RGB [HH-HV-(HV-HH)] dan [HH- HV-(HV/HH)] (Gambar 25 dan 26). Dengan demikian dalam klasifikasi baik terbimbing maupun tak terbimbing, objek-objek tersebut dapat dikelaskan. Oleh karena itu, jumlah objek-objek yang ditampilkan pada kedua citra RGB tersebut diduga relatif banyak. Gambar 25. Scoll Window (kiri), Image Window (tengah), Zoom (4x) Window (kanan) Citra RGB [HH-HV-(HV-HH)]

45 Gambar 26. Scoll Window (kiri), Image Window (tengah), Zoom (4x) Window (kanan) Citra RGB [HH-HV-(HV/HH)] Citra RGB terbaik idealnya mampu memberikan informasi mengenai objek, daerah atau fenomena yang dikaji secara lengkap. Citra RGB terbaik sudah selayaknya mampu menampilkan objek sebanyak-banyaknya. Hasil analisis posisi variabel pada band math menunjukkan bahwa citra RGB yang demikian diduga dapat diperoleh dari citra RGB yang lapisan Blue-nya disusun oleh citra sintetik (HV-HH) dan atau citra sintetik (HV/HH). Kedua variasi citra RGB tersebut adalah [HH-HV-(HV-HH)] dan [HH-HV-(HV/HH)]. Analisis Posisi Variabel pada Band Math tidak lagi mumpuni untuk pemilihan satu citra RGB terbaik diantara dua variasi citra RGB [HH-HV-(HV- HH)] dan [HH-HV-(HV/HH)]. Hal ini disebabkan analisis ini hanya diperuntukkan pada pemilihan satu citra sintetik diantara dua citra sintetik yang memiliki tipe formula band math yang sama. Pemilihan satu citra sintetik diantara dua citra sintetik yang memiliki tipe formula band math yang berbeda (seperti antara citra sintetik (HV-HH) dan citra sintetik (HV/HH)), dilakukan melalui Analisis Tipe Formula pada Band Math. 5.7. Analisis Tipe Formula pada Band Math Pengaruh tipe variabel pada band math antara citra sintetik (HV-HH) dan (HV/HH) menyebabkan objek-objek yang tampak kehitaman pada citra sintetik

46 (HV-HH) terlihat kelabu pada citra sintetik (HV/HH) dan objek-objek yang tampak keputihan pada citra sintetik (HV-HH) terlihat lebih terang pada citra sintetik (HV/HH) (Gambar 14). Penampilan yang demikian disebabkan oleh persamaan bentuk pola HP diantara kedua citra sintetik tersebut, Namun masingmasing bentuk pola HP keduanya memiliki perbedaan wilayah distribusi HP. Distribusi grafik intensitas piksel-piksel menunjukkan sebaran nilai intensitas piksel-piksel suatu citra yang digambarkan pada HP. Oleh karena itu, pengamatan terhadap wilayah distribusi HP digunakan untuk analisis tipe formula pada band math. Pengamatan wilayah distribusi HP pada citra (HV-HH) menunjukan bahwa penyebaran nilai intensitas piksel piksel nya berada relatif di bawah garis Y=0. Nilai intensitas piksel pada citra (HV/HH) terdistribusi relatif di atas garis Y=0. (Gambar 27). Gambar 27. Ditribusi Horizontal Profile : (HV-HH) relatif di bawah sumbu x dan (HV/HH) relatif di atas sumbu x [kiri-kanan] Pada analisis ini, pengaruh tipe formula band math terhadap citra sintetik tidak hanya dilakukan melalui pembandingan wilayah distribusi HP antara 2 citra sintetik yang memiliki perbedaan band math (B2-B1 dibandingkan B2/B1) dengan posisi variabel-variabel yang sama (citra polarisasi HH terfilter Lee sebagai B1 dan citra polarisasi HV terfilter Lee sebagai B2). Pengamatan wilayah distribusi HP citra sintetik juga dilakukan dengan cara membandingkannya terhadap citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee. Hal ini bertujuan agar citra sintetik yang terpilih pada tahap analisis ini merupakan citra sintetik yang dapat menghasilkan citra RGB terbaik. Upaya untuk memperoleh citra RGB terbaik, kemudian dilakukan dengan menghitung jarak antara wilayah distribusi HP

47 diantara citra sintetik (HV-HH) terhadap citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee dan jarak antara wilayah distribusi HP diantara citra sintetik (HV/HH) terhadap citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee. Oleh karena itu, maka dilakukan pengamatan terhadap wilayah distribusi HP citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa distribusi grafik intensitas pikselpiksel kedua citra tersebut relatif berada di atas garis Y=0 (Gambar 28). Gambar 28. Distribusi Horizontal Profile : Polarisasi HH terfilter Lee dan Polarisasi HV terfilter Lee relatif di atas sumbu x [kiri-kanan] Jarak wilayah distribusi HP antara citra (HV-HH) dengan citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee relatif besar (jauh). Perbedaan jarak ini dapat dilihat pada Horizontal Profile citra RGB [HH-HV-(HV-HH)] (Gambar 29). Gambar 29 menunjukkan peluang terjadinya perpotongan antar garis-garis grafik pada citracitra tersebut relatif kecil. Gambar 29. Horizontal Profile citra RGB [HH-HV-(HV-HH)]

48 Nilai intensitas piksel-piksel pada citra sintetik (HV-HH) pada wilayah distribusi HP yang relatif jauh terhadap citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee akan menjadi nilai ekstrim pada Horizontal Profile citra RGB [HH-HV-(HV- HH)]. Secara visual, hal ini akan menyebabkan background citra RGB tersebut memiliki warna biru (Gambar 30). Warna biru merupakan warna yang sesuai dengan posisi citra sintetik (HV-HH) pada lapisan Blue citra RGB [HH-HV-(HV- HH)]. Warna background tersebut menyebabkan penampilan objek yang memiliki spektral asli berwarna biru digolongkan sebagai objek yang tidak dapat dikelaskan pada tahap klasifikasi. Gambar 30. Tampilan Visual Citra RGB [HH-HV-(HV-HH)]

49 Jarak wilayah distribusi HP antara citra (HV/HH) dengan citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee relatif kecil (dekat). Perbedaan jarak ini dapat dilihat pada Horizontal Profile citra RGB [HH-HV-(HV/HH)] (Gambar 31). Gambar 31 menunjukkan peluang terjadinya perpotongan antar garis-garis grafik pada citracitra tersebut relatif besar. Gambar 31. Horizontal Profile citra RGB [HH-HV-(HV/HH)] Nilai intensitas piksel-piksel pada citra sintetik (HV/HH) pada wilayah distribusi HP yang relatif dekat terhadap citra polarisasi HH dan HV terfilter Lee menyebabkan citra RGB [HH-HV-(HV/HH)] memiliki background berwarna hitam (Gambar 32). Pada proses tumpang susun lapis warna Red-Green-Blue (proses warna substraktif), warna hitam merupakan komposit warna yang diperoleh dari warna merah pada lapisan Red sebesar 100%, warna hijau pada lapisan Green sebesar 100%, dan warna biru pada lapisan Blue sebesar 100%. Warna background tersebut menyebabkan penampilan seluruh objek yang memiliki menjadi tampak kontras antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, proses ekstraksi suatu objek yang diawali dengan proses identifikasi seluruh objek dapat mudah dilakukan.

50 Gambar 32. Tampilan Visual Citra RGB [HH HV (HV/HH)] 5.8. Identifikasi dan Ekstraksi Penutup Lahan Sawah Citra RGB [HH HV (HV/HH)] menampilkan sejumlah objek yang satu sama lainnya dapat dibedakan berdasarkan perbedaan spektral dari objek. Objekobjek yang mampu diinterpretasi dari citra RGB tersebut tersaji pada Tabel 11. Identifikasi yang demikian memberikan informasi keadaan penggunaan lahan (land use) di lapangan.

51 Tabel 11. Identifikasi Objek pada Citra RGB [HH HV (HV/HH)] No Nama Objek Identifikasi Objek 1 Air Warna hitam, tekstur halus, pola teratur. 2 Bangunan Warna kuning keputihan, tekstur halus, pola tidak teratur berasosiasi dengan tanaman pekarangan dan kebun 3 Tanaman Pekarangan Warna orange, tekstur halus, pola tidak teratur, 4 Kebun Warna kuning kehijauan, tekstur kasar, pola tidak teratur, berasosiasi dengan sawah 5 Tegalan Warna cyan keputihan, tekstur halus, berasosiasi dengan sawah, pola spektral mirip seperti galangan sawah 6 Semak Belukar Warna biru kehitaman, tekstur kasar, pola tidak teratur berasosiasi dengan sungai, 7 Lahan Kosong/Rumput Warna cyan, tekstur halus, berasosiasi dengan bangunan, pol spektral mirip seperti sawah fase bera Pada penelitian ini, ekstraksi objek sawah dilakukan berdasarkan nilai intensitas piksel-piksel dari citra-citra penyusun RGB. Hal ini disebabkan oleh tujuan identifikasi yang mengarah pada proses ekstraksi objek sawah ke dalam beberapa fase pertumbuhan tanaman padi. Pembagian objek sawah seperti ini dapat memberikan informasi mengenai keadaan penutup lahan (land cover) pada land use sawah. Nilai intensitas piksel-piksel dari citra yang berada pada salah satu lapisan citra RGB, memiliki pola fluktuasi yang khas untuk objek tertentu. Pengamatan nilai tersebut dilakukan secara kuantitatif menggunakan Horizontal Profile pada citra RGB [HH HV (HV/HH)]. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa pola fluktuasi nilai intensitas piksel-piksel dari citra yang berada pada lapisan Red, Green dan Blue masing-masing cenderung meningkat pada objek air, vegetasi, dan lahan kosong. Peningkatan fluktuasi nilai intensitas piksel-piksel dari citra polarisasi HH (yang berada pada lapisan Red) pada suatu spot land use sawah, dapat memberikan interpretasi keadaan land use tersebut didominasi oleh air. Galangan sawah berupa semak belukar yang masih didominasi oleh air (secara visual berwarna biru kehitaman). Sawah yang memiliki keadaan demikian, diduga

52 berada pada fase pertumbuhan awal tanam. Sehingga land cover sawah ini disebut sawah fase awal tanam (Gambar 33a). Gambar 33a. Tampilan Visual dan Horizontal Profile Sawah Fase Awal Tanam pada Citra RGB [HH-HV-(HV/HH)] [kiri dan kanan] Peningkatan fluktuasi nilai intensitas piksel-piksel dari citra polarisasi HH (yang berada pada lapisan Green) pada suatu spot land use sawah, dapat memberikan interpretasi keadaan land use tersebut didominasi oleh vegetasi. Keadaan sebaliknya yang terjadi pada nilai intensitas piksel-piksel dari lapisan Red memberikan petunjuk bahwa ketinggian air di atas permukaan tanah semakin menurun. Sawah yang memiliki keadaan demikian, diduga berada pada fase pertumbuhan daun padi maksimum. Sehingga land cover sawah ini disebut sawah fase vegetasi (Gambar 33b). Gambar 33b. Tampilan Visual dan Horizontal Profile Sawah Fase Vegetatif pada Citra RGB [HH-HV-(HV/HH)] [kiri dan kanan]

53 Peningkatan fluktuasi nilai intensitas piksel-piksel dari citra polarisasi HH (yang berada pada lapisan Blue) pada suatu spot land use sawah, dapat memberikan interpretasi keadaan land use tersebut didominasi oleh lahan kosong. Keadaan nilai intensitas dari lapisan Red menurun tajam dan nilai intensitas piksel dari lapisan Green masih perlahan menurun masing-masing dapat memberikan interpretasi rendahnya ketinggian air di permukaan tanah dan penurunan pertumbuhan daun padi. Sawah yang memiliki keadaan demikian, diduga berada pada fase pertumbuhan bulir padi maksimum. Sehingga land cover sawah ini disebut sawah fase generatif (Gambar 33c). Gambar 33c. Tampilan Visual dan Horizontal Profile Sawah Fase Generatif pada Citra RGB [HH-HV-(HV/HH)] [kiri dan kanan] Sawah tadah hujan dan sawah irigasi ditampilkan dalam nilai intensitas piksel-piksel yang hampir sama. Hal ini merupakan bukti keterbatasan spektral data medium resolution (hasil rekaman instrumen PALSAR/ALOS) dalam membedakan objek. 5.9. Hasil Klasifikasi K-Means dan Maximum Likelihood Hasil klasifikasi K-means (Gambar 34a) hanya dapat mengkelaskan sawah fase vegetatif. Sawah fase awal tanam dan fase generatif pada klasifikasi K-means masing-masing dikelaskan menjadi kelas air dan kelas kebun pada klasifikasi Maximum Likelihood (Gambar 34b). Hasil klasifikasi Maximum Likelihood dapat membatasi sawah sesuai dengan bentuk galangannya, sedangkan hasil klasifikasi K-means tidak demikian (Gambar 36 dan Tabel 12).

54 Gambar 34a. Peragaan Hasil Klasifikasi K-Means Gambar 34b. Peragaan Hasil Klasifikasi Maximum Likelihood

55 Gambar 35. Keterangan Warna pada Citra Hasil Klasifikasi Maximum Likelihood (a) (b) (c) Gambar 36a. Perbandingan Hasil Ekstraksi Sawah Fase Awal Tanam pada citra AVNIR-2 (a) dan hasil klasifikasi : Maximum Likelihood (b) dan K-Means (c) (a) (b) (c) Gambar 36b. Perbandingan Hasil Ekstraksi Sawah Fase Vegetatif pada citra AVNIR-2 (a) dan hasil klasifikasi : Maximum Likelihood (b) dan K-Means (c)

56 (a) (b) (c) Gambar 36c. Perbandingan Hasil Ekstraksi Sawah Fase Generatif pada citra AVNIR-2 (a) dan hasil klasifikasi : Maximum Likelihood (b) dan K-Means (c) Tabel 12. Perbandingan Hasil Klasifikasi Maximum Likelihood dan K-Means Maximum Likelihood K-Means Menampilkan ketiga fase sawah Hanya menampilkan sawah fase masing-masing sebagai kelas-kelas tersendiri : Sawah Fase Awal Tanam Sawah Fase Vegetatif Sawah Fase Generatif Dapat digunakan untuk estimasi Tidak dapat digunakan untuk luas tanam (Overall Accuration = 62,36%) vegetatif sebagai kelas tersendiri Sawah fase awal tanam dan generatif masing-masing dikelaskan seperti kelas air dan kebun estimasi luas tanam (Overall Accuration = 52%) Nilai overall acuration (Lampiran 7) pada hasil klasifikasi Maximum Likelihood (62,36%) lebih tinggi dibandingkan pada hasil K-Means (52%). Hal ini menunjukkan bahwa hasil klasifikasi Maximum Likelihood lebih baik dan dapat digunakan untuk keperluan estimasi luas produksi padi. Namun karena adanya keterbatasan menampilkan objek, maka hasil estimasi luas produksi padi dari data resolusi medium (data PALSAR/ALOS) belum bisa dijadikan sebagai plot site untuk keperluan tersebut. Data hasil rekaman sensor radar resolusi tinggi diharapkan mampu menjadi plot site yang lebih baik dibandingkan data resolusi medium hasil rekaman satelit ALOS/PALSAR. Hasil perhitungan estimasi terhadap total luas produksi padi adalah sebesar 830,72 Ha (Tabel 13). Angka ini tidak sesuai dengan keterangan pada data Profil

57 Desa di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor tahun 2004. Menurut keterangan pada data tersebut, luas total sawah sebesar 972 Ha. Selisih luas sebesar 141,28 Ha perlu ditelaah melalui pengecekan di lokasi penelitian, yang tidak dilakukan oleh Penulis. Tabel 13. Perhitungan Luas kelas Penutup Lahan Sawah Nama Kelas Npts (piksel) Luas (m 2 ) Luas (Ha) Sawah Fase Awal Tanam 12871 2.011.093,75 201,11 Sawah Fase Vegetatif 17385 2.716.406,25 271,64 Sawah Fase Generatif 22910 3.579.687,5 357,97 Total 53.166 8.307.187,5 830,72