BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Kerangka Pikir Studi...

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah

BAB VII PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI [14]

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB III METODE PENELITIAN

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Cindy P. Welang¹, Windy Mononimbar², Hanny Poli³

Gambar 30. Diagram Konsep Pembagian Ruang

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

LOGO Potens i Guna Lahan

KATA PENGANTAR. Demikian Laporan Akhir ini kami sampaikan, atas kerjasama semua pihak yang terkait kami ucapkan terima kasih. Medan, Desember 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

PERENCANAAN LANSKAP PERMUKIMAN UNTUK MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG CICI NURFATIMAH

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Wilayah Administratif Kabupaten Tanggamus

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi

BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

METODOLOGI. Tabel 1. Jenis, Sumber, dan Kegunaan data No Jenis Data Sumber Data Kegunaan

BAB III TINJAUAN LOKASI DAN WILAYAH

Gambar 2 Peta lokasi studi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

BAB III TINJAUAN WILAYAH

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB 5 RTRW KABUPATEN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Gambar 5 Peta administrasi kota Tangerang Selatan

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

BAB III LANDASAN TEORI

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA)

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

Gambar 1 Lokasi penelitian.

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

[ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN]

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

KAJIAN KEMAMPUAN LAHAN DI KECAMATAN SLOGOHIMO KABUPATEN WONOGIRI

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III PENGENDALIAN LONGSOR Identifikasi dan Delineasi Daerah Rawan Longsor

BAB IV ANALISIS PERANCANGAN

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

19 Oktober Ema Umilia

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Transkripsi:

BAB III METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi dilakukan di kawasan yang terkena dampak dari gempa bumi yang terjadi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada 2 September 2009. Kegiatan penelitian dilakukan selama 8 bulan mulai dari bulan Juni 2010 hingga Januari 2011 pada lokasi seperti yang ditunjukan pada Gambar 2. Kabupaten Bandung Jawa Barat Kecamatan Pangalengan Gambar 2. Lokasi Studi (tanpa skala) (Sumber : www.geospasial.bnpb.go.id)

16 3.2 Metode Proses perencanaan pada lokasi ini terdiri dari empat tahap yaitu tahap persiapan, tahap inventarisasi, tahap analisis, dan tahap perencanaan. 3.2.1 Persiapan Pada tahap ini dilakukan pembuatan rincian kegiatan penelitian, pengurusan administrasi perizinan penelitian, penelusuran sumber data yang dibutuhkan, dan persiapan kebutuhan alat dan bahan untuk penelitian. 3.2.2 Inventarisasi Pada tahap ini dilakukan pengambilan data dan survey tapak. Pengambilan data meliputi aspek fisik, biofisik, dan sosial (Tabel 2.) Tabel 2. Jenis, Spesifikasi, dan Bentuk Data Jenis Data Bentuk Data Sumber Data Interpretasi Data Spasial Atribut Data Umum Peta tata ruang BAPPEDA Tata Ruang Letak geografis dan administratif tapak Bakosurtanal Batas lokasi studi (Kecamatan Pangalengan) Topografi dan kemiringan Bakosurtanal Kelas lereng dan lokasi Iklim mikro BMG Data iklim Geologi Dit. Geologi dan Tata Peta tanah Lingkungan Penutupan lahan Bakosurtanal Peta penutupan lahan Biota (vegetasi) Bakosurtanal Peta vegetasi Data Sosial Demografi BPS Data Sosial digunakan Aktifitas ekonomi BPS untuk membandingkan Tingkat BPS kecenderungan kesejahteraan masyarakat Ketergantungan masyarakat terhadap tapak Lapangan penggunaan lahan yang nyata dengan penggunaan ideal Data primer diperoleh melalui survey lapangan dengan melakukan pengukuran, pemetaan, perekaman hasil wawancara dengan instasi dan penduduk setempat. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Data spasial disajikan dengan menggunakan program Arc View GIS, Adobe Potoshop, dan Corel Draw Graphic.

17 3.2.3 Analisis Analisis pada tahap ini digunakan untuk mengetahui berbagai macam potensi pada tapak mulai dari potensi bahaya, potensi sumberdaya, hingga potensi untuk pengembangan secara fisik. Metode analisis yang digunakan adalah metode METLAND (The Metropolitan Lanscape Planning Model Study) (Fabos dan Caswell, 1976). Metode analisis METLAND terdiri atas 3 (tiga) tahap penilaian dengan memilih variabel tertentu yang digunakan untuk menganalisis nilai-nilai intrinsik dalam karakter lingkungan yang bermanfaat atau menimbulkan bahaya pada lingkungan alam: yaitu Tahap I : Identifikasi Sumberdaya Kritis), Tahap II Identifikasi Zona Bahaya, dan Tahap III : Identifikasi Kesesuaian untuk Pengembangan (Fabos dan Caswell, 1976). Gambar 3 menunjukkan tahapantahapan dalam analisis terhadap masing-masing data. Sedangkan secara lebih rinci variabel analisis untuk setiap tahap disajikan pada Gambar 4. Gambar 3. Framework analisis lanskap untuk keperluan preservasi, perlindungan, dan pengembangan tapak (Modifikasi dari Fabos, 1976)

18 Gambar 4. Komponen Analisis 3.2.3.1. Analisis Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi a. Analisis Air Kriteria penilaian untuk suplai air permukaan dilihat dari jumlah dan kualitas air yang tersedia, konfigurasi topografi, kestabilan lereng, surficial dan material bedrock, karakter erosi, tingkat evaporasi, dan hazard seismic (Fabos dan Caswell, 1976). Kriteria penilaian untuk suplai dan kualitas air bawah tanah disajikan dalam table 3. Tabel 3. Kelas Kualitas Air Bawah Tanah Kelas Keterangan A Terletak pada : 1. Lahan alami (e.g. hutan dan wetland) yang belum pernah dilakukan penyemprotan atau kegiatan yang dapat mengganggu ambang batas kualitas air. 2. Penggunaan area rekreasi tertentu (e.g. lapangan tenis dan pantai) untuk kegiatan yang tidak menimbulkan polusi pada air. B Terletak pada area : 1. Area terbuka yang pernah dilakukan kegiatan penyemprotan hama (e.g. lahan bekas pertanian) 2. Area rekerasi tertentu yang hanya memiliki sedikit struktur permanen, tidak dipupuk, dan sedikit perkerasan. 3. Area penggalian dan pembuangan sampah tertentu C Terletak pada area : 1. Penggunaan untuk jalan, area parkir beraspal, dan /atau septic tank 2. Area rekreasi dan lahan pertanian yang membutuhkan pemupukan berkala dan penyemprotan hama (Sumber : Fabos dan Caswell, 1976)

19 Dalam analisis untuk kawasan sumberdaya air permukaan yang harus dilindungi digunakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006 (Tabel 4). Tabel 4. Kriteria Kawasan Lindung Waduk, Situ dan Mata Air Kawasan Lindung Area Terlindung Waduk dan situ 50 m dari titik pasang tertinggi kea rah darat Mata air Radius 200 m di sekitar mata air (Sumber : BAPPEDA, 2006) b. Analisis Tanah Penentuan kasifikasi kelas lereng dalam analisis untuk tanah di Kecamatan Pangalengan menggunakan klasifikasi yang telah disederhanakan dari van Zuidam dalam Noor (2006) seperti yang ditunjukan oleh Tabel 5. Tabel 5. Klasifikasi Kelas Lereng Kelas lereng 0 2 0 (0-2%) 2-4 0 (2-7%) 4-8 0 (7-15%) Sifat-sifat proses dan kondisi alamiah Datar hingga hampir datar; Tidak ada proses denudasi yang berarti Agak miring; Gerakan tanah kecepatan rendah, erosi lembat dan erosi alur (sheet and rill erosion). Rawan erosi. Miring; sama dengan di atas;, tetapi dengan besaran yang lebih tinggi. Sangat rawan erosi tanah. 8-16 0 Agak curam; erosi dan gerakan tanah lebih sering terjadi. (15-30%) 16-45 0 Curam; proses denudasional intensif, erosi dan gerakan tanah sering terjadi. (35-100%) (Sumber : van Zuidam dalam Noor (2006)) Penentuan kawasan yang perlu dilindungi menggunakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Kriteria Kawasan Lindung Kategori Kawasan Kriteria Hutan lindung - Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbangan mempunyai jumlah nilai (score) 175 atau lebih; dan/atau - Kawasan hutan dengan kelerengan lebih dari 40%; dan/atau - Kawasan hutan dengan ketinggian 2000 mdpl; dan /atau - Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15 %; dan/atau - Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; dan/atau - Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.

20 Lanjutan Tabel 6. Berfungsi lindung di luar hutan lindung - Kawasan berfungsi lindung di luar kawasan hutan lindung dengan faktor-faktor kelerengan, jenis tanah dan curah hujan dengan score antara 125-175;dan/atau - Kawasan dengan curah hujan lebih dari 1000 mm/tahun; dan/atau - Kelerengan di atas 15%; dan/atau - Ketinggian tempat 1000 sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut. Resapan air - Kawasan dengan curah hujan rata-rata lebih dari 1000 mm/tahun; - Lapisan tanahnya berupa pasir halus berukuran minimal 1/16 mm; - Mempunyai kemampuan meluluskan air dengan kecepatan lebih dari 1 meter/hari; - Kedalaman muka air tanah lebih dari 10 meter terhadap muka tanah setempat; - Kelerengan kurang dari 15%; - Kedudukan muka air tanah dangkal lebih tinggi dari kedudukan muka air tanah dalam. (Sumber : BAPPEDA, 2006) 3.2.3.2. Analisis Kerawanan Gempa Bumi Dalam melakukan penilaian terhadap kerawanan gempa bumi digunakan standar yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 Tahapan analisis kerawanan ini terdiri dari pengumpulan informasi-informasi geologi, penilaian terhadap informasi tersebut, dan pemberian bobot nilai untuk mendapatkan skor akhir. Gambar 5 menunjukkan skema alur penilaian kerawanan gempa bumi. Gambar 5. Skema Alur Proses Penilaian Kerawanan Gempa Bumi

21 a) Sifat fisik batuan Sifat fisik batuan dapat menunjukan kondisi kekuatan batuan saat menerima tekanan atau beban. Semakin kuat batuan tersebut menerima beban dan tekanan maka kawasan tersebut dapat lebih tahan atau stabil ketika terjadi gempa bumi. Terdapat 4 kelompok batuan dalam penilaian sifat fisik batuan seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Klasifikasi Batuan Kelompok Batuan andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik, aglomerat, breksi sedimen dan konglomerat batupasir, tuf kasar, batulanau, arkose, greywacke dan batugamping pasir, lanau, batulumpur, napal, tuf halus dan serpih lempung, lumpur, lempung organik dan gambut. b) Kemiringan lereng Sifat Fisik Kompak Tidak Kompak Informasi kemiringan lereng yang dipakai untuk zonasi kerawanan bencana ini, memakai klasifikasi lereng yang dibuat oleh Van Zuidam (1988) pada Tabel 8. Tabel 8. Klasifikasi Kemiringan Lereng Kemiringan Lereng (%) Klasifikasi Lereng Kestabilan 0-2 Datar 2-7 Landai Stabil 7-15 Miring 15-30 Agak curam 30-70 Curam Potensi longsor 70-100 Sangat curam c) Kegempaan Faktor Kegempaan merupakan informasi yang menunjukkan tingkat intensitas gempa, baik berdasarkan skala Mercalli, anomali gaya berat, maupun skala Richter (Tabel 9). Tabel 9. Faktor Kegempaan MMI α Richter I, II, III, IV, V < 0,05 g < 5 VI, VII 0,05 0,15 g 5 6 VIII 0,15 0,30 g 6 6,5 IX, X, XI, XII > 0,30 g > 6,5

22 d) Struktur Geologi Struktur geologi merupakan pencerminan seberapa besar suatu wilayah mengalami deraan tektonik. Semakin rumit struktur geologi yang berkembang di suatu wilayah, menunjukkan bahwa wilayah tersebut cenderung sebagai wilayah yang tidak stabil. Beberapa struktur geologi yang dikenal adalah berupa kekar, lipatan dan patahan/ sesar. Pada dasarnya patahan akan terbentuk dalam suatu zona, jadi bukan sebagai satu tarikan garis saja. Pengkajian kerawanan terhadap bencana menggunakan satuan jarak terhadap zona sesar untuk penentuan kestabilan. Tabel 10 menjelaskan kestabilan kawasan terhadap jarak pada sesar. Tabel 10. Kestabilan Wilayah Terhadap Jarak Pada Sesar Jarak Sesar <100 m Tidak stabil 100 m 1000 m Kurang stabil >1000 m Stabil Kestabilan e) Nilai Kemampuan Nilai kemampuan yang diberikan dalam setiap analisis adalah dari angka 1 hingga 4. Nilai 1 adalah untuk wilayah yang paling stabil terhadap bencana geologi. Nilai 4 adalah nilai untuk daerah yang tidak stabil terhadap bencana alam geologi. Tabel 11 menjelaskan urutan nilai kemampuan yang diberikan untuk penentuan skoring kestabilan wilayah. Tabel 11. Klasifikasi nilai kemampuan Nilai kemampuan Klasifikasi 1 Tinggi 2 Sedang 3 Rendah 4 Sangat rendah f) Pembobotan Pembobotan yang diberikan dalam setiap analisis adalah dari angka 1 hingga 5. Nilai 1 artinya tingkat kepentingan informasi geologi yang sangat tinggi atau informasi geologi tersebut adalah informasi yang paling diperlukan untuk mengetahui zonasi bencana alam. Tabel 12 menjelaskan urutan pembobotan yang diberikan dalam zonasi kawasan rawan bencana.

23 Tabel 12. Pembobotan Pembobotan Klasifikasi 1 Kepentingan sangat rendah 2 Kepentingan rendah 3 Kepentingan sedang 4 Kepentingan tinggi 5 Kepentingan sangat tinggi Setiap kelas informasi mendapat pembobotan yang berbeda-beda sesuai keperluan pada penelitian ini. Penilaian Sifat Fisik Batuan diberi bobot 3 atau kepentingan sedang karena. Penilaian Kemiringan Lereng diberi bobot 3 atau kepentingan sedang karena potensi longsor dapat dihindari pada area dengan kondisi vegetasi konservasi yang baik. Penilaian Kegempaan diberi bobot 4 atau kepentingan tinggi karena Kecamatan Pangalengan mengalami dampak yang cukup besar meskipun terletak jauh dari pusat gempa. Penilaian Struktur Geologi diberi bobot 5 atau kepentingan sangat tinggi karena lokasi keberadaan patahan gempa harus sangat dihindari dari pembangunan struktur. g) Skoring Skoring merupakan perkalian antara pembobotan dengan nilai kemampuan, dan dari hasil perkalian tersebut dibuat suatu rentang nilai kelas yang menunjukkan nilai kemampuan lahan didalam menghadapi bencana alam kawasan rawan gempa bumi dan kawasan rawan letusan gunung berapi. Dengan demikian matriks pembobotan untuk kestabilan terhadap kawasan rawan gempa bumi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13. Rentang skor dan pembagian tipe kerawanan gempa ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 13. Matriks pembobotan untuk kestabilan wilayah terhadap kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi dengan informasi geologi yang diperhitungkan. No Informasi Geologi Kelas Informasi Nilai Kemampuan Bobot Skor 1a. Andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik, aglomerat, breksi sedimen, 1 konglomerat 1 Geologi (Sifat Fisik dan Keteknikan Batuan) 1b. Batupasir, tufa kasar, batulanau, arkose, greywacke, batugamping 2 1c. Pasir, lanau, batulumpur, napal, tufa halus, serpih 3 1d. Lempung, lumpur, lempung organik, gambut 4 3

24 Lanjutan Tabel 13. 2 Kemiringan lereng 2a. Datar - Landai (0-7 %) 1 2b. Miring - Agak curam (7-30 %) 2 2c. Curam - Sangat Curam (30-140 %) 3 2d. Terjal (>140 %) 4 3 I, II, III, IV, V <0,05 g < 5 1 3 Kegempaan VI, VII 0,05-0,15 g 5-6 2 4 VIII 0,15-0,30 g 6-6,5 3 IX, X, XI, XII > 0,30 g > 6,5 4 4a. Jauh dari zona sesar 1 4b. Dekat dengan zona sesar (100-2 4 Struktur Geologi 1000 m dari zona sesar) 5 4c. Pada zona sesar (<100 m dari zona sesar) 3 Tabel 14. Tipologi Kawasan Rawan Gempa Bumi Skor Tipologi 31-35 A 36-40 B 41-45 C 46-50 D 51-55 E 57-60 F Masing-masing tipologi kerawanan memiliki pengertian. Tabel 15 menjelaskan pengertian dari setiap klasifikasi tipologi yang dihasilkan oleh matriks pembobotan. Tabel 15. Klasifikasi Kawasan Rawan Gempa Bumi Tipologi Tipe A Pengertian Kawasan ini berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat. Tipe B 1) Faktor yang menyebabkan tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi disebabkan oleh lebih dari satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi (MMI VIII) dan sifat fisik batuan menengah. 2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk bangunan dengan konstruksi sederhana.

25 Lanjutan Tabel 15. Tipe C Tipe D Tipe E Tipe F 1) Terdapat paling tidak dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan tinggi pada kawasan ini. Kombinasi yang ada antara lain adalah intensitas gempa tinggi dan sifat fisik batuan lemah; atau kombinasi dari sifat fisik batuan lemah dan berada dekat zona sesar cukup merusak. 2) Kawasan ini mengalami kerusakan cukup parah dan kerusakan bangunan dengan konstruksi beton terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar. 1) Kerawanan gempa diakibatkan oleh akumulasi dua atau tiga faktor yang saling melemahkan. Sebagai contoh gempa pada kawasan dengan kemiringan lereng curam, intensitas gempa tinggi dan berada sepanjang zona sesar merusak; atau berada pada kawasan dimana sifat fisik batuan lemah, intensitas gempa tinggi, di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami cukup merusak. 2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan parah untuk segala bangunan dan terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar. 1) Kawasan ini merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami merusak. Sifat fisik batuan dan kelerengan lahan juga pada kondisi yang rentan terhadap goncangan gempa. 2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa. 1) Kawasan ini berada pada kawasan landaan tsunami sangat merusak dan di sepanjang zona sesar sangat merusak, serta pada daerah dekat dengan episentrum dimana intensitas gempa tinggi. Kondisi ini diperparah dengan sifat fisik batuan lunak yang terletak pada kawasan morfologi curam sampai dengan sangat curam yang tidak kuat terhadap goncangan gempa. 2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa. 3.2.3.3. Analisis Kesesuaian Pengembangan Pada tahap ini diperoleh hasil keluaran berupa kawasan yang sesuai untuk berbagai jenis pengembangan. Kelas lereng digunakan untuk mendukung pengembangan yang sesuai pada kawasan berdasarkan karakter lahan (Tabel 16). Tabel 16. Kesesuaian Pengembangan Berdasarkan Kelas Lereng Kelas Lereng Karakter dan Kesesuaian Lahan 0 5% Lahan bertopografi datar, sangat sesuai untuk dikembangkan menjadi areal permukiman dan pertanian. Sebagian areal berpotensi terhadap genangan banjir dan sebagian berpotensi terhadap drainase yang buruk. 5 15% Lahan bertopografi landai; kurang sesuai untuk pembangunan lapangan terbang atau areal industry berat; irigasi yang terbatas namun baik untuk pengembangan pertanian keras. Lahan yang sesuai untuk dikembangan menjadi permukiman, perkantoran, dan areal bisnis dengan drainase baik. 15 30% Lahan bertopografi bergelombang; kurang sesuai untuk areal pertanian karena masalah erosi; namun lahan dengan kemiringan lereng diatas 20% dapat dimanfaatkan untuk areal pertanian dengan jenis tanaman tertentu. Lahan ini juga baik untuk pengembangan industry ringan, komplek perumahan, dan untuk fasilitas rekreasi.

26 Lanjutan Tabel 16. 30 50% Lahan bertopografi terjal; cocok untuk dikembangkan menjadi tempat tinggal dengan cara cluster; pariwisata dengan intensitas rendah dan lahan yang cocok untuk hutan dan padang rumput. >50% Lahan bertopografi sangat terjal; tempat yang sesuai untuk kehidupan satwa liar dan tanaman hutan lindung serta padang rumput yang terbatas; tidak sesuai untuk areal real estate karena topografi yang terlalu terjal. (Sumber : Noor (2006)) 3.2.4 Sintesis Pada tahap ini ditentukan zonasi kawasan yang sesuai untuk pengembangan permukiman dan dapat mengurangi resiko dampak bencana gempa bumi yang ditimbulkan. Yang diutamakan dikembangkan dalam tapak adalah pola tata ruang. Hasil dari tahapan ini adalah gambar alternative ruang. Dalam Chiara dan Koppleman (1978), terdapat beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan tapak untuk perumahan, yaitu : a. Kondisi tanah dan bawah tanah; b. Air tanah dan drainase; c. Keterbebasan dari banjir permukaan; d. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan; e. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi; f. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka; g. Keterbebasan dari bahaya kecelakaan; h. Ketersediaan pelayanan saniter dan perlindungan; i. Keterbebasan dari bahaya dan gangguan setempat. Pengaturan zonasi tata ruang permukiman di kawasan rawan gempa bumi mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa sesuai dengan tipologi kerawanan gempa bumi yang dihasilkan proses analisis (Tabel 17).

27 Tabel 17. Aturan Zonasi Kawasan Rawan Gempa Bumi Tipologi Kawasan A B Aturan Zonasi Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan beton bertulang maupun tidak bertulang b. Kepadatan bangunan tinggi (> 60 unit/ha), sedang (30-60 unit/ha), dan rendah (<30unit/Ha) c. Pola permukiman dapat mengelompok maupun menyebar Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB>70;KLB>200) hingga rendah (KDB<50;KLB <100) Diizinkan untuk kegiatan industri,pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri besar, sedang, maupun kecil Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata agro kultural Diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan beton bertulang; kepadatan bangunan sedang dan rendah; pola permukiman menyebar b. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan tinggi, sedang, dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar c. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan tinggi, sedang, dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100) Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat yaitu: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri besar, sedang, maupun kecil Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata agro kultural. Diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir.

28 Lanjutan Tabel 17. C D Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya. Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan sedang dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar. b. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan sedang dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar. Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100) Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri sedang dan kecil Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata agro kultural. Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan rendah; pola mengelompok dan menyebar b. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan rendah; pola permukiman dan menyebar Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Kepadatan bangunan sedang (KDB 50-70; KLB 100-200) Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu : a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri kecil Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep pelestarian lingkungan. Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata agro kultural E Ditentukan sebagai kawasan lindung F Ditentukan sebagai kawasan lindung 3.2.5 Perencanaan Tahap perencanaan merupakan perwujudan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Konsep yang telah ditentukan dikembangkan dalam bentuk rencana tata ruang, vegetasi, fasilitas/utilitas, program mitigasi, dan pengelolaan kawasan. Hasil dari tahap ini berupa gambar Landscape Plan.

29 Konsep yang direncanakan adalah tata ruang permukiman yang memudahkan dalam proses evakuasi bencana dan meminimalisir kerugian akibat bencana. Penentuan tata ruang kawasan mengacu pada ketentuan zonasi berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa (Tabel 18). Tabel 18. Peruntukan Ruang Kawasan Gempa Bumi Berdasarkan Tipologi Kawasan. Peruntukan Ruang Tipologi Kawasan A B C D E F Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Hutan Produksi Hutan Kota Hutan Rakyat Pertanian Sawah Pertanian Semusim Perkebunan Peternakan Perikanan Pertambangan Industri Pariwisata Permukiman Perdagangan dan Perkantoran Keterangan : = Dapat dibangun dengan syarat = Tidak dapat dibangun Tabel 19. Arahan Struktur Ruang Kawasan Rawan Gempa Bumi. Peruntukan Tipologi Kawasan Ruang A B C D E F Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Pusat Hunian Jaringan Air Bersih Drainase Sewerage Sistem Pembuangan Sampah Jaringan Transportasi Lokal

30 Lanjutan Tabel 19. Jaringan Telekomunikasi Jaringan Listrik Jaringan Energi Keterangan : = Dapat dibangun dengan syarat = Tidak dapat dibangun Rencana tata ruang yang disusun berupa : 1. Rencana Permukiman (Sarana Penghunian, Sarana Pendidikan, Sarana Kesehatan, Sarana Olahraga dan Daerah Terbuka, Sarana Peribadatan). Permukiman dibangun dengan pola yang sesuai dalam zonasi berdasarkan tipologi kerawanan gempa bumi. Tabel 20. Standar Kebutuhan Sarana Kesehatan No Jenis Sarana Jumlah Penduduk Pendukun g (jiwa) Kebutuhan per satuan sarana Luas Luas lantai lahan (m2) (m2) Standar (m2/jiw a) Radius pencapaia n (m) Kriteria Lokasi dan Penyelesaia n 1 Posyandu 1.250 36 60 0,048 500 Di tengahtengah kelompok tetangga dan tidak menyebrang jalan raya 2 Balai Pengobatan Warga 3 BKIA / Klinik bersalin 4 Puskesmas Pembantu dan Balai Pengobatan Lingkungan 5 Puskesmas dan Balai Pengobatan 2.500 150 300 0,12 1000 Di tengah kelompok ketetanggan tidak menyebrang jalan raya 30.000 1.500 3.000 0,1 4000 Dapat dijangkau dengan Ket Dapat bergabung dengan balai warga atau sarana hunian Dapat bergabung dengan balai warga 30.000 150 300 0,006 1.500 kendaraan Dapat umum bergabung dengan kantor kelurahan 120.000 420 1000 0,008 3.000 Dapat bergabung dengan kantor kecamatan

31 Lanjutan Tabel 20. 6 Tempat praktek dokter 7 Apotik/rum ah obat 5.000 18 - - 1.500 Dapat bersatu dengan rumah tinggal/temp at usaha/apotik 30.000 120 250 0,025 1.500 (Sumber : SNI 03-1733-2004) Tabel 21. Standar Kebutuhan Taman, Tempat Main dan Lapangan Olahraga No Jenis Minimum penduduk pendukung 1 Taman, tempat main 2 Taman, tempat main 3 Taman, tempat main dan lap, olahraga 4 Taman, tempat main dan lap. Olahraga 250 penduduk Lokasi Ditengah-tengah kelompok perumahan Luas Tanah Radius pencapaian Standar 250 m2 200 m 1 m2/p 2.500 p Di pusat kegiatan RW 1.250 m2 500 m 0,5 m2/p 30.000 p Dikelompokkan dengan sekolah 450.000 p Dikelompokkan dengan sekolah 9.000 m2-0,3 m2/p 24.000-0,2 m2/p 5 Taman, 480.000 p Dapat di pusat 124.000-0,3 m2/p tempat wilayah dan m2 main dan merupakan zona yang lap. lain dari pusat Olahraga wilayah 6 Jalur hijau Menyebar 15 m2/p (Sumber : Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, 1983) 2. Rencana Sirkulasi (Jaringan transportasi lokal) Pada umumnya hierarki jalan terdiri dari jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan lokal. Menurut Miro (1997) dalam Sarusuk (2006), peran dan fungsi masingmasing jalan tersebut, yaitu : a. Jalan Arteri : Jalan yang melayani rute jarak jauh dengan kecepatan ratarata tinggi dan jumlah masuk masih dibatasi secara efisien; b. Jalan Kolektor : jalan yang melayani rute jarak sedang dengan kecepatan rata-rata sedang dan jumlah masuk masih dibatasi;

32 c. Jalan Lokal : jalan yang melayani angkutan jarak dekat dengan kecepatan rata-rata rendah dan jumlah masuk yang tidak dibatasi. 3. Rencana Drainase. Standar perencanaan mengacu pada Pedoman Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota. Di dalam pusat hunian selain rencana permukiman akan dikembangkan pula beberapa konsep perencanaan, yaitu : 1. Rencana Jalur Evakuasi Jalur evakuasi yang direncanakan berupa jalur jalan yang dapat dengan mudah membantu penduduk untuk bergerak atau menyelamatkan diri ke areaarea yang digunakan sebagai lokasi evakuasi sementara. Jalur jalan dibuat dengan pola yang tidak rumit atau tidak berkelok-kelok. Tanda penunjuk jalan yang digunakan harus mudah dipahami oleh penduduk. 2. Rencana Titik Evakuasi Titik evakuasi yang direncanakan berupa ruang-ruang terbuka dan bangunan serba guna yang tahan gempa. Titik-titik evakuasi ini harus mudah dijangkau oleh penduduk dan dilengkapi dengan fasilitas yang bisa berfungsi dalam kondisi darurat. Dalam menentukan tata letak setiap elemen yang diperlukan dalam suatu permukiman digunakan standar kesesuaian lahan berdasarkan kemiringan lereng seperti yang ditunjukkan pada Tabel 22. Tabel 22. Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng Peruntukkan Kelas Kemiringan Lereng (%) Lahan 0-3 3-5 5-10 10-15 15-20 20-30 30-40 >40 Jalan Raya Parkir Taman Bermain Area Perdagangan Drainase Permukiman Trotar Resapan Septik Tangga Umum Rekreasi (Sumber : Marsh, 1991)