BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

dokumen-dokumen yang mirip
Kata Kunci: loneliness, istri yang ditinggal meninggal suami

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

PERBEDAAN TINGKAT KESEPIAN BERDASARKAN STATUS PADA WANITA DEWASA AWAL. Dwi Rezka Kemala. Ira Puspitawati, SPsi, Msi

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. muda. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi pada setiap tahun ajaran baru, puluhan

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

2015 PENGARUH DATING ANXIETY DAN KESEPIAN TERHADAP ADIKSI INTERNET PADA DEWASA AWAL LAJANG DI KOTA BANDUNG

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya senantiasa membutuhkan orang lain.kehadiran orang lain bukan hanya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Komisi Remaja adalah badan pelayanan bagi jemaat remaja berusia tahun. Komisi

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB 1 PENDAHULUAN. lain. Sejak lahir, manusia sudah bergantung pada orang lain, terutama orangtua

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. adalah intimancy versus isolation. Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gambaran Kepuasan..., Dini Nurul Syakbani, F.PSI UI, 2008

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis merupakan dambaan setiap

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. tugas dan sumber-sumber ekonomi (Olson and defrain, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini seringkali ditemukan seorang ibu yang menjadi orang tua

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PERIODE EMPTY-NEST. Oleh: MARIA NUGRAHENI MARDI RAHAYU

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluarga merupakan unit pelayanan kesehatan yang terdepan dalam

PENGERTIAN TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN adalah tugas - tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa-masa tertentu sesuai dengan norma-norma masyar

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang didalamnya mencakup hubungan seksual, pengasuhan anak, serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada kalanya hubungan pernikahan yang telah terjalin harus berakhir. Secara umum, berakhirnya pernikahan dapat terjadi melalui lima cara, yaitu kematian salah satu atau kedua pasangan secara alami, pembatalan secara hukum, desertion, separation, dan perceraian (Duval & Miller, 1985). Putusnya hubungan pernikahan merupakan perpisahan yang dapat menimbulkan dampak yang besar bagi kehidupan pihak yang berpisah. Pihak yang berpisah tentunya memerlukan kesiapan mental agar mampu menghadapinya, terutama bagi mereka yang mengalami putusnya hubungan pernikahan karena kematian pasangan. Kematian pasangan merupakan kehilangan yang paling sulit, dimana kematian pasangan dapat mengakibatkan rasa duka cita yang mendalam selama jangka waktu tertentu dan merupakan krisis yang sangat sulit untuk pasangan yang masih hidup (Santrock, 2002). Perpisahan yang disebabkan kematian merupakan perpisahan untuk selamanya, individu yang ditinggalkan tidak dapat bertemu atau berkomunikasi lagi dengan pasangannya. Ditambah pula kematian merupakan kejadian yang 1

2 berada diluar kehendak manusia, sehingga individu yang ditinggalkan memerlukan kesiapan mental yang lebih. Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) didapatkan bahwa sampai dengan tahun 2013 terdapat 9,94% wanita yang mengalami kematian pasangan dan belum menikah kembali. Sebanyak 2,16% pria mengalami kematian pasangan dan belum menikah kembali. Data tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak wanita dibandingkan pria yang mengalami kematian pasangan dan belum menikah kembali. Bagi suami yang ditinggal meninggal istrinya, kemungkinan untuk menikah kembali akan lebih besar bila dibandingkan dengan istri yang ditinggal meninggal suami. Istri yang ditinggal meninggal suami yang berusia muda memang memiliki kemungkin untuk menikah kembali, namun kemungkinan tersebut lebih kecil bagi istri yang ditinggal meninggal suami yang berusia lebih tua. Terutama bagi istri yang sudah memiliki beberapa anak. (Hunt & Hunt, 1977). Tidak hanya kemungkinan yang relatif lebih kecil untuk menikah kembali, di sisi lain istri yang ditinggal meninggal suami akan mengalami berbagai macam masalah. Hal ini dialami pula oleh istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya. Wawancara dilakukan kepada 10 orang istri yang yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya, sebanyak 7 orang (70%) istri yang ditinggal meninggal suami mengalami masalah dalam hal perekonomian. Setelah ditinggal meninggal suami, permasalahan yang dialami berupa pemasukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dirasa berkurang. Hal tersebut membuat istri yang

3 ditinggal meninggal suami mulai mencari pekerjaan atau bekerja lebih keras lagi. Istri yang ditinggal meninggal suami mulai mengatur kembali pengeluaran yang dibutuhkan keluarganya agar lebih sesuai dengan pendapatan yang diperoleh. Sedangkan 30% istri yang ditinggal meninggal suami tidak mengalami masalah dalam perekonomian karena adanya uang tunjangan dari pekerjaan suami atau karena sebelumnya istri yang ditinggal meninggal suami sudah memiliki penghasilan yang dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebanyak 6 orang (60%) istri yang ditinggal meninggal suami mengalami kesulitan ketika menjalankan peran ganda, yaitu sebagai ibu sekaligus sebagai ayah. Pada awalnya peran utama istri yang ditinggal meninggal suami adalah sebagai ibu, mereka dipertanggungjawabkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sekarang Istri yang ditinggal meninggal suami berperan sebagai ayah pula, artinya tugas dan tanggung jawab istri yang ditinggal meninggal suami bertambah. Istri yang ditinggal meninggal suami harus mengurusi pekerjaan rumah tangga sekaligus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sedangkan 4 orang (40%) istri yang ditinggal meninggal suami tidak mengalami kesulitan ketika menjalankan peran ganda karena adanya bantuan dari keluarga yang dirasa cukup membantu untuk mengurusi pekerjaan rumah tangga. Selain menghadapi berbagai macam masalah setelah kematian pasangan, istri yang ditinggal meninggal suami juga harus beradaptasi terhadap grief yang dialami. Sanders (1998) mengungkapkan bahwa grief adalah penderitaan emosional yang kuat dan mendalam, yang dialami seseorang akibat peristiwa kehilangan seperti kematian orang yang dicintai. Istri yang ditinggal meninggal

4 suami tidak begitu saja dapat langsung beradaptasi terhadap grief yang dialaminya. Selama istri yang ditinggal meninggal suami belum berhasil untuk beradaptasi terhadap grief yang dialami maka akan menimbulkan dampak lainnya, salah satu dampaknya adalah loneliness (Duval & Miller, 1985). Menurut Perlman dan Peplau (1981) loneliness adalah pengalaman yang tidak menyenangkan yang terjadi ketika kurangnya hubungan sosial seseorang baik secara kualitas atau kuantitas. Loneliness ini terdiri atas tiga aspek, yaitu need for intimacy, cognitive processes, dan social reinforcement. Aspek need for intimacy merupakan kebutuhan akan keintiman dengan pasangan ataupun dengan orang lain dalam hubungan yang dibina oleh istri yang ditinggal meninggal suami. Aspek ini menekankan pada kebutuhan akan keintiman atau kedekatan pada istri yang ditinggal meninggal suami. Aspek cognitive processes merupakan persepsi dan evaluasi terhadap hubungan sosial yang dibina, aspek ini menekankan pada persepsi dan evaluasi istri yang ditinggal meninggal suami terhadap hubungan sosial yang dibina. Dalam cognitive processes terdapat tiga hal yang memodulasi loneliness, yaitu attribution (locus of causality) (penyebab dan seberapa lama loneliness yang dialami bertahan dari waktu ke waktu), social comparison (perbandingan situasi yang dialami dengan situasi orang lain yang serupa), dan personal control (kontrol untuk meningkatkan kembali hubungan sosial yang aktual). Aspek social reinforcement merupakan aspek penguatan sosial yang menitikberatkan bahwa hubungan sosial yang memuaskan dapat dianggap sebagai suatu bentuk reinforcement. Reinforcement ini dapat berupa penerimaan, bantuan, perhatian,

5 atau dukungan dari teman teman, saudara, tetangga, organisasi, perkumpulan yang dianggap memuaskan oleh istri yang ditinggal meninggal suami. Berdasarkan survei awal yang dilakukan pada 10 istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya. Sebanyak 7 orang (70%) istri yang ditinggal meninggal suami mengatakan bahwa sampai sekarang mereka sering mengalami loneliness setelah kematian pasangan. Berdasarkan hasil wawancara, istri yang ditinggal meninggal suami yang sering mengalami loneliness mengungkapkan bahwa sampai sekarang mereka masih merindukan perhatian, canda tawa, kasih sayang dari suami yang sudah meninggal. Masih teringat kepada suami yang biasa menemaninya, misalnya ketika menghadiri suatu acara atau berkumpul bersama dengan anggota keluarga lainnya, biasanya ada suami yang menemani. Kemudian, ketika melakukan aktivitas yang biasa dilakukan bersama seperti berwisata, menonton TV, makan bersama. Terutama ketika menghadapi masalah atau beban yang harus dihadapi, dimana biasanya istri yang ditinggal meninggal suami ini akan bercerita kepada pasangan dan menghadapinya bersama-sama (need for intimacy). Istri yang ditinggal meninggal suami juga menilai bahwa kehidupan mereka lebih baik ketika suaminya masih hidup. Sekarang istri yang ditinggal meninggal suami menilai bahwa sekarang tidak ada lagi suami yang biasa menemani, tidak ada tempat berbagi suka dan duka, tempat bercerita mengenai masalah-masalah yang dihadapi. Istri yang ditinggal meninggal suami juga menilai bahwa sekarang mereka harus menghadapi semuanya sendirian dan lebih banyak menyimpan masalah yang dihadapi, misalnya masalah mengenai anak-

6 anak dan perekonomian keluarga. Istri yang ditinggal meninggal suami masih mengharapkan adanya suami yang selalu menemani dan membantu (cognitive processes). Istri yang ditinggal meninggal suami memang merasakan adanya kepedulian dari keluarga, teman, sahabat dan tetangga seperti menanyakan kondisi mereka, adanya bantuan untuk mengurangi beban atau masalah yang dihadapi, adanya kesediaan untuk mendengarkan cerita. Kemudian, adanya penerimaan dari keluarga, teman, tetangga, organisasi dan perkumpulan di tempat tinggal atau tempat ibadah yang diikuti oleh istri yang ditinggal meninggal suami. Istri yang ditinggal meninggal suami memang cukup merasa terbantu dengan adanya penerimaan, perhatian dan bantuan yang diterima dari orang-orang disekelilingnya, namun istri yang ditinggal meninggal suami merasa lebih terbantu dan lebih puas ketika adanya bantuan dan kepedulian dari suami (social reinforcement). Sisanya, sebanyak 3 orang (30%) istri yang ditinggal meninggal suami jarang mengalami loneliness. Berdasarkan hasil wawancara kepada istri yang ditinggal meninggal suami yang jarang mengalami loneliness, didapatkan bahwa hanya pada waktu tertentu saja istri yang ditinggal meninggal suami teringat akan perhatian, kasih sayang, canda tawa dari suami mereka (need for intimacy). Istri yang ditinggal meninggal suami sudah dapat menerima kenyataan bahwa suami mereka tidak dapat menemani lagi. Kemudian, istri yang ditinggal meninggal suami menilai bahwa mereka memiliki tempat berbagi cerita, berbagi suka dan duka. Adanya bantuan dari keluarga, sahabat, dan teman yang sesuai

7 dengan yang diharapkan oleh istri yang ditinggal meninggal suami (cognitive processes). Istri yang ditinggal meninggal suami merasa puas dan terbantu atas penerimaan, perhatian dan bantuan dari keluarga, sahabat, tetangga. Terutama bantuan dan perhatian dari keluarga kepada istri yang ditinggal meninggal suami. Bantuan tersebut berupa bantuan finansial dari keluarga, adanya perhatian seperti menanyakan kondisi dari istri yang ditinggal meninggal suami, keluarga yang rutin mengunjungi istri yang ditinggal meninggal suami, dan kesediaan mendengarkan cerita dari istri yang ditinggal meninggal suami (social reinforcement). Derajat loneliness yang dialami oleh istri yang ditinggal meninggal suami dapat bervariasi, mulai dari derajat yang tergolong rendah sampai dengan derajat yang tergolong tinggi. Derajat loneliness yang tergolong tinggi dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan fisik maupun kesehatan mental. Menurut Perlman dan Peplau (1981) loneliness dapat terwujud ke dalam kategori afektif, motivasional, kognitif, tingkah laku, masalah sosial dan kesehatan. Perwujudan afektif dapat berupa merasa gelisah, depresi, merasa bosan, dan tegang yang disertai dengan tanda tanda fisik seperti gangguan makan atau tidur, sakit kepala, mudah sakit. Pada perwujudan motivasional, loneliness dapat menurunkan atau meningkatkan untuk memulai relasi sosial. Pada perwujudan kognitif, istri yang ditinggal meninggal suami dapat mengalami kesulitan berkonsentrasi, pikiran yang terus terfokus pada diri sendiri. Istri yang ditinggal meninggal suami juga lebih banyak terlibat dalam tingkah laku seperti menangis,

8 tidur, makan, atau menonton televisi secara terus-menerus. Kemudian, istri yang ditinggal meninggal suami dapat mengalami masalah sosial dan kesehatan seperti perilaku mengonsumsi minuman beralkohol, ketergantungan obat obatan, perkelahian, bahkan tindakan bunuh diri. Ketika merasakan loneliness, segala upaya dilakukan oleh istri yang ditinggal meninggal suami untuk mengatasi loneliness yang dialami. Rubenstein dan Shaver mengungkapkan bahwa terdapat empat macam coping terhadap loneliness, yaitu sad passivity, active solitude, spending money, social contact. Menurut pengamatan peneliti, Kota Tasikmalaya mendukung masyarakatnya untuk melakukan coping tipe active solitude. Active solitude merupakan usaha yang konstruktif untuk mengurangi derajat loneliness, dimana istri yang ditinggal meninggal suami dapat menghabiskan waktu dengan membaca, berolahraga, bekerja, atau terlibat dalam kegiatan keagamaan. Hal ini dapat dilihat pada motto Kota Tasikmalaya yang menyebutkan bahwa Kota Tasikmalaya ini adalah kota dengan masyarakatnya yang religius sehingga menjadi kota yang masyarakatnya iman dan taqwa. Motto lainnya seperti menunjang sarana dan prasarana yang memadai sehingga menjadi kota yang sehat jasmani, rohani, sosial dan spiritual. Berdasarkan pemaparan di atas dapat dilihat bahwa istri yang ditinggal meninggal suami memerlukan kesiapan mental untuk menghadapi berbagai perubahan dan masalah yang muncul, sekaligus beradaptasi terhadap grief yang dialami. Loneliness yang dialami juga memiliki dampak negatif terhadap kesehatan fisik maupun kesehatan mental yang dapat mengganggu istri yang

9 ditinggal meninggal suami untuk melakukan aktivitas sehari hari. Di sisi lain, istri yang ditinggal meninggal suami harus merencanakan masa depannya dan berjuang untuk melanjutkan kehidupannya, seperti bekerja, mengurus pekerjaan rumah tangga atau melakukan aktivitas lainnya. Kemudian, ditambah pula jika istri yang ditinggal meninggal suami masih memiliki anak yang masih bergantung kepadanya. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian mengenai derajat lonliness pada istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya. 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui mengenai derajat loneliness pada istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya. 1.3 Maksud dan Tujuan 1.3.1 Maksud Penelitian Untuk memperoleh gambaran mengenai loneliness pada istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya.

10 1.3.2 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui derajat loneliness dilihat dari aspek aspek loneliness yaitu need for intimacy, cognitive processes, dan social reinforcement pada istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya dalam kaitannya dengan faktor faktor yang membuat individu lebih rentan terhadap loneliness. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis Menambah ilmu pengetahuan dalam bidang psikologi klinis, khususnya memberikan informasi mengenai loneliness pada istri yang ditinggal meninggal suami. Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai loneliness, terutama loneliness pada istri yang ditinggal meninggal suami. 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberi informasi kepada para istri yang ditinggal meninggal suami mengenai gambaran loneliness yang dialaminya sebagai bahan untuk lebih memahami diri, mengingat dampak dampak negatif dari loneliness.

11 Memberi informasi kepada keluarga atau orang orang yang berada di sekitar istri agar dapat memberikan dukungan dan penerimaan terhadap istri yang ditinggal meninggal suami. Memberikan informasi kepada lembaga atau organisasi yang berkecimpung dalam penanganan wanita mengenai gambaran loneliness pada istri yang ditinggal meninggal suami. Lembaga atau organisasi dapat membentuk kegiatan kegiatan yang menunjukkan adanya penerimaan, kepedulian, dan dukungan, hal tersebut dapat memberikan dampak positif kepada istri yang ditinggal meninggal suami. 1.5 Kerangka Pemikiran Kematian pasangan merupakan kejadian yang berada di luar kehendak manusia dan merupakan kejadian yang tidak dapat diduga. Kematian pasangan juga tentunya dapat menimbulkan perubahan yang besar bagi pihak yang ditinggalkan, dimana perubahan ini dialami pula oleh istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya. Pada istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya, kematian pasangan dapat dikatakan sebagai precipitating event. Precipitating event adalah peristiwa yang dapat menimbulkan perubahan dalam hubungan sosial. Menurut Perlman dan Peplau, precipitating event ini dapat terjadi melalui dua macam perubahan. Pertama, perubahan yang disebabkan karena menurunnya relasi aktual sampai dibawah tingkat yang optimal. Kedua, disebabkan karena seiring dengan bertambahnya usia maka kebutuhan sosial akan

12 berubah pula, namun perubahan kebutuhan sosial ini tidak diikuti dengan penyesuaian pada hubungan sosial yang aktual. Dalam penelitian ini, perubahan yang dialami oleh istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya lebih disebabkan karena menurunnya relasi aktual sampai dibawah tingkat yang optimal karena kematian pasangan. Di samping mengalami berbagai perubahan setelah kematian pasangan, istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya juga akan mengalami grief. Sanders (1998) mengungkapkan bahwa grief adalah penderitaan emosional yang kuat dan mendalam, yang dialami seseorang akibat peristiwa kehilangan seperti kematian orang yang dicintai. Penelitian di beberapa negara menemukan bahwa ketika mengalami kematian pada orang yang dicintai, mereka yang ditinggalkan akan berjuang dengan grief yang dialami selama dua sampai empat tahun setelah kematian orang yang dicintai. Ketika istri yang ditinggal meninggal belum dapat beradaptasi terhadap grief yang dialami maka akan memunculkan dampak lainnya, dimana salah satunya adalah loneliness (Duval & Miller, 1985). Menurut Perlman dan Peplau (1981), loneliness adalah pengalaman yang tidak menyenangkan yang terjadi ketika kurangnya hubungan sosial seseorang baik secara kuantitas atau kualitas. Loneliness terdiri atas tiga aspek, yaitu need for intimacy, cognitive processes, dan social reinforcement. Need for intimacy adalah kebutuhan akan keintiman atau kedekatan dengan orang lain dalam hubungan sosial yang dibina. Aspek ini menekankan pada keintiman atau kedekatan. Pada istri yang ditinggal meninggal di Kota

13 Tasikmalaya, keintiman ini dapat berupa kasih sayang, perhatian, dukungan, melakukan aktivitas bersama sama. Aspek cognitive processes adalah persepsi dan evaluasi individu terhadap hubungan sosial yang dibina. Aspek ini menekankan pada persepsi dan evaluasi. Istri yang ditinggal meninggal di Kota Tasikmalaya dapat mempersepsi atau mengevaluasi apakah hubungan sosial yang dibina dengan pasangan, keluarga, teman-teman, sahabat, ataupun dengan tetangga sudah sesuai dengan hubungan sosial yang diharapkan. Dalam cognitive processes terdapat tiga hal yang memodulasi loneliness, yaitu attribution (locus of causality), social comparison, dan personal control. Menurut Perlman dan Peplau pada model attribution (locus of causality) dari Weiner ini, individu akan terdorong untuk memahami penyebab loneliness yang dialaminya dan seberapa lama perasaan loneliness tersebut bertahan dari waktu ke waktu. Hal ini akan berdampak pada perasaan dan harapan di masa depan yang akhirnya berhubungan dengan loneliness yang dialami. Ketika istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya memandang penyebab loneliness adalah diri sendiri (internal) dan loneliness yang dialami menetap dari waktu ke waktu (stabil) maka istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya akan lebih sulit untuk keluar dari perasaan loneliness atau lebih menghayati loneliness yang dialaminya. Berbeda ketika istri yang ditinggal meninggal di Kota Tasikmalaya memandang penyebab loneliness adalah lingkungan (eksternal) dan bersifat sementara (tidak stabil) maka akan muncul harapan dan keinginan untuk mengatasi loneliness yang dialaminya.

14 Social comparison adalah perbandingan yang dilakukan individu terhadap situasi yang dialaminya dengan situasi serupa yang dialami oleh orang lain dan hal ini akan berhubungan dengan kepuasan dalam hubungan sosial dan loneliness yang dialami. Ketika istri yang ditinggal meninggal suami memandang bahwa kondisinya lebih buruk dari istri lain yang sama-sama ditinggal meninggal suami, maka akan memunculkan adanya ketidakpuasan dalam hubungan sosial yang dibina sehingga lebih menghayati loneliness. Berbeda ketika istri yang ditinggal meninggal memandang bahwa kondisinya lebih baik dari istri lain yang samasama ditinggal meninggal suami maka akan memunculkan kepuasan dalam hubungan sosial yang dibina. Singkatnya, social comparison dapat memengaruhi keyakinan seseorang terhadap seberapa besar atau penting kurangnya hubungan sosial yang dibina (Cutrona 1982; Russell et al 1981). Personal control merupakan kendali yang dimiliki individu atas hubungan sosialnya. Ketika istri yang ditinggal meninggal suami merasa kendali berada di luar dirinya maka hal tersebut dapat membuat istri yang ditinggal meninggal suami lebih menghayati loneliness dibandingkan dengan istri yang ditinggal meninggal suami yang merasa kendali berada dalam dirinya. Aspek yang ketiga adalah social reinforcement, aspek ini merupakan aspek penguatan sosial yang menitikberatkan bahwa hubungan sosial yang memuaskan dapat dianggap sebagai suatu bentuk reinforcement. Ketika tidak adanya reinforcement dalam hubungan sosial yang dibina, hal ini dapat menimbulkan perasaan loneliness. Reinforcement pada istri yang ditinggal meninggal suami ini dapat berupa adanya penerimaan, dukungan, kasih sayang,

15 perhatian dari keluarga, teman, saudara, organisasi, perkumpulan, tetangga yang dianggap memuaskan oleh istri yang ditinggal meninggal suami. Loneliness muncul ketika kebutuhan akan keintiman (need for intimacy) yang dimiliki oleh istri yang ditinggal meninggal suami tidak terpenuhi dan adanya persepsi atau evaluasi bahwa hubungan sosial yang telah dibina tidak sesuai dengan hubungan sosial yang diharapkan (cognitive processes). Dalam cognitive processes ini istri yang ditinggal meninggal suami meyakini bahwa pernyebab loneliness adalah diri sendiri (internal) dan menetap dari waktu ke waktu (stabil). Menilai bahwa kondisi yang dialami lebih buruk dari istri lain yang sama-sama ditinggal meninggal suami (social comparison) dan merasa kontrol untuk meningkatkan hubungan sosial berada di luar dirinya (personal control). Kemudian, istri yang ditinggal meninggal suami merasakan tidak adanya reinforcement dari hubungan sosial yang dibina (social reinforcement). Menurut Perlman dan Peplau, terdapat faktor faktor yang dapat membuat individu lebih rentan untuk mengalami loneliness. Faktor faktor tersebut disebut sebagai predisposing and maintaining factor. Terdapat tiga faktor dalam predisposing and maintaining factor yaitu faktor personal, budaya, dan situasional. Faktor personal merupakan karakteristik pribadi yang dapat membuat individu lebih rentan terhadap loneliness. Pertama adalah shyness, individu yang memiliki karakteristik tertutup akan mengalami hambatan dalam melakukan interaksi dengan orang lain, misalnya kurang berinisiatif untuk memulai perbincangan karena merasa merasa malu. Sehingga membuat individu lebih rentan untuk mengalami loneliness. Pada

16 istri yang ditinggal meninggal suami dengan karakteristik tertutup, hal ini akan semakin diperkuat dengan statusnya sebagai janda. Status sebagai janda ini masih dipandang negatif oleh sebagian besar masyarakat. Situasi tersebut akan membuat istri yang ditinggal meninggal suami enggan untuk memulai relasi dengan orang lain, sehingga membuat lebih rentan terhadap loneliness. Kedua adalah self esteem yang rendah memiliki hubungan timbal balik dengan loneliness. Individu dengan self esteem yang rendah dapat menimbulkan loneliness, pada saat yang sama mereka menyalahkan diri sendiri ketika mengalami kegagalan saat melakukan interaksi sosial, hal tersebut dapat membuat self esteem semakin rendah. Sehingga individu dengan self esteem yang rendah lebih rentan terhadap loneliness. Begitu pula dengan istri yang ditinggal meninggal suami dengan karakteristik self esteem yang rendah dan ditambah pula dengan status sebagai janda, dimana status tersebut memungkinkan untuk membuat self esteem semakin rendah. Ketika istri yang ditinggal meninggal suami mengalami kegagalan dalam hubungan sosialnya, mereka akan menyalahkan diri sendiri sehingga membuat self esteem makin rendah dan lebih rentan untuk mengalami loneliness. Ketiga, menurut Jones individu yang memiliki ketrampilan sosial yang kurang memiliki gaya interaksi yang self focused dan non responsif. Gaya tersebut memiliki efek yang merugikan dalam pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial. Pada istri yang ditinggal meninggal suami yang memiliki ketrampilan sosial yang kurang akan mengalami kesulitan ketika mencari teman ketika memasuki lingkungan sosial yang baru, memulai interaksi sosial, dan memelihara

17 hubungan sosial yang memuaskan. Hal tersebut dapat membuat istri yang ditinggal meninggal suami lebih rentan terhadap loneliness Keempat similarity, individu yang memiliki perbedaan latar belakang seperti perbedaan ras atau etnis, kebangsaan, agama dengan lingkungannya akan membuat lebih rentan terhadap loneliness. Pada istri yang ditinggal meninggal suami yang memiliki perbedaan ras atau etnis, kebangsaan, agama dengan lingkungan sekitarnya dan menghayati adanya perbedaan-perbedaan antara dirinya dengan orang orang di lingkungan sekitarnya dapat membuat istri yang ditinggal meninggal suami lebih rentan untuk mengalami loneliness. Kelima demographic characteristic seperti jenis kelamin, status perkawinan, dan usia dapat membuat individu lebih rentan untuk mengalami loneliness. Dalam penelitian ini, yang dijadikan sampel penelitian adalah wanita. Menurut Borys dan Perlman, pria lebih sulit untuk menyatakan secara langsung atau mengakui bahwa mereka mengalami loneliness dibandingkan dengan wanita. Hal ini disebabkan karena pria akan mengevaluasi lebih negatif daripada wanita karena adanya harga diri sosial yang lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Individu yang memiliki status tidak menikah lebih rentan untuk mengalami loneliness dibandingkan dengan individu yang menikah. Dalam hal ini kategori tidak menikah dibagi dalam sub-kategori tidak pernah menikah, berpisah atau bercerai, dan menjanda. Pada pasangan yang menikah, loneliness terjadi tepatnya karena merupakan reaksi terhadap hilangnya hubungan dalam pernikahan (Page & Cole; Perlman & Peplau; Stack dalam Brehm et all, 2002). Dalam penelitian ini istri yang ditinggal meninggal suami termasuk dalam

18 kategori tidak menikah, artinya istri yang ditinggal meninggal suami termasuk ke dalam kategori rentan terhadap loneliness. Menurut Perlman, derajat loneliness paling tinggi adalah pada masa remaja atau dewasa awal kemudian menurun seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini disebabkan karena pada masa tersebut individu akan memasuki lingkungan sosial yang baru seperti di perkuliahan atau pekerjaan yang baru, dimana mereka akan membutuhkan relasi sosial yang baru. Dalam penelitian ini, istri yang ditinggal meninggal suami berada pada tahap masa dewasa madya atau dewasa akhir, pada masa ini istri yang ditinggal meninggal suami sudah tidak banyak memasuki lingkungan sosial yang baru. Keenam adalah childhood antecedents, kondisi dari orangtua yang bercerai, kurang dapat dipercaya, tidak menyenangkan, ketiadaan pengasuhan emosional, bimbingan atau dukungan dapat membuat lebih rentan untuk mengalami loneliness.pada istri yang ditinggal meninggal suami yang memiliki kondisi orang tua yang bercerai, kurang dapat dipercaya, tidak menyenangkan, ketiadaan pengasuhan emosional, bimbingan atau dukungan, dan kurang mengarahkan anak-anaknya untuk memulai relasi sosial dengan orang lain. Hal tersebut dapat membuat istri yang ditinggal meninggal suami lebih rentan untuk mengalami loneliness. Faktor yang kedua adalah situasional, hal hal yang mendasar seperti jarak, waktu, uang dapat berdampak pada kesempatan untuk memulai hubungan sosial ataupun mempertahankan hubungan sosial yang memuaskan. Ketika istri yang ditinggal meninggal suami memiliki waktu yang kurang untuk berinteraksi dan

19 lebih banyak bekerja mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta jarak yang cukup jauh dengan orang lain seperti teman, sahabat, keluarga sehingga memiliki kesempatan yang kecil untuk memulai ataupun mempertahankan hubungan sosial yang memuaskan. Kondisi tersebut dapat membuat istri yang ditinggal meninggal suami lebih rentan terhadap loneliness. Faktor ketiga adalah budaya yang dapat membuat individu lebih rentan terhadap loneliness. Budaya Amerika yang individualistis dengan nilai nilai yang mendorong ke arah kemandirian dan mengejar tujuan pribadi bahkan dengan mengorbankan ikatan sosial. Sebaliknya, budaya kolektif seperti budaya di Asia, Afrika, Amerika Latin, nilai-nilai yang mengarah kepada loyalitas dalam keluarga, kepatuhan terhadap norma-norma kelompok, dan pemeliharaan kerukunan dalam hubungan sosial dengan anggota kelompok. Perbedaan budaya seperti individualis dan kolektivisme dapat berpengaruh pada loneliness. Kota Tasikmalaya adalah kota menekankan masyarakatnya untuk bergotong royong dan kebersamaan. Hal ini tentunya dapat berpengaruh terhadap loneliness yang dialami oleh istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya. Derajat loneliness yang dialami oleh istri yang ditinggal meninggal di Kota Tasikmalaya dibagi ke dalam dua kategori, yaitu tinggi dan rendah. Derajat loneliness yang tinggi artinya istri yang ditinggal meninggal di Kota Tasikmalaya akan sering menghayati loneliness, baik karena memiliki jumlah teman yang dirasa kurang ataupun memiliki relasi sosial yang dirasa dangkal. Derajat loneliness yang rendah artinya istri yang ditinggal meninggal di Kota Tasikmalaya jarang menghayati loneliness karena istri yang ditinggal meninggal suami merasa

20 memiliki jumlah teman cukup ataupun memiliki relasi sosial yang dirasa mendalam. Untuk memperjelas uraian sebelumnya, maka digambarkan bagan di halaman berikutnya.

Precipitating Event : Kematian Suami Istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya Predisposing and Maintaining Factor : 1. Faktor Personal (shyness, self esteem, social skill, similarity, demographic characteristic, childhood antecedents) 2. Faktor Situasional 3. Faktor Budaya Grief Loneliness Tinggi Aspek : 1. Need for Intimacy 2. Cognitive Processes 3. Social Reinforcement Rendah Bagan 1.1. Bagan Kerangka Pemikiran 21

22 1.6 Asumsi Setiap istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya memiliki derajat loneliness yang berbeda beda. Loneliness pada istri yang ditinggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya terdiri dari tiga aspek, yaitu need for intimacy, cognitive processes, dan social reinforcement. Derajat loneliness pada istri yang ditinggal meninggal meninggal suami di Kota Tasikmalaya dipengaruhi oleh predisposing and maintaining factor yaitu faktor personal (shyness, self esteem, social skill, similarity, demographic characteristic, childhood antecedents), faktor situasional, dan faktor budaya.