BAB II KAJIAN PUSTAKA. struktur otak dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Bila definisi ini

dokumen-dokumen yang mirip
B A B I PENDAHULUAN. kesehatan global karena prevalensinya yang cukup tinggi, etiologinya yang

BAB I PENDAHULUAN. Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi

VALIDASI PSYCHOMETRIC HEPATIC ENCEPHALOPATHY SCORE (PHES) DALAM MENDIAGNOSIS ENSEFALOPATI HEPATIK MINIMAL PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS

Berdasarkan data WHO (2004), sirosis hati merupakan penyebab kematian ke delapan belas di dunia, hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya angka

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

Definisi Suatu reaksi organik akut dengan ggn utama adanya kesadaran berkabut (clouding of consciousness), yg disertai dengan ggn atensi, orientasi, m

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

ETIOLOGI : 1. Ada 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab: Virus Hepatitis A (HAV) Virus Hepatitis B (VHB) Virus Hepatitis C (CV) / Non A Non B

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Mekanisme Penurunan Kognitif pada Infeksi STH. Infeksi cacing dapat mempengaruhi kemampuan kognitif.

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

ANALISA VALIDITAS DAN RELIABILITAS TES KESABARAN VERSI KEDUA PADA MAHASISWA

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, terutama usia dewasa. Insidensi dan prevalensinya meningkat

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. respon terhadap stres adalah hippocampus. Hippocampus merupakan bagian dari

Bab 1 PENDAHULUAN. tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. bersifat progresif. Penyakit ini merupakan penyakit neurodegeneratif tersering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

FARMAKOTERAPI KELOMPOK KHUSUS

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. traumatik merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan aset bangsa. Dari data terbaru yang dikeluarkan United. negara (1). Menurut UNESCO pada tahun 2012, dari 120 negara yang

BAB I PENDAHULUAN. bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4% sampai 5% dari

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis adalah inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan. kumpulan perubahan klinis, biokimia, serta seluler yang khas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian observasional belah lintang (cross sectional)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

I. PENDAHULUAN. maupun pelarut dan reagensia (Syabatini, 2008). Dalam dunia kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau. meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut,

I. PENDAHULUAN. Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke empat di dunia, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN. Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan

BAB I PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan klinis, alokasi sumber daya dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi

BAB 1 PENDAHULUAN. pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi (Nurdjanah, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hati dan pembentukan nodulus regeneratif (Sherlock dan Dooley,

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Sirosis hati (SH) menjadi problem kesehatan utama di

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenatif (Nurdjanah, 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

Diagnostic & Screening

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke secara nyata menjadi penyebab kematian dan kecacatan di seluruh

VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMEN

SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB III METODE PENELITIAN

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesembilan di Amerika Serikat, sedangkan di seluruh dunia sirosis menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN. Penuaan secara kognitif ditujukan kepada lanjut usia yang diikuti dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk menyebut suatu kondisi akumulasi lemak pada hati tanpa adanya

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

Issu Metodologi MOOD AND PERFORMANCE FOOD. Baseline. Expectancy dan Placebo 14/04/2014

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

HASIL DAN PEMBAHASAN

SIROSIS HEPATIS R E J O

BAB 1 PENDAHULUAN. mengurangi kualitas dan angka harapan hidup. Menurut laporan status global

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. utama kebutaan yang tidak dapat disembuhkan. Glaukoma umumnya

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari

BAB I PENDAHULUAN. A (HAV), Virus Hepatitis B (HBV), Virus Hepatitis C (HCV), Virus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Hepatitis kronik virus B dan virus C adalah masalah kesehatan di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan dan efisiensi. Dengan kata lain, harus memiliki kontrol yang

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Klasifikasi Ensefalopati Hepatik Ensefalopati dalam arti luas adalah reaksi akut otak terhadap paparan agen berbahaya tanpa adanya inflamasi, atau adanya perburukan dari fungsi dan struktur otak dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Bila definisi ini diterapkan abnormalitas serebral pada pasien sirosis, maka adanya kegagalan hepatoselular dan pintas porto-sistemik inilah yang menyebabkan perubahan pada fungsi dan metabolisme neuron, perubahan astrosit, disposisi mangan pada otak, edema serebri, dan bahkan mungkin dapat menyebabkan kematian neuron (Amodio et al., 2004). Kondisi ini menyebabkan penurunan yang nyata dari kualitas hidup pasien, memerlukan biaya yang tinggi, prognosis yang buruk dan peningkatan risiko kematian. Prevalensinya adalah 30-45% pada pasien dengan sirsosis (Ferenci et al., 2002). Terdapat 3 tipe dari EH berdasarkan jenis kelainan pada hati yaitu tipe A, B, dan C. Pada tipe A, EH yang terjadi berhubungan dengan kegagalan akut hati, pada tipe B, EH berhubungan dengan pintas porto-sistemik tanpa adanya kelainan hati, dan tipe C adalah EH yang terjadi pada pasien sirosis. Episodik EH adalah ensefalopati yang terjadi dalam waktu yang pendek dan berfluktuasi dalam derajat keparahannya. Selanjutnya episodik ensefalopati dibagi berdasarkan ada tidaknya faktor pencetus (precipitated dan spontaneous), seperti misalnya perdarahan saluran cerna, infeksi, kelainan elektrolit, dehidrasi, ataupun penggunaan diuretik.

Ensefalopati recurrent adalah istilah yang digunakan bila EH terjadi 2 kali dalam satu tahun. Ensefalopati hepatik persisten adalah ensefalopati berulang dengan defisit fungsi kognitif, manifestasi ekstrapiramida, dan perubahan pola tidur yang terjadi secara berkelanjutan. Ensefalopati hepatik persisten dibagi menjadi ensefalopati derajat ringan dan derajat berat (Burrough, 2011; Ferenci et al., 2002; Monuz, 2008). Tabel 2.1 menunjukkan tiga tipe dari EH. Tabel 2.1 Tipe ensefalopati hepatik (Ferenci et al., 2002) Berdasarkan gejala klinis yang muncul, derajat EH dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria West Haven (Tabel 2.2). Secara klinis, EH bermanifestasi sebagai sindrom neuropsikiatri yang meliputi spektrum yang luas dari gangguan status mental dan fungsi motorik. Perubahan status mentalis dapat bervariasi dari gejala yang ringan sampai pada keadaan koma. Perubahan pada fungsi motoris

dapat berupa ridgiditas, tremor, asterixis, perlambatan pada gerakan diadokokinetik, hiper atau hiporefleksia, chorea, tanda babinsky. Abnormalitas lain yang dapat muncul adalah gangguan psikomotor dan neuropsikologis, perubahan neurotransmiter, penurunan aliran darah otak dan metabolisme, dan perubahan pada homeostatis cairan serebral (Amodio et al., 1999). Tabel 2.2 Derajat ensefalopati hepatik berdasarkan kriteriawest Haven (Ferenci et al., 2002) Stadium Status Mental I. Kebingungan ringan, euforia atau depresi, penurunan pemusatan perhatian, euforia atau cemas, gangguan tidur, penurunan kemampuan untuk melakukan perintah yang berhubungan dengan mental, bisa didapatkan asterixis. II. Drowsiness, letargi, penurunan berat kemampuan untuk melakukan perintah yang berhubungan dengan mental, gangguan berhitung, perubahan tingkah laku, disorientasi minimal terhadap tempat dan waktu, asterixis. III. Somnolen tetapi masih bisa dibangunkan, tidak dapat meakukan perintah yang berhubungan dengan mental, disorientasi yang nyata, kadang-kadang dijumpai agitasi atau gelisah, bicaranya sulit dimengerti. IV. Koma Kelainan neuropsikiatri yang dapat terjadi pada pasien EH meliputi kelainan kognitif (kecepatan psikomotor, visuopraxis, perhatian dan konsentrasi, kemampuan abstraksi, dan derajat kesadaran), afektif atau emosional, tingkah laku, dan domain bioregulatory (tidur, nafsu, seksualitas) (Ferenci et al., 2002). Sebagian besar pasien SH yang tidak menunjukkan gejala ensefalopati ternyata memiliki perubahan minimal yang terjadi pada fungsi kognitif, parameter elektrofisiologis, aliran darah, metabolisme dan homeostatis otak (Amodio et al., 2004). Keadaan tersebut awalnya dikenal sebagai ensefalopati subklinis, namun

berdasarkan kongres gastroenterologi di Viena tahun 1998, istilah tersebut dianggap tidak tepat karena adanya implikasi bahwa ensefalopati subklinis mempunyai patogenesis yang berbeda, sehingga istilah yang digunakan adalah EHM (Ferenci et al., 2002). Jadi pasien dengan EHM adalah pasien sirosis yang terlihat normal namun menunjukkan gangguan fungsi kognisi dan atau neurospikologis yang bervariasi. Fungsi kognitif utama yang terganggu pada pasien sirosis adalah kemampuan pemusatan perhatian yang kompleks dan ketrampilan motorik yang halus, selain itu gangguan memori jangka pendek, penurunan psikomotor dan fungsi eksekutif juga bisa terjadi (Groeneweg et al., 1998; Amodio et al., 2004). Gambar 2.1 Perjalanan klinis ensefalopati hepatik (Bajaj et al., 2009) Pada ensefalopati yang dini, tidak semua bagian fungsi kognitif yang terganggu. Beratnya gangguan kognitif yang terjadi pada pasien SH semakin nyata dengan perburukan sirosis, dan tidak tergantung penyebab sirosisnya (Amodio et al., 1999). Kemampuan berbahasa dilaporkan tidak terganggu kecuali dalam hal menurunnya kefasihan berbicara, hal ini terjadi sekunder akibat

penurunan dari kecepatan prosesi kognitif. Deteksi dini adanya EHM adalah sangat penting karena penyakit ini dapat menurunkan kualitas hidup pasien, dan dapat memprediksi terjadinya EH yang nyata, selain itu dapat menjadi indikator prognosis pada pasien dengan penyakit hati stadium akhir. Mengatasi EHM dapat meningkatkan kualitas hidup dan mencegah terjadinya EH yang nyata (Randolph et al., 2009). 2.2. Patogenesis Ensefalopati Hepatik Patogenesis EH adalah multifaktorial melibatkan aksi neurotoksin amonia, gangguan neurotranmisi otak, serta perubahan permeabilitas sawar darah otak. Secara teoritis pada gagal hati terjadi penurunan sintesis bahan-bahan yang diperlukan untuk fungsi otak yang normal, sintesis bahan-bahan yang ensefalopatogenik, penurunan metabolisme dari bahan yang ensefalopatogenik tersebut. Ketidakseimbangan metabolik dan peningkatan konsentrasi neurotoksin yang terjadi pada gagal hati dapat mengganggu polarisasi neuron, metabolisme neurotransmiter, sensitifitas pada reseptor neuron, dan metabolisme sel neuron. Gejala akan timbul bila terjadi dominasi neurotransmisi yang bersifat inhibisi seperti γ-aminoburtyric acid (GABA) dan glisin baik dengan atau tanpa penurunan neurotransmisi yang bersifat eksitasi seperti glutamat dan aspartat (Jones, 2000). Terdapat beberapa macam hipotesis patogenesis terjadinya EH.

2.2.1. Hipotesis amonia awal Dasar dari hipotesis ini adalah amonia yang secara langsung bersifat neurotoksik. Hati mempunyai fungsi khusus dalam metabolisme amonia menjadi urea dan glutamin sehingga besar perannya dalam homeostatis amonia. Pada keadaan sirosis hepatis kapasitas hati untuk sintesis glutamin dari amonia menurun hingga 80%. Penelitian yang diketuai oleh Ong tahun 2003 menemukan korelasi yang konsisten (r=0,6 atau lebih tinggi) antara level amonia darah dan derajat beratnya klinis EH. Keberatan dalam teori ini adalah ketidaksesuaian antara EH pada SH dan ensepalopati pada hiperamonia murni akibat defek pada enzim siklus urea, dimana pemberian amonia per oral gagal mencetuskan EH (Amodio et al., 2004; Mullen, 2006; Haussinger & Schliess, 2008). 2.2.2. Hipotesis amonia unifying Pada hipotesis ini penyebab EH adalah edema serebral yang disebabkan oleh edema astrosit karena influks amonia. Astrosit mempunyai enzim glutamin sintase untuk menghasilkan glutamin dari amonia dan glutamat, yaitu suatu mekanisme untuk mengatasi kelebihan amonia pada otak, namun pada keadaan kronis akan menyebabkan penumpukan glutamin, dimana penumpukan glutamin ini akan menyebabkan pembengkakan astrosit. Hipotesis ini didukung oleh adanya studi pada tikus yang diikat duktus koledokusnya sampai terjadi fibrosis, kemudian diberikan diet tinggi amonia. Pemeriksaan biopsi didapatkan adanya edema otak dengan pembengkakan astrosit dan inflamasi yang meningkat (Mullen, 2006; Aguirre et al., 2009).

2.2.3. Hipotesis neurotransmiter palsu Pada hipotesis ini dikemukakan bahwa EH terjadi karena pembentukan neurotransmiter palsu pada pasien gagal hati untuk menggantikan neurotransmiter normal seperti dopamin di otak. Neurotransmiter palsu memiliki efek yang jauh lebih rendah dibandingkan normal. Hipotesis ini sejalan dengan hipotesis ketidakseimbangan asam amino plasma dimana didapatkan adanya pola yang abnormal dari asam amino pada pasien sirosis yaitu peningkatan kadar tirosin dan fenilalanin yaitu suatu prekursor neurotransmiter palsu diotak sebagai kompensasi penurunan konsentrasi asam amino rantai cabang dalam darah (Mullen, 2006). 2.2.4. Hipotesis gama amino butyric acid (GABA)/benzodiazepin GABA merupakan neurotransmiter utama pada otak dengan fungsi inhibisi. Reseptor-reseptornya terdapat pada kebanyakan neuron-neuron di otak. Pada hipotesis ini terdapat peningkatan produksi GABA di otak sehingga mengakibatkan gangguan kesadaran dan fungsi motorik. Hipotesis benzodiazepin sejalan dengan hipotesis GABA, yaitu pada pasien sirosis terdapat peningkatan jumlah endogenous benzodiazepin dan juga jumlah reseptornya di astrosit yang berefek pada penguatan efek inhibisi GABA (Mullen, 2006). 2.2.5. Hipotesis tumor necrosis factor α (TNF α) Pada hipotesis ini terdapat produksi yang berlebihan dari TNF α yang bersifat neurotoksik dan dapat mencetuskan ensefalopati. TNF α merupakan sitokin proinflamasi yang diproduksi oleh sel fagositik dan nonfagositik termasuk

makrofag, monosit, netrofil, limfosit dan natural killer cells, astrosit, sel mikroglia, sel kuffer di hati. Beberapa studi mengatakan level TNF α meningkat pada penyakit hati akut dan kronis, tertinggi pada keadaan sirosis dekompensata (Odeh, 2007). Gambar 2.2 Patogenesis ensefalopati hepatik (Sherlock & Dooley, 2002) 2.2.6. Stress oksidatif dan nitrasi protein tirosin Sampai saat ini hanya sedikit bukti yang langsung dapat menjelaskan keterlibatan stres oksidatif pada patogenesis terjadinya EH. Beberapa studi yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor-faktor yang terlibat dalam patogenesis ensefalopati menghasilkan radikal bebas dan menurunkan antioksidan di otak (Aguirre et al., 2009). Pada studi yang dilakukan pada sel astrosit tikus yang dikultur dan diberikan cairan hipoosmotik menunjukkan bahwa sel astrosit yang membengkak menghasilkan respon stres oksidatif (reactive oxygen species seperti

misalnya nitrit oxide) dan peningkatan nitrasi dari protein tirosin (peroxynitrite). Hal ini berakibat pada kerusakan astrosit yang lebih lanjut seperti misalnya kerusakan pada mitokondria, membran sel, perubahan aktivitas enzim dan meningkatnya degradasi protein oleh protease, dan lain-lain yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya gejala ensefalopati (Haussinger & Schliess, 2005). Gambar 2.3 Patogenesis ensefalopati hepatik (Haussinger & Schliess, 2005) ROI/RNI: reactive oxygen/nitrogen intermediates 2.3. Diagnosis Ensefalopati Hepatik Minimal Pada awal tahun 1970-an, penelitian yang diketuai oleh Zeegen pertama kali menggunakan Reitan trailmaking test (tes koneksi angka) untuk mendiagnosis EHM. Delapan tahun kemudian istilah EHM digunakan pada pasien

dengan abnormalitas pada tes psikometrik dan pada gambaran elektroensefalografi (EEG). Selanjutnya istilah EHM semakin banyak dikenal dan semakin banyak tes diagnostik yang berbeda yang dikembangkan dan digunakan untuk diagnosis EHM, dari tes psikometrik sederhana sampai tes psikometrik dengan bantuan komputer, tes neurofisiologi, bahkan dengan menggunakan pemeriksaan imaging dan spektroskopi (Bajaj et al., 2009; Dhiman & Chawla, 2009; Dhiman et al., 2010). Untuk lebih mudahnya alat-diagnostik ini dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok besar. 2.3.1. Tes psikometrik atau tes neuropsikologis Berdasarkan hipotesis perubahan mental dapat mendahului timbulnya gejala neurologis EH yang nyata, pada tahun 1970 Zeegen menemukan kurang lebih sepertiga dari 39 pasien pasca operasi dekompresi portal yang tampaknya sehat ternyata memiliki nilai yang abnormal pada Reitan Trail Making Test. Sejak itulah ahli neuropsikologi telah mendisain lebih dari 25 tes psikometrik untuk mendiagnosis EHM. Tes psikometrik memiliki sensitivitas yang tinggi dan cara pemakaian yang sederhana. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilainya seperti usia, tingkat pendidikan, latar belakang kultural, dan efek pembelajaran pada paparan yang berulang. Konsensus gastroenterologi sedunia ke 11 di Viena pada tahun 1998 merekomendasikan suatu tes neuropsikologis untuk mendiagnosis ensepalopati minimal pada pasien sirosis yaitu PHES yang terdiri dari 5 tes psikometri yaitu Digit Symbol Test (tes simbol digit), Number connection test A and B ( tes koneksi angka A dan B), Serial Dotting Test (tes

menggambar titik serial), Line Tracing Test (tes menggambar garis) (Ferenci et al., 2002). 2.3.2. Tes elektrofisiogis atau neurofisiologis Tes neurofisiolgis memeriksa aktivitas listrik korteks serebral dalam bentuk gelombang otak (elektroensefalografi/ EEG) atau pola cetusan-cetusan listrik dari sel otak (teknik evoked potential). Pada beberapa penelitian menunjukkan adanya perubahan pada EEG atau respon dari evoke pada pasien sirosis tanpa adanya gejala ensefalopati, sehingga alat tersebut adalah tidak spesifik dan tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis ensefalopati. Yang dapat dijadikan patokan untuk menilai EH adalah derajat perubahan dari gelombang dasar. Untuk penilaian yang lebih akurat dapat menggunakan analisis dengan bantuan komputer, yaitu dengan mengetahui nilai rata-rata gelombang EEG pada tiap domain dan kekuatan dari masing-masing gelombang (Ferenci et al., 2002). Namun alat ini dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya EHM bila terjadi perubahan EEG atau respon evoke tanpa adanya penyebab lain yang diketahui karena telah dibuktikan adanya korelasi antara perubahan EEG dengan konsentrasi amonia plasma yang mengindikasikan adanya disfungsi hati (Amodio et al., 2004). Yang termasuk dalam pemeriksaan neurofisiologis diantaranya: elektroensefalografi (EEG), P300 evoked potentials, somatosensory-evoked potentials (SSEP), brain stem auditory-evoked potentials (BAEP), dan visualevoked potentials (VEP). Pada praktik sehari-hari pemeriksaan-pemeriksaan

tersebut tidak dapat digunakan secara luas karena dibutuhkan peralatan yang canggih dan tenaga yang ahli untuk menginterpretasi hasil tes. 2.3.3. Tes pencitraan otak Pada beberapa dekade terakhir terjadi revolusi yang besar pada bidang neuroimaging. Modalitas seperti magnetic resonance imaging (MRI) dan spektroskopi, computed x-ray tomography (CT), dan positron emission tomography (PET) dapat menyediakan evaluasi struktural, fisiologikal, dan biokimia otak secara non invasif. Peran pentingnya dalam diagnosis EH adalah mengeksklusi adanya penyakit otak organik yang lain. MRI otak sebenarnya dapat menunjukkan abnormalitas yang khas untuk EH yaitu adanya hipertens yang simetris pada area globus palidus. Tetapi perubahan ini tidak berkolerasi dengan derajat EH. Penyebab hipertens pada daerah globus palidus ini diduga akibat resonansi adanya pengendapan mangan didaerah ganglia basalis karena bersihan oleh hati yang berkurang (Ferenci et al., 2002; Fleming, 2011). Perubahan regional aliran darah otak telah diteliti pada pasien hepatitis kronik, sirosis hepatis, dan ensefalopati hepatik minimal menggunakan single photon emission computed tomography (SPECT). Pada pasien dengan EHM didapatkan penurunan yang signifikan dari aliran darah pada thalamus kanan dibandingkan pasien tanpa ensefalopati minimal. Pada penelitian lain didapatkan aliran darah yang berkurang adalah pada area frontotemporal bilateral dan ganglia basalis kanan (Yazgan et al., 2003).

2.3.4 Critical flicker frequency Critical Flicker Frequency (CFF) dapat didefinisikan sebagai respon tercepat dari suatu sumber cahaya yang dapat diinterpretasi oleh korteks serebri sebagai suatu kedipan. Pemakaian alat CFF pada awalnya digunakan sebagai tes untuk pemeriksaan respon sistem saraf sentral terhadap obat-obatan yang bekerja sentral (Turner, 1968). Penelitian-penelitian selanjutnya telah mempergunakan CFF pada beberapa penyakit. Salah satu hipotesis terjadinya EH adalah terjadinya pembengkakan astrosit akibat influks amonia, dan pembengkakan tersebut juga terjadi di retina yang dikenal sebagai retinopati hepatik (Reichenbach et al., 1995; Mullen, 2006). Berdasarkan hipotesis tersebut maka gangguan di retina dapat dijadikan suatu petanda terjadinya gangguan serebral pada EH. Hal ini mendasari Kircheis pada tahun 2002 melakukan penelitian untuk mengetahui fungsi CFF dalam mendiagnosis EHM dan didapatkan sensitifitas dan spesifisitas sebesar 50% dan 100% pada ambang nilai CFF sebesar 39 Hz (Kircheis et al., 2002). CFF juga dapat mengukur derajat keparahan dari EH, dimana CFF menurun secara paralel sejalan dengan peningkatan derajat beratnya sirosis (Haussinger & Schliess, 2008). 2.4. PHES Istilah PHES pertama kali diciptakan oleh Dr Andres Blei pada tahun 2001 (Weissenborn, 2008). Tes ini khusus dibuat untuk mendiagnosis adanya EH dan telah terbukti sensitif untuk mendeteksi adanya gangguan kognitif pada pasien

sirosis. Tes PHES terdiri dari 5 tes psikometrik yaitu Digit Symbol Test/DST (tes symbol digit), Number connection test A and B/NCT A and B (tes koneksi angka A dan B), Serial Dotting Test/SDT (tes menggambar titik serial), Line Tracing Test/LTT (tes menggambar garis). Pada tes simbol digit, terdapat kotak yang terisi angka 1-9 dan simbol-simbol yang mewakili masing-masing angka tersebut. Subjek diminta untuk membuat simbol yang sesuai dengan angka pada bagian kotak yang kosong. Tes ini adalah untuk menilai fungsi kecepatan graphomotor/menulis, kecepatan prosesi kognitif, persepsi visual, dan working memory. Pada tes menggambar titik serial, subjek diminta untuk menggambar titik pada lingkaran yang telah disediakan dan subjek diharapkan menyelesaikannya dalam waktu secepat mungkin. Tes ini adalah untuk menilai kecepatan motorik. Pada tes menggambar garis, subjek diminta untuk menggambar garis kontinyu diantara 2 garis paralel yang sudah ada. Tes ini adalah untuk menilai akurasi dan kecepatan motorik. Pada tes koneksi angka A, subjek diminta untuk mengambar garis yang menghubungkan tiap angka secara berurutan secepat mungkin. Tes ini adalah untuk menilai kecepatan psikomotor, efisiensi dari visual scanning, pemusatan perhatian, merangkai, dan konsentrasi. Pada tes koneksi angka B, subjek diminta untuk menggambar garis yang menghubungkan antara angka dan huruf secara berurutan sesuai dengan urutan sewaktu menghitung dan urutan alfabet. Tes ini adalah untuk menilai attention set shifting ability, kecepatan psikomotor, efisiensi viual scanning, pemusatan perhatian, merangkai, dan konsentrasi. Adapun kelebihan dari tes PHES ini dalah memiliki sensitivitas, spesifisitas dan reliabilitas yang tinggi, mudah dikerjakan, bedside test, dan

murah. Sedangkan kekurangan dari tes ini adalah memerlukan data normatif yang representatif, dipengaruhi oleh umur, pendidikan, latar belakang sosial budaya. Selain itu tes koneksi angka B tidak dapat dikerjakan pada pasien yang buta huruf (Weissenborn, 2008). Tes PHES harus distandarisasi dan divalidasi pada populasi dimana tes tersebut akan diterapkan karena adanya perbedaan budaya, kebiasaan, dan bahasa. Hasil International Society for Hepatic Encephalopathy and Nitrogen Metabolism (ISHEN) merekomendasikan bahwa tes neuropsikologis yang akan digunakan dalam mendiagnosis EHM harus distandarisasi pada populasi lokal karena untuk mendiagnosis EHM adalah berdasarkan pada penyimpangan atau deviasi dari nilai normal tersebut. Tes PHES sudah divalidasi di Jerman, Spanyol, Italia, Meksiko dan Inggris. Pada studi yang dilakukan di Meksiko umur dan pendidikan berpengaruh terhadap hasil tes, usia yang lebih muda dengan pendidikan yang lebih tinggi mempunyai nilai yang lebih tinggi. Pasien yang ditemukan dengan EHM adalah kebanyakan berusia tua, berpendidikan rendah dan seringkali tidak bekerja. Pada studi ini juga didapatkan bahwa derajat sirosis berdasarkan kerusakan fungsi hati (berdasarkan kriteria Child Turcotte Pugh/CTP) tidak ditemukan berpengaruh pada PHES walaupun terdapat peningkatan prevalensi seiring dengan meningkatnya derajat CTP, sedangkan pada studi yang dilakukan di Italia didapatkan bahwa fungsi hati ada hubungannya dengan PHES. Pada studi ini EHM didiagnosis bila total skor PHES adalah kurang dari -4 standar deviasi dari standar nilai populasi normal, sama dengan penelitian di German dan Spanyol, sedangkan di Italia nilai cut off yang digunakan adalah -4 standar

deviasi. Pengulangan tes untuk menilai reabilitas juga dilakukan pada studi di Meksiko dan menunjukkan adanya peningkatan nilai dibandingkan dengan nilai pada tes pertama. Hal ini diperkirakan karena adanya efek pembelajaran karena pengulangan. Hal serupa juga ditemukan pada studi di Italia. Namun pada studi yang dilakukan oleh Bajaj et al. tidak menunjukkan adanya peningkatan nilai setelah dilakukan pengulangan tes pada pasien EHM (Rojo et al., 2011). 2.5. Validitas dan Reliabilitas Validitas (kesahihan) dan reliabilitas (keterandalan) adalah dua karakteristik yang amat penting dan menentukan kualitas dari alat ukur dan pengukuran (Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Sugiyono, 2011). Validitas merupakan produk dari validasi. Validasi adalah proses untuk menentukan kemampuan dari suatu alat untuk dapat digunakan. Dalam proses validasi juga meliputi analisis karakteristik performa dari suatu tes diagnostik seperti misalnya spesifisitas, sensitivitas, standarisasi, repeatability, cut off (Ederven, 2010). Yang dimaksud dengan performa dari diagnostik tes adalah kemampuan suatu alat untuk mengkonfirmasi atau mengeksklusi suatu penyakit (Gatsonis & Paliwel, 2006; WHO, 2011). Reliabilitas adalah konsistensi pengukuran yaitu suatu alat atau instrumen memberikan nilai yang sama atau hampir sama pada pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulang. Namun harus dipahami bahwa tidak ada satu pengukuran pun yang memiliki validitas dan reliabilitas yang sempurna (Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011).

2.5.1. Validitas Suatu pengukuran disebut valid bila pengukuran dengan suatu alat ukur atau instrumen dapat menggambarkan hal yang sebenarnya ingin diukur. Validitas mengacu pada kebenaran dan kesesuaian hasil pengukuran. Terdapat beberapa tipe validitas. 2.5.1.1. Validitas isi (Content Validity) Menggambarkan seberapa jauh kumpulan variabel dalam instrumen dapat mewakili atau merupakan representasi dari hal yang hendak diukur. Penilaian validitas isi adalah secara judgemental oleh seorang pakar dan bukan secara statistik (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Suharto, 2009). 2.5.1.2. Validitas kriteria (criterion validity) Menggambarkan seberapa jauh hasil satu pengukuran sesuai dengan hasil pengukuran lain dengan menggunakan alat yang dianggap baku emas (gold standar). Penilaian validitas kriteria dilakukan dengan membandingkan secara statistik hasil suatu uji dengan uji lain yang dianggap baku emas. Bila suatu instrumen yang diuji belum memiliki baku emas, penilaian dilakukan dengan kemampuan diskriminan (discriminant ability) atau dengan menggunakaan known group validity, yaitu apakah suatu alat ukur dapat menunjukkan perbedaan yang bermakna pada subjek yang hendak diukur dibandingkan dengan hasil pengukuran dari subjek atau kelompok pembanding. Kelompok pembanding diambil dari populasi yang berbeda karakteristiknya dengan populasi yang akan diukur (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011).

2.5.1.3. Validitas kontruksi (Construct Validity) Validitas ini menggambarkan seberapa jauh hasil pengukuran suatu alat ukur sesuai dengan konsep teoritis yang mendasari keadaan yang diukur. Dalam penilaian validitas kontruksi dilakukan analisis untuk membuktikan apakah pertanyaan yang terkandung dalam suatu alat ukur mewakili apa yang hendak diukur. Dari pengujian tersebut akan menghasilkan nilai koefisien korelasi tiap butir pertanyaan terhadap nilai total yang bervariasi dari yang lemah hingga yang kuat (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011). 2.5.2. Reliabilitas Reliabilitas adalah seberapa konsisten suatu alat ukur menghasilkan nilai yang stabil pada pengulangan tes. Hasil pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Dalam hal ini berarti tetap adanya toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran. Terdapat 3 macam pendekatan reliabilitas yang akan dijelaskan di bawah (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011). 2.5.2.1. Reliabilitas test-retest (Intra-Observer Reliability) Pengukuran pada subjek yang sama oleh orang yang sama pada waktu yang berbeda menghasilkan hasil yang sama. Asumsi yang menjadi dasar cara ini

adalah bahwa suatu tes yang reliabel akan menghasilkan skor yang relatif sama apabila dikenakan 2 kali pada waktu yang berbeda. Dalam menggunakan cara ini perlu diperhatikan adanya kemungkinan perubahan kondisi subjek sejalan dengan perbedaan watu penyajian tes. Dalam bentuk lain, efek bawaan dapat terjadi karena masih ingatnya subjek pada jawaban yang pernah diberikannya waktu pertama kali tes disajikan, dan sebagai akibat dari proses pembelajaran dari tes yang pertama kali dikerjakan. Adalah tidak mudah untuk menentukan berapa lama tenggang waktu yang disediakan diantara dua kali pemberian tes pada cara ini. Bila tenggang waktu terlalu singkat akan sangat mungkin terjadi efek bawaan atau pembelajaran sedangkan bila terlalu panjang mungkin akan terjadi perubahan aspek yang akan diukur dalam diri subjek (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Suharto, 2009; Sugiyono, 2011). 2.5.2.2. Reliabilitas inter-observer Pengukuran suatu instrumen pada subjek yang sama oleh pemeriksa yang berbeda menunjukkan hasil yang sama. Karena tes ini dilakukan 2 kali pada subjek yang sama, maka kemungkinan-kemungkinan seperti pada cara test-retest dapat terjadi (Azwar, 2010). 2.5.2.3. Reliabilitas konsistensi interna (Internal Consistency Reliability) Pendekatan konsistensi internal dilakukan dengan menggunakan satu tes yang hanya dikenakan pada satu kali pengukuran pada sekelompok subjek (singletrial administration). Dengan menyajikan tes hanya sekali maka kemungkinankemungkinan seperti yang telah disebutkan di atas dapat dihindari. Pendekatan ini bertujuan untuk melihat konsistensi antar item dalam tes itu sendiri. Untuk

melihat kecocokan atau koordinasi diantara item tes dapat dilakukan melalui teknik korelasi (Azwar, 2010; Lestariningsih, 2011; Pusponegoro et al., 2011; Suharto, 2009).