BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang pelah diuraikan sebelumnya, maka Penulis berkesimpulan sebagai berikut: 1. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak dalam Hukum Pidana Indonesia Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain: a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak e. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
f. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak g. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan h. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Bentuk perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dalam peraturan hukum pidana melihat dari Deklarasi PBB tahun 1985 garis besarnya adalah akses terhadap keadilan dan peradilan yang baik, adanya restitusi, kompensasi, dan pendampingan. telah dijelaskan secara rinci dalam masing-masing peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, antara lain: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. dirahasiakan identitasnya; j. mendapat identitas baru; k. mendapat tempat kediaman sementara; l. mendapat tempat kediaman baru; m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. mendapat nasihat hukum; o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau p. mendapat pendampingan. q. bantuan medis; dan r. bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. s. hak kompensasi dan restitusi (mengajukan melalui LPSK) t. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; u. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; v. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan w. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
x. Pemberian sanksi sanksi penjara dan denda, pemberatan2 serta hukuman tambahan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik terhadap pelaku y. Hak aborsi z. Pemberian hak-hak kenapa anak yang lahir dari hasil tindak pidana tersebut. 2. Perliindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam Setelah Penulis membandingkan penjelasan mengenai perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak dalam hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam, Penulis menemukan bahwa hukum Pidana Indonesia dan Hukum Indonesia pada umumnya telah banyak menyerap prinsip-prinsip hukum Islam seperti adanya restitusi dan kompensasi, dipertimbangkannya hak untuk melakukan aborsi dengan ketentuan tertentu. Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak juga diatur dalam Hukum Islam, antara lain: a. Sanksi bagi pelaku. Pemberian sanksi kepada pelaku kekerasan seksual sebagai bentuk keadilan bagi korban dan masyarakat. Sanksi juga bisa menjadi sarana edukasi bagi masyarakat mengenai tindak pidana, akibat, dan pertanggungjawabannya. Sanksi bagi pelaku perkosaan
sebagaimana dijelaskan sebelumnya disamakan dengan sanksi pelaku zina. Hukuman bagi pelaku zina muhshan adalah hukuman rajam, yaitu pelaku dikubur sebatas bahu lalu dilempari batu hingga meninggal. Adapun pelaku zina ghairu muhshan sanksinya adalah dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Tentang pengasingan ini, untuk konteks saat ini bisa berupa hukuman penjara. Dalam pelaksanaan hukuman rajam dan cambuk ini, hendaknya disaksikan oleh orang banyak agar menjadi pelajaran bagi mereka. 1 b. Pembebasan dari hukuman zina. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak terpenuhinya unsur kerelaan atau suka sama suka oleh korban menyebabkan korban tidak dikategorikan sebagai pelaku zina dan diampuni. Dalam QS. Al-An am ayat 145 disebutkan bahwa Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 2 c. Permaafan dan pembayaran Diyat (ganti kerugian). Diyat pada dasarnya memiliki pengertian uang tebusan sebagai ganti rugi akibat kasus pembunuhan dan atau penganiayaan 1 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, AMZAH, jakarta 2016 hlm. 52 2 Kementerian Agama RI, op.cit., hlm. 198
yang mendapatkan permaafan dari keluarga korban dan wajib dibayarkan oleh pelaku kepada keluarga korban. 3 d. Pemberian mahar misil. Sebenarnya ini masih termasuk dalam alternatif diyat, Imam Syafi i dan Imam Hambali menyatakan, bahwa barangsiapa yang memerkosa seorang wanita, maka ia harus membayar mahar misil. Lalu mengenai besaran mahar yang harus diberikan, dengan melihat ulama Syafi iyah yang berpendapat bahwa sunah penetapan mahar atau maskawin yang diberikan kepada istri adalah sebesar 500 dirham maka maskawin tersebut seharga Rp 223.125.000,00. Nilai tersebut dapat dijadikan patokan minimal, mengingat tidak ada batasan paling tinggi dalam penetapan maskawin. e. Hak melakukan aborsi. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi telah lebih dulu menjelaskan tentang pengecualian ini. Salah satunya merujuk pada QS. Al-An am ayat 151. Dalam Ketentuan Hukum ditetapkan bahwa aborsi dibolehkan karena ada uzur, baik bersifat darurat maupun hajat.. Itu pun dengan syarat harus dilakukan sebelum janin berusia 40 (empat pulu) hari, serta hanya dilaksanakan di fasilitas kesehatan yang telah ditunjuk 3 M. Nurul Irfan, op.cit. hlm. 41
oleh pemerintah. Untuk kehamilan yang terjadi akibat zina, aborsi hukumnya tetap haram. 4 f. Status hukum anak hasil kekerasan seksual. Dengan berdasar QS. Al-An am ayat 164 maka dalam hukum Islam si anak yang lahir akibat kekerasan seksual atau perkosaan adalah fitri atau bersih dari dosa sebagaimana anak lainnya, tidak menanggung dosa pelaku. Dari hadist-hadist yang umum dipakai imam-imam besar, serta Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya, anak hasil perkosaan hanya dinasabkan kepada ibunya. Serta pemerintah berwenang menjatuhkan ta zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah. Ta zir tersebut bertujuan untuk melindungi anak, bukan dalam rangka menasabkan anak tersebut kepada lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. 5 Penulis juga menyimpulkan bahwa perkembangan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di 4 Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi 5 Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya.
Indonesia sangat erat kaitannya dengan dimasukkannya nilai-nilai dalam Hukum Islam tersebut. B. Saran Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang telah diuraikan sebelumnya, maka Penulis memiliki saran sebagai berikut: 1. Ada beberapa aspek dan nilai dalam hukum Islam yang dapat diadopsi ke dalam hukum Pidana Indonesia tentang aturan mengenai perlindungan korban tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. 2. Selain perlindungan terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual yang sifatnya represif dan restoratif, nilai-nilai akidah dan akhlak dalam hukum Islam yang sifatnya universal dapat diimplementasikan sebagai langkah-langkah preventif untuk melindungi perempuan dan anak, serta dapat dijadikan sebagai materi pendidikan hukum yang sifatnya preventif untuk mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak sejak dini. 3. Hukum hendaknya memprioritaskan keadilan dibandingkan penegakkan hukum itu sendiri. Sehinnga hukum menjadi alat pencari keadilan yang dinamis dan tidak kaku, karena ukuran keadilan yang paling dasar adalah kepuasan dari semua pihak baik pelaku, korban, maupun masyarakat