BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perawat profesional dalam melaksanakan peran dan fungsinya sehari hari, selalu beresiko tertular terhadap berbagai penyakit. Penularan penyakit dapat terjadi secara kontak langsung ataupun tidak langsung, penularan tersebut dapat melalui droplet transmission, dan airborne transmission (CDC). Tindakan pencegahan universal merupakan salah satu strategi yang telah direkomendasikan oleh Centers for Desease Control and Prevention (CDC) dalam upaya pengendalian infeksi dan penularan penyakit di sarana kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik, dan pusat layanan kesehatan lainnya. Standard Precaution dapat mencegah penularan penyakit / mikroorganisme (Duerink, dkk. 2006). Prinsip tindakan pencegahan universal yaitu menganggap semua pasien adalah terkena atau terinfeksi mikroorganisme, dengan atau tanpa tanda dan gejala sehingga tingkat pencegahan seragam harus digunakan dalam merawat semua pasien (Smeltzer, dkk, 2009). Tindakan isolasi atau Isolation Precaution adalah pedoman yang dibuat untuk mencegah transmisi di rumah sakit. Pada tahun 1997, HICPAC dan CDC mengimplemetasikan dua macam tindakan isolasi. Yang pertama adalah Tindakan Standar / Standard Precaution, yang di desain untuk pencegahan dalam merawat semua pasien di rumah sakit dan merupakan strategi primer untuk pencegahan infeksi nosokomial. Tindakan yang lain adalah tindakan berdasar transmisi atau Transmission Based Precaution, didesain untuk merawat pasien yang diketahui atau di duga terinfeksi penyakit yang menular melalui airborne, droplet atau kontak langsung (Smeltzer dan Brenda, 2008). Tindakan pencegahan universal atau Universal Precaution (UP) yaitu. suatu cara penanganan yang harus diterapkan oleh petugas kesehatan untuk meminimalkan paparan darah dan cairan tubuh dari semua pasien yang merupakan sumber infeksi tanpa memandang diagnosa atau status infeksi 1
(ICN, 2009). Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Centers for Disease Control and Prevention di Amerika Serikat tahun 1987, salah satu tujuan utamanya yaitu melindungi tenaga perawat kesehatan dari penularan penyakit di sarana kesehatan dengan menekankan pentingnya untuk memperlakukan semua pasien sebagai potensi yang dapat menularkan infeksi sehingga perlu diambil langkah pencegahan yang memadai ( Isa, 2006, dari Khairudin 2007). Pekerja kesehatan sangat potensial terpapar darah pada saat menjalankan tugas dan oleh karena itu mereka mempunyai risiko terinfeksi penyakit yang disebabkan kuman pathogen, seperti HIV, virus hepatitis C, dan virus hepatitis B. Paparan darah dapat terjadi melalui injuri percutaneous (tertusuk jarum atau benda tajam lainnya), insiden mucocutaneous (percikan darah atau cairan tubuh bercampur darah ke mata, hidung atau mulut) atau kontak darah dengan kulit yang normal (Kermode, dkk, 2005) WHO (2002) memperkirakan diantara 35 juta para pekerja kesehatan seluruh dunia, sekitar tiga juta pernah mengalami paparan percutaneous terhadap virus terbawa darah setiap tahunnya (dua juta HVB, 900.000 HCV dan 300.000 HIV). Kejadian ini diperkirakan berakibat menjadi infeksi 16.000 hepatitis C, 66.0000 hepatitis B dan 200 5000 HIV. Lebih dari 90% infeksi ini terjadi di negara berpendapatan rendah dan sedangkan di negara maju dapat di cegah (Kermode, dkk., 2005) Kesadaran akan pekerja kesehatan khususnya perawat, terhadap risiko infeksi okupasional oleh kuman pathogen dari darah mulai tumbuh pada tahun 1970 ketika peningkatan jumlah pekerja kesehatan terinfeksi oleh virus Hepatitis B dan selanjutnya pada tahun 1980 dengan munculnya epidemi HIV. Sebagai respon dari kejadian itu, dikembangkan dan diimplementasikan standard guidelines atau pedoman standar bagi pekerja kesehatan guna meminimalkan kemungkinan terpapar dari jarum, darah dan benda tajam lainnya. Inisiatif muncul dari AS, tetapi secara cepat di adopsi dan dimodifikasi untuk digunakan di negara maju lainnya. Selama akhir tahun 1980 dan awal tahun 1990 an, mereka disebut sebagai Universal Precaution atau Body Substance Isolation, tetapi istilah yang terbaru adalah Standard
3 Precaution (Kermode, dkk 2005). Prosedur tindakan pencegahan universal mutlak harus diterapkan di semua pusat layanan kesehatan, seperti di ruang gawat darurat, ruang tindakan, ruang triase, ruang observasi dan laboratorium, serta di dalam ambulans. Berbagai prosedur tindakan keperawatan, baik tindakan invasive maupun non invasive memungkinkan perawat terpapar dengan kuman yang berasal dari pasien melalui darah dan cairan tubuh yang mengandung darah. Semua perawat harus menerapkan prosedur tindakan pencegahan universal yang tepat dan konsisten, pada setiap saat menjalankan tindakan keperawatan terhadap semua pasien, karena selain untuk perlindungan diri sendiri, juga untuk mencegah infeksi silang kepada pasien ataupun rekan kerja. Tindakan pencegahan universal memerlukan kemampuan perawat sebagai pelaksana, ditunjang oleh sarana dan prasarana, serta Standard Operating Procedure yang mengatur tindakan pencegahan universal. Tenaga kesehatan harus mendapat perlindungan dari resiko tertular penyakit agar dapat bekerja secara maksimal (Mahardani, 2010). Perawat Indonesia yang bekerja di Qatar, bertugas di berbagai tempat layanan kesehatan, seperti di Rumah Sakit, klinik kesehatan perusahaan dan ambulans. Ada sekitar 65 perawat yang aktif bekerja, dari total perawat Indonesia di Qatar berjumlah 75 orang, selebihnya mereka adalah ibu rumah tangga (INNA Qatar, 2011). Karakteristik pendidikan perawat Indonesia di Qatar secara umum terdiri dari; lulusan Sekolah Perawat Kesehatan, Lulusan Akademi Keperawatan, dan lulusan Sarjana Keperawatan. Mereka mempunyai pengalaman bekerja yang cukup lama di berbagai rumah sakit, maupun di pusat layanan kesehatan, baik di dalam negeri ataupun di Indonesia. Pada tahun 2009, terjadi wabah virus H1N1 di seluruh belahan dunia, tidak terkecuali Negara Qatar. Semua pusat layanan kesehatan di Qatar, menerapkan pedoman standar yang sama dalam menangani klien yang mempunyai gejala gejala infeksi virus H1N1. Perawat Indonesia turut berperan secara aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan di tempat
kerjanya masing-masing. Namun tidak ada perawat Indonesia yang tertular infeksi tersebut. Sebagian besar dari jumlah penduduk Qatar adalah pendatang dari berbagai negara. Sebelum mendapatkan izin tinggal di Qatar, harus melewati Medical Screening terhadap penyakit menular seperti TB, Hepatitis dan HIV. Namun tidak semua perusahaan melakukan pemeriksaan lanjutan / berkala terhadap karyawannya yang sudah mendapat izin tinggal, mungkin saja mereka tertular penyakit infeksi tersebut. Menurut Nopriadi, dkk. (2004), petugas rumah sakit yang mempunyai risiko tinggi untuk terkena infeksi nosokomial antara lain: dokter, perawat, bidan dan petugas laboratorium, mengingat petugas tersebut selalu memeriksa dan melakukan kontak langsung kepada pasien. Sebagai tenaga kesehatan yang berada digaris depan setiap pusat layanan kesehatan, perawat senantiasa terpapar oleh berbagai kasus penyakit, hal ini sangat berisikio terhadap kesehatan para petugas kesehatan itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Anwar (2005) menunjukkan bahwa prosedur tindakan pencegahan universal masih sering diabaikan, faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu kurangnya pengetahuan dan minimnya dana yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan prosedur tindakan pencegahan universal (Khoirudin, 2007). Menurut penelitian Harris, Nicolai dan Richmond (2010), menunjukkan bahwa hampir semua tempat Emergency Medical Service membuat laporan jika mendapatkan paparan darah dan cairan tubuh, serta mereka menyadari akan risiko hepatitis dan HIV. Selain itu para petugas EMS didapati tidak konsisten menerapkan standar precaution ketika merawat pasien atau saat penggunaan jarum suntik, seperti tidak memakai sarung tangan 17% dan tidak membuang benda-benda terkontaminasi (19%), termasuk jarum (87%) setiap saat. Juga didapati laporan kasus recapping jarum 40%, lanset 1,4%, dan tertusuk jarum 4,5%. Petugas di ruang gawat darurat mempunyai risiko tinggi terhadap infeksi okupasional oleh kuman patogen melalui darah, namun sayangnya,
5 menurut Evanoff, dkk (1999) melaporkan bahwa kepatuhan akan penerapan universal precaution masih rendah di klinikal seting berisiko tinggi. Kepatuhan terhadap penggunaan APD dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, persepsi terhadap risiko, dan iklim organisasi. Sebagai tambahan, ketersediaan APD dan pemakaian yang nyaman atau mudah juga ikut berpengaruh. Perbedaan tingkat kepatuhan terhadap APD diamati antara kelompokkelompok kerja yang berbeda menunjukkan bahwa intervensi dirancang untuk kelompok tertentu mungkin diperlukan untuk perubahan efek dalam penggunaan APD dan tindakan pencegahan lainnya terhadap penularan penyakit melalui darah. Berdasarkan fenomena tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku perawat Indonesia dalam menerapkan universal precaution di pusat layanan kesehatan di Qatar. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut rumusan permasalahan yang penulis tetapkan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perilaku perawat Indonesia dalam menerapkan universal precaution di Pusat Layanan Kesehatan di Qatar? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku perawat Indonesia dalam menerapkan universal precaution di Pusat Layanan Kesehatan di Qatar. Tujuan Khusus Mendeskripsikan tentang pengetahuan, perawat Indonesia tentang
prosedur tindakan pencegahan universal di Pusat Layanan Kesehatan di Qatar Mendiskripsikan tentang sikap, perawat Indonesia tentang prosedur tindakan pencegahan universal di Pusat Layanan Kesehatan di Qatar Mendiskripsikan tentang ketersediaan sarana bagi perawat Indonesia dalam menerapkan prosedur tindakan pencegahan universal di Pusat Layanan Kesehatan di Qatar Mendiskripsikan tentang motivasi perawat Indonesia dalam menerapkan prosedur tindakan pencegahan universal di Pusat Layanan Kesehatan di Qatar Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan mengenai prosedur tindakan pencegahan universal dengan perilaku perawat Indonesia dalam menerapkan prosedur tindakan pencegahan universal di Pusat Layanan Kesehatan di Qatar. Menganalisis hubungan sikap perawat terhadap prosedur tindakan pencegahan universal dengan perilaku perawat Indonesia dalam menerapkan prosedur tindakan pencegahan universal di Pusat Layanan Kesehatan di Qatar. Menganalisis hubungan ketersediaan sarana dengan perilaku perawat Indonesia dalam menerapkan prosedur tindakan pencegahan universal di Pusat Layanan Kesehatan di Qatar. Menganalisis adanya hubungan motivasi dengan perilaku perawat Indonesia dalam menerapkan prosedur tindakan pencegahan universal di Pusat Layanan Kesehatan di Qatar. Manfaat Penelitian Praktisi kesehatan
7 Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu keperawatan mengenai peran perawat dalam pengendalian infeksi dan penularan penyakit di sarana kesehatan. Organisasi Perawat khususnya Indonesian Nurse National Association, Qatar Memberi masukan kepada profesi keperawatan khususnya teman sejawat di Qatar mengenai pentingnya menerapkan tindakan pencegahan universal untuk mencegah terjadinya infeksi dan penularan penyakit dari pasien kepada tenaga kesehatan. Peneliti Sebagai masukan bagi penulis untuk mengetahui faktor faktor yang mempengaruhi perilaku perawat dalam penggunaan alat pelindung pribadi (APD) yang merupakan salah satu strategi pengendalian infeksi dan penularan penyakit, sehingga bisa menjadi pertimbangan untuk menentukan kebijakan dalam mencegah infeksi dan penularan penyakit bagi dirinya sendiri dan perawat dimanapun tempat bekerja. Bidang Ilmu Penelitian ini termasuk dalam bidang ilmu Keperawatan Medikal bedah