BAB II LANDASAN TEORI A. MOTIVASI BERPRESTASI 1. Definisi Motivasi Berprestasi McClelland (dalam Sukadji dkk, 2001) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai motivasi yang mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam bersaing dengan suatu ukuran keunggulan (standard of excellence). Menurut Murray (dalam Beck, 1998), motivasi berprestasi adalah suatu keinginan atau kecenderungan untuk mengatasi hambatan, melatih kekuatan, dan untuk berusaha melakukan sesuatu yang sulit dengan baik dan secepat mungkin. Sementara itu Atkinson (dalam Petri, 2001) menyatakan bahwa motivasi berprestasi individu didasarkan atas dua hal, yaitu tendensi untuk meraih sukses dan tendensi untuk menghindari kegagalan. Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi berarti ia memiliki motivasi untuk meraih sukses yang lebih kuat daripada motivasi untuk menghindari kegagalan, begitu pula sebaliknya. Dari uraian mengenai motivasi berprestasi di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi adalah usaha yang dilakukan individu untuk mempertahankan kemampuan pribadi setinggi mungkin, untuk mengatasi rintangan-rintangan, dan bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dalam suatu ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan dapat berupa prestasi sendiri sebelumnya atau dapat pula prestasi orang lain.
2. Ciri Individu yang Memiliki Motivasi Berprestasi McClelland (1987) mengemukakan beberapa ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi, yaitu : a. Pemilihan tingkat kesulitan tugas Individu dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung memilih tugas dengan tingkat kesulitan menengah (moderate task difficulty), sementara individu dengan motivasi berprestasi rendah cenderung memilih tugas dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi atau rendah. Banyak studi empiris menunjukkan bahwa subjek dengan kebutuhan berprestasi tinggi lebih memilih tugas dengan tingkat kesulitan menengah, karena individu berkesempatan untuk membuktikan bahwa ia mampu melakukan sesuatu dengan lebih baik. Weiner (dalam McClelland, 1987) mengatakan bahwa pemilihan tingkat kesulitan tugas berhubungan dengan seberapa besar usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh kesuksesan. Tugas yang mudah dapat diselesaikan oleh semua orang, sehingga individu tidak mengetahui seberapa besar usaha yang telah mereka lakukan untuk mencapai kesuksesan. Tugas sulit membuat individu tidak dapat mengetahui usaha yang sudah dihasilkan karena betapapun besar usaha yang telah mereka lakukan, namun mereka mengalami kegagalan. b. Ketahanan atau ketekunan (persistence) dalam mengerjakan tugas Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan lebih bertahan atau tekun dalam mengerjakan berbagai tugas, tidak mudah menyerah ketika mengalami kegagalan dan cenderung untuk terus mencoba menyelesaikan tugas, sementara individu dengan motivasi berprestasi rendah cenderung memiliki ketekunan yang
rendah. Ketekunan individu dengan motivasi berprestasi rendah terbatas pada rasa takut akan kegagalan dan menghindari tugas dengan kesulitan menengah. c. Harapan terhadap umpan balik (feedback) Individu dengan motivasi berprestasi tinggi selalu mengharapkan umpan balik (feedback) atau tugas yang sudah dilakukan, bersifat konkret atau nyata mengenai seberapa baik hasil kerja yang telah dilakukan. Individu dengan motivasi berprestasi rendah tidak mengharapkan umpan balik atas tugas yang sudah dilakukan. Bagi individu dengan motivasi berprestasi tinggi, umpan balik yang bersifat materi seperti uang, bukan merupakan pendorong untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik, namun digunakan sebagai pengukur keberhasilan. d. Memiliki tanggung jawab pribadi terhadap kinerjanya Individu dengan motivasi berprestasi tinggi memiliki tanggung jawab pribadi atas pekerjaan yang dilakukan. e. Kemampuan dalam melakukan inovasi (innovativeness) Inovatif dapat diartikan mampu melakukan sesuatu lebih baik dengan cara berbeda dari biasanya. Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan menyelesaikan tugas dengan lebih baik, menyelesaikan tugas dengan cara berbeda dari biasanya, menghindari hal-hal rutin, aktif mencari informasi untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melakukan sesuatu, serta cenderung menyukai hal-hal yang sifatnya menantang daripada individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah. Sukadji dkk (2001) mengatakan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi adalah
a. Selalu berusaha, tidak mudah menyerah dalam mencapai sukses maupun dalam berkompetisi, dengan menentukan sendiri standard bagi prestasinya. b. Secara umum tidak menampilkan hasil yang lebih baik pada tugas-tugas rutin, tetapi mereka biasanya menampilkan hasil yang lebih baik pada tugas-tugas khusus yang memiliki arti bagi mereka. c. Dalam melakukan sesuatu tidak didorong atau dipengaruhi oleh reward (hadiah atau uang) d. Cenderung mengambil risiko yang wajar (bertaraf sedang) dan diperhitungkan. Mereka tidak akan melakukan hal-hal yang dianggapnya terlalu mudah ataupun terlalu sulit e. Mencoba memperoleh umpan balik dari perbuatannya f. Mencermati lingkungan dan mencari kesempatan/peluang g. Bergaul lebih untuk memperoleh pengalaman h. Menyenangi situasi menantang, dimana mereka dapat memanfaatkan kemampuannya. i. Cenderung mencari cara-cara yang unik dalam menyelesaikan suatu masalah j. Kreatif k. Dalam bekerja atau belajar seakan-akan dikejar waktu. Selain itu, Johnson dan Schwitzgebel & Kalb (dalam Djaali, 2008) menyatakan juga karakteristik individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi, yaitu : a. Menyukai situasi atau tugas yang menuntut tanggung jawab pribadi atas hasil-hasilnya dan bukan atas dasar untung-untungan, nasib, atau kebetulan.
b. Memilih tujuan yang realistis tetapi menantang dari tujuan yang terlalu mudah dicapai atau terlalu besar risikonya. c. Mencari situasi atau pekerjaan di mana ia memperoleh umpan balik dengan segera dan nyata untuk menentukan baik atau tidaknya hasil pekerjaaannya. d. Senang bekerja sendiri dan bersaing untuk mengungguli orang lain. e. Mampu menangguhkan pemuasan keinginannya demi masa depan yang lebih baik. f. Tidak tergugah untuk sekadar mendapatkan uang, status, atau keuntungan lainnya, ia akan mencarinya apabila hal-hal tersebut merupakan lambang prestasi, suatu ukuran keberhasilan. 3. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi McClelland (dalam Sukadji dkk, 2001) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang antara lain: a. Pengalaman pada tahun-tahun pertama kehidupan Adanya perbedaan pengalaman masa lalu pada setiap orang menyebabkan terjadinya variasi terhadap tinggi rendahnya kecenderungan untuk berprestasi pada diri seseorang. b. Latar belakang budaya tempat seseorang dibesarkan Bila dibesarkan dalam budaya yang menekankan pada pentingnya keuletan, kerja keras, sikap inisiatif dan kompetitif, serta suasana yang selalu mendorong individu untuk memecahkan masalah secara mandiri tanpa
dihantui perasaan takut gagal, maka dalam diri seseorang akan berkembang hasrat berprestasi yang tinggi. c. Peniruan tingkah laku (modelling) Melalui modelling, anak mengambil atau meniru banyak karakteristik dari model, termasuk dalam kebutuhan untuk berprestasi jika model tersebut memiliki motivasi tersebut dalam derajat tertentu. d. Lingkungan tempat proses pembelajaran berlangsung Iklim belajar yang menyenangkan, tidak mengancam, memberi semangat dan sikap optimisme bagi siswa dalam belajar, cenderung akan mendorong seseorang untuk tertarik belajar, memiliki toleransi terhadap suasana kompetisi dan tidak khawatir akan kegagalan. e. Harapan orangtua terhadap anaknya Orangtua yang mengharapkan anaknya bekerja keras dan berjuang untuk mencapai sukses akan mendorong anak tersebut untuk bertingkahlaku yang mengarah kepada pencapaian prestasi. B. PERSEPSI 1. Definisi Persepsi Kata persepsi berasal dari bahasa Inggris yaitu perception yang berarti penglihatan, pandangan, anggapan, atau daya memahami atau menanggapi sesuatu (Echols, 1996). Persepsi adalah proses pengorganisasian dan penafsiran pola stimulus dalam lingkungan dan menyangkut penilaian yang dilakukan individu terhadap suatu benda, manusia atau situasi yang bersifat positif maupun
negatif (Atkinson, 1987). Sedangkan menurut Pareek (dalam Sobur, 2003) persepsi adalah proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji dan memberikan reaksi kepada rangsangan panca indra atau data. Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Melalui persepsi, manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat indranya yaitu indra penglihat, pendengar, peraba, dan penciuman (Slameto, 2003). Samustasi (dalam Rivai, 1995) mengatakan bahwa persepsi individu terhadap suatu hal mempengaruhi bagaimana individu itu berperilaku pada objek yang dipersepsikan. Jika individu memiliki persepsi positif terhadap suatu hal maka individu itu berperilaku positif dan mendekati objek tersebut. Jika individu memiliki persepsi negatif terhadap suatu hal maka individu itu berperilaku negatif dan menjauhi objek tersebut. Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah segala sesuatu yang dialami seseorang yang berasal dari lingkungan, yang mencakup proses menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan atau menafsirkan, menguji, memberikan reaksi dan melakukan penilaian terhadap suatu benda, manusia atau situasi yang bersifat positif dan negatif. 2. Aspek-aspek persepsi Terdapat 4 aspek pokok persepsi yang dikemukakan oleh Ittelson (dalam Bell, 1996) yaitu :
a. Kognitif, persepsi seseorang dipengaruhi oleh hasil pemikirannya sendiri. Hal ini termasuk apa yang kita lakukan dalam suatu lingkungan. b. Afektif, perasaan kita mempengaruhi bagaimana kita mempersepsi sesuatu. c. Interpretatif, sejauhmana individu memaknai sesuatu. d. Evaluatif, menilai sesuatu sebagai aspek yang baik dan buruk. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi Menurut Walgito (2003) ada dua faktor yang turut mempengaruhi individu dalam mengadakan proses persepsi yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor-faktor yang ada di dalam diri individu, seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berfikir dan kerangka acuan. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang ada di luar diri individu yang meliputi : faktor stimulus itu sendiri dan faktor lingkungan dimana persepsi itu berlangsung. Stimulus dan lingkungan sebagai faktor eksternal dan individu sebagai faktor internal saling berinteraksi dalam individu mengadakan persepsi. Sedangkan menurut Shaleh (2004) adapun faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah : a. Perhatian selektif Dalam kehidupan manusia, setiap saat akan menerima banyak sekali rangsangan dari lingkungan. Meskipun demikian ia tidak harus menanggapi semua rangsang yang diterimanya. Untuk itu, individu hanya memusatkan perhatiannya kepada rangsang-rangsang tertentu saja. Dengan demikian,
objek-objek atau gejala lain tidak akan tampil ke muka sebagai objek pengamatan. b. Rangsang Rangsang yang bergerak diantara rangsang yang diam akan lebih menarik perhatian. Demikian juga rangsang yang paling besar diantara yang kecil, yang kontras dengan latar belakangnya dan intensitas rangsangnya paling kuat. c. Nilai dan kebutuhan individu Seorang seniman tentu punya pola dan citarasa yang berbeda dalam pengamatannya dibanding seorang bukan seniman. Penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak dari golongan ekonomi rendah melihat koin lebih besar daripada anak-anak orang kaya. d. Pengalaman dahulu Pengalaman dahulu sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsi dirinya. Cermin bagi kita tentu bukan baru, tetapi lain halnya bagi orang-orang Mentawai di Pedalaman Siberut atau saudari kita di pedalaman Irian. Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi persepsi terdiri dari faktor internal (perasaan, pengalaman, kemampuan berfikir dan kerangka acuan), faktor eksternal (fakta stimulus itu sendiri dan faktor lingkungan), perhatian yang selektif, rangsang, nilai dan kebutuhan individu serta pengalaman dahulu.
C. PERAN AYAH 1. Definisi Peran Ayah Peran dapat didefinisikan sebagai fungsi seseorang yang diasosiasikan dengan posisi tertentu (Shaw & Contazo, dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993). Ayah merupakan tulang punggung pencari nafkah dan kepala keluarga, harus bertanggung jawab, dapat menjadi figur panutan baik sebagai pribadi, terhadap istri, anak, keluarga dan sosial masyarakat (Kriswandaru, 2004). Peran ayah sering diidentikkan sebagai sosok yang menjadi panutan bagi anak tidak terkecuali berdampak bagi pendidikan anak (Aswandi, 2007). Berdasarkan uraian diatas maka peran ayah adalah fungsi seorang ayah sebagai figur panutan terhadap anak yang berdampak bagi pendidikan anak. 2. Dimensi-Dimensi Peran Ayah yang Efektif Menurut Rosenberg dan Wilcox (2006), ayah yang berperan efektif, memiliki dimensi-dimensi : a. Menjalin hubungan yang positif dengan ibu Menjalin hubungan yang positif dengan ibu adalah cara yang penting untuk menjadi ayah yang baik yaitu dengan memberikan ibu kasih sayang dan perhatian. Hubungan ini menjadi contoh yang penting bagi anak. b. Meluangkan waktu dengan anak Ayah harus meluangkan waktu dengan anak-anak untuk bermain dan bersenang-senang dan ayah harus meluangkan waktu untuk menemani anak belajar.
c. Mengasuh anak Ayah seharusnya memberikan stimulasi afektif yang membuat anak merasa nyaman ketika berada di rumah. d. Mendisiplinkan anak dengan tepat Ayah menegur anak jika berbuat kesalahan dan memberikan penjelasan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. e. Memperkenalkan anak dengan dunia luar Ayah menceritakan tentang pengalaman hidup di luar dan memperkenalkan serta mengajak anak dalam kegiatan masyarakat. f. Melindungi keluarga dan menyediakan perlengkapan sekolah Ayah membeli peralatan dan perlengkapan sekolah juga melindungi serta memenuhi kebutuhan keluarga g. Menjadi teladan Ayah menjadi teladan dan contoh buat anaknya. 3. Dampak Peran Ayah yang Positif Menurut Bloir (2002) peran ayah penting dalam perkembangan anak. Hal ini sejalan dengan Andayani & Koentjoro (2004) yang menyatakan bahwa keterlibatan ayah sangat mempengaruhi proses perkembangan individu, dimana ayah yang memberikan perhatian dan dukungan pada anaknya akan memberikan perasaan diterima, diperhatikan dan memiliki rasa percaya diri, sehingga proses perkembangan anak tersebut dapat berjalan dengan baik. Menurut Dubowitz
(2001) remaja yang merasakan dukungan dari ayah atau merasa ayahnya makin dekat maka harga diri anak tersebut akan makin baik. Gottman & DeClaire (dalam Andayani & Koentjoro, 2004) mengemukakan bahwa keterlibatan ayah akan mengembangkan kemampuan anak untuk berempati, bersikap penuh kasih sayang dan penuh perhatian, serta hubungan sosial yang lebih baik. Penelitian juga menunjukkan bahwa keterlibatan ayah akan memberikan manfaat positif bagi anak laki-laki dalam mengembangkan pengendalian diri dan penyesuian sosial. Di samping itu fungsi ayah pada anak perempuan sangat penting yaitu sebagai pelindung dan memberi peluang kepada putrinya untuk memilih seorang pria sebagai pendamping atau pelindungnya. Hal sejalan juga dikemukakan oleh Bloir (dalam Slameto, 2003), bahwasannya peran ayah penting bagi perkembangan pribadi anak baik secara sosial, emosional maupun intelektualnya dan peran ayah yang paling kuat adalah terhadap prestasi belajar anak dan hubungan sosial yang harmonis. Menurut National Parent Teacher Asosiation (dalam Slameto, 2003) yang mendasarkan hasil-hasil penelitian selama 30 tahun terakhir, menyimpulkan manfaat peran ayah bagi anak adalah makin baiknya tumbuh kembang anak secara fisik, sosio-emosional, ketrampilan kognitif, pengetahuan dan bagaimana anak belajar sehingga prestasi belajarnya lebih tinggi dan sering mendapat nilai 9 dan 10, kehadiran sekolah lebih tertib/disiplin serta aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, menyelesaikan pekerjaan rumah dengan tepat dan benar, bersikap lebih positif terhadap sekolah, dan masuk ranking yang lebih tinggi. Anak disamping mendapat nilai yang tinggi, mereka juga memiliki sikap yang positif terhadap sekolah sehingga rajin mengikuti kegiatan baik intra maupun ekstra kurikuler, akan menangkal anak
dari keterlibatannya dalam kenakalan remaja, seperti mangkir, tawuran, miras, narkoba, kehamilan dini dan kriminalitas. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran ayah Menurut Martin & Colbert (dalam Julaikha, 2006), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peran ayah adalah sebagai berikut: a. Sejarah perkembangan Pengalaman masa kecil seseorang akan mempengaruhi perilaku dalam pengasuhan. Ketika mengalami disiplin yang keras sebagai anak, orangtua cenderung mengulangi pola yang sama dengan anaknya. b. Jenis kelamin Perbedaan psikologis yang paling mendasar antara pria dan wanita adalah cenderung untuk berfokus pada dirinya sendiri dan mengutamakan kemandirian sedangkan wanita lebih menekankan kedekatan terhadap hubungan tersebut. Perbedaan ini lebih didasarkan pada harapan sosial dan pengetahuan daripada pemahaman biologis c. Dukungan emosional dari pasangan Pasangan merupakan sumber dukungan sosial yang utama dan paling intens. Ibu sering memberikan evaluasi pada para ayah ketika mereka terlibat dengan anak-anaknya. Ayah yang merasa istrinya menilai dirinya memiliki kemampuan mengurus anak akan cenderung lebih terlibat dengan anaknya. d. Teman dan keluarga Teman dan keluarga berfungsi sebagai model bagi pengasuhan, melalui informasi tentang harapan dan perkembangan anak dan teknik-teknik yang
berhubungan dengan masalah-masalah tertentu dalam pengasuhan anak. Teman dan keluarga juga dapat berfungsi sebagai dukungan instrumental seperti bantuan pengasuhan anak dan nasehat atau saran. D. PERSEPSI TERHADAP PERAN AYAH Persepsi adalah proses pengorganisasian dan penafsiran pola stimulus dalam lingkungan dan menyangkut penilaian yang dilakukan individu terhadap suatu benda, manusia atau situasi yang bersifat positif maupun negatif (Atkinson, 1987). Persepsi merupakan proses yang dialami individu yang mencakup menerima, memilih, menyadari, dan memaknai stimulus yang terdapat di lingkungan maupun dalam diri individu dengan menggunakan informasi yang telah dikumpulkan sebelumnya. Menurut teori persepsi sosial, seseorang akan melakukan penilaianpenilaian dalam upaya memahami orang lain, dalam hal ini adalah upaya siswa memahami peran ayah dengan cara memberi penilaian-penilaian melalui interaksi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Persepsi sosial sendiri bersumber dari tiga elemen. Elemen tersebut adalah pribadi, situasi dan perilaku. Pengalaman yang seseorang miliki terhadap elemen-elemen tersebut apabila semakin banyak maka semakin terperinci pemahaman seseorang terhadap objek sosial tersebut (Rakhmat, 2001). Objek sosial yang dimaksud adalah peran ayah. Menurut Shaw & Contazo (dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993) peran dapat didefinisikan sebagai fungsi seseorang yang diasosiasikan dengan posisi tertentu. Jadi persepsi terhadap peran ayah adalah proses pengorganisasian dan penafsiran dan penilaian yang dilakukan anak terhadap peran ayah
E. HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERAN AYAH DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI SISWA Motivasi berprestasi adalah salah satu faktor yang mendukung keberhasilan siswa. Heckhausen (dalam Djaali, 2008) mengemukakan bahwa motivasi berprestasi adalah suatu dorongan yang terdapat dalam diri siswa yang selalu berusaha atau berjuang untuk meningkatkan atau memelihara kemampuannya setinggi mungkin dalam semua aktivitas dengan menggunakan standar keunggulan. McClelland (dalam Sukadji, 2001) menyatakan bahwa ada lima domain yang mempengaruhi motivasi berprestasi siswa, salah satunya adalah keluarga. Lamb (1990) menjelaskan bahwa dalam konteks keluarga, ibu dan ayah mempunyai peran yang berbeda namun saling mendukung. Peran ibu selama ini didefinisikan begitu lengkap, sedangkan peran ayah kurang diperhatikan. Menurut Tamis-LeMonda & Cabera (dalam Pintrich, 2002), keterlibatan ayah pada pendidikan anak di sekolah berpengaruh secara langsung terhadap kesuksesan dan prestasi anak di sekolah. Hal senada juga diungkapkan oleh Bloir (2002) peran ayah penting dalam diri anak untuk menumbuhkan motivasi untuk meraih prestasi di bidang akademik. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian National Parent Teacher Asosiation (dalam Slameto, 2003), menyimpulkan manfaat peran ayah bagi anak adalah ketrampilan kognitif dan motivasi untuk berprestasi.
Keterlibatan pengasuhan ayah pada perkembangan anak dapat membentuk persepsi tersendiri oleh anak pada peran ayah. Samustasi (dalam Rivai, 1995) mengatakan bahwa persepsi individu terhadap suatu hal mempengaruhi bagaimana individu itu berperilaku pada objek yang dipersepsikan. Jika individu memiliki persepsi positif terhadap suatu hal maka individu itu berperilaku positif dan mendekati objek tersebut. Jika individu memiliki persepsi negatif terhadap suatu hal maka individu itu berperilaku negatif dan menjauhi objek tersebut. Jika dihubungkan dengan anak perasaan diterima yang diberikan oleh ayah secara optimal akan terbentuk dengan baik atau tidak, tergantung pada persepsi mereka terhadap peran ayah yang diperolehnya. Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa peran ayah berhubungan dengan motivasi berprestasi siswa. F. HIPOTESA PENELITIAN Hipotesa dalam penelitian ini adalah : Ada hubungan antara persepsi terhadap peran ayah dengan motivasi berprestasi siswa Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Islamiyah Sunggal.