BAB IV ANALISIS. masalah yang dirumuskan pada bab terdahulu, yaitu; pertama, tentang pandangan

dokumen-dokumen yang mirip
KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

KESINAMBUNGAN AGAMA-AGAMA

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB V PENUTUP. Dalam bagian ini, akan di buat kesimpulan dari pembahasan bab 1 sampai. dengan bab 4 serta saran-saran. 5.1.

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

BAB I PENDAHULUAN. beragama itu dimungkinkan karena setiap agama-agama memiliki dasar. damai dan rukun dalam kehidupan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. ajarannya akan berbeda dengan mainstream, bahkan memiliki kemungkinan terjadi

Pendidikan Agama Islam

Universitas Sumatera Utara REKONSTRUKSI DATA B.1. Analisa

RATIOLEGIS HUKUM RIDDAH

BAB I PENDAHULUAN. mengajar dengan materi-materi kajian yang terdiri dari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu

ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS

Persatuan Dalam al-quran dan Sunnah

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan

PENGINJILAN I. PENTINGNYA VISI DAN MISI PENGINJILAN DALAM GEREJA LOKAL

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KERJASAMA ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM MEMBANGUN KEBERSAMAAN

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Hal itu merupakan

Mam MAKALAH ISLAM. Engkau Hanyalah Pemberi Peringatan, Bukan Pemaksa

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Waisak Nasional Tahun 2013, Jakarta, 26 Mei 2013 Minggu, 26 Mei 2013

BAB I PENDAHULUAN. (2000) p Budyanto, Dasar Teologis Kebersamaan dalam Masyarakat yang Beranekaragam Gema Duta Wacana, Vol.

BAB V. Penutup: Refleksi, Kesimpulan dan Saran

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB IV HATI NURANI. 2. KOMPETENSI DASAR Mengenal suara hati, sehingga dapat bertindak secara benar dan tepat

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN SOSIALISASI PERKUATAN DAN PENGEMBANGAN WAWASAN KEBANGSAAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB IV. PENUTUP. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diajukan simpulan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015

Pertanyaan Alkitabiah Pertanyaan Bagaimanakah Orang Yang Percaya Akan Kristus Bisa Bersatu?

BAB I ARTI DAN MAKNA GEREJA

PERBEDAAN ANTARA PERSATUAN ORANG-ORANG KRISTEN SECARA ROHANI DAN SECARA ORGANISASI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin

Misiologi David Bosch

Kristologi Dalam Paham Pluralisme Agama Suatu Kajian Kristologi Alkitabiah Terhadap Pandangan Kristologi Dalam Pluralisme. Skripsi

Seolah umat Islam itu jahat dan tidak ada baiknya sedikit pun terhadap mereka. Ini tidak fair.

UKDW BAB I PENDAHULUAN

PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama.

BAB V PENUTUP. 1. Indonesia merupakan sebuah negara multikultural dan plural, yang terdiri dari

A. PERMASALAHAN DAN ALASAN PEMILIHAN JUDUL

Bab I Pendahuluan BAB 1 PENDAHULUAN

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal dengan keanekaragaman Suku, Agama, Ras dan Antar

BAB I PENDAHULUAN. a. Latar Belakang Permasalahan

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.

LEGAL OPINI: PROBLEM HUKUM DALAM SK NO: 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR

BAB IV PAPARAN DAN PEMBAHASAN DATA. Penulis telah memaparkan pada bab-bab yang terdahulu mengenai dasar

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB IV ANALISIS UPAYA DAN KENDALA REKONSILIASI KONFLIK PORTO-HARIA. Dengan mencermati realita konflik yang terjadi di Negeri Porto-Haria,

BAB I PENDAHULUAN. diklasifikasikan menjadi tiga bentuk; pertama, agama wahyu dan non-wahyu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tergambar dalam berbagai keragaman suku, budaya, adat-istiadat, bahasa

GEREJA KRISTEN NAZARENE PASAL-PASAL TENTANG IMAN

Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. harus dijaga di Indonesia yang hidup di dalamnyaberbagai macam suku, ras,

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Sehingga tidak memicu terjadinya konflik sosial didalam masyarakat.

Moral Akhir Hidup Manusia

Ia mendesak dunia Barat untuk mengambil langkah agar khilafah bisa dicegah.

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB IV PANDANGAN WARGA JEMAAT GBI BANDUNGAN TERHADAP PSK BANDUNGAN. A. Pandangan Warga Jemaat GBI Bandungan Terhadap PSK Bandungan

Depresi Rohani dan Konsep Tentang Penderitaan Ibr 12:5-11 Pdt. Andi Halim, M.Th. Kenapa orang percaya masih bisa mengalami depresi rohani?

Islam dan Sekularisme

PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK INSAN OMBUDSMAN KETUA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV TINJAUAN KRITIS DARI PERSPEKTIF PEDAGOGI PEMBEBASAN PAULO FREIRE TERHADAP MODEL PENYULUHAN AGAMA KRISTEN

PERSATUAN DAN KERUKUNAN

Bimbingan Ruhani. Penanya:

JIKA ALKITAB SATU-SATUNYA OTORITAS KITA DALAM AGAMA, MENGAPA MANUSIA MENAFSIRKAN ALKITAB SECARA BERLAINAN?

BAB IV ANALISIS. Pustaka Pelajar, 2001, hlm Azyumardi Azra, Kerukunan dan Dialog Islam-Kristen Di Indonesia, dalam Dinamika

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

I. PENDAHULUAN. ketatanegaraan adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem. dalam wujud Otonomi Daerah yang luas dan bertanggung jawab untuk

BAB 1 PENDAHULUAN Kematian

151 Perda yang Bias Agama. Oleh Victor Silaen

PILIHLAH JAWABAN YANG BENAR!

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari deskripsi dan pembahasan hasil penelitian pada bab IV, dapat peneliti

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah

SOSIALISASI Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006 dan Nomor 8 tahun 2006 Bagi masyarakat Hindu Jawa Barat di

BAB 4 RELEVANSI PEMURIDAN YANG SEDERAJAT BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DI INDONESIA

K2 KEMAMPUAN KUESIONER KARUNIA-KARUNIA ROH

Pendidikan Agama Islam Bab 11 ISLAM DAN TOLERANSI

RELIGIUS SEBAGAI MISTIK DAN NABI DI TENGAH MASYARAKAT Rohani, Juni 2012, hal Paul Suparno, S.J.

Bagaimana Berjalan Dalam Roh Bagian ke-3

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Natal Nasional, Jakarta, 27 Desember 2012 Kamis, 27 Desember 2012

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGEDARAN SEDIAAN FARMASI TANPA IZIN EDAR

BAB V PENUTUP. aliran kepercayaan disetarakan statusnya layaknya agama resmi lainnya (Mutaqin

BAB I PENDAHULUAN. prasejarah. Pada zaman yunani kuno misalnya, sudah mulai mempertanyakan

BAB I PENDAHULUAN. pasti saling membutuhkan satu sama lain. Selama manusia itu hidup, ia akan

2

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 TAHUN 2011 TENTANG LARANGAN KEGIATAN JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DI JAWA BARAT

RENUNGAN KITAB 1Tesalonika Oleh: Pdt. Yabes Order

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

METODOLOGI PLURALISME. M. Qasim Mathar

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS Analisis dalam skripsi ini diarahkan pada tiga hal, sesuai dengan fokus masalah yang dirumuskan pada bab terdahulu, yaitu; pertama, tentang pandangan tokoh agama Kristen dan Islam di Banjarmasin tentang Misi dan Dakwah, kedua, mengenai peraturan pemerintah yang tertuang dalam berbagai Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pedoman penyiaran agama, dan ketiga, tentang kiat-kiat dalam mengatasi ketegangan antaragama yang disebabkan misi dan dakwah lintas agama. A. Pandangan tokoh agama Kristen dan Islam di Banjarmasin tentang Misi dan Dakwah Dari hasil wawancara yang cukup mendalam dengan beberapa tokoh agama di Banjarmasin baik dari kalangan Kristen maupun Islam, secara umum tokoh-tokoh tersebut mengakui bahwa hubungan Kristen dan Islam dalam sejarah mengalami pasang-surut bahkan sering terjadi konflik yang memakan tidak sedikit korban jiwa dan kerugian lainnya. Namun di sisi lain hubungan tersebut tak lepas dari korelasi dialogis antara satu agama dalam persinggungannya dengan agama lain, kendati dari persinggungan tersebut sering melahirkan perseteruanperseteruan yang mustahil dapat dihindari, terlebih menyangkut perihal penyiaran agama sebagai salah satu perintah yang wajib dijalankan masing-masing agama. 88

Beberapa tokoh dari Kristen menyatakan bahwa hubungan tersebut sering dinodai kecurigaan-kecurigaan dari kedua belah pihak, kendati kecurigaan tersebut sebenarnya mesti ditinjau ulang dan dicermati kembali apakah munculnya hal negatif dari kedua pihak murni karena agama atau hanya permainan politik kalangan tertentu yang sengaja memperkeruh hubungan untuk meraup keuntungan pribadi. Keduanya juga merupakan agama monoteis yang bersumber dari Ibrahim dan lebih jauh keduanya juga sama-sama agama yang mengemban misi teologis yang sama pula. Khusus mengenai doktrin tentang misi, baik Kristen maupun Islam samasama memiliki landasan kuat dari kitab suci mereka masing-masing tentang perintah menyiarkan agama, yang dalam Kristen dikenal dengan misi dan dalam Islam disebut dengan dakwah. Hanya saja, menurut hampir seluruh tokoh-tokoh agama tersebut doktrin-doktrin itu perlu diadakan reinterpretasi guna menghindari paradigma keliru tentang hal tersebut. Terlebih menyangkut niat dan semangat untuk 'menyelamatkan' orang lain dari kekafiran. Semua tokoh menganggap bahwa doktrin-doktrin yang terkesan eksklusif tersebut memang nyata adanya, namun di sisi lain yang lebih penting bagi mereka adalah bagaimana cara menerjemahkan doktrin tersebut dalam ranah aksi sehingga tidak mengakibatkan retaknya hubungan kedua agama. Mereka menyebut bahwa maraknya aksi kristenisasi di beberapa wilayah di Indonesia 88

merupakan akibat pemahaman yang dangkal dari oknum tertentu yang mengatasnamakan agama. 1 Beberapa fakta menunjukkan bahwa perasaan terancam akan adanya kristenisasi di kalangan Islam dan sebaliknya perasaan cemas juga menghantui pihak Kristen terhadap isu Negara Islam yang dihembuskan oleh gerakan militan dalam Islam. Kecemasan tersebut cukup beralasan dikarenakan bukti-bukti kuat yang mengarah kepada hal tersebut cukup jelas dan beragam bentuk dan motivasinya. Namun terlepas dari semua itu sebenarnya doktrin tetaplah doktrin, dan masalah reinterpretasi ataupun deinterpretasi doktrin tersebut tergantung pada sejauh mana kearifan tokoh-tokoh agama bersangkutan dalam memandang doktrin itu, dan subjektifitas memang sangat sulit dihindari. Pada umumnya tokoh-tokoh agama di Banjarmasin memandang misi maupun dakwah sebagai sesuatu yang bersifat luas. Dalam Kristen misi tidak hanya kristenisasi atau evangelikalisasi dalam arti sempit, tapi lebih jauh misi bersifat universal dan dalam bentuk dan corak yang berbeda-beda pula. Diantaranya misi tentang pendidikan, kesehatan, kebersihan lingkungan, meningkatkan moralitas dan etika dan lain-lain. Begitu pula dakwah dalam Islam, konsep tersebut mempunyai makna yang sangat luas. Dakwah bisa berarti seruan, ajakan, dan himbauan khususnya terhadap kalangan umat Islam sendiri maupun secara umum. Intinya, dakwah dan misi jika dipandang dari sudut pandang teologis memang terkesan sangat progresif dan mempunyai titik tekan yang 1 Hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh Kristen seperti Pdt. Kornelius S, Pdt. Alexandra, dan Romo Gregorius. Mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan pengaruh dari aliran garis keras dalam Kristen yang terhimpun dalam sekte-sekte kecil yang sulit dipantau pergerakannya.

membahayakan umat lain sebagai sasarannya. Namun jika lebih dicermati secara mendalam konsep tersebut merupakan upaya suatu agama dalam meningkatkan kualitas keberagamaan pemeluknya, adapun untuk tujuan meningkatkan kuantitas pemeluk agama, maka hal tersebut sebenarnya tidak perlu diprioritaskan secara formal dan menjadi target utama sebuah misi atau dakwah, karena sejatinya secara tidak langsung sesuatu apapun yang berorientasi pada kualitas dengan sendirinya akan menuai peningkatan secara kuantitas. Dalam Alkitab maupun Alquran dijelaskan bahwa dalam menjalankan misi pada intinya adalah untuk menggiring manusia menuju keselamatan yang dijanjikan Tuhan. Alkitab di satu pihak menyuruh umat Kristen menjadi gembala sekaligus guru bagi umat manusia dalam menempuh kasih dan kesejahteraan dari Tuhan, di pihak lain kasih tersebut harus dimanifestasikan sebagai 'pelayanan' kepada segenap manusia baik Kristen maupun non-kristen. Untuk itulah, menurut salah satu tokoh Kristen di Banjarmasin (Pdt. Kornelius) kasih tersebut harus terwujud pada sembilan unsur yang tercermin dalam kepribadian tiap umat Kristen, sebagai bukti bahwa dia adalah seorang yang diliputi kasih Tuhan dan keselamatan dari pengorbanan Kristus untuk dirinya. 2 Dalam Islam, dakwah pun di satu sisi adalah upaya taghyirul munkar di mana saja berada. Menurut fungsinya, dakwah memang terbagi menjadi dua, yaitu internal dan eksternal, dan keduanya sama-sama urgen, namun dakwah yang bersifat internal yang berorientasi pada peningkatan kualitas keberagamaan juga berimbas secara eksternal, yaitu menyangkut hubungan lintas agama. Pada 2 Sembilan unsur tersebut dapat dilihat pada bab sebelumnya dalam wawancara penulis dengan Pdt. Kornelius Sukaryanto.

initinya, siapapun dia, jika telah memiliki wawasan keagamaan yang luas dan kedewasaan dalam berhubungan antaragama maka dia akan berusaha menunjukkan spiritualitas yang tinggi secara arif kepada orang yang tidak seagama dengannya. Dengan cara menunjukkan moral yang baik dan pelayanan yang tulus. Apa yang terjadi di lapangan mengenai misi dan dakwah yang progresif dengan motivasi memperbanyak jumlah khususnya kristenisasi dan evangelikalisasi maka sejatinya gerakan ini secara langsung telah mengakibatkan hubungan Kristen dan Islam menjadi tidak harmonis, yang disebabkan ambisi kalangan tertentu semata dengan niat yang 'baik' (setidaknya baik dalam pandangan yang melakukannya) tapi mengancam golongan lain yang menjadi sasarannya. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan hal tersebut. Ditinjau secara sosiologis, sebagaimana yang diungkapkan Peter L. Berger dengan teori desekularisasi-nya, ia menyebutkan bahwa kebangkitan semangat keberagamaan di era modern menjadikan misi dan dakwah merupakan suatu kebutuhan, dan sekaligus menjadikan pelakunya sebagai 'pedagang' dalam pusaran pasar bebas keagamaan, yang mempromosikan agamanya kepada dunia sebagai sesuatu yang dapat memberikan pelayanan, keperluan, dan jawaban bagi kegelisahan para pencari kedamaian secara spiritual. Dalam hal ini agama, menjadi sebuah komoditi yang dijajakan dalam apa yang disebut dengan relegious free market atau pasar keyakinan dan spiritualitas, yang secara langsung melibatkan pemeluk agama bersangkutan (terlepas ia tokoh agama maupun tidak) untuk lebih giat 'berdagang' memasarkan agamanya. Di mana fenomena ini terjadi

begitu natural dan membuktikan agama manakah yang lebih mampu memberikan jawaban bagi berbagai macam persoalan. Modernisasi yang mengarah kepada sekularisasi pada puncaknya telah menyebabkan kehampaan spiritual bagi kebanyakan umat manusia secara psikis, yang pada gilirannya membangkitkan kembali gairah dan semangat keagamaan yang merupakan kebutuhan manusia secara alamiah. Inilah yang disebut Berger sebagai arus desekularisasi di abad modern. Memang tidak semua motivasi misi dan dakwah adalah menjawab persoalan manusia secara spiritual. Ada kalanya kegiatan misi dan dakwah dijadikan sebagai alat yang jitu secara politis. Di mana jumlah umat yang banyak dalam suatu agama akan berpengaruh pada banyaknya suara yang diraih dalam perebutan kekuasaan dalam pemerintahan. Seringkali agama atau gerakan keagamaan dijadikan sebagai kendaraan politik elit tertentu untuk memenangi perebutan kekuasaan, dengan perjanjian 'saling menguntungkan' antara calon penguasa dengan kalangan agama, yaitu dengan kemenangan calon penguasa berarti kemenangan pula bagi agama yang menyokongnya dengan massa yang banyak, baik dengan cara dimasukkannya beberapa oknum agama tersebut dalam jajaran pemerintahan, atau berupa kebijakan-kebijakan yang menguntungkan dan berpihak pada agama tersebut, meskipun yang sering terjadi adalah sebaliknya, tatkala calon penguasa yang disokong agama tertentu dikemudian hari malah terbukti tidak mewakili aspirasi agama yang dahulu mendukungnya. Mengenai dana dan bantuan lain dari luar negeri kepada salah satu agama menyangkut kegiatan misi dan dakwah, menurut hasil wawancara penulis dengan

beberapa tokoh agama di Banjarmasin, bahwa oleh karena agama bersifat univesal yang tidak tersekat oleh batas teritorial suatu negara, dan bahwa agama merupakan media penghimpun yang global yang diikat oleh persaudaraan seiman, maka bantuan tersebut dianggap sah-sah saja. Apalagi mengingat misi dan dakwah merupakan hal yang dianggap meningkatkan mutu suatu agama, baik secara kualitas maupun kuantitas, maka tidak ada alasan untuk membatasi ataupun menghalangi aliran bantuan tersebut, bukankah apabila suatu agama mampu memberikan pelayanan terbaik bagi segenap manusia secara umum, maka itu secara otomatis akan meningkatkan kualitas SDM sebuah bangsa, asal dengan catatan bahwa bantuan tersebut tidak digunakan untuk tujuan eksklusif yang menyalahi dan mengancam eksistensi golongan lain di luar mereka, seperti kristenisasi terhadap orang atau komunitas yang sudah beragama, bertindak persuasif dan ditambah dengan bantuan pangan serta pemenuhan kebutuhan masyarakat yang sifatnya mengikat, maka bantuan luar negeri tersebut patut dipantau pihak pemerintah, atau bahkan dihentikan demi menghindari ketegangan antaragama disebabkan kecemburuan sosial dan finansial dan menjaga stabilitas keamanan nasional. Adapun mengenai masih ditemukannya kelompok tertentu dari suatu agama yang tetap menjalankan misi secara progresif, maka tokoh-tokoh agama di Banjarmasin yang telah dimintai keterangan oleh penulis menyebutkan, bahwa hal tersebut adalah akibat dari kurang pahamnya oknum-oknum tersebut mengenai esensi sebuah misi, gerakan militan yang muncul dari agama Kristen maupun Islam yang dengan semangat mengajak orang lain masuk agamanya dengan alasan

menyelamatkan orang tersebut dari kesesatan, dijelaskan tokoh-tokoh tersebut, adalah sebuah reaksi dari anggapan bahwa lembaga-lembaga yang dianggap mapan (establish) sudah kurang memperhatikan hal yang urgen tersebut, yang pada gilirannya mendorong mereka untuk ambil bagian dalam 'proyek penyelamatan' tersebut. Namun sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu tokoh Kristen sendiri yakni Pdt. Alexandra Binti, bahwa ternyata gerakan militan (beliau menyebutnya dengan istilah sekte dengan alasan bahwa gerakan-gerakan semacam itu 'belum' dianggap mapan oleh kalangan Protestan sendiri, dan karena mereka dianggap melawan arus dari lembaga yang sudah mapan) yang muncul tersebut dalam menjalankan misi lebih berorientasi pada misi internal, misi yang bergerak untuk mengembalikan orang Kristen kepada ajaran Kristen yang lebih murni (lebih murni menurut pandangan mereka), mereka lebih agresif untuk mengkristenkan orang Kristen sendiri yang dianggap sudah tidak memegang teguh ajaran Alkitab yang fundamental, untuk itulah, mereka sering juga disebut kaum fundamentalis dalam Kristen, atau yang oleh Bryan Wilson dikategorikan sebagai sekte conversionist, yang bertujuan untuk mengembalikan orang Kristen kepada Kristen sesungguhnya, meskipun beberapa dari gerakan-gerakan ini ada yang juga lebih menitikberatkan misi pada dua arah, yaitu secara internal dan eksternal sekaligus, dengan motivasi yang sama, menyelamatkan umat manusia dari kekafiran, dan menyebarkan ajaran kasih Kristus kepada siapapun dan di mana pun ada kesempatan. 3 3 Alexandra menyebutkan bahwa salah satu dari sekte-sekte yang dianggapnya militan tersebut adalah Gereja Bethel Indonesia (GBI), yang menurutnya sering mengkhawatirkan gerejagereja yang sudah mapan, karena secara sistematis mereka sedikit demi sedikit 'mencuri' anggota

Istilah kafir pada kedua agama juga bersifat luas, artinya tidak hanya dialamatkan pada orang yang di luar agama mereka, tetapi orang yang memeluk agama tersebut pun, jika tidak mengimani secara keseluruhan ajaran agamanya, maka ia juga masih dikategorikan sebagai kafir. Dalam Kristen dijelaskan, bahwa meskipun seseorang secara notabene beragama Kristen, namun tidak sepenuhnya menjalankan ajaran agamanya, bahkan bertindak sesuatu yang bertentangan dengan moral Kristen, serta berkelakuan yang tidak seperti yang digariskan Alkitab, maka ia juga patut disebut kafir. Begitu pula dalam Islam, seseorang yang mengaku sebagai muslim, namun mengingkari dan tidak menjalankan ajaran agamanya secara sempurna, maka ia pun tetap dianggap kafir pula, seperti seorang yang dengan sengaja meninggalkan shalat kendati menyebut dirinya muslim, maka ia tetap digolongkan sebagai kafir. 4 Pergeseran paradigma misi dan dakwah juga terjadi dewasa ini, terutama Kristen, beralihnya paradigma tentang misi yang semula terkesan sangat eksklusif berubah menjadi inklusif pasca Konsili Vatikan II, yang mana hal tersebut terjadi setelah dihembuskannya paham pluralisme agama dalam dunia Kristen. 5 Jadi sekarang ini, misi tidak lagi sepenuhnya dengan motivasi menyelamatkan jemaat gereja yang sudah terdaftar pada gereja mapan. Alexandra Binti, wawancara pribadi, 4 Juli 2011. 4 Asfiani, Lc menjelaskan sebuah hadis nabi yang berarti bahwa seseorang yang dengan sengaja meninggalkan shalat, maka ia sungguh telah kafir, meskipun kafir di sini bukan kafir imani atau secara akidah, namun tetap saja ia termasuk golongan kafir karena, lanjut beliau, sesuatu yang membedakan seorang muslim dengan kafir adalah pada perkara shalat. Asfiani, Lc, wawancara pribadi, 25 Juli 2011. 5 Penjelasan ini diterangkan oleh Romo Gregorius Sabinus ketika wawancara dengan penulis, bahwa slogan Extra Ecceleciam Nulla Salus memang masih digunakan dalam dunia Katolik, namun pemaknaannya yang sekarang lebih terbuka dan inklusif. Romo Gregorius Sabinus, wawancara pribadi, 20 Juli 2011.

sebanyak-banyaknya umat manusia dari kesesatan menuju iman kepada Kristus, namun lebih dilandasi semangat untuk hidup bersama dalam damai, sejahtera, dan saling menghargai satu sama lain, sebagaimana yang disampaikan oleh Romo Gregorius tentang kiat-kiat menjaga hubungan antaragama yaitu salah satunya adalah perlunya ditanamkan keyakinan bahwa kita hidup dalam dunia yang pluralistik, dan pada intinya kita adalah satu suku bangsa, yaitu bangsa Allah. B. Persepsi mengenai Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Penyiaran Agama Pada dasarnya, semua tokoh agama di Banjarmasin yang penulis wawancarai menyatakan setuju saja dengan peraturan yang telah dirumuskan pemerintah melalui SKB Menag dan Mendagri tahun 1979 tersebut. Mereka beranggapan bahwa peran pemerintah dalam menyikapi adanya fakta penyiaran agama yang dilakukan oleh kalangan Kristen maupun Islam sangat baik, di antara mereka menyebutkan langkah pemerintah tersebut sebagai upaya positif dalam memberikan pedoman dan rambu-rambu tentang tata-cara menyiarkan agama yang tidak merugikan pihak lain. pemerintah menurut tokoh-tokoh tersebut dalam hal ini berfungsi sebagai mediator, dan mengenai penerapannya di lapangan dilibatkan peran masyarakat dengan istilah social control atau pengawasan langsung dari masyarakat, meskipun begitu pemerintah juga selaku pembentuk kebijakan harus tetap menjalankan fungsinya sebagai pengawas umum, dengan menggunakan aparat berwenang dalam mengawasi penerapan kebijakan tersebut sampai ke akar rumput.

Memang tidak semua tokoh agama menyatakan setuju 100% dengan kebijakan tersebut, karena mereka melihat seakan ada intervensi dan campur tangan pemerintah dalam hal agama, bukankah menurut mereka, negara kita meskipun bukan negara sekuler, tapi juga bukan negara agama, yang mana dalam hal keagamaan pun, harus ada ikut campur pemerintah di dalamnya. Bahkan ada di antara mereka yang menganggap bahwa campur tangan pemerintah tersebut sebenarnya juga bersifat politis, yakni agar menjadikan institusi agama tetap selalu bergantung pada kebijakan pemerintah dalam berbagai persoalannya. Keterikatan inilah yang, konon, dikehendaki pemerintah untuk tetap dipertahankan, agar institusi agama tidak berubah menjadi kekuatan tandingan atau mungkin menjadi oposisi bagi pemerintah, mengingat agama mempunyai massa yang fanatik dan dengan jumlah yang sangat besar, sangat berpotensi untuk menjelma menjadi 'pemerintahan baru' yang ditaati oleh massanya, sehingga akan mengakibatkan merosotnya wibawa pemerintah yang sah dan pada gilirannya akan menjatuhkan kekuasaan pemerintah itu sendiri. 6 Tokoh-tokoh agama tersebut juga diantaranya ada yang berpendapat bahwa pemerintah terkesan ambiguistis dengan kebijakannya, di satu pihak pemerintah mengatur kebijakan tentang penyiaran agama berikut pedoman lainnya yang serupa dengan itu, namun di pihak lain pemerintah tidak pernah tegas menindak oknum yang dengan sengaja melanggar peraturan tersebut, hal ini 6 Hal ini disampaikan pula oleh Romo Gregorius dalam wawancaranya dengan penulis. Beliau mengatakan bahwa kebanyakan konflik yang terjadi di masyarakat pun sebenarnya tidak lepas dari keterlibatan pemerintah, meskipun terlihat bias dan cenderung ditutup-tutupi dengan isu-isu hangat seputar agama lainnya. Dalam hal ini beliau secara langsung menuding keterlibatan pemerintahan SBY dalam kasus-kasus terorisme, kekerasan demi agama, dan isu-isu keagamaan lainnya, yang sebenarnya terkesan dibuat-buat supaya menarik simpatik masyarakat pada pemerintah sebagai pihak yang mampu mengatasi konflik antaragama. 88

sangat kentara di mana diketahui bahwa selama ini pemerintah tidak pernah mengeluarkan undang-undang yang berisi sanksi bagi pihak yang menyimpang dari pedoman yang digariskan tersebut. Inilah yang biasanya menjadi polemik bagi kalangan agamawan baik Kristen maupun Islam. Meskipun pemerintah sekarang berupaya dengan membentuk FKUB untuk menjembatani hubungan dialogis antaragama, namun keberadaan FKUB sendiri dinilai belum terlalu memasyarakat, dan hasil-hasil dari dialog di FKUB kurang tersosialisasi dengan efektif dan efisien. C. Kiat-Kiat Mengatasi Ketegangan Antaragama yang Disebabkan Misi dan Dakwah Secara umum, baik di kalangan Kristen maupun Islam sejatinya menghendaki hubungan yang lebih baik lagi antar mereka, hal ini dapat dilihat dari semua kiat dan langkah-langkah yang diusulkan oleh tokoh-tokoh tersebut menyangkut upaya mengatasi ketegangan antaragama yang khususnya disebabkan oleh misi dan dakwah yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Apa yang dirumuskan mereka, pada intinya untuk menjaga agar hubungan baik yang sudah terjalin ini jangan sampai ternodai lagi oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang sangat merugikan semua pihak. Khusus mengenai penafsiran doktrin-doktrin yang terkesan eksklusif yang terdapat pada tiap agama, mereka menyarankan agar semua pemeluk agama terutama pemuka-pemuka agama bersangkutan agar lebih mendalami lagi esensi dari doktrin tersebut, sehingga tidak melahirkan lebih banyak kalangan ekstremis-fundamentalis dalam 88

agama apapun yang menjadikan golongan lain sebagai musuhnya. Dalam hal ini, tokoh-tokoh agama Kristen dan Islam pada umumnya menyarankan agar elemen dalam agama apapun untuk ambil bagian dalam menjaga kelestarian hubungan yang sudah dirajut dengan susah payah ini, dan tidak lagi mengulang pengalaman pahit masa lalu yang sangat merugikan semua pihak. 999