BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. secara formal dan didasarkan pada aturan-aturan yuridis. berbagai aspek lapisan sistem yang ada dalam, setiap dimensi kehidupan

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS PENDAPAT PARA HAKIM DI PENGADILAN AGAMA KENDAL DALAM PASAL 177 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG BAGIAN WARIS BAGI AYAH

Relevansi Bagian Warisan Sepertiga untuk Ayah dalam Kompilasi Hukum Islam

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sebagai jamak dari lafad farîdloh yang berarti perlu atau wajib 26, menjadi ilmu menerangkan perkara pusaka.

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEMARANG No.684/Pdt.G/2002/PA.Sm DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAH{RU<R

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA

TRANSKIP WAWANCARA. : Pembina Utama Muda/ (IV/c), Hakim Madya Utama

BAB IV PEMERATAAN HARTA WARISAN DI DESA BALONGWONO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

PEMBARUAN HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS

BAB I PENDAHULUAN. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA BANJARMASIN TENTANG HARTA BERSAMA. A. Gambaran Sengketa Harta Bersama pada Tahun 2008 di PA Banjarmasin

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL

Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan.

BAGIAN WARIS AYAH DALAM PERSPEKTIF IJTIHAD SHAHABAT DAN PASAL 177 INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR : 1 TAHUN 1991 TENTANG KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

BAB 5 PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB III KAWIN HAMIL DALAM PASAL 53 KHI. karena pengadilan agama merupakan lembaga social yang berwenang

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan

WARIS ISLAM DI INDONESIA

WASIAT WAJIBAH DAN PENERAPANNYA (Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam)

BAB IV ANALISIS TERHADAP STATUS NASAB DAN KEWAJIBAN NAFKAH ANAK YANG DI LI AN AYAHNNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA INDONESIA

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam

PERGESERAN PEMIKIRAN HUKUM KEWARISAN ISLAM MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. hartanya kepada para ahli warisnya. Hal ini tidak bisa dipungkiri atau diingkari oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu:

Pembagian Warisan 2 PEMBAGIAN WARISAN (2)

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

BAB I PENDAHULUAN. A. Penegasan Judul

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan

Daftar Terjemah. Lampiran 1

BAB IV. ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 5667/PDT.G/2013/PA. Kab Mlg TENTANG PENAMBAHAN NAFKAH ANAK SETIAP PERGANTIAN TAHUN

HIBAH, FUNGSI DAN KORELASINYA DENGAN KEWARISAN. O l e h : Drs. Dede Ibin, SH. (Wkl. Ketua PA Rangkasbitung)

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN PENGAADILAN AGAMA TUBAN NOMOR 0182/PDT.P/2012/PA.TBN TENTANG PENOLAKAN PERMOHONAN PENGANGKATAN ANAK

BAB III KETENTUAN PASAL 191 DAN KITAB-KITAB REFERENSINYA

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA

Oleh RIAN PRIMA AKHDIAWAN

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM

BAB IV ANALISIS DATA. A. Pelaksanaan Pembagian Waris Pada Masyarakat Suku Bugis di Kelurahan Kotakarang Kecamatan Teluk Betung Timur

بسم االله الرحمن الرحیم

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian

BAHAN AJAR PERADILAN AGAMA BAB I PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT

PENYERAHAN UANG IWADH DALAM PRAKTIK ACARA PERADILAN AGAMA. Oleh : Mahruddin Andry ( Pegawai PA. Sidikalang )

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK

BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN MASALAH

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. KEDUDUKAN DAN BAGIAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM ISLAM 1 Oleh : Alhafiz Limbanadi 2

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM Oleh : SURYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto

Siapa yang Mengajar Auwloh Berhitung?

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

BAB III DESKRIPSI KETENTUAN GARRA<WAIN SEBAGAI Z AWI<L FURU<D} DALAM SURAT KEPUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. pula harta warisan beralih kepada ahli waris/para ahli waris menjadi. Peristiwa pewarisan ini dapat terjadi ketika :

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ZAWIYAH COT KALA LANGSA 2015 M/1436 H

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN TIDAK DITERIMA DALAM PERKARA WARIS YANG TERJADI DI PENGADILAN AGAMA GRESIK. (Putusan Nomor : /Pdt.G/ /Pa.

BAB I PENDAHULUAN Tentang Peradilan Agama Jo Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. dan memperkokoh ikatan cinta kasih sepasang suami isteri. Anak juga

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Status Anak dan Status Harta Perkawinan Oleh: Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H.

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda

P U T U S A N. NOMOR : 42/Pdt-G/2008/MSy-Prov. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM. A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan.

LEGEM PUTUSAN NOMOR:71/ Pdt.G/ 2013/ PA.Sda

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Volume V, Nomor 1, Januari-Juni NILAI-NILAI KEADILAN DALAM HARTA WARISAN ISLAM. Oleh: Dr. H. M. Mawardi Djalaluddin, M.Ag.

BAB IV WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF. dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat, yang diwujudkan dalam bentuk hubungan hukum yang mengandung hak-hak dan

Transkripsi:

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Alasan Munculnya Bagian Sepertiga Bagi Ayah Dalam KHI Pasal 177 Hukum waris Islam merupakan ekspresi penting dalam hukum keluarga Islam, yang merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Mengkaji dan mempelajari hukum waris Islam berarti mengkaji separuh pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat muslim sejak masa awal Islam hingga abad pertengahan, zaman modern dan kontemporer serta di masa yang akan datang. 82

83 Sejak sejarah awalnya hingga pembentukan dan pembaharuannya di masa kontemporer, hukum waris Islam menunjukkan dinamika dan perkembangannya yang penting untuk dikaji dan diteliti oleh para pemerhati hukum Islam. Bukan suatu hal yang kebetulan jika ternyata telah banyak pemerhati yang menulis dan mengkaji perkembangan hukum waris Islam dari berbagai aspeknya. Perubahan dan pembaharuan hukum waris Islam telah terjadi secara nyata dalam sejarah pemikiran hukum Islam, untuk menyebut contoh apa yang terjadi dalam perumusan hukum waris Islam di Indonesia dengan konsep besarnya bagian ahli waris. Sejarah juga menunjukkan bahwa pada sepanjang sejarah hukum Islam pemikiran hukum waris Islam tidaklah berhenti, walaupun ada yang beranggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup namun sesungguhnya pemikiran hukum Islam tetap dilakukan setidaknya oleh dua golongan penegak syariat Islam yaitu hakim dan mufti. Hakim melakukan pemikiran hukum Islam dengan jalan melaksanakan hukum melalui putusan pengadilan, sedangkan mufti melalui fatwa-fatwa hukum. Hakim sebagai penegak hukum mempunyai posisi sentral dalam penerapan hukum. Hakim tidak hanya dituntut agar dapat berlaku adil tetapi ia juga harus mampu menafsirkan undang-undang secara aktual sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat pencari keadilan dengan tetap mempertimbangan aspek keadilan, kepastian hukum dan nilai kemanfaatannya.

84 Melalui putusan-putusannya seorang hakim tidak hanya menerapkan hukum yang ada dalam teks undang-undang tetapi sesungguhnya ia juga melakukan pembaharuan-pembaharuan hukum ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang diajukan kepadanya dan belum diatur dalam undangundang ataupun telah ada aturan tetapi dipandang tidak relevan dengan keadaan dan kondisi yang ada. Dan sejarah penyusunan buku II Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak bisa secara sepenuhnya terlepas dari sejarah penyusunan KHI secara umum. Dan latar belakang penyusunan KHI ini karena kebutuhan akan adanya suatu peraturan atau perundang-undangan tentang hukum Islam yang tertulis bagi Peradilan Agama. Dari periode awal hingga tahun 1945 Indonesia memberlakukan tiga sistem hukum, yaitu hukum Adat, hukum Islam dan hukum Barat. Kedudukannya disebutkan dalam peraturan perundang-undangan dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktek peradilan. Hukum Islam masuk di Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam di sini. Kerajaankerajaan Islam yang kemudian berdiri, melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing. Awal masa kemerdekaan pada tahun 1945 hingga tahun 1985 Pemerintah Republik Indonesia menemukan kenyataan bahwa hukum Islam yang berlaku itu tidak tertulis dan terserak-serak di berbagai kitab yang sering berbeda tentang hal yang sama antara satu dengan lainnya. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1954

85 dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak akan adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam pencatatan nikah, talak dan rujuk umat Islam yang masih diatur oleh beberapa peraturan yang bersifat propensialistis dan tidak sesuai dengan Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan. Pada saat itu juga terjadi pergeseran beberapa bagian hukum Islam kearah tertulis dan termuat dalam beberapa bagian penjelasan Undangundang Nomor 22 Tahun 1946. Dijelaskan pula bahwa pada saat itu Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk (umat Islam) sedang dikerjakan oleh Penyelidik Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang dipimpin oleh Mr. Teuku Mohammad Hasan. Hal demikian sejalan dengan dikeluarkannya Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksanaan PP. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar iyah diluar Jawa dan Madura. Untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara maka para hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar iyah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab tersebut, yaitu: Al-bâjûrî, Fathu al-mûî n, Syarqawi alâ al-tahrîr, Qalyûbi/Mahallî, Fathu al-wahhâb dengan syarahnya, Tuhfah, Targhîb almusytâq, Qawânîn Syar iyyah li as-sayyid bin Yahya, Qawânîn Syar iyyah li as-sayyid Sadaqah Dachlan, Syamsuri fi al-farâidl, Bughyatu al- Musytarsyidîn, Alfîqu alâ Madzâhib al-arba ah dan Mughni al-muhtaj.

86 Dengan menunjuk 13 buah kitab ini yang dianjurkan maka langkah kearah kepastian hukum semakin nyata. Dan Periode yang terakhir yaitu tahun 1985 hingga sekarang, yang mana periode ini dimulai sejak ditandatangani Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI tentang Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 di Yogyakarta. Yang mana setelah ini dirancang sebuah gagasan tentang hukum Islam yang dijadikan sebagai sebuah hukum yang tertulis karena selama pembinaan teknis yustisial peradilan agama oleh Mahkamah Agung, terasa adanya beberapa kelemahan antara lain soal hukum Islam yang diterapkan di lingkungan peradilan agama, yang cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat Ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum. Dan setelah disusunnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara utuh, dan dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden tahun 1991 Hal Kompilasi Hukum Islam maka sejak saat itu KHI menjadi sebuah kepastian hukum yang tertulis. Penjelasan yang diatur dalam KHI terdapat tiga buku yaitu buku I tentang hukum perkawinan, buku II tentang hukum kewarisan dan buku III

87 tentang hukum perwakafan. Dan dalam KHI buku II hukum kewarisan terdiri dari VI Bab dan 44 Pasal. Yang rinciannya sebagai berikut: 1. Bab I Ketentuan Umum, terdiri dari 1 Pasal yaitu Pasal 171 (9 poin), 2. Bab II Ahli Waris, terdiri dari 4 Pasal yaitu Pasal 172, 173 (2 poin), 174 (2 ayat, ayat (1) terdiri dari 2 poin) dan 175 (terdiri dari 2 ayat, ayat (1) terdiri dari 2 poin), 3. Bab III Besarnya Bagian, terdiri dari 16 Pasal yaitu Pasal 176, 177, 178 (terdiri dari 2 ayat), 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185 (terdiri dari 2 ayat), 186, 187 (terdiri dari 2 ayat, ayat (1) terdiri dari 2 poin), 188, 189 (terdiri dari 2 ayat), 190, dan 191, 4. Bab IV Aul dan Rad terdir dari 2 Pasal yaitu Pasal 192 dan 193, 5. Bab V Wasiat terdiri dari 16 Pasal yaitu Pasal 194 (terdiri dari 3 ayat), 195 (terdiri dari 4 ayat), 196, 197 (terdiri dari 3 ayat, ayat (1) terdiri dari 4 poin dan ayat (2) terdiri dari 3 poin), 198, 199 (terdiri dari 4 ayat), 200, 201, 202, 203 (terdiri dari 4 ayat), 204 (terdiri dari 3 ayat), 205, 206, 207, 208, dan 209 (terdiri dari 2 ayat), 6. Bab VI Hibah, terdiri dari 5 Pasal, yaitu Pasal 210 (terdiri dari 2 ayat), 211, 212, 213, dan 214. Semangat penyusunan KHI ini didasari beberapa hal, yaitu: upaya pemenuhan kebutuhan hukum Islam yang tertulis bagi peradilan agama, selain itu agar keputusan yang ditetapkan Pengadilan Agama tidak menjadi simpang siur karena dasar penetapan yang berbeda-beda, dan juga karena

88 kebutuhan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, yang membutuhkan sebuah peraturan hukum Islam yang diakui oleh Negara. Karena hal tersebut, perjalanan penyusunan KHI begitu panjang, karena kita mengetahui bahwa pembuatan sebuah peraturan tidaklah mudah, karena di dalamnya terdapat banyak proses yang harus dilewati. Setelah KHI selesai disusun dan diedarkan, bukan berarti masalah peraturan tersebut selesai disitu, karena dalam KHI tersebut masih terdapat pasal-pasal yang berbeda dengan hukum syar iyyah, karena KHI merupakan hasil ijtihad baru yang dilakukan oleh kelompok ulama Indonesia, salah satu perbedaan tersebut terdapat dalam pasal 177 tentang bagian waris bagi ayah, yang mana perbedaan di sana begitu tampak. Munculnya 1/3 bagian dalam KHI pasala 177 tentang bagian bapak, Berdasarkan ayat al-qur an dalam surat an-nisaa (4) ayat 11 yang menjelaskan tentang bagian waris bagi bapak, menyatakan bahwa bapak mendapatkan 1/6 jika bersama anak namun apabila tidak bersama anak maka ibu mendapatkan 1/3, berdasarkan dalâlah al-iqtidla maka bapak mendapatkan bagian sisa harta setelah diambil 1/3 bagian ibu, maka muncul bagian 1/3 bagi bapak juga berdasarkan beasr bagian yang didapatkan bapak dalam masalah gharrawain sama dengan bagian ashabah. Penjelasan tersebut yaitu jika bapak tidak meninggalkan anak namun bersama suami dan ibu, dalam perhitungannya maka jumlah ashabah sama besarnya dengan 1/3 bagian. Untuk lebih jelasnya lihat tabel dibawah.

89 Tabel 3 Ahli waris Besar bagian Asal masalah (6) Suami ½ bagian 3 Ibu 1/3 sisa (setelah diambil bagian suami) 1 Bapak ashabah 2 Dari tabel diatas sudah jelas bahwa bagian ashabah bapak sama besar dengan bagian 1/3, maka hal tersebut tidak mengurangi ketetapan yang telah ditentukan dalam masalah gharrawain tersebut, walaupun ada perubahan dari ashabah menjadi 1/3 bagian. Sedangkan masalah gharrawain lainnya yaitu ketika bapak tidak meninggalkan anak namun bersama istri dan ibu, hal tersebut memang berbeda ketika bapak hanya bersama suami dan ibu, karena apabila bapak mendapatkan 1/3 bagian akan terdapat bagian yang lebih dan bagian tersebut akan dikembalikan kepada bapak dengan kata lain bahwa bapak juga mendapatkan ashabah. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini: Tabel 4 Ahli Waris Besar Bagian Asal Masalah (4) Istri ¼ bagian 1 Ibu 1/3 sisa (setelah diambil bagian istri) 1 Bapak ashabah 2 Oleh karenanya KHI dalam pasal 177 hanya mengatur tentang masalah gharrawain jika bapak hanya bersama suami dan ibu saja. Seperti bunyi pasal 177 KHI: Ayah mendapatkan sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. 132 132 Kompilasi Hukum Islam.

90 jadi, ketetapan dalam KHI pasal 177, yang menyatakan bahwa bapak mendapatkan 1/3 bagian jika tidak ada anak, akan tetapi bersama suami dan ibu, hal tersebut tidak mengurangi bagian bapak ashabah yang merupakan hasil ijtihad dalam masalah gharrawain karena porsi ashabah yang semestinya didapatkan oleh bapak sama besar dengan 1/3 bagian, selain itu KHI yang menggunakan asas bilateral menyatakan bahwa Pasal tersebut ternyata untuk melindungi posisi ayah supaya mendapatkan bagian pasti, sebab kalau mendapat ashabah bisa saja ayah tidak mendapatkan bagian. Selain itu KHI juga tidak memberi ketentuan dalam masalah gharrawain lainnya yaitu jika bapak hanya bersama istri dan ibu, berarti ketentuan tersebut tetap sama dengan hasil ijtihad dalam masalah gharrawain yaitu bapak mendapatkan ashabah. B. Tinjauan Hukum Islam Bagi Ayah Yang Mendapatkan 1/3 Dari Harta Waris Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Hukum waris yang merupakan setengah dari seluruh ilmu, oleh karenanya pengaplikasian ilmu ini tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang, karena ilmu farâidl membutukan ilmu-ilmu yang lainnya. Yaitu: ilmu al-ansâb, ilmu al-hisâb dan juga ilmu fatwa, karena ketiga ilmu tersebut dapat membantu untuk memahami ilmu farâidl. Sedangkan harta waris merupakan permasalahan yang sangat rawan, yang sering dihadapi umat Islam di Indonesia. Pada umumnya, mereka memaknai pembagian secara adil dalam pandangan mereka yaitu sama rata,

91 baik bagian laki-laki maupun bagian perempuan. Hal ini dikarenakan pemahaman tentang agama yang rendah. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang berusaha dengan jalan apapun agar keinginannya tercapai. Akhirnya, disusunlah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang diantaranya mengatur tentang pembagian warisan kepada ahli warisnya. Dengan harapan, masyarakat sedikit lebih mengetahui dan menjadi ketentuan bersama dalam menetapkan pembagian waris yang sesuai dengan syari at. Bagian ayah dalam KHI pasal 177 adalah: Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. Dari kandungan pasal tersebut nampaknya sudah tidak terdapat masalah. Namun, ketika kandungan pasal tersebut ditinjau dari pandangan hukum Islam maka akan ada permasalahan yang terlihat, yaitu tentang bagian ayah sepertiga jika tidak bersama anak, sesuai dengan Firman Allah: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang 133 QS. an-nisaa (4): 11.

92 anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisaa (4) ayat 11). 134 Dalam ayat di atas diantaranya menetapkan bahwa: a. Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan 1/6 bagian apabila pewaris meninggalkan anak. b. Ibu mendapatkan 1/3 bagian waris apabila pewaris tidak meninggalkan anak, sedangkan ia hanya diwarisi oleh ibu dan bapaknya saja. c. Ibu mendapatkan 1/6 bagian apabila pewaris mempunyai beberapa orang saudara. Sedangkan bagian ayah dalam ilmu mawaris adalah sebagai berikut: a. Ayah mendapatkan bagian 1/6 dengan ketentuan bahwa ia mewarisi bersama far ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki, dan cucu perempuan) b. Ayah mendapatkan ashabah bil nafsi yaitu apabila ayah mewaisi tidak bersama far ul waris. c. Ayah mendapatkan 1/6 dan ashabah jika bersama dengan anak perempuan/cucu perempuan saja. 134 Al-Qur an dan Terjemahannya. Juz 4, 116-117.

93 d. Ayah mendapatkan ashabah jika bersama suami/istri dan ibu. Sedangkan ibu mendapatkan 1/3 sisa. Dalam permasalahan ini biasa disebut dengan masalah gharrawain. Masalah gharrawain merupakan hasil pemikiran Umar ra, yang semula dalam memutuskan perkara (yang praktiknya jarang terjadi) tersebut. Masalah ini juga terkenal dengan sebutan umariyyatain, dan karena jarangnya disebut pula ghorîbatain. 135 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang termuat dalam pasal 177 yang berbunyi: Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. 136 a. Ayah mendapatkan 1/3 jika mayit tidak meninggalkan anak. b. Ayah mendapatkan 1/6 jika mayit meninggalkan anak. Penjelasan tentang pasal 177 KHI tersebut ternyata terdapat kekeliruan yang sangat signifikan. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI. Nomor MA/Kumdil/148/VI/K/1994 tanggal 28 Juni 1994, (SURAT EDARAN Nomor: 2 Tahun 1994 Tentang PENGERTIAN PASAL 177 KOMPILASI HUKUM ISLAM), Pasal ini seharusnya berbunyi sebagai berikut: Ayah mendapatkan sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. 137 135 Usman dan Somawinata Fiqh Mawaris, 132 136 Kompilasi Hukum Islam, 84. 137 Kompilasi Hukum Islam.

94 Berdasarkan bunyi pasal tersebut, kandungan dari pasal 177 KHI sama halnya dengan permasalahan gharrawain. Penulis juga berpendapat bahwasanya arti yang terkandung dalam revisi pasal di atas adalah bahwa ayah mempunyai tiga macam cara dalam mendapatkan bagian waris: a. Ayah menerima ashabah, apabila pewaris tidak meninggalkan anak. b. Ayah menerima 1/3 bagian bila tidak meninggalkan anak tetapi ayah bersama suami/istri dan ibu. c. Ayah menerima 1/6 bagian bila meninggalkan anak. Dari penjelasan di atas, memang sangat berbeda dengan yang tercantum dalam al-qur an, karena dalam al-qur an ayah hanya mendapatkan ashabah apabila tidak meninggalkan anak, walaupun terdapat suami/istri dan ibu. Dan al-qur an tidak menegaskan bagian ayah jika tidak meninggalkan anak, akan tetapi meninggalkan istri/suami dan ibu. Namun, pada umumnya mufassir menafsirkan ayat tersebut bahwa bagian ayah adalah ashabah jika tidak terdapat anak, dan hal tersebut sudah menjadi ijma. Biasanya, bagian ayah ( ashabah) selalu lebih besar dari bagian ibu. Akan tetapi dalam hal pewaris meninggalkan ayah, ibu, dan suami, maka bagian ayah yang berupa ashabah akan lebih kecil daripada bagian ibu, karena suami mendapatkan ½ bagian, ibu mendapatkan 1/3 bagian, sedangkan ayah sebagai ashabah hanya mendapatkan 1/6 bagian saja. Oleh sebab itu, KHI dalam pasal 177 ini mengadakan suatu ijtihad baru untuk melindungi bagian ayah, jangan sampai lebih kecil dari bagian ibu, karena

95 dalam Al-Qur an terdapat ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Dalam firman Allah:.........Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...(qs. An-Nisaa (4) ayat 11). 139 Selain dari ayat di atas, yaitu berdasarkan pada ketentuan asas yang ada dalam KHI dalam masalah kewarisan yaitu: Asas tanggung jawab yang adil dan berimbang, yang mana dalam pembagian warisan selalu dipertimbangkan dua hal yang menjadi prinsip pewarisan, yaitu 140 : a. Prinsip pelanjutan tanggung jawab pewaris kepada ahli waris dengan skala prioritas berdasarkan urutan kekerabatan dari yang lebih dekat kepada yang lebih jauh. b. Prinsip pembagian berdasarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban seseorang dalam struktur keluarga. Sehingga bagian ayah tidak boleh lebih kecil dari ibu, atau sekurangkurangnya sama besar karena tanggung jawab ayah dalam keluarga lebih besar daripada tanggung jawab ibu. Dan yang terakhir, adalah untuk lebih memberikan kepastian hukum tentang bagian ayah bila ia dalam keadaan seperti yang diatur dalam pasal 177. 138 QS. an-nisaa (4): 11. 139 Al-Qur an dan Terjemahannya. Juz 4, 116. 140 Arto Hukum Waris Bilateral, 38-39.