BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BAB II DASAR TEORI. m (2.1) V. Keterangan : ρ = massa jenis, kg/m 3 m = massa, kg V = volume, m 3

ANALISIS KERUGIAN HEAD PADA SISTEM PERPIPAAN BAHAN BAKAR HSD PLTU SICANANG MENGGUNAKAN PROGRAM ANALISIS ALIRAN FLUIDA

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi fluida

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Fluida

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kecepatan dan Kapasitas Aliran Fluida. Penentuan kecepatan di sejumlah titik pada suatu penampang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANCANGAN SISTEM DISTRIBUSI AIR BERSIH DINGIN DARI TANGKI ATAS MENUJU HOTEL PADA THE ARYA DUTA HOTEL MEDAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

JUDUL TUGAS AKHIR ANALISA KOEFISIEN GESEK PIPA ACRYLIC DIAMETER 0,5 INCHI, 1 INCHI, 1,5 INCHI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 3-15 Selang output Gambar 3-16 Skema penelitian dengan sudut pipa masuk Gambar 3-17 Skema penelitian dengan sudut pipa masuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ALIRAN PADA PIPA. Oleh: Enung, ST.,M.Eng

BAB III LANDASAN TEORI. 3.1 Sistem Kerja Pompa Torak Menggunakan Tenaga Angin. sebagai penggerak mekanik melalui unit transmisi mekanik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH DEBIT ALIRAN TERHADAP HEAD LOSSES PADA VARIASI JENIS BELOKAN PIPA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Arjuna Candra S 1, Maulana Yusuf 2, dan AkibAbro 3. Jalan Palembang Prabumulih KM. 32, Indralaya, 30662, Indonesia

ANALISA PERHITUNGAN EFISIENSI CIRCULATING WATER PUMP 76LKSA-18 PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP MENGGUNAKAN METODE ANALITIK

Analisis Aliran Fluida Terhadap Fitting Serta Satuan Panjang Pipa. Nisa Aina Fauziah, Novita Elvianti, dan Verananda Kusuma Ariyanto

ALIRAN FLUIDA DALAM PIPA TERTUTUP

BAB IV PERHITUNGAN DAN ANALISA DATA

BAB II DASAR TEORI QQ =... (2.1) Dimana: VV = kebutuhan air (mm 3 /hari) tt oooo = lama operasi pompa (jam/hari) nn pp = jumlah pompa

Rumus bilangan Reynolds umumnya diberikan sebagai berikut:

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA DATA

KARAKTERISTIK ZAT CAIR Pendahuluan Aliran laminer Bilangan Reynold Aliran Turbulen Hukum Tahanan Gesek Aliran Laminer Dalam Pipa

BAB II LANDASAN TEORI. bisa mengalami perubahan bentuk secara kontinyu atau terus-menerus bila terkena

ANALISIS FAKTOR GESEK PADA PIPA AKRILIK DENGAN ASPEK RASIO PENAMPANG 1 (PERSEGI) DENGAN PENDEKATAN METODE EKSPERIMENTAL DAN EMPIRIS TUGAS AKHIR

PENGARUH REYNOLD NUMBER ( RE ) TERHADAP HEAD LOSSES PADA VARIASI JENIS BELOKAN PIPA ( BERJARI JARI DAN PATAH )

Kehilangan Energi Pada Pipa Baja Dan Pipa Pvc

POWER & STEAM. Nur Istianah,ST.,MT.,M.Eng

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kajian Pustaka 2.2. Dasar Teori

KEHILANGAN HEAD ALIRAN AKIBAT PERUBAHAN PENAMPANG PIPA PVC DIAMETER 12,7 MM (0,5 INCHI) DAN 19,05 MM (0,75 INCHI).

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisa aliran berkembang..., Iwan Yudi Karyono, FT UI, 2008

BAB IV PENGUKURAN KEHILANGAN ENERGI AKIBAT BELOKAN DAN KATUP (MINOR LOSSES)

BAB II LANDASAN TEORI

Analisa Rugi Aliran (Head Losses) pada Belokan Pipa PVC

BAB II ALIRAN FLUIDA DALAM PIPA. beberapa sifat yang dapat digunakan untuk mengetahui berbagai parameter pada

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA DATA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

STUDI EKSPERIMENTAL PENGUKURAN HEAD LOSSES MAYOR (PIPA PVC DIAMETER ¾ ) DAN HEAD LOSSES MINOR (BELOKAN KNEE 90 DIAMETER ¾ ) PADA SISTEM INSTALASI PIPA

PENGUJIAN PENGARUH VARIASI HEAD SUPPLY DAN PANJANG LANGKAH KATUP LIMBAH TERHADAP UNJUK KERJA POMPA HIDRAM

REYNOLDS NUMBER K E L O M P O K 4

SKRIPSI. ANALISA LAJU ALIRAN AIR BERSIH DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE PIPE FLOW EXPERT V 6.39 di PERUMAHAN GRAHA INDAH KELAPA GADING.

PERANCANGAN ALAT PRAKTIKUM PENGUJIAN HEADLOSS ALIRAN FLUIDA TAK TERMAMPATKAN. Dwi Ermadi 1*,Darmanto 1

Losses in Bends and Fittings (Kerugian energi pada belokan dan sambungan)

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA DATA

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2008

BAB IV PERHITUNGAN DAN ANALISA

ANALISIS FAKTOR GESEKAN PADA PIPA HALUS ABSTRAK

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

Masalah aliran fluida dalam PIPA : Sistem Terbuka (Open channel) Sistem Tertutup Sistem Seri Sistem Parlel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MODUL PRAKTIKUM MEKANIKA FLUIDA

Analisa Pengaruh Variasi Sudut Sambungan Belokan Terhadap Head Losses Aliran Pipa

PADA INSTALASI ALAT PENGUJI ALIRAN FLUIDA CAIR SKRIPSI

Aliran Fluida. Konsep Dasar

BAB IV ANALISA PENGUJIAN DAN PERHITUNGAN BLOWER

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

(Indra Wibawa D.S. Teknik Kimia. Universitas Lampung) POMPA

MODUL KULIAH : MEKANIKA FLUIDA DAN HIROLIKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fluida yang dimaksud berupa cair, gas dan uap. yaitu mesin fluida yang berfungsi mengubah energi fluida (energi potensial

BAB II LANDASAN TEORI

8. FLUIDA. Materi Kuliah. Staf Pengajar Fisika Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

Nama : Zainal Abidin NPM : Jurusan : Teknik Mesin Fakultas : Teknologi Industri Pembimbing : Dr. Sri Poernomo Sari, ST., MT.

PERBANDINGAN KINERJA POMPA REKONDISI TIPE VERTIKAL API 610 OH-4 MODEL 3900L DI PT.Y DENGAN CAE

Proses Pengosongan Mixer Batch Larutan Cat Densitas 1,66; Viskositas 110 Cp; Volume Liter Ke Hopper Pengalengan Selama 20 Menit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MEKANIKA FLUIDA DI SUSUN OLEH : ADE IRMA

Analisa Pengaruh Penambahan Rambut dan Serat Pisang Terhadap Nilai Minor Losses pada Pipa Spiral Lengkung

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA DATA

OPTIMASI JARINGAN PIPA DISTRIBUSI AIR BERSIH (STUDI KASUS PDAM MAKASSAR)

BAB III PEMBUATAN ALAT UJI DAN METODE PENGAMBILAN DATA

UJI PERFORMANSI POMPA BILA DISERIKAN DENGAN KARAKTERISTIK POMPA YANG SAMA

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2008

Analisa Pengaruh Variasi Volume Tabung Udara Dan Variasi Beban Katup Limbah Terhadap Performa Pompa Hidram

Laporan Tugas Akhir Pembuatan Modul Praktikum Penentuan Karakterisasi Rangkaian Pompa BAB II LANDASAN TEORI

Klasisifikasi Aliran:

PERSAMAAN BERNOULLI I PUTU GUSTAVE SURYANTARA P

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN DASAR TEORI

2 a) Viskositas dinamik Viskositas dinamik adalah perbandingan tegangan geser dengan laju perubahannya, besar nilai viskositas dinamik tergantung dari

BAB III PERALATAN DAN PROSEDUR PENGUJIAN

Ciri dari fluida adalah 1. Mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah

Rumus Minimal. Debit Q = V/t Q = Av

V 1,2 = kecepatan aliran fluida dititik 1 dan 2 (m/det)

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bucket Wheel Dredger Bucket wheel dredger (BWD) adalah kapal pengeruk yang menggunakan bucket wheel sebagai alat pengeruknya. Bucket Wheel bergerak secara rotasi dan digerakkan oleh motor. Dengan adanya gerakan rotasi inilah gigi-gigi penghancur pada bucket wheel menghantam lapisan dasar laut, lapisan yang hancur dan terurai selanjutnya akan dihisap oleh pompa untuk diangkut ke atas kapal melalui pipa. Pengaturan kedalaman pengerukan diatur melalui sudut kemiringan ladder, sedangkan sistem manuver kapal sendiri dilakukan dengan menggunakan enam buah jangkar yang ditambatkan di dasar laut. Gambar 2.1 Bucket Wheel Dredger (Sumber : PT.Timah) Pada penelitian ini, pengambilan data dilakukan di Bucket Wheel Dredger Kundur I milik PT Timah (Persero) Tbk. Kapal pengeruk ini memiliki kemampuan untuk menghancurkan lapisan tanah yang keras, lebih baik daripada cutter suction dredger dengan jangkauan kedalaman pengerukan hingga 60 meter.

Gambar 2.2 Kapal Bucket Wheel Dredger Kundur I (Sumber : Dokumentasi) 2.1.1 Cara Kerja Bucket Wheel Dredger Saat beroperasi bucket wheel diturunkan ke dasar laut secara perlahanlahan dengan menggunakan ladder yang digerakkan oleh ladder winch. Seiring dilakukannya proses pengerukan, Kundur I bergerak menyamping secara perlahan-lahan dengan kecepatan tidak lebih dari 20 meter per menit dengan kecepatan rotasi bucket wheel 13 putaran per menit. Sebelum memulai proses pengerukan, pertama-tama dilakukan pengecekan level minyak pelumas pada tangki ekspansi, jika diperlukan minyak diisikan terlebih dahulu, kemudian motor hidrolik bucket wheel dihidupkan dengan diatur terlebih dahulu jumlah rotasi per menit nya. Setelah itu ladder dan bucket wheel diturunkan ke bawah permukaan laut, dan pompa pengeruk dihidupkan. Kemudian ladder dan bucket wheel diturunkan lebih dalam sesuai dengan kedalaman pengerukan yang dibutuhkan.

Gambar 2.3 Metode Pengerukan Pada Wheel (Sumber : PT.Timah, 2012) Proses pengangkutan material padatan (solid) pada Bucket Wheel Dredger mirip seperti vacuum cleaner dimana material padatan (solid) dibawa beserta dengan fluida sebagai penghantar. Pada kasus ini, fluida penghantar tersebut adalah air laut. Bucket Wheel dilengkapi dengan ujung penghancur yang disebut gigi pengahancur pada setiap bucketnya yang berfungsi untuk menghancurkan lapisan tanah atau batu menjadi ukuran yang lebih kecil sehingga bisa ditransportasikan melaui fluida. Pompa Slurry Bucket Wheel Ladder Gambar 2.4 Sistem Kerja Bucket Wheel Dredger (Sumber : PT.Timah, 2012)

2.1.2 Komponen Utama Bucket Wheel Dredger a) Bucket Wheel Bucket Wheel adalah komponen yang berfungsi sebagai penghancur lapisan tanah atau batu menjadi dimensi yang lebih kecil sebelum di hisap untuk di transportasikan kedalam kapal. b) Ladder Gambar 2.5 Bucket Wheel (Sumber : Dokumentasi) Ladder adalah komponen yang berfungsi sebagai rangka penopang bucket wheel, pada ladder terdapat pompa slurry, pipa hisap dan jaringan pipa sistem pelumas.

Pipa Titik 2 Ladder Titik 1 Gambar 2.6 Ladder (Sumber : PT.Timah) c) Pipa hisap Jaringan pipa hisap berfungsi sebagai jalur penghantar slurry dari ujung mulut isap ke unit penyaringan. Pada sistem pipa hisap ini terdapat pompa slurry sebagai penghasil daya isap. Gambar 2.7 Pipa hisap (Sumber : Dokumentasi) d) Submersible Centrifugal Slurry Pump

Pompa slurry menghasilkan daya hisap yang berfungsi untuk menyedot material yang sudah dihancurkan oleh bucket wheel ke dalam kapal bersamaan dengan air laut sebagai fluida penghantar. Gambar 2.8 Submersible Centrifugal Slurry Pump (Sumber : Dokumentasi) Pompa slurry yang digunakan merupakan submersible pump, dimana pompa tenggelam, berada di bawah permukaan air laut. Posisi Pompa dan Motor Pompa Gambar 2.9 Penempatan Pompa dan Motor Pompa (Sumber : PT. Timah)

Dibawah ini adalah layout posisi penempatan pompa dan motor pompa daripada bucket wheel dredger, dimana keduanya berada dibawah permukaan air laut. Gambar 2.10 Layout penempatan Pompa dan motor pompa (Sumber : PT.Timah) Underwater Gearbox Motor Submersible Centrifugal Slurry Pump Gambar 2.11 Susunan unit pompa (Sumber : PT.Timah)

e) Unit penyaringan Gambar 2.12 Potongan Pompa (Sumber : PT. Timah) Unit penyaringan bertugas untuk memisahkan pasir yang mengandung mineral dari lumpur atau bebatuan yang ikut terbawa dari dasar laut bersamaan dengan air laut. Komponen utama dari unit penyaringan ini yaitu JIG Primer, Sekunder dan Tertier. Gambar 2.13 JIG Primer (Sumber : Dokumentasi)

2.2 Klasifikasi Fluida Fluida dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, tetapi secara garis besar fluida dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu : 2.2.1 Fluida Newtonian Fluida Newtonian adalah suatu jenis fluida yang memiliki kurva shear stress dan gradient kecepatan yang linier, yang digolongkan ke dalam fluida ini antara lain: air, udara, ethanol, benzeena,dsb. Jenis fluida Newtonian akan terus menerus mengalir sekalipun terdapat gaya yang bekerja pada fluida tersebut. Viscositas akan berubah jika terjadi perubahan temperatur. Dengan kata lain fluida Newtonian adalah fluida yang mengikuti hukum Newton tentang aliran. 2.2.2 Fluida Non-Newtonian Fluida Non-Newtonian adalah fluida yang tidak tahan terhadap tegangan geser, gradient kecepatan dan temperature. Dengan kata lain, kekentalan (viscosity) merupakan fungsi daripada waktu. Fluida Non-Newtonian ini tidak mengikuti hukum Newton tentang aliran. 2.3 Slurry a. Ukuran partikel Ukuran partikel d 50 adalah ukuran presentase partikel slurry dengan ukuran tertentu. Nilai daripada ukuran partikel ini didapat dengan cara melakukan screening pada material slurry dengan ukuran mesh tertentu. Contoh apabila diketahui d 50 = 3 mm, berarti 50% partikel dari material slurry tersebut berdiameter 3 mm atau lebih kecil. Apabila ditunjukkan dalam bentuk kurva, dapat ditunjukkan seperti pada grafik dibawah ini. \

D (mm) 50% % Jumlah Gambar 2.14 Grafik D vs % jumlah (Sumber : Flygt, 2013) b. Konsentrasi padatan Konsentrasi partikel daripada slurry dapat diukur sebagai presentase volume, C v, dan juga presentase berat, atau C m Gambar 2.15 Ilustrasi C v dan C m (Sumber : Flygt, 2013) c. Densitas/Spesific Gravity 1 Solid

Densitas daripada padatan/solid dinyatakan dengan Spesific Gravity. Nilai daripada Spesific Gravity of Solids (SG s ) dihitung dengan membagi densitas padatan dengan densitas air. 2 Air Densitas air adalah 1000 kg/m³. Nilai SG air pada 20 C adalah 1. 3 Slurry Spesific Gravity daripada slurry dapat ditentukan dengan menggunakan nomografi dibawah ini, Gambar 2.16 Nomogram specific gravity mixture (Sumber : Weir, 2002) Specific gravity untuk mixture dapat juga dihitung dengan menggunakan : SG sl = 1 + C v (SG s -1) (2.1) Atau SG sl = SG s SG s C w (SG s 1) (2.2)

Dimana : SG sl = Spesific Gravity slurry SG s = Spesific Gravity solid C v = Concentration of solids by volume C w = Concentration of solids by weight Slurry dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu settling (mengendap) dan nonsettling (tidak mengendap). 1 Slurry Tidak mengendap (Non Settling Slurry) Slurry yang tidak mengendap terjadi pada campuran yang homogen. Ukuran partikel dari tipe ini adalah dibawah 60 100 μm. Jadi, slurry tidak mengendap dapat didefinisikan sebagai campuran homogeny, dimana campuran antara solid dan liquidnya terdistribusi secara merata. Non-settling slurry Gambar 2.17 Campuran Homogen dalam Pipa (Sumber : Flygt, 2013) 2 Slurry Mengendap (Settling Slurry)

Ukuran diameter partikel daripada slurry mengendap adalah lebih besar dari 100 μm. Slurry dengan campuran Pseudo-homogen atau slury yang menyebar tetapi konsentrasi tetap lebih besar pada bagian bawah, atau campuran heterogen yang sebagian atau seluruhnya berada di lapisan bawah pipa. Settling slurry Gambar 2.18 Settling Slury pada pipa (Sumber : Flygt, 2013) Sifat Slurry Menurut Dimensi Partikel dan Kecepatan Perpindahan : Pada kecepatan alir yang tinggi, dan diameter partikel kecil, slurry dalam pipa akan menyebar dan tidak ada slurry yang mengendap atau bergesekan secara signifikan dengan dinding pipa. Slurry dalam keadaan ini akan bersifat Pseudohomogen. Ketika ukuran partikel lebih besar dan kecepatan alir lebih rendah, maka partikel akan cenderung untuk terkonsentrasi pada dasar pipa, atau terjadi kontak gesekan secara langsung. Slurry dalam keadaan ini akan bersifat heterogen.

Gambar 2.19 Slurry Pada Pipa Dalam Berbagai Keadaan (Sumber : Flygt, 2013) Pada keadaan kecepatan alir yang rendah dan ukuran partikel yang besar, slurry akan cenderung untuk mengendap di dasar pipa. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya gesekan terus menerus yang dapat menggerus lapisan pipa. 2.4 Massa Jenis Campuran Massa jenis slurry atau campuran dipengaruhi oleh massa jenis fluida pembawa, massa jenis partikel padatan, dan konsentrasi padatan dalam fluida. Konsentrasi padatan ditunjukkan dengan menggunakan persen massa. Massa jenis slurry ditentukan dengan menggunakan persamaan: ρ m = 100 C w ρs + 100 C w ρ l (2.3) Konsentrasi padatan berdasarkan volume (CV) dalam persen ditunjukkan oleh persamaan berikut: C v = C W ρ m ρ s = 100 C W ρs C W ρs +100 C W ρ l (2.4) Atau (2.5)

CV = Q s Q m Konsentrasi padatan berdasarkan massa (CW) dalam persen ditunjukkan oleh persamaan berikut: C W = C v ρ s ρ m = C v /ρ s C v ρ s + (100 C v ) (2.6) Dimana: C W = konsentrasi padatan berdasarkan massa dalam persen C W = konsentrasi padatan berdasarkan volume dalam persen ρ m = massa jenis campuran atau slurry (kg/m 3 ) ρ l = massa jenis fluida pembawa (kg/m 3 ) ρ s = massa jenis partikel padatan (kg/m 3 ) Q s = Laju aliran padatan Q m = Laju aliran campuran atau slurry 2.5 Kapasitas dan Kecepatan Aliran Fluida Dalam menganalisa fenomena mekanika fluida, penentuan kecepatan di sejumlah titik pada aliran fluida sangat penting karena memungkinkan untuk membantu dalam menentukan besarnya kapasitas aliran fluida.

Gambar 2.20 Aliran pada penampang 1 dan penampang 2 (Sumber : Frank.M.White, 2010) Kapasitas aliran untuk fluida incompressible dinyatakan sebagai laju aliran volume, berat, dan massa dalam persamaan: m = ρ 1 A 1 V 1 = ρ 2 A 2 V 2 = Const (2.7) Untuk aliran steady laju aliran massa adalah konstan pada setiap titik. Apabila kerapatannya konstan maka : Q = A 1 V 1 = A 2 V 2 (2.8) Dimana: Q = Laju aliran volume fluida (m 3 /s) A = Luas penampang aliran (m 2 ) V = Kecepatan rata-rata aliran fluida (m/s) Dimana: W = Laju aliran berat fluida (N/s) γ = Berat jenis fluida (N/m 3 ) W = γ. A. V (2.9) dan M = ρ. A. V Dimana: M = Laju aliran massa fluida (kg/s) ρ = Massa jenis fluida (kg/m 3 ) γ = Berat jenis fluida (N/m 3 ) (2.10)

2.6 Persamaan Energi Hukum kekekalan energi menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan. Dalam menganalisa fenomena pada mekanika fluida, analisa energi potensial dan energi kinetik pada fluida sangat diperlukan. Energi potensial meunjukkan energi yang dimiliki fluida pada ketinggian tertentu. Energi potensial dirumuskan sebagai berikut: E p = m. g. z (2.11) atau Dimana : E p = Energi potensial fluida (J) m = Massa fluida (kg) z = Ketinggian Fluida (m) W = Berat fluida (N) E p = W. z (2.12) Energi kinetik menunjukkan energi yang dimiliki oleh fluida akibat pengaruh kecepatan yang terjadi padanya. Energi kinetic dirumuskan sebagai berikut: E k = 1 m. v2 2 (2.13) Dimana : E k = energi kinetik fluida (J) v = kecepatan rata-rata aliran fluida (m/s) 2.7 Aliran Laminar dan Turbulen Aliran fluida dikatakan laminar apabila jika partikel-partikel fluida yang bergerak teratur mengikuti lintasan yang sejajar pipa. Aliran fluida dikatakan turbulen apabila tiap partikel fluida bergerak mengikuti lintasan sembarang di sepanjang pipa dan hanya gerakan rata-rata saja yang mengikuti sumbu pipa. Dari eksperimen, didapat bahwa koefisien gesekan pipa silindris merupakan fungsi dari bilangan Reynolds, sehingga penentuan jenis aliran fluida sangat bergantung pada

nilai bilangan Reynolds. Nilai bilangan Reynolds dapat dihitung menggunakan persamaan: Dimana : Re = Bilangan Reynolds V = Kecepatan rata-rata aliran fluida (m/s) μ = Viskositas absolut fluida (Pa.s) D = Diameter pipa Re = ρvd μ (2.14) Aliran dikatakan laminar untuk nilai Re 2300. Aliran dikatakan turbulen apabila Re 4000. Sedangkan untuk 2300 < Re < 4000, disebut sebagai daerah transisi, dimana aliran dapat berupa aliran laminar dan turbulen. 2.8 Kerugian Head A. Kerugian Head Mayor 1. Persamaan Darcy Weisbach Di dalam mekanika fluida, persamaan darcy-weisbach dapat digunakan untuk menghitung kerugian head (head losses) atau kehilangan tekanan akibat gesekan di sepanjang pipa lurus terhadap kecepatan aliran rata-rata. Kerugian head untuk sepanjang pipa lurus disebut dengan kerugian mayor (major losses). Persamaan tersebut adalah sebagai berikut: h f = f L V 2 D h 2g (2.15) Dimana: f = Koefisien gesekan L = Panjang pipa (m) D h = Diameter hidraulik pipa (m) V = Kecepatan rata-rata aliran fluida ( m s) g = Percepatan gravitasi = 9,81 m s 2

Untuk aliran laminar, koefisien gesekan dapat dicari dengan persamaan : f = 64 Re (2.16) Sedangkan untuk aliran turbulen (Re 4000), harga f didapat dari diagram Moody sebagai fungsi dari bilangan Reynolds dan kekasaran relatif yang nilainya dapat dilihat pada grafik sebagai fungsi dari nominal diameter pipa dan kekasaran permukaan dalam pipa (ε) tergantung dari jenis material pipa. Tabel 2.1 Nilai kekasaran dinding untuk berbagai pipa komersil Bahan Kekasaran ft m Riveted Steel 0.003-0.03 0.0009-0.009 Concrete 0.001-0.01 0.0003-0.003 Wood Stave 0.0006-0.003 0.0002-0.009 Cast Iron 0.00085 0.00026 Galvanized Iron 0.0005 0.00015 Asphalted Cast Iron 0.0004 0.0001 Comercial Steel or Wrought Iron 0.00015 0.000046 Drawn Brass or Copper Tubing 0.000005 0.0000015 Glass and Plastic Smooth Smooth Rubber 0.0005 0.00015 (Sumber : Frank.M.White, 2009) Kemudian koefisien kekasaran dicari dengan diagram moody.

Gambar 2.21 Diagram Moody (Sumber : Frank.M.White, 2009) 2. Persamaan Hazen Williams Persamaan Hazen-Williams umumnya digunakan untung menghitung kerugian head pada pipa yang sangat panjang. Bentuk umum persamaan tersebut yaitu : Dimana: h f = Q = Laju aliran fluida dalam pipa (m 3 /s) L = Panjang pipa (m) 10,666 Q1,85 C 1,85 D 4,85 L C = Koefisien kekasaran pipa Hazen Williams D = Diameter pipa (m) Dibawah ini adalah tabel dari nilai koefisien kekasaran Williams. Tabel 2.2 Koefisien kekasaran pipa Hazen-Williams (2.17) pipa Hazen- Extremely smooth and straight pipes 140 New Steel or Cast Iron 130 Wood; Concrete 120 New Riveted Steel; vitrified 110

Lanjutan Tabel 2.2 Old Cast Iron 100 Very Old and corroded cast iron 80 (Sumber : Frank.M.White, 2009) B.Kerugian Head Minor Ketika fluida mengalir melalui sebuah komponen tertentu seperti katup,belokan pada pipa, pembesaran dan pengecilan pipa secara tiba-tiba dan berbentuk kerucut, percabangan pipa, nosel, serta jalur masuk dan keluar pipa. Fluida tersebut akan mengalami kehilangan energi mekanik tambahan ketika melewati komponen tersebut yang menyebabkan bertambahnya nilai head loss. Kerugian-kerugian head akibat komponen selain pipa lurus ini disebut dengan kerugian minor (minor losses). Kerugian head minor dapat ditentukan dengan menentukan koefisien kerugian head minor, K yang didefinisikan sebagai berikut: atau K = h L (V 2 /2g) = ( p) (ρv 2 /2) (2.18) h L = K V2 2g (2.19) Dimana: h L = Head minor (m) p = Perubahan tekanan (Pa) K = Koefisien kerugian head minor Nilai K untuk setiap komponen adalah berbeda, dibawah ini adalah rumus-rumus yang digunakan untuk menghitung koefisien kerugian pada tiap fiting. Adapun beberapa nilai koefisien didapat dari hasil eksperimen.

a. Koefisien kerugian pada mulut hisap Gambar 2.22 Berbagai bentuk ujung masuk pipa (Sumber : google.com) Dengan nilai masing-masing : (i) K = 0.5 (ii) K = 0.25 (iii) K = 0.06 (iv) K = 0.56 (v) K = 3.0 (untuk sudut tajam) sampai 1.3 (untuk sudut 45) (vi) K ditentukan dengan rumus : K (2.20) 1 + 0.3 Cos Ө + 0.2Cos 2 Ө Dimana K 1 adalah koefisien bentuk dari ujung masuk dan mengambil harga (i) sampai (v) sesuai dengan bentuk yang dipakai. b. Koefisien kerugian mulut lonceng atau corong pada pipa hisap Nilai koefisien kerugian pada mulut hisap dapat dilihat pada gambar dibawah. Gambar 2.23 Mulut lonceng dan corong pada pipa hisap (Sumber : Frank.M.White, 2009)

c. Koefisien kerugian pada belokan pipa Belokan pada pipa menghasilkan nilai kerugian head yang lebih besar daripada pipa lurus. Ada 2 macam belokan pipa, yaitu belokan lengkung atau belokan patah. Untuk belokan lengkung digunakan rumus Fuller (Sularso,1983) dimana nilai dari koefisien kerugian dinyatakan sebagai : K = [0.131 + 1.847 ( D 2R ) 3.5 ] ( θ 90 ) 0.5 (2.21) Dimana : K = koefisien kerugian belokan R = jari jari belokan pipa (m) D = diameter pipa (m) θ = sudut belokan (derajat) d. Koefisien kerugian pada belokan 90 Untuk belokan pipa 90 digunakan grafik dibawah ini : Dimana : Gambar 2.24 Grafik K vs R/D pada belokan 90 (Sumber : Frank, 2009)

K = koefisien kerugian belokan 90 R e = bilangan reynold D = diameter belokan (m) ɛ = kekasaran (m) e. Koefisien kerugian pada pengecilan bertahap Ө A1 A2 Gambar 2.25 Pengecilan Bertahap (Sumber : google.com) Untuk mencari nilai koefisien kerugian pada pengecilan bertahap, digunakan gambar dibawah ini : Tabel 2.3 Nilai K untuk pengecilan bertahap D 2 D 1 Angle of Cone θ 2 6 10 15 20 25 30 35 40 45 50 60 1.1 0.01 0.01 0.03 0.05 0.10 0.13 0.16 0.18 0.19 0.20 0.21 0.23 1.2 0.02 0.02 0.04 0.09 0.16 0.21 0.25 0.29 0.31 0.33 0.35 0.37 1.4 0.02 0.03 0.06 0.12 0.23 0.30 0.36 0.41 0.44 0.47 0.50 0.53 1.6 0.03 0.04 0.07 0.14 0.26 0.35 0.42 0.47 0.51 0.54 0.57 0.61 1.8 0.03 0.04 0.07 0.15 0.28 0.37 0.44 0.50 0.54 0.58 0.61 0.65 2.0 0.03 0.04 0.07 0.16 0.29 0.38 0.46 0.52 0.56 0.60 0.63 0.68 2.5 0.03 0.04 0.08 0.16 0.30 0.39 0.48 0.54 0.58 0.62 0.65 0.70 3.0 0.03 0.04 0.08 0.16 0.31 0.40 0.48 0.55 0.59 0.63 0.66 0.71 0.03 0.05 0.08 0.16 0.31 0.40 0.49 0.56 0.60 0.64 0.67 0.72 (Sumber : McGraw-Hill, 1999)

f. Koefisien kerugian pada pembesaran bertahap D 2 D 1 Gambar 2.26 Pembesaran Bertahap (Sumber : google.com) Untuk mencari nilai koefisien kerugian pada pembesaran bertahap, digunakan grafik pada gambar dibawah ini : Gambar 2.27 Grafik D 2 /D 1 vs K (Sumber : google.com) g. Koefisien kerugian pada percabangan tertutup Koefisien kerugian pada percabangan tertutup dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

K = K 1 Re + K (1 + 1 D ) (2.22) Dimana : K 1 = Koefisien kerugian gesek fitting pada Re = 1 K = Koefisien kerugian gesek fitting pada Re = Nilai K 1 dan K diketahui dari tabel dibawah ini. Tabel 2.4 nilai koefisien kerugian pada percabangan Fitting Type K 1 K Screwed, SR (R/D = 1) 500 0.7 Screwed, LR 800 0.4 Tee, used as elbow Flanged/Welded,SR (R/D = 1) 800 0.8 Stub-in type Branch 1000 1 Screwed 200 0.1 Tee, Run Through Flanged/Welded 150 0.05 Stub-in type Branch 100 0 Full Line Size, Beta = 1 300 0.1 Valves, Gate/Ball/Plug Reduced Trim, Beta=0.9 500 0.15 Reduced Trim, Beta= 0.8 1000 0.25 Globe, Standard 1500 4 Valves Globe, Angle 1000 2 Diaphragm, dam type 1000 2 Butterfly 800 0.25 (Sumber : google.com) h. Koefisien kerugian pada elbow 90 Koefisien kerugian pada elbow 90 dapat dihitung menggunakan rumus (2.22) Nilai K 1 dan K diketahui dari tabel dibawah ini:

Tabel 2.5 nilai koefisien kerugian pada percabangan Fitting Type K 1 K Threaded, SR (R/D = 1) 800 0.4 90 Elbow Curved Flanged/Welded, SR (R/D = 1) 800 0.25 All Types,LR (R/D =1.5) 800 0.2 1 Weld (90 Angle) 1000 1.15 2 Weld (45 Angle) 800 0.35 90 Elbow Mitered R/D 1.5 3 Weld (30 Angle) 800 0.3 4 Weld (22.5 Angle) 800 0.27 5 Weld (18 Angle) 800 0.25 45 Elbow All Types,SR(R/D=1) 500 0.2 All Types LR (R/D=1.5) 500 0.15 45 Elbow Mitered 1 Weld (45 Angle) 500 0.25 2 Weld (45 Angle) 500 0.15 (Sumber : google.com) i. Pembesaran dan pengecilan mendadak Koefisien kerugian pembesaran dan pengecilan mendadak pada pipa dapat dihitung dengan menggunakan grafik pada gambar dibawah. Gambar 2.28 Koefisien kerugian pengecilan dan pembesaran mendadak. (Sumber : Frank.M.White, 2009)

j. Koefisien kerugian keluaran pipa Berdasarkan table koefisien kerugian pada Frank M White, nilai k pada keluaran pipa adalah senilai k=1. 2.9 Persamaan Bernoulli Berdasarkan dengan hukum kekekalan energi, energi total pada suatu titik di fluida akan sama dengan total energi pada titik lain di sepanjang aliran fluida tersebut. Gambar 2.29 Ilustrasi aliran fluida dalam pipa menurut bernoulli (Sumber : Frank. M. White, 2009) Hal ini akan berlaku selama tidak ada penambahan energi ke fluida. Konsep ini dapat dinyatakan ke dalam bentuk persamaan yang kemudian dikenal dengan persamaan Bernoulli, yaitu: p 1 γ 1 + V 1 2 2g + z 1 = p 2 + V 2 2 γ 2 2g + z 2 (2.23)

Dimana: P1 dan P2 = tekanan pada titik 1 dan 2 (Pa) V1 dan V2 = kecepatan aliran pada titik 1 dan 2 (m/s) Z1 dan Z2 = Ketinggian titik 1 dan titik 2 (m) γ = berat jenis fluida (N/m 3 ) g = percepatan gravitasi = 9,81 m/s 2 Persamaan diatas adalah asumsi jika tidak ada kehilangan energi antara dua titik yang terdapat dalam aliran tersebut, namun dalam kenyataanya akan ada kerugian energi yang disebabkan gesekan antara fluida dan dinding pipa. Kerugian ini dinyatakan dengan head losses yang terjadi antara dua titik. Jika head losses ini dinotasikan sebagaih f, maka persamaan Bernoulli di atas dapat ditulis menjadi sebuah persamaan baru sebagai berikut: p 1 + V 2 1 γ 1 2g + z 1 = p 2 + V 2 2 γ 2 2g + z 2 + h f (2.24) Persamaan diatas dapat digunakan untuk menyelesaikan banyak permasalahan dalam mekanika fluida, terutama untuk fluida inkompresibel tanpa adanya penambahan panas atau energi yang diambil dari fluida. 2.10 Kecepatan Minimum Aliran Slurry Pada kecepatan yang kecil, head loss pada pipa akibat aliran slurry akan sangat sulit di prediksi dan sangat rentan terjadinya penyumbatan padatan pada pipa. Gambar 2.30 Pengaruh Kecepatan Terhadap Distribusi Partikel Solid Pada Pipa (Sumber : Metso)

Kecepatan minimum aliran slurry tersebut dapat ditentukan melalui nomogram berikut : Gambar 2.31 Nomogram Kecepatan Minimum (Sumber : Weir, 2009) 2.11 Diameter Hidraulik Untuk pipa dengan penampang non sirkular, perhitungan menggunakan diameter hidraulik. Diameter hidraulik dihitung dengan menggunakan persamaan: Rumus yang digunakan untuk menghitung diameter hidraulik adalah: D h = 4. A P (2.25) Dimana: D h = Diameter hidraulik (mm) A = Luas area penampang pipa (mm 2 ) P = Wet Perimeter (mm)

2.12 HR dan ER Untuk menghitung head pada fluida Non-Newtonian, diperlukan metode khusus, salah satunya yaitu dengan menggunakan Head Ratio (Weir Slurry Pumping Manual, 2009). Head Ratio (HR) dan Efficiency Ratio (ER) adalah konstanta yang digunakan untuk menentukan head aktual serta efisiensi aktual yang terjadi pada suatu sistem pemipaan dengan fluida kerja slurry. HR dan ER berupa konstanta pembagi total head yang sudah dihitung dengan menggunakan medium fluida berupa air tanpa campuran padatan. Menurut Warman dalam Slurry Pumping Handbook, nilai HR dan ER ditentukan dengan menggunakan grafik seperti dibawah ini. Gambar 2.32 Grafik HR dan ER (Sumber : Weir, 2009)

2.13 Head Solid Head solid merupakan nilai head tambahan yang diberikan oleh partikel solid yang bercampur dalam aliran. Head solid dihitung dengan membagi Head Clear Water untuk seluruh sistem dengan sebuah koefisien pembagi, kemudian menguranginya lagi dengan Head Clear Water pada keseluruhan sistem tersebut, dimana pengaruh tekanan harus diabaikan agar didapat nilai head sistem. Secara matematis, hubungan head mixture dengan head solid dapat dijabarkan sebagai berikut: H s = H W HR H W (2.26) Dimana: H s = Head Solid. H W = Head Clear Water keseluruhan sistem. HR = Head Ratio. 2.14 Head Mixture Nilai head aktual atau head campuran daripada suatu sistem dihitung dengan menjumlahkan Head Clear Water dengan Head Solid. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: H M = H W + H S (2.27) Dimana : H M = Head Mixture H w = Head Water