IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
1. Pengantar A. Latar Belakang

III. Bahan dan Metode

Hasil dan Pembahasan

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

VI. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

LAMPIRAN. Lampiran 1. Analisis vegetasi hutan mangrove mulai dari pohon, pancang dan semai berdasarkan

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat

ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI

TINJAUAN PUSTAKA. Sumatera Utara 7300 ha. Di daerah-daerah ini dan juga daerah lainnya, mangrove

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan parasit, jamur, bakteri, dan virus. (Purwaningsih dan Taukhid,

STRUKTUR VEGETASI. Boy Andreas Marpaung / DKK-002

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. ikan budidaya pada air tawar adalah penyakit Motil Aeromonas Septicemia (MAS)

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

BAB I PENDAHULUAN. dilaporkan sekitar 5,30 juta hektar jumlah hutan itu telah rusak (Gunarto, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

Community Structure of Mangrove in Sungai Alam Village Bengkalis Sub Regency, Bengkalis Regency, Riau Province

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

ABSTRAK. Kata kunci: Kelimpahan dan Pola sebaran mangrove, Perairan Sungai Ladi

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB I PENDAHULUAN. ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

IDENTIFIKASI VEGETASI MANGROVE DI SEGORO ANAK SELATAN, TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, BANYUWANGI, JAWA TIMUR

ANALISIS STRUKTUR DAN STATUS EKOSISTIM MANGROVE DI PERAIRAN TIMUR KABUPATEN BIAK NUMFOR

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

THE COMMUNITY STRUCTURE OF MANGROVE VEGETATION IN RINDU LAUT OF PURNAMA VILLAGE OF DUMAI CITY

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

STRUKTUR KOMUNITAS DAN PENYEBARAN MANGROVE SERTA UPAYA PENGELOLAANNYA OLEH MASYARAKAT DISTRIK TEMINABUAN, KABUPATEN SORONG SELATAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

Latar Belakang (1) Ekosistem mangrove Produktivitas tinggi. Habitat berbagai organisme makrobentik. Polychaeta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

METODE PENELITIAN. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2.

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI PULAU KETER TENGAH KABUPATEN BINTAN

KOMPOSISI VEGETASI HUTAN MANGROVE DI PANTAI MOJO KECAMATAN ULUJAMI KABUPATEN PEMALANG PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. secara tradisional oleh suku bangsa primitif. Secara terminologi, etnobotani

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

KORELASI ANTARA KERAPATAN AVICENNIA DENGAN KARAKTERISTIK SEDIMEN DI KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI RAWA KABUPATEN SIAK, RIAU

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO

KUESIONER DI LAPANGAN

Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Liki, Distrik Sarmi Kota Kabupaten Sarmi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

ABSTRACT

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

STRUKTUR VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN MERBAU KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI

BABI PENDAHULUAN. mangrove, namun dari beberapa definisi bisa ditarik satu kesimpulan untuk

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

Indra G. Ndede¹, Dr. Ir. Johny S. Tasirin, MScF². & Ir. Maria Y. M. A. Sumakud, MSc³. ABSTRAK ABSTRACT

ABDUR RAHMAN. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

BAB III METODE PENELITIAN

Nursal, Yuslim Fauziah dan Erizal Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan PMIPA FKIP Universitas Riau Pekanbaru ABSTRACT

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

POTENSI EKOLOGI MANGROVE TINGKAT POHON DAN PANCANG PULAU KABAENA KABUPATEN BOMBANA SULAWESI TENGGARA

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Mangrove yang Diperoleh di Pantai Kecamatan Panggungrejo Kota Pasuruan

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI HUTAN MANGROVE KELURAHAN BELAWAN SICANANG KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA

II. TINJAUAN PUSTAKA

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove terdiri dari 7 spesies termasuk 4 famili. Nama spesies tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Jenis Mangrove yang terdapat di Kelurahan Warmasem. No. Spesies Famili 1. Avicennia lanata Avicenniaceae 2. Bruguiera cylindrica Rhizophoraceae 3. B. gymnorrhiza Rhizophoraceae 4. Rhizophora apiculata Rhizophoraceae 5. R. mucronata Rhizophoraceae 6. Sonneratia alba Lythraceae 7. Xylocarpus granatum Meliaceae Tabel 2. Jenis tumbuhan epifit yang menempel di pohon S. alba No. Spesies Famili 1. Anggrek Orchidaceae 2. Paku Polypodiaceae 3. Sarang semut (Hydnophytum dan Myrmecodia) Rubiaceae 20

Tabel 1. menunjukkan terdapat tujuh spesies mangrove. Terkait dengan habitatnya, umumnya ada yang tumbuh di tanah berkarang dan berpasir adalah spesies A. lanata, S. alba, R. mucronata, di tanah berlumpur spesies R. apiculata, B. gymnorrhiza dan X. granatum, di tanah sedikit berpasir dan berlumpur spesies B. cylindrica. Dari ke tujuh spesies mangrove yang ditemukan, yang paling menonjol adalah spesies R. apiculata dan R. mucronata kedua penyusun vegetasi ini yang paling dominan di lokasi penelitian memiliki perakaran yang berupa akar tunjang yang keluar dari cabang batang. Spesies B. gymnorrhiza juga merupakan penyusun vegetasi mangrove yang paling terlihat jelas di lokasi penelitian, karena memiliki ukuran 30-50 m, diameter batang 9-80 cm dan kayunya yang berwarna merah. Tabel 2 menunjukkan terdapat tiga jenis tumbuhan epifit, ditemukan pada cabang S. alba. Jenis tersebut adalah spesies anggrek (Orchidaceae), spesies paku (Polypodiaceae), dan spesies sarang semut (Hydnophytum dan Myrmecodia). 2. Struktur Vegetasi Mangrove Hasil analisis dari tingkat kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, indeks nilai penting dan indeks keragaman struktur vegetasi mangrove pada 21

tiap petak ukur (5x8 m, 10x10 m, 20x20 m) dari 20 plot dapat dilihat dilampiran 1, 2 dan 3). Hasil dari petak ukur 5x5 m digunakan untuk tingkat pancang dengan diameter pohon < 10 cm (tabel 1) terdapat enam spesies diantaranya A. lanata, B. gymnorrhiza, R. apiculata, R. mucronata, S. alba, X. granatum. Petak ukur 10x10 m digunakan untuk tiang dengan diameter pohon 10-20 cm (tabel 2) terdapat lima spesies diantaranya B. cylindrica, B. gymnorrhiza, R. apiculata, R. mucronata, S. alba. Petak ukur ukur 20x20 m digunakan untuk tingkat pohon dengan pohon > 20 cm (tabel 3) terdapat lima spesies B. cylindrica, B. gymnorrhiza, R. apiculata, R. mucronata, S. alba. 1. Nilai Kerapatan Relatif Gambar 3. Nilai kerapatan relatif dari seluruh plot pengamatan 22

Dalam penelitian ini hasil analisis data kerapatan relatif ke 3 petak ukur (5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m) dari 20 plot (gambar 2) diketahui bahwa tingkat kerapatan relatif tertinggi pada spesies R. apiculata (65 %) ditemukan pada petak ukuran 5x5 m, dan tingkat kerapatan relatif yang paling rendah adalah spesies A. lanata dan X. granatum (2 %). 2. Nilai Frekuensi Relatif Gambar 4. Nilai frekuensi relatif dari seluruh plot pengamatan Adapun Nilai frekuensi relatif ke 3 petak ukur tersebut dari 20 plot (gambar 3) yang digunakan diketahui spesies yang banyak ditemukan disetiap plot adalah spesies R. apiculata dan memiliki nilai frekuensi yan paling tinggi (56 %) ditemukan pada petak ukuran 5x5 m, spesies yang sedikit ditemukan dari 20 plot 23

adalah spesies A. lanata, X. granatum, dan R. mucronata (4 %), tetapi ada spesies yang tidak di temukan pada petak ukuran 5x5 m adalah spesies B. cylindrica. 3. Nilai Dominansi Relatif Gambar 5. Nilai dominansi relatif dari seluruh plot pengamatan Nilai dominansi yang paling tinggi (gambar 4) adalah spesies B. gymnorrhiza (48 %) terdapat pada petak ukur 20x20 m dari 20 plot, kemudian menyusul spesies R. apiculata (46 %). Spesies X. granatum tidak ditemukan dari 20 plot pada petak ukur 5x5 m, 10x10 m, 20x20 m. 24

4. Indeks Nilai Penting Gambar 6. Indeks nilai penting dari seluruh plot pengamatan Indeks nilai penting vegetasi mangrove yang tertinggi (gambar 5) adalah spesies R. apiculata (167 %) pada petak ukuran 5x5 m. Indeks nilai penting yang paling rendah terdapat pada spesies Xylocarpus granatum (6 %) dan R. mucronata (7 %). 5. Indeks Keragaman Gambar 7. Nilai indeks keragaman dari seluruh plot pengamatan 25

Nilai Indeks keragaman ketiga petak ukur 5x5 m, 10x10 m, dan 20x20 m dari 20 plot berbeda (gambar 6), spesies yang memiliki indeks keragaman tertinggi B. gymnorrhiza (0,367) disusul oleh R. apiculata (0,345) pada petak ukuran 20x20 m. B. Pembahasan 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Pada tiap petak ukur (5x5 m, 10x10 m, 20x20 m) dari 20 plot, ternyata jumlah spesies yang ditemukan pada masing-masing petak ukur berbeda-beda. Petak ukur 5x5 m digunakan untuk tingkat pancang dengan diameter pohon kurang dari 10 cm terdapat pada spesies X. granatum dan R. mucronata, tetapi ada spesies yang ditemukan di ukuran petak ini lebih dari diameter pohon kurang dari 10 cm diantaranya A. lanata, B. gymnorrhiza, R. apiculata, S. alba. Petak ukur 10x10 m digunakan untuk tingkat tiang dengan diameter pohon 10-20 cm terdapat pada spesies R. apiculata dan R. mucronata, tetapi ada juga yang lebih dari 20 cm diamter pohon seperti pada spesies B. cylindrica, B. gymnorrhiza dan S. alba. Pada petak ukur 20x20 m digunakan untuk tingkat pohon dengan diameter pohon lebih dari 20 cm terdapat pada spesies B. cylindrica, B. gymnorrhiza, R. apiculata dan S. alba, tetapi ada yang kurang dari 20 cm diamter pohonnya 26

yang ditemukan spesies R. mucronata. Kemungkinan kondisi tersebut menyebabkan adanya spesies yang berukuran kecil sudah mulai berkurang, dan ada spesies yang bisa beradaptasi dengan lingkungannya yang memiliki diameter pohon lebih besar sehingga bisa mempertahankan regenerasinya. Penyusun vegetasi mangrove yang ada di lokasi penelitian di Kelurahan Warmasem Kota Waisai Kabupaten Raja Ampat, tabel 1 menunjukkan keragaman vegetasi mangrove ditemukan berjumlah 7 spesies dari 4 famili. Hasil penelitiannya hampir sama yang dilakukan oleh Sadik (2008) bahwa ditemukan 7 jenis Mangrove dari 3 famili jumlah individu yang paling banyak ditemukan adalah R. apiculata, R. mucronata, B. gymnorrhiza dan B. cylindrica. Selanjutnya jenis yang sulit ditemukan adalah A. lanata dan X. granatum, tetapi ada jenis yang tidak ditemukan di lokasi penelitian ini adalah S. caseolaris. Kondisi daerah tersebut menunjukkan jenis mangrove di Waisai Kota Kabupaten Raja Ampat, kemungkinan sedikit mengalami penurunan jumlah spesies mangrove dapat di lihat di tabel 1. Karena lokasi penelitian yang diteliti hanya satu Kelurahan, sehingga ada spesies mangrove yang tidak ditemukan dilokasi penelitian. Salah satunya spesies S. caseolaris, yang ditemukan oleh Sadik dalam Penelitiannya. Faktor 27

lain yang menyebabkan, populasi penduduk dari tahun ke tahun semakin bertambah, sehingga populasi mangrove semakin berkurang karena adanya aktivitas manusia. Menurut Bengen (2002), spesies mangrove yang ada di Indonesia berjumlah 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis diantaranya mangrove sejati yang terdiri dari jenis pohon dan beberapa jenis perdu, sementara jenis lain ditemukan di sekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan. Dalam penelitian, ke tujuh spesies yang ditemukan di Kelurahan Warmasem kabupaten Raja Ampat dikategorikan spesies mangrove termasuk jenis pohon, tiga jenis epifit yang hanya menempel di pohon S. alba. Tiga jenis epifit adalah tumbuhan yang hidup menempel pada S. alba yang berperan sebagai tumbuhan inang. Ketiganya tidak mengambil makanan dari inangnya, atau tidak bersifat parasit. Interaksi epifit pada sampai saat inang ini belum menunjukkan gejala epifitosis (gejala sakit pada tumbuhan inang). Populasi epifit tersebut diatas relatif kecil dan hanya menyukai tumbuh di cabang-cabang besar pohon inang. Disukainya tumbuhan inang oleh tumbuhan epifit untuk menempel, kemungkinan disebabkan 28

adanya kaitan dengan morfologi kulit pohon maupun kandungan kimia dari kayu dan kulit pohon inang (Gunawan dkk. 2009). Tumbuhan paku epifit merupakan tumbuhan yang memiliki nilai manfaat bagi kehidupan manusia misalnya bisa dijadikan sebagai tanaman hias dan obat-obatan. Menurut Sastrapradja 1979 & Romaidi dkk. 2012, keberadaan tumbuhan paku epifit memegang peranan penting dalam komunitas dan struktur hutan mangrove dalam pendauran unsur hara ekosistem hutan dan habitat beberapa hewan. Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai Indeks keragaman vegetasi mangrove tertinggi adalah spesies B. gymnorrhiza (0,367) disusul oleh R. apiculata (0,345). Kemungkinan jenis vegetasi mangrove dari tahun ke tahun semakin berkurang, karena spesies S. caseolaris tidak di temukan di lokasi penelitian ini. Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Odum (1971), jika nilai Indeks keragaman (H ) < 1 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu sampling area adalah sedikit atau rendah. Faktor yang menyebabkan, kemungkinan spesies mangrove jenis S. caseolaris banyak ditebang oleh penduduk sehingga spesiesnya sudah mulai berkurang. 29

2. Struktur Vegetasi Mangrove Struktur vegetasi mangrove dapat dilihat dari nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif, nilai dominansi relatif, indeks nilai penting. 3. Nilai Kerapatan Relatif Nilai kerapatan relatif adalah kerapatan mutlat jenis ke-i dan jumlah kerapatan mutlak seluruh jenis dalam suatu unit area (Bengen 2001 & Romadhon 2008). Gambar 2 menunjukkan nilai kerapatan relatif tertinggi adalah spesies R. apiculata, dan tingkat kerapatan relatif yang paling rendah adalah spesies A. lanata, X. granatum. Lokasi R. apiculata letaknya lebih kearah darat dan memiliki jenis substrat berupa lumpur, faktor lain yang berpengaruh adalah memiliki akar tunjang yang tumbuh diatas permukaan tanah sehingga R. apiculata ini lebih rapat dibandingkan jenis mangrove lainnya. Spesies A. lanata dan X. granatum kemungkinan besar tidak mendapatkan sirkulasi unsur hara dan mengalami gangguan akar yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan dari ketiga jenis ini terganggu (Firdaus, 2012). Nilai Frekuensi Relatif Nilai frekuensi relatif adalah frekuensi mutlak jenis ke-i dan jumlah frekuensi mutlak seluruh jenis 30

(Bengen 2001 & Romadhon 2008). Gambar 3 menunjukkan bahwa spesies yang banyak ditemukan disetiap plot adalah spesies R. apiculata dan memiliki nilai frekuensi yang paling tinggi, spesies yang sedikit ditemukan dari 20 plot adalah spesies A. lanata, X. granatum, dan R. mucronata, tetapi ada spesies yang tidak di temukan pada petak ukuran 5x5 m adalah spesies B. cylindrica. Kondisi daerah spesies R. apiculata mampu beradaptasi dengan lingkungan yang memungkinkan mangrove untuk tumbuh optimal, sehingga setiap plot spesies R. apiculata selalu ditemukan. Spesies R. mucronata ditemukan di plot 12 dan plot 14 yang subsratnya berpasir dan berkarang tumbuh didekat sungai kecil. Menurut Noor dkk (1999), spesies R. mucronata pada umumnya tumbuh didekat pematang sungai yang substratnya berpasir dan berkarang. Spesies B. cylindrica tidak ditemukan di petak ukuran 5x5 m dari 20 plot, hal ini disebabkan karena B. cylindrica memiliki ukuran pohon yang besar sehingga sulit untuk tumbuh di petak yang berukuran kecil misalnya 5x5 m. Menurut Suhono (2010), Marga Bruguiera merupakan jenis pohon yang tinggi batangnya mencapai 40 m dengan diameter mencapai 90 cm dan tumbuh dibagian dalam hutan mangrove. Selain itu kayu Bruguiera yang berukuran besar 31

digunakan untuk bahan konstruksi bangunan, bantalan kereta api, furniture, peralatan kerajinan serta kayu bakar. 4. Nilai Dominansi Relatif Nilai dominansi relatif adalah dominansi mutlak jenis ke-i dan jumlah dominansi mutlak seluruh jenis. Nilai dominansi yang paling tinggi (gambar 4) adalah spesies B. gymnorrhiza, kemudian menyusul spesies R. apiculata. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa kedua jenis berhasil menguasai daerah dan mempunyai pertumbuhan serta perkembangan yang baik. Jenis ini toleran terhadap daerah terlindung maupun yang mendapat sinar matahari langsung. Mereka juga tumbuh pada tepi daratan dari mangrove yang substratnya terdiri dari lumpur dan sedikit berpasir (Noor dkk. 1999). Selain itu, buah mangrove jenis B. gymnorrhiza bisa digunakan sebagai bahan untuk membuat makanan tradisional. Pengolahan buah mangrove ini telah dilakukan oleh ibu-ibu kelompok PKK di Kampung Dorehkar. Buah Bruguiera diolah melalui teknik pengolahan yang khusus sehingga menjadi bahan tepung. Bahan tepung inilah yang digunakan untuk membuat berbagai macam penganan tradisional. Kegiatan pemanfaatan ini masih belum dilakukan dalam skala komersial. Masyarakat pada umumnya 32

masih memanfaatkan buah mangrove ini terbatas untuk konsumsi rumah tangga, selain itu pohonnya dapat bernilai ekonomi karena digunakan untuk bahan bangunan (DKP-KRA 2006). Jenis R. apiculata dapat dimanfaatkan kayunya sebagai kayu bakar dan arang. Spesies X. granatum tidak memiliki nilai dominansi dari 3 petak ukur pada 20 plot, karena memiliki diameter batang lebih kecil dibandingkan spesies mangrove lainnya. Untuk mendapatkan nilai dominansi harus mengetahui luas bidang dasar pada setiap pohon mangrove, sehingga X. granatum memiliki nilai dominansi nol. Faktor lain yang menyebabkan X. granatum tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya dan tidak cocok tempat pertumbuhannya. Menurut Noor (1999), bahwa X. granatum tumbuh disepanjang tepi sungai pasang surut dipinggir daratan dari mangrove yang lingkungannya tidak terlalu asin. 5. Indeks Nilai Penting Indeks nilai penting dari ke tiga petak ukur tersebut relatif berbeda (gambar 5). Indeks nilai penting vegetasi mangrove yang tertinggi adalah spesies R. apiculata (167 %) dan yang paling rendah terdapat pada spesies X. granatum (6 %). Menurut Setyawan dkk (2005), bahwa Indeks nilai penting yang paling tinggi ditemukan pada R. apiculata disusul Avicennia sp dan 33

Sonneratia sp. Sundra (2004), dalam penelitiannya tentang Analisis struktur vegetasi hutan mangrove di Kota Dempasar menyatakan bahwa ada dua jenis vegetasi mangrove yang memiliki nilai penting tinggi yaitu R. apiculata dan S. alba. Indeks Nilai Penting hampir sama penelitian yang dilakukan di Pesisir Pantai Kelurahan Warmasem Kota Waisai Kabupaten Raja Ampat. Ini diduga disebabkan oleh kondisi lingkungannya lebih baik bagi pertumbuhan mangrove R. apiculata yang pertumbuhnya kearah darat dan habitatnya berupa lumpur. Supriharyono juga menyatakan sama (2007), jika substrat hutan mangrove tergolong lumpur maka kualitas jenis tanah ini paling baik karena sangat subur, dapat mengendalikan tata air dalam tanah berupa kecepatan infiltrasi, penetrasi dan kemampuan pengikatan air oleh tanah. Pada petak ukuran 5x5 m digunakan untuk tingkat pancang dengan diameter pohon < 10 cm dari 20 plot, memiliki nilai penting yang paling tinggi adalah spesies R. apiculata. Tetapi ada spesies mangrove yang tidak ditemukan pada petak ukuran tersebut adalah spesies B. cylindrica. Hal ini disebabkan spesies B. cylindrica memiliki ukuran diameter batang yang lebih besar, sehingga tidak memungkinkan untuk tumbuh dipetak ukuran yang kecil. 34

Pada petak ukuran 10x10 m digunakan untuk tingkat tiang dengan diameter pohon 10-20 cm dari 20 plot, memiliki nilai penting yang paling tinggi adalah R. apiculata. Spesies yang tidak ditemukan pada petak tersebut adalah spesies A. lanata dan X. granatum. Kedua spesies ini memiliki diameter batang yang lebih kecil, sehingga sulit ditemukan di petak ukuran yang lebih besar. Faktor lain yang menyebabkan kemungkinan kedua spesies ini habis dimakan hama dan tidak cocok zona pertumbuhannya. Pada petak ukuran 20x20 m digunakan untuk tingkat pohon dengan diameter > 20 cm dari 20 plot, nilai penting yang tertinggi terdapat pada spesies R. apiculata disusul oleh spesies B. gymnorrhiza. Kedua spesies ini mampu beradaptasi dengan lingkunganya, sehingga ditemukan di petak ukuran yang lebih besar. Selain itu, spesies B. gymnorrhiza memiliki ukuran pohon lebih besar. Spesies R. apiculata memiliki akar yang banyak, tiap cabang akan tumbuh akar nafas sehingga mampu menguasai suatu daerah atau lokasi. Secara keseluruhan dari berbagai penelitian melaporkan bahwa Indeks nilai penting tertinggi adalah spesies R. apiculata, karena memiliki sistem percabangan yang berkembang secara ekstensif. Dari tiap-tiap cabang akan tumbuh akar nafas (pneumatophoro) yang awalnya berfungsi membantu 35

mencukupi kebutuhan oksigen bagi tumbuhan. Tetapi pada tahap selanjutnya, akar ini akan berkembang menjadi akar tunjang yang merupakan salah satu ciri khas R. apiculata, yang berfungsi untuk memperkokoh tegaknya batang pada daerah lumpur dan penyerapan unsur hara. Setelah masing-masing cabang memiliki akar tunjang dalam jumlah yang cukup dan kuat, serta mampu memenuhi kebutuhan hara, bagian cabang yang pada awalnya berhubungan dengan pohon induk, tidak lagi berfungsi mensuplai unsur hara dari pohon induk bagian cabang. Akibatnya pertumbuhan terhenti dan mati. Pada tahap akhir sistem perkembangbiakan cabang-cabang yang awalnya berhubungan dengan pohon induk akan terpisah dan tumbuh sebagai individu baru (Jamili dkk. 2009). Ketujuh spesies yang ditemukan di lokasi penelitian ini, diantaranya adalah A. lanata, B. cylindrica, B. gymnorrhiza, R. apiculata, R. mucronata, S. alba dan X. granatum. Spesies yang perlu dijaga kelestariannya atau mencegah kepunahannya adalah B. gymnorrhiza dan B. cylindrica. Karena spesies ini memiliki nilai ekonomi yang paling tinggi dan buahnya bisa dijadikan bahan panganan dibandingkan oleh spesies lainnya. Secara umum dapat diartikan bahwa ekosistem mangrove di Kelurahan Warmasem keragaman vegetasi 36

mangrovenya cenderung menurun, disebabkan oleh aktivitas manusia yang area mangrove ini dekat dengan pemukimam penduduk. Selain itu masyarakat biasa juga menebang pohon yang bisa digunakan untuk bangunan dan dijadikan sebagai kayu bakar untuk pembuatan arang. Tetapi jenis R. apiculata sulit untuk ditebang pohonnya karena memiliki akar yang terlalu tinggi dari permukaan tanah, sehingga sulit untuk ditebang oleh penduduk. Keberadaan daerah ini harus dipertahankan tentunya mengingat fungsi ekosistem mangrove sebagai habitat hidup organisme darat dan laut serta melindungi pantai dari ombak dan gelombang. 37