BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sejak dahulu tenaga perawat pelaksana di ruang rawat inap dibutuhkan oleh

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu perguruan tinggi terdapat proses belajar dan mengajar, proses ini

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan salah satu syarat untuk bisa melakukan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, perhatian masyarakat mengenai hal-hal yang menyangkut

BAB I PENDAHULUAN. seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan seluruh mata kuliah yang diwajibkan dan tugas akhir yang biasa

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. performance or volitional control self regulation pada mahasiswa angkatan 2014

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang baik maka tidak tersedia modal untuk melangkah ke depan

BAB 1 PENDAHULUAN. bebas, dan otonomi daerah telah mendesak dunia pendidikan terutama pendidikan tinggi untuk

BAB I PENDAHULUAN. Universitas ini mengelola 12 fakultas dan program studi, dan cukup dikenal di

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan negara,

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pendidikan sangat penting. Hal ini disebabkan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu dalam hidupnya tidak terlepas dari proses belajar. Individu

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu terlahir dengan memiliki kapasitas untuk belajar yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang lemah dan penuh ketergantungan, akan tetapi belum mampu ke usia yang

BAB I PENDAHULUAN. Penurunan jumlah imam yang ada di Indonesia saat ini seringkali menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang membangun negara

Lampiran 1 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. Pada jaman yang semakin berkembang, Indonesia semakin membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan pembangunan nasional. Pendidikan merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004, pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan atau ketergantungan narkoba mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan individu dimana mereka dituntut untuk belajar setiap

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa bertambah, begitu juga halnya di Indonesia (

BAB I PENDAHULUAN. Semua orang membutuhkan pendidikan. Pendidikan yang telah diperoleh

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang semakin canggih, dan persaingan dalam dunia pekerjaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah pelajar yang berada dalam jenjang pendidikan perguruan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan

Prosiding Psikologi ISSN:

Studi Deskriptif mengenai Self Regulation dalam Bidang Akademik pada Mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. meminimalkan penggunaan tenaga dalam beraktivitas. Dampak positifnya,

REGULASI DIRI DARI RESIDEN YANG MENJALANI PROGRAM REHABILITASI KETERGANTUNGAN NARKOBA. Shirley Melita Sembiring M. Universitas Medan Area, Indonesia

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. ( ISAK_TOROBI/T_ADP _Chapter1.pdf).

BAB II KAJIAN TEORITIK. Menurut National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) bahwa

Prosiding Psikologi ISSN:

Studi Deskriptif Mengenai Self Regulation pada Siswa Atlet SMPN 1 Lembang. Suchi Fuji Astuti,

Studi Mengenai Self Regulator pada Mahasiswa Underachiever di Fakultas Psikologi Unisba

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi adalah salah satu usaha dari sekelompok orang yang bekerja

BAB I PENDAHULUAN. (Kagan & Coles, 1972; Keniston, 1970; Lipsitz, 1977, dalam Steinberg, 1993).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengajar. Teori Self-Regulated Learning dari B.J Zimmerman yang menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan pendidikan selain ikut mengantarkan manusia ke harkat dan martabat

BAB I PENDAHULUAN. kutu buku, bahkan kurang bergaul (Pikiran Rakyat, 7 November 2002).

Data Pribadi. Kelas/No. Absen. Alamat/Telp :... Pendidikan Ayah/Ibu. c. di bawah rata-rata kelas. Kegiatan yang diikuti di luar sekolah :.

PERINGATAN!!! Bismillaahirrahmaanirraahiim Assalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

Prosiding SNaPP2012: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No.

ABSTRAK. viii. Universitas Kristen Maranatha

Prosiding Psikologi ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas yang dibutuhkan bagi peningkatan dan akselerasi pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa, mengembangkan pengendalian

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dalam dunia medis, telah membawa banyak

BAB I PENDAHULUAN. emerging adulthood. Pada tahap remaja, mahasiswa mengalami perkembangan fisik dan

BAB I PENDAHULUAN. perlu dikembangkan sepanjang hidupnya. Dalam menjalani proses belajar setiap

LAMPIRAN. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Rumah

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Bandung. Rumah sakit X merupakan rumah sakit swasta yang cukup terkenal di

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun

BAB 2 LANDASAN TEORI. Definisi mahasiswa menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Kamisa,

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit Ridogalih berdiri pada tahun 1934 yang memulai pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. cukup menarik bagi investor. Meningkatnya pendidikan dan pendapatan

STUDI MENGENAI SELF REGULATION PADA SISWA KELAS XI DI KELAS IQ SMA PASUNDAN 1 BANDUNG. Eni Nuraeni Nugrahawati, 2 Yuaninta Sari, 3 Delis Irmawati

BAB 1 PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan salah satu sarana yang disediakan untuk masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis. Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan merupakan suatu upaya. pemeriksaan, pengobatan atau perawatan di rumah sakit.

LAMPIRAN 1 INSTRUMEN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan untuk menghafal, dan bukan untuk berpikir secara kreatif, seperti

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja yang telah menamatkan bangku sekolah namun kurang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa, terdapat

BAB I PENDAHULUAN. semua rumah sakit, salah satunya Rumah Sakit Umum Daerah Soreang. jabatan dilakukan pada bulan Maret tahun 1999.

BAB I PENDAHULUAN. per-mei 2010 ( diinformasikan bahwa di Indonesia

Lampiran 1. Surat Pernyataan. 1. Tujuan dari kuesioner ini adalah pengambilan data untuk skripsi.

HUBUNGAN ACHIEVEMENT EMOTIONS DAN SELF-REGULATION MAHASISWA DALAM MENGERJAKAN SKRIPSI LIDYA KEMALA SARI PANJAITAN SURYA CAHYADI

UNESA Journal of Chemistry Education Vol 6, No.2, pp May 2017

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. yaitu RS Umum dan RS Khusus (jiwa, mata, paru-paru, jantung, kanker, tulang, dsb)

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini banyak wanita yang ikut bekerja untuk membantu mencari

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Semakin sulitnya kondisi perekonomian di Indonesia menjadikan. persaingan diantara perusahaan-perusahaan semakin ketat.

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. menjalani kehidupan. Masyarakat membutuhkan layanan kesehatan seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Rumah sakit merupakan salah satu bentuk sarana kesehatan yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. yang dididik secara formal dan diberikan wewenang untuk menerapkan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan rumah sakit. menimbulkan dampak negatif dan mempengaruhi derajat kesehatan mereka.

ABSTRAK. ii Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia (2005). Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang

BAB I PENDAHULUAN. inteligensi adalah faktor utama yang menentukan academic performance. Para

BAB 1 PENDAHULUAN. dimana salah satu upaya yang dilakukan oleh rumah sakit adalah mendukung rujukan

BAB I PENDAHULUAN. yang dimilikinya. Salah satu faktor penentu kualitas sumber daya manusia adalah

LAMPIRAN. 1. Hasil wawancara dengan pihak RSUD untuk pengumpulan data Narasumber : Dr. Herlina Jabatan : Dokter Umum. No Pertanyaan Jawaban

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak dahulu tenaga perawat pelaksana di ruang rawat inap dibutuhkan oleh pihak rumah sakit untuk memberikan perawatan kepada pasien yang berada di ruang rawat inap. Pada umumnya pasien yang di rawat berada dalam kondisi yang sulit untuk mengatasi masalah kesehatannya sendiri, sehingga pasien membutuhkan tenaga perawat pelaksana (PPNI, 2007). Pengertian perawat perawat pelaksana adalah perawat yang membantu pasien untuk dapat kembali sembuh melalui proses penyembuhan baik secara fisik, emosi, spiritual dan sosial. Usia perawat pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap minimal delapan belas tahun dan bekerja dibawah administrator perawat, perawat administrator menduduki posisi management direktur atau manager perawat. Sumber ini di dapat dari (P.Perry, 2005). Perawat pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap melakukan tugas keperawatan, yaitu: pertama mengumpulkan data kesehatan pasien, kedua merencanakan tindakan keperawatan, ketiga membantu memulihkan kesehatan pasien seperti memberikan kebutuhan pasien (kebutuhan untuk mandi, makan, tidur, buang 1

2 air kecil ataupun besar), keempat mengevaluasi keadaan kesehatan pasien sejak dari awal masuk di ruang rawat inap sampai pasien benar-benar boleh pulang, dan kelima membuat dokumentasi kesehatan pasien dengan cara membuat catatan perkembangan kesehatan pasien, hal ini dilakukan untuk mempermudah melakukan tindakan keperawatan yang tepat (A.Aziz, 2004 ). Semua kegiatan tugas keperawatan memiliki standar keperawatan, misalnya: saat menyuntikan obat, perawat seharusnya menyiapkan obat, lalu membaca obat minimal tiga kali (sebelum, saat, dan meletakan obat) dan saat menyuntikan kepada pasien perawat pelaksana harus menunggu reaksi tubuh pasien terhadap obat (A.Aziz, 2004). Begitu pula dengan perawat pelaksana di rumah sakit X Pekanbaru, mereka diharapkan melakukan tugas sesuai dengan standar keperawatan. Di rumah sakit X Pekanbaru perawat pelaksana memiliki shift kerja yang dibagi menjadi shift pagi, siang dan malam, lalu melakukan pergantian shift kerja setiap seminggu sekali dan setiap perawat pelaksana akan menanggani pasien kurang lebih empat orang. Tiap ruangan dikepalai oleh kepala ruangan, kepala ruangan adalah perawat pelaksana yang memiliki skill dan pengalaman yang lebih dibandingkan dengan perawat pelaksana yang lain (P.Perry, 2005). Selain itu kepala ruangan bertugas memberikan evaluasi kepada perawat pelaksana, yang akan dilakukan sebulan sekali, bila mereka melakukan tugas sesuai dengan standar akan diberikan reward point dan bila tidak sesuai maka akan mendapatkan peringatan. Berdasarkan wawancara dengan salah seorang kepala ruangan didapatkan tujuh orang perawat pelaksana yang mencoba untuk menganti shift kerja, hal ini dilakukan

3 dengan sesama rekan kerja yang muda usianya dengan alasan ada urusan keluarga padahal perilaku seperti itu tidak diperbolehkan karena mereka berusaha untuk membuat status senioritas lebih berkuasa. Pekerjaan perawat merupakan tugas yang menyangkut nyawa pasien dan dianggap pekerjaan yang mulia, oleh karena itu perawat pelaksana diharapkan memiliki panggilan hati (PPNI, 2007). Berdasarkan wawancara dengan pasien rumah sakit X Pekanbaru, ditemui perawat pelaksana yang kesulitan melakukan tugas, misalnya saat perawat pelaksana memberikan obat kepada pasien, obat yang diberikan bukan obat pasien yang bersangkutan, hal ini segera disadari oleh perawat pelaksana dan segera memberikan obat yang benar dan meminta maaf. Selain itu perawat pelaksana yang lalai mengontrol cairan infus, yang mengakibatkan darah masuk kedalam selang infus. Berdasarkan wawancara dengan keluarga pasien di rumah sakit X Pekanbaru, menemui dua orang perawat pelaksana yang sedang tidur dan sekitar empat orang sedang mengerumpi padahal saat dipanggil datangnya lama dengan alasan sedang sibuk mengurus pasien yang lain. Keluhan lain datang dari perawat pelaksana sendiri, berdasarkan hasil wawancara dengan sepuluh orang perawat pelaksana yang berada di ruang rawat inap rumah sakit X Pekanbaru dan didapat sepuluh orang perawat pelaksana mengalami kesulitan dalam melakukan tugas. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh perawat pelaksana dalam melakukan tugas sesuai dengan standar yaitu: perawat pelaksana memiliki tugas yang banyak, harus merawat pasien yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dan harus bekerja sama dengan rekan kerja serta dokter yang

4 bertugas. Selain itu berdasarkan wawancara dengan dokter di rumah sakit X Pekanbaru dan didapat perawat pelaksana masih mengalami kesulitan dalam menjalankan perintah dokter, misalnya: saat memberikan perintah. perawat pelaksana ragu-ragu bertanya mengenai perintah dokter yang kurang jelas. Berdasarkan informasi yang ada diatas, terlihat perawat pelaksana kurang mampu melakukan tugas keperawatan dengan tidak menyusun rencana sebelum melakukan tugas keperawatan. Melakukan tugas keperawatan memerlukan kemampuan untuk mengatur dirinya, hal ini dilakukan untuk dapat memenuhi standar yang diinginkan oleh pihak rumah sakit yaitu melakukan tugas keperawatan sesuai dengan standar keperawatan. Kemampuan perawat pelaksana untuk mengatur dirinya agar dapat melakukan tugas keperawatan yang sesuai dengan tuntutan pihak rumah sakit disebut dengan self regulation (Zimmerman, 2000). Perawat pelaksana dikatakan mampu melakukan self regulation, apabila mereka mampu melakukan melakukan fase-fase yang ada dalam self regulation (fase forethought, fase performance atau volitional control dan fase self reflection), misalnya: saat memasang infus, perawat pelaksana seharusnya mempersiapkan semua alat-alat yang dibutuhkan berupa cairan infus, selang infus, jarum, plester, tangga penyangga dan lain-lain. Perawat yang mampu melakukan self regulation akan mempersiapkan semua alat yang dibutuhkan, sehingga tugas dapat dilakukan dengan efektif. Perawat pelaksana yang kurang mampu melakukan self-regulation, akan memunculkan perilaku yang tidak mendukung pemenuhan goal yang diinginkan oleh

5 rumah sakit, misalnya: saat memasang infus, perawat yang kurang mampu melakukan self regulation akan mengalami ketinggalan alat yang dibutuhkan (misalnya: plester) dan harus bolak balik mengambil alat yang tinggal sehingga banyak waktu yang terbuang dan tugas yang dilakukan menjadi kurang efektif. Self regulation dibentuk melalui tiga fase yang bersiklus yaitu fase forethought, fase performance atau volitional control dan fase self reflection (Zimmerman, 2000). Perawat pelaksana yang akan melakukan self regulation, dalam fase forethought perawat pelaksana akan melakukan perencanaan dalam melakukan tugas keperawatan, memikirkan berbagai alternatif yang akan dilakukan pada saat situasi tertentu dan menentukan goal yang diharapkan oleh pihak rumah sakit. Pada fase performance atau volitional control perawat pelaksana akan melaksanakan tugas keperawatan yang telah direncanakan dari sebelumnya. Pada fase self reflection. perawat pelaksana melakukan evaluasi tugas keperawatan yang telah dilakukannya, mereka akan mengevaluasi selama proses perawatan berlangsung. Fase ini adalah fase terakhir pada self regulation. Hasil wawancara terhadap sepuluh orang perawat pelaksana yang berada di ruang rawat inap di rumah sakit X Pekanbaru menunjukkan bahwa sebanyak 41,7 % perawat pelaksana kurang mampu merencanakan tugas keperawatan (fase forethought), misalnya: dalam pemberian obat yang tidak sesuai dengan jadwal yang ditentukan, hal ini terjadi karena mereka kesulitan dalam menyusun jadwal kapan obat pasien diberikan.

6 Sebanyak 30 % perawat pelaksana kurang mampu menetapkan dan melaksanakan tugas keperawatan (performance or volitional control), misalnya: kesulitan dalam membuat laporan pasien, perawat pelaksana seharusnya menyiapkan alat tulis serta buku laporan pasien dan langsung membuat laporan pasien, tetapi pada kenyataannya laporan pasien tidak langsung ditulis oleh mereka dengan alasan malas. Sebagian Kecil 28,3 % perawat pelaksana kurang mampu melakukan evaluasi terhadap melakukan tugas keperawatan (fase self reflection), misalnya: ketika menerima evaluasi setiap bulan mereka mengetahui jumlah nilai point yang didapat tetapi tidak berusaha meningkatkan jumlah point tersebut, yang terpenting bagi mereka dapat melakukan tugas sesuai dengan standar dan tidak melakukan kesalahan. Pada Fase forethought terdiri dari dua aspek yaitu task analysis dan self motivation beliefs, dimana sebagian kecil 11,7 % perawat pelaksana kurang mampu merencanakan untuk melakukan tugas keperawatan (task analysis), seperti kurang mampu menganalisis tujuan yang ingin dicapai oleh rumah sakit, serta 30 % kurang mampu melakukan self motivation beliefs, seperti ketika menghadapi tugas yang banyak mereka tidak membuat jadwal. Fase kedua yaitu fase performance or volitional control, yang terdiri dari dua aspek yaitu self control dan self observation, dimana 12,5 % kurang fokus melakukan tugas keperawatan (self control), seperti bersikap judes kepada pasien dan 16,65 % kurang mampu menyesuaikan diri dengan tugas keperawatan (self observation), seperti ketika menghadapi pasien yang jumlahnya banyak mereka kewalahan untuk menangani keluhan pasien. Fase yang ketiga yaitu fase self reflection yang memiliki dua aspek yaitu self judgment dan self

7 reaction, dimana 21,9 % kurang mampu melakukan self judgment, seperti kesulitan terhadap penilaian yang bersifat subyektif ketika mereka merasa sudah benar melakukan tugas tetapi bagi kepala ruangan itu belum dapat menambah nilai point mereka dan 6,4 % perawat pelaksana menganggap tidak penting nilai point yang diberikan tiap bulan serta menghindar dari tugas keperawatan (self reaction). Dapat dilihat dari hasil wawancara diatas tidak semua perawat pelaksana mampu melakukkan self regulation, berdasarkan masalah yang ada peneliti menjadi tertarik ingin meneliti mengenai self regulation pada perawat pelaksana ruang rawat di rumah sakit X kota Pekanbaru. 1.1. Identifikasi Masalah Sejauh mana kemampuan self regulation pada perawat pelaksana ruang rawat inap di rumah sakit X Pekanbaru. 1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.2.1. Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai self regulation yang dimiliki perawat pelaksana ruang rawat inap rumah sakit X di kota Pekanbaru.

8 1.2.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran terhadap sejauh mana kemampuan self regulation (berserta dengan fase forethought, fase performance dan fase self reflection) serta faktor-faktor yang mempengaruhi self regulation pada perawat pelaksana ruang rawat inap di rumah sakit X Pekanbaru. 1.3. Kegunaan Penelitian 1.3.1. Kegunaan Teoretis 1. Memberikan informasi pada bidang ilmu Psikologi Kepribadian dan Psikologi Perkembangan mengenai kemampuan self regulation pada perawat pelaksana ruang rawat inap di rumah sakit X Pekanbaru. 2. Memberikan informasi sebagai bahan rujukan bagi penelitian lebih lanjut mengenai self regulation. 1.3.2. Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi mengenai kemampuan self regulation kepada perawat pelaksana ruang rawat inap, agar informasi ini dapat berguna oleh perawat pelaksana ruang rawat inap di rumah sakit X Pekanbaru dengan memperhatikan self regulation. 2. Memberikan informasi mengenai kemampuan self regulation perawat pelaksana ruang rawat inap kepada rumah sakit X, sehingga rumah sakit X dapat memberikan penyuluhan kepada perawat pelaksana ruang rawat

9 inap untuk lebih dapat melakukan tugas keperawatan dengan memperhatikan self regulation pada perawat pelaksana ruang rawat inap.

10 1.5. Kerangka Pemikiran Perawat pelaksana memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai seorang perawat. Tugas perawat pelaksana, yaitu: mengenai laporan yang dilakukan setiap melakukan tukar jadwal jaga. Laporan mengacu pada pertukaran informasi secara lisan dan tulisan, yang dilakukan dengan sesama perawat pelaksana mengenai kondisi kesehatan pasien, membuat laporan membutuhkan kemampuan berkomunikasi dengan sesama tim perawatan kesehatan (P.Perry, 2005). Tugas keperawatan yang berikutnya adalah pemberian obat kepada pasien rawat inap. Pemberian obat mengacu pada kegiatan memberikan obat kepada pasien sesuai dengan aturan yang berlaku, obat yang akan diminum oleh pasien diberikan berdasarkan instruksi dari dokter yang bertugas. Perawat pelaksana yang bertanggung jawab dalam memberikan obat, sebaiknya tidak mengerjakan yang lain karena tugas keperawatan yang ini membutuhkan konsentrasi (P.Perry, 2005). Tugas keperawatan yang lainnya, adalah: memasang infus kepada pasien. Perawat pelaksana diharapkan untuk mengetahui cara pemasangan infus yang benar, lalu harus memeriksa jenis cairan yang akan digunakan, selain itu membebaskan selang infus dari udara, lalu mengatur tetesan cairan sesuai dengan program pengobatan, kemudian melakukan observasi dan mencatat pemasukan cairan infus yang dipakai oleh pasien (A.Aziz, 2004). Semua tugas keperawatan tersebut dilakukan sesuai dengan standar keperawatan. Berdasarkan tugas keperawatan yang banyak, perawat pelaksana membutuhkan kemampuan untuk mengatur dirinya atau yang disebut dengan self

11 regulation. Self regulation mengacu pada kemampuan untuk berpikir, merasakan, dan bertindak, yang direncanakan dan berulang kali diadaptasikan terhadap pencapaian tujuan (Zimmerman, 2000). Hal ini dapat membantu perawat pelaksana untuk dapat bekerja sama dengan tim kesehatan, agar dapat merawat pasien secara efisien. Menurut Mach, 1988 (dalam Boekaerts 2002) terdapat dua faktor yang mempengaruhi self regulation perawat pelaksana, yaitu lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Lingkungan sosial perawat pelaksana yang dapat mempengaruhi mereka yaitu rekan kerja, pasien dan dokter. Rekan kerja dapat memberikan dukungan kepada sesama, seperti ketika kelelahan mereka saling memberikan semangat untuk bekerja sehingga dapat meningkatkan keyakinan diri untuk dapat menjalankan tugas yang akhirnya dapat meningkatkan kemampuan self regulation, begitu pula dengan dukungan dokter seperti sikap saling menghargai membuat diri mereka dihargai dan dukungan pasien seperti ucapan terima kasih membuat diri mereka dihargai sehingga walaupun tugasnya banyak mereka tidak menganggap sebagai suatu kesulitan. Selain itu lingkungan fisik seperti buku panduan yang berisi tugas dan tanggung jawab, dapat menjadi acuan bagi mereka dalam menjalankan tugasnya. Lingkungan sosial dan fisik dipandang oleh para peneliti kognitif sosial sebagai suatu sumber untuk meningkatkan forethought, performance or volitional control dan self reflection. Lingkungan sosial dan fisik dapat mempengaruhi prosesproses self reflection dengan cara yang hampir serupa dengan proses-proses forethought dan fase performance (Zimmerman, 2000)

12 Di samping itu menurut Bandura & Kupers (dalam Boekaerts,2000) perawat pelaksana yang memberikan penghargaan terhadap pencapaian prestasi akan lebih berhasil dari pada perawat pelaksana yang melakukan aktivitas yang sama tanpa pendorong pada self-administered incentived (dorongan yang timbul dari diri sendiri). Misalnya bila perawat pelaksana melakukan tugas sesuai dengan standar akan mendapatkan promosi naik jabatan akan lebih berhasil menjalankan tugas, bila dibandingkan dengan mereka yang tidak berkeinginan untuk melakukan sesuai dengan standar, mereka akan bekerja dengan kurang efektif hal ini sesuai dengan teori Zimmerman,2002. Kemampuan self regulation pada perawat pelaksana ini terdiri dari tiga fase yang triadic (tiga komponen yang saling berhubungan), yaitu fase forthought, fase performance or volitional control,dan fase self reflection (D. H. Schunk & B. J. Zimmerman, 1998 dalam Boekaerts, 2002). Fase yang pertama dalam siklus self regulation adalah fase forethought atau perencanaan. Kognitif yang sudah berkembang dengan matang, membuat perawat pelaksana bisa merencanakan tugas yang akan dilakukannya dengan berdasarkan standar keperawatan. Menurut Boekaerts (2002), fase forethought mengacu pada proses yang berpengaruh dalam usaha melaksanakan tugas dan menentukan tahap-tahap untuk mencapai standar keperawatan.. Fase forethought dibagi menjadi dua aspek. Aspek yang pertama yaitu task analysis. Task analysis mengacu pada kemampuan menetapkan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mencapai standar keperawatan yang sesuai dengan

13 harapan rumah sakit. Selanjutnya mengacu kepada strategic planning, yaitu kemampuan perawat pelaksana untuk membuat perencanaan mengenai metode yang tepat untuk melakukan tugas keperawatan agar dapat berperilaku sesuai dengan harapan yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Aspek kedua dari fase forethought yaitu tahap self motivation beliefs. Aspek self motivation beliefs mengacu pada keyakinan diri perawat pelaksana untuk menjalankan tugas keperawatan (self efficacy), lalu pengharapan akan adanya manfaat dari hasil menjalankan tugas keperawatan (outcome expectation), kemudian derajat minat perawat pelaksana yang akan melatarbelakangi mereka dalam melakukan tugas keperawatan (intrinsic interest or value), dan usaha-usaha yang dilakukan oleh perawat pelaksana untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas kerja yang sesuai dengan standar keperawatan (goal orientation). Self motivation beliefs yang baik akan menumbuhkan keyakinan diri dalam diri perawat bahwa mereka memiliki kapasitas untuk mampu melakukan tugas keperawatan sesuai dengan standar keperawatan. Fase yang kedua adalah fase performance or volitional control. Fase performance or volitional control meliputi proses-proses yang terjadi selama perawat pelaksana melakukan usaha untuk mencapai tujuan dan proses tersebut akan mempengaruhi atensi dan kemampuan perawat pelaksana yang bersangkutan dalam menjalankan tugas keperawatan. Aspek pertama dari fase performance or volitional control ialah tahap self control. Self control dapat membantu perawat pelaksana untuk tetap fokus terhadap

14 tujuan yang ingin dicapainya dan juga mengoptimalkan usaha perawat pelaksana tersebut. Aspek self control meliputi upaya perawat pelaksana dalam mengarahkan diri agar mampu melakukan tugas keperawatan sesuai dengan standar keperawatan (self instruction), kemampuan perawat pelaksana membayangkan keberhasilan mereka dalam menjalankan tugas keperawatan dan sesuai dengan standar keperawatan (imagery), kemampuan untuk memusatkan perhatian agar tetap melakukan tugas keperawatan sesuai dengan standar keperawatan (attention focusing), serta kemampuan mereka dalam mengorganisasikan tugas keperawatan atau kegiatan yang harus dilakukan agar mampu melakukan tugas keperawatan yang berikan oleh pihak rumah sakit (task strategies). Aspek kedua dari fase performance or volitional control adalah aspek self obeservation. Self observation mengacu kepada kemampuan perawat pelaksana dalam menelusuri aspek-aspek spesifik dari pelaksanaan tugas mereka, kondisi sekelilingnya, dan akibat yang dihasilkan dari melakukan tugas keperawatan tersebut (Zimmerman & Paulsen, 1995). Self observation terdiri dari kemampuan perawat pelaksana mengamati dan mengingat hal-hal yang dialaminya (self recording), dan kemampuan mencoba hal-hal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya (self experimentation). Pada fase yang ketiga yaitu fase self reflection terdiri dari dua aspek, yaitu self judgment dan self reactions. Self judgment mengacu pada perbandingan hasil kerja yang telah ditampilkan perawat pelaksana dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya (self evaluation), dan juga mengacu kepada penilaian terhadap

15 kemampuan melakukan tugas keperawatan yang telah dicapai tersebut apakah berasal dari usaha sendiri ataupun disebabkan oleh pengaruh lingkungan (causal attribution). Self reaction mengacu pada derajat kepuasan atau ketidakpuasan perawat pelaksana terhadap kemampuannya dalam melakukan tugas keperawatan (self satisfaction). Kemudian derajat kepuasan yang diperoleh perawat pelaksana akan disimpulkan dan membentuk suatu kesimpulan tentang kemampuannya dalam melakukan tugas keperawatan yang selanjutnya akan dilakukan (adaptive or defensive inferences). Kesimpulan yang adaptive mengarahkan perawat pelaksana pada bentuk pelaksanaan self regulation baru yang lebih baik ataupun mempertahankan kemampuannya dalam menjalankan tugas keperawatan tersebut. Sedangkan perawat pelaksana yang defensive akan melakukan upaya untuk mempertahankan diri atau berusaha melindungi dirinya dengan cara menyalahkan orang lain. Perawat pelaksana yang dikatakan mampu melakukan self regulation, akan mampu merencanakan tugas yang akan dilakukan (fase forethought), mampu melaksanakan tugas keperawatan (fase performance or volitional control) dan mampu mengevaluasi tugas yang sudah dilakukan (fase evaluation). Perawat pelaksana merencanakan tugas yang akan dilakukannya, dan dalam task analysis perawat pelaksana mampu menetapkan goal atau tujuan yang sesuai dengan standar keperawatan (goal setting). Selanjutnya perawat pelaksana akan menentukan strategi yang tepat agar tugas yang dilakukan sesuai dengan standar (strategic planning).

16 Pada aspek self motivation beliefs, perawat pelaksana dapat memotivasi dirinya sendiri untuk dapat menjalankan tugas. Pada tahap self efficacy, perawat pelaksana memiliki keyakinan atas kemampuan yang dimilikinya untuk menjalankan tugas keperawatan. Lalu pada tahap outcome expectation, perawat pelaksana berharap bahwa melakukan tugas keperawatan yang dilakukannya akan bermanfaat bagi dirinya, seperti tidak membahayakan nyawa pasien. Perawat pelaksana memiliki minat yang tinggi menjalankan tugas keperawatan (intrinsic interest or value) seperti keinginan untuk naik jabatan, dan perawat pelaksana merancang usaha yang akan dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas melakukan tugas keperawatan yang sedang dilakukannya (goal orientation). Pada aspek self control dari fase performance or volitional control, perawat pelaksana akan mengontrol dirinya agar fokus terhadap tujuan yang ingin dicapainya. Perawat pelaksana akan mengarahkan dirinya untuk melakukan tugas keperawatan dengan benar yang sesuai dengan standar keperawatan (self instruction) seperti rasa lelah tidak dapat mempengaruhi mereka untuk melakukan tugas, membayangkan keberhasilan dalam menjalankan tugas keperawatan (imagery) seperti nilai point yang semakin bertambah dapat membuat mereka naik jabatan, memusatkan perhatian dan menyaring proses yang lain atau kejadian yang eksternal yang tidak berkaitan agar dirinya tetap dapat menjalankan tugas keperawatan dengan benar (attention focusing), serta mengorganisasikan tugas keperawatan atau kegiatan yang harus dilakukan agar mampu melakukan tugas keperawatan yang berikan oleh pihak rumah sakit (task strategis).

17 Selanjutnya perawat pelaksana akan mengamati dan mengingat hal yang telah dialaminya selama melakukan tugas keperawatan (self recording), dan mencoba halhal baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya (self experimentation) seperti pada saat melakukan tugas mereka menggunakan metoda baru yang diperoleh selama mengikuti pelatihan. Setelah melakukan tugas keperawatan, perawat pelaksana akan melakukan self reflection yaitu fase evaluation terhadap hasil melakukan tugas keperawatan yang sudah dilakukannya berdasarkan evaluasi tiap bulan. Pada aspek self judgment, perawat pelaksana mampu menilai seberapa besar usaha yang dilakukannya selama menjalankan tugas, lalu akan membandingkan dengan hasil evaluasi apakah perawat pelaksana banyak kesalahan dalam melakukan tugas keperawatan atau sebaliknya (self evaluation), dan perawat pelaksana akan mulai menilai apakah keberhasilan yang telah dicapainya itu berasal dari usaha sendiri atau karena ada faktor lingkungan yang turut membantu dalam usahanya untuk melakukan tugas keperawatan dengan benar (causal attribution). Pada aspek self reaction, perawat pelaksana menentukan apakah dirinya merasa puas atau tidak puas atas hasil evaluasi (self satisfaction). Kemudian dari penilaian tersebut maka perawat pelaksana akan berusaha untuk mengurangi kesalahan melakukan tugas keperawatan dan mempertahankan kemampuan perawat pelaksana dalam melakukan tugas keperawatan atau menerima apa adanya hasil evaluasi tiap bulanan (adaptive or defensive inferences).

18 Perawat pelaksana yang kurang mampu melakukan self-regulation, akan mengalami kesulitan dalam merencanakan tugas yang akan dilakukan (fase forethought), kesulitan saat melaksanakan tugas (fase performance or volitional control) dan kesulitan mengevaluasi tugas yang sudah dilakukan (fase self reflection). Perawat pelaksana bisa melakukan perencanaan dalam fase forethought, tetapi dalam perencanaannya ini perawat pelaksana tersebut kurang dapat menetapkan tujuan yang sesuai dengan kapasitasnya, bila dibandingkan dengan perawat pelaksana yang mampu melakukan self regulation. Pada aspek task analysis, perawat pelaksana menetapkan goal yang kurang sesuai dengan standar keperawatan (goal setting). Kemudian perawat pelaksana mengalami kesulitan dalam membuat strategi yang tepat (strategic planning). Pada self motivation beliefs, perawat pelaksana kurang mampu memotivasi dirinya sendiri seperti bersikap malas-malasan. Pada tahap self efficacy, perawat pelaksana kurang yakin terhadap kemampuan dan kapasitas dirinya untuk melakukan tugas keperawatan yang sesuai dengan standar keperawatan seperti ragu dalam menyuntikan obat kepada pasien sehingga pasien harus mendapat suntikan lebih dari satu. Pada outcomes expectation perawat pelaksana tidak terlalu berharap adanya manfaat melakukan tugas keperawatan dengan benar seperti tidak menjaga sterilisasi alat suntik padahal dapat membahayakan nyawa pasien, dan perawat pelaksana tidak memiliki minat yang akan melatarbelakangi perawat pelaksana dalam melakukan tugas keperawatan (intrinsic interest or value) seperti tidak ingin sesuai dengan standar. Perawat pelaksana tidak merancangkan usaha yang akan dilakukan untuk

19 mempertahankan dan meningkatkan kualitas kemampuan melakukan tugas keperawatan dengan benar sesuai dengan harapan rumah sakit (goal orientation). Pada fase performance or volitional control perawat pelaksana mengalami kesulitan melakukan tugasnya. Pada self control, perawat pelaksana mengalami kesulitan untuk mengontrol diri seperti bersikap judes terhadap pasien. Perawat pelaksana mengalami kesulitan dalam mengarahkan dirinya untuk melakukan tugas keperawatan (self instruction) seperti ketiduran dalam bertugas, kesulitan dalam membayangkan keberhasilan untuk melakukan tugas keperawatan dengan benar (imagery), kesulitan dalam memusatkan perhatian dan menyaring proses yang lain agar dirinya tetap dapat melakukan tugas keperawatan dengan benar (attention focusing), serta kesulitan dalam mengorganisasikan perilaku yang harus dilakukan agar dapat dapat melakukan tugas keperawatan sesuai dengan standar keperawatan (task strategies). Pada self observation perawat pelaksana mengalami kesulitan dalam mengamati dan mengingat hal-hal yang dialaminya (self recording) dan sulit untuk melakukan tugas keperawatan yang belum pernah dilakukannya (self experimentation) seperti ketika ada alat yang baru mereka tidak bisa menggunakanya sehingga harus memanggil rekan kerja dan membuat pekerjaan kurang efisien. Perawat pelaksana mengalami kesulitan dalam melakukan self reflection. Hal ini dikarenakan oleh fase self reflection adalah mengevaluasi tugas yang sudah dilakukan sebelumnya. Pada fase self reflection terdiri dari dua aspek, yaitu self judgment dan self reactions. Pada self judgment, perawat pelaksana sulit menilai

20 seberapa besar usaha yang dilakukannya. Perawat pelaksana sulit membandingkan hasil evaluasi yang didapat (self evaluation) seperti mendapat teguran dari atasan karena melakukan kesalahan, dan mengalami kesulitan untuk menentukan apakah keberhasilan yang telah dicapainya itu berasal dari usaha sendiri ataupun disebabkan oleh pengaruh lingkungan (causal attribution). Pada tahap berikutnya yaitu self reaction, perawat pelaksana akan kesulitan menentukan apakah dirinya merasa puas atau tidak puas atas hasil evaluasi yang didapat (self satisfaction). Kemudian akan membentuk kesulitan menarik kesimpulan yang dapat mempengaruhi kemampuannya dalam menjalankan tugas keperawatan (adaptive or defensive inferences).

21 Skema Kerangka Pemikiran Perawat pelaksana ruang rawat inap Rumah sakit: - Standar keperawa tan Forethought - Task analysis - Self motivation beliefs Self regulation Performance or volitonal control - Self control - Self observation Mampu Self reflection - Self judgment - Self reaction Kurang mampu 1. Lingkungan sosial: - Pasien - Rekan kerja - Dokter 2. Lingkungan fisik: - Buku panduan Skema 1.1. Skema kerangka pemikiran

22 1.6. Asumsi 1. Perawat pelaksana memiliki kesulitan yang berbeda ketika melakukan tugas keperawatan yang sesuai dengan standar keperawatan. 2. Perawat pelaksana memerlukan self regulation untuk dapat melakukan tugas yang sesuai dengan standar. 3. Perawat pelaksana memiliki kemampuan self regulation yang berbeda-beda (mampu dan kurang mampu).