EN-136 PEMILIHAN KONSENTRASI KATALIS PTSA UNTUK SINTESIS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA DARI PALM FATTY ALCOHOL (C 16 ) DAN GLUKOSA CAIR 85% DARI SINGKONG UNTUK APLIKASI EOR Erliza Hambali 1,, Pudji Permadi 2, Yuni Astuti 1, Ani Suryani 1, Mira Rivai 1, Padil 3, dan Cahyo Prihartono 4 1 Surfactant and Bioenergy Research Centre (SBRC-IPB) Kampus IPB Baranangsiang-Bogor 2 Departemen Teknik Perminyakan, Institut Teknologi Bandung Gedung Teknik Perminyakan ITB Jalan Ganesha 10 Bandung 40132 3 Teknik Kimia Universitas Riau, Kampus Binawidya Km 12,5 Jl.HR.Subrantas Pekanbaru 4 PT Multikimia Intipelang, Kampung Mariuk, Desa Gandamekar,Cibitung, Bekasi 17520 e-mail: erliza.h@gmail.com Disajikan 29-30 Nop 2012 ABSTRAK Alkil poliglikosida (APG) merupakan surfaktan nonionik yang bersifat ramah lingkungan. Aplikasinya saat ini masih terbatas untuk bahan pengemulsi pada produk pestisida, kosmetika danpersonal care. Berdasarkan pada hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan oleh tim peneliti, terlihat bahwa surfaktan APG juga berpotensi untuk diaplikan sebagai agent pendesak minyak bumi. Pada proses sintesis APG, keberhasilkan proses sintesis sangat ditentukan oleh konsentrasi katalis yang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi katalisp-toluene sulfonic acid (PTSA) pada sintesis APG daripalm fatty alcohol(c 16) dan glukosa cair 85% dari singkong untuk aplikasi Enhanced Oil Recovery (EOR). Konsentrasi katalis yang dicobakan adalah 0.6; 0.9; 1.2; dan 1.5% dari bobot glukosa cair 85 % yang digunakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor konsentrasi katalis tidak berpengaruh nyata terhadap densitas, ph, dan kinerja pembusaan,surfaktan APG yang dihasilkan, namun berpengaruh nyata terhadap Interfacial Tension (IFT). Hasil analisis lanjut duncan menunjukkan konsentrasi katalis 0.6% berbeda nyata dengan konsentrasi 0.9; 1.2; dan 1.5%. Perlakuan terbaik (konsentrasi katalis 1.2%) mempunyai nilai IFT 4.5x10 2 dyne/cm, ph 7.9, densitas 0.9839 gr/cm 3, dan stabilitas busa 2.3%. Kata Kunci: Alkil Poliglikosida, p-toluene sulfonic acid, interfacial tension I. PENDAHULUAN Indonesia adalah penghasil minyak sawit terbesar di dunia saat ini, dengan total produksi pada tahun 2011 mencapai 26,3 juta ton. Pemanfaatan minyak sawit untuk kebutuhan dalam negeri hanya sekitar 22 persen (5,5 juta ton), sisanya diekspor. Ekspor minyak sawit Indonesia sebagian besar (60 %) masih dalam bentuk CPO dan CPKO, hanya sekitar 40 % dalam bentuk produk olahan (Pusdatin, 2011). Agar nilai tambah minyak sawit dapat dimanfaatkan sebesar-besar oleh bangsa Indonesia, maka perlu dicari alternatif produk yang dapat dikembangkan. Salah satu alternatif pengembangan produk turunan sawit yang berpotensi besar untuk dikembangkan adalah surfaktan APG dari palm fatty alcohol untuk aplikasi EOR. Sifat nonioniknya menyebabkan surfaktan APG sangat kompatibel dengan bahan kimia lainnya sehingga dapat menjadi alternatif chemical material untuk digunakan pada aplikasi EOR. Pengembangan surfaktan APG untuk EOR penting karena minyak bumi masih merupakan salah satu sumber energi utama yang belum tergantikan dari segi ketersediaannya secara luas dan integrasinya dengan teknologi yang ada saat ini. Permintaan energi terutama minyak bumi yang terus meningkat namun tidak diikuti dengan ketersediaannya yang tiap tahun terus menurun. Rendahnya kemampuan produksi minyak bumi Indonesia disebabkan karena lapangan minyak Indonesia pada umumnya sudah highly depleted (mature fields). Oleh karenanya, penerapan metode EOR merupakan solusi penting dan injeksi bahan kimia (chemical EOR) merupakan salah satu metoda yang harus dilakukan di la-
EN-137 pangan minyak tua (mature field). Untuk keperluan EOR pada industri perminyakan diperlukan surfaktan dengan persyaratan yang lebih khusus, yaitu meliputi : memiliki ultralow interfacial tension ( 10-3 dyne/cm), adsorpsi <400 µg/g core, stabil pada suhu reservoir selama 3 bulan, ph berkisar 6 8, memiliki fasa III (fasa tengah)/fasa bawah, filtrasi rasio <1,2, dan incremental oil recovery berkisar 15-20% OOIP (BP MIGAS, 2009). Surfaktan APG yang beredar saat ini di Indonesia adalah surfaktan impor yang disintesis dari fatty alcohol dari minyak canola/minyak bunga matahari/minyak kedelai/minyak jagung dengan glukosa cair dari jagung. Namun surfaktan APG yang dihasilkan masih memiliki kelemahan yaitu busanya banyak dan filtrasi rasio >1,2. Sehubungan dengan kelemahan surfaktan APG yang ada, maka perlu dikembangkan surfaktan APG yang menghasilkan busa yang lebih sedikit dengan sifat deterjensinya yang baik serta filtrasi rasionya <1,2. Untuk tercapainya tujuan tersebut, maka tim penulis mengembangkan serangkaian hasil penelitian, yang salah satunya yaitu mensintesis surfaktan APG dari palm fatty alcoholc-16 dan glukosa cair dari singkong. Menurut Matheson (1996) surfaktan yang disintesis dari rantai karbon C-16 akan menghasilkan sifat deterjensi yang paling baik dengan busa yang sedikit. Pemanfaatan glukosa cair dari singkong bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah singkong Indonesia yang selama ini dihargai masaih sangat murah. Keberhasilan proses sintesis surfaktan APG sangat dipengaruhi oleh jenis katalis asam yang digunakan. Menurut Mc Curry (1996), jenis-jenis katalis asam yang dapat digunakan adalah untuk proses sintesis APG adalah asam anorganik seperti HCl, H 2 SO 4, H 3 PO 4, HNO 3, asam organik seperti methanesulfonic acid, triflouromethanesulfonic acid, dan asam dari surfaktan seperti para toluene sulfonic acid, metyl ester sulfonic acid. Dari berbagai macam katalis asam tersebut maka dipilih katalis asam p-toluene sulfonat acid (PTSA). Kelebihan PTSA adalah dapat larut dalam air, alkohol, pelarut organik, dan bersifat non oksidator (Perrin, 1988). PTSA dipilih karena merupakan asam lemah, sehingga tidak menyebabkan reaksi hidrolisis pada glukosa cair, tidak korosif, dan lebih mudah ketika dilakukan proses netralisasi pada proses pemurnian APG (Hill, 2000) Menurut Gibson dan Leedy (2001) konsentrasi katalis yang digunakan pada proses sintesis APG adalah sebagai berikut :penambahan katalis pada proses butanolisis adalah sekitar 0,7-1,4% dari berat glukosa/pati dan kemudian dilanjutkan dengan penambahan katalis pada proses transasetalisasi sekitar 25-50% dari berat katalis yang ditambahkan pada proses butanolisis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan konsentrasi katalis PTSA terbaik pada sintesis APG dari palm fatty alcohol (C 16 ) dan glukosa cair 85% dari singkong untuk aplikasi EOR serta untuk mengetahui kinerja surfaktan APG yang dihasilkan untuk aplikasi EOR. Beberapa analisis yang dilakukan adalah uji IFT, densitas, ph, dan stabilitas busa. II. METODOLOGI A. Bahan Bahan-bahan penelitian yang digunakan adalah palm fatty alcohol (C 16 ), glukosa cair 85% dari singkong, para toluene sulfonic acid (PTSA), NaOH 50%, butanol. Bahan yang digunakan untuk analisis meliputi xylene, piridin, benzene. B. Metode Reaktor yanmg digunakan untuk memproduksi surfaktan APG pada penelitian ini adalah reaktor berpengaduk double jacket yang dapat diatur tekanan dan dilengkapi dengan kontrol suhu. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah konsentrasi katalis PTSA untuk sintesis surfaktan APG, yang terdiri dari 0.6; 0.9; 1.2 dan 1.5% dari bobot glukosa yang digunakan saat proses butanolisis. Kemudian konsentrasi yang digunakan untuk proses transasetalisasi adalah sekitar 50% dari katalis pada proses butanolisis. Rasio mol yang digunakan antara glukosa dan butanol adalah 1:5.9, sedangkan rasio mol antara glukosa dengan fatty alcohol adalah 1:3. APG yang dihasilkan, kemudian dilakukan analisis IFT, densitas, ph, HLB dan stabilitas busa. Diagram alir proses sintesis APG disajikan pada Gambar 1. Rancangan percobaan pada penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 1 faktor dan dua kali pengulangan. Faktor yang digunakan merupakan konsentrasi katalis asam PTSA yang terdiri dari empat (4) taraf 0.6; 0.9; 1.2; dan 1.5% dari bobot glukosa yang digunakan. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah Y ik = µ + A i + ε ik Y ik = Nilai pengamatan akibat pengaruh faktor konsentrasi katalispada taraf ke-i, dan pada ulangan ke-k M = Nilai rata-rata A i = Pengaruh faktor konsentrasi katalis pada taraf ke-i (1,2,3,4) ε jk = Pengaruh kesalahan percobaan pada ulangan ke-k dan faktor ke-i (k =1,2) III. HASIL DAN PEMBAHASAN APG yang dihasilkan ditujukan untuk aplikasi EOR. Kriteria utama yang dipersyaratkan agar surfaktan APG dapat diaplikasikan untuk EOR adalah uji IFT. Semakin rendah IFT, maka semakin mudah terbentuknya emulsi antara fluida air injeksi dengan minyak dalam
EN-138 GAMBAR 1: Diagram alir proses sintesis APG dari palm fatty alcohol C-16 dan glukosa cair 85 % dari singkong reservoir. Untuk itu analisis utama yang perlu dilakukan adalah uji IFT. Proses sintesis yang dilakukan terdiri dari proses butanolisis glukosa cair 85%, proses transasetalisasi fatty alcohol C 16, proses netralisasi APG yang dihasilkan dengan NaOH 50 % dan distilasipada temperatur tinggi. Proses butanolisismerupakan reaksi antara butanol dengan glukosa cair dengan ditambahkan katalis PTSA dengan variasi konsentrasi 4 taraf. Reaksi berlangsung pada kondisi temperatur 140-150 o C, tekanan 1-4 bar selama 2 jam. Hasil akhir proses butanolisis menghasilkan larutan butil glikosida yang berwarna kuning kecoklatan. Proses transasetalisasi merupakan reaksi antara fatty alcohol C-16 dengan butyl glikosida dan ditambah dengan katalis PTSA. Reaksi ini akan menghasilkan APG yang masih bercampur dengan sisa fatty alcohol yang belum bereaksi dan butanol yang berlebih. Pada penelitian ini proses transasetalisasi berlangsung pada temperatur 120 o C dan tekanan vakum selama 2 jam. APG yang dihasilkan berwarna coklat berbentuk padat. APG yang dihasilkan masih bersifat asam sehingga perlu dinetralkan terlebih dahulu dengan NaOH 50% sampai ph yang dihasilkan bernilai 7-9. Proses netralisasi berlangsung pada suhu 80-90 o C dan tekanan normal sambil diaduk selama 30 menit. Penggunaan NaOH untuk proses netralisai karena NaOH tidak bereaksi dengan fatty alcohol.selain itu proses netralisasi menggunakan NaOH akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan proses penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al. 1992). Proses netralisasi dilakukan untuk menjaga agar sakarida tidak mudah rusak selama proses distilasi, karena sakarida pada kondisi asam akan lebih mudah mudah rusak dalam keadaan asam selama proses distilasi yang biasanya menggunakan suhu yang relatif tinggi. Proses distilasiapg yang dihasilkan ditujukan untuk memisahkan fatty alcohol berlebih yang dapat mengganggu kinerja surfaktan. Proses distilasi berlangsung pada temperatur 180 0 C dan tekanan vakum selama kurang lebih 2 jam. APG yang dihasilkan berwarna coklat kehitaman dan berbentuk padat. A. Uji Interfacial Tension (IFT) IFT adalah gaya persatuan panjang yang terjadi pada antarmuka dua fase cairan yang tidak dapat tercampur. Surfaktan akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka (Matheson, 1996). Nilai IFT surfaktan APG yang dihasilkan diukur dengan menggunakan spinning drop interfacial tensiometer TX500C. Hasil analisis ragam dengan α =5% menunjukkan bahwa konsentrasi katalis berpengaruh nyata terhadap nilai IFT. Hasil analisis lanjut dengan uji duncan (α =5% ) menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi 0,9; 1,2 dan 1,5% tidak berbeda nyata satu sama lain, akan tetapi berbeda nyata terhadap tingkat konsentrasi 0,6%. Pada Gambar 2 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi katalis yang digunakan terjadi penurunan nilai tegangan antarmuka. Semakin kecil nilai tegangan antarmuka semakin baik kinerja surfaktan tersebut. Nilai IFT terbaik diperoleh oleh APG yang disintesis
EN-139 menggunakan katalis PTSA dengan konsentrasi 1,2% dengan nilai IFT sebesar 4,5x10 2 dyne/cm. GAMBAR 2: Grafik Pengaruh Konsentrasi Katalis PTSA terhadap Nilai IFT Surfaktan APG yang Dihasilkan. B. Densitas Densitas merupakan massa per volume. Analisis densitas dilakukan dengan menggunakan density meter Anton Paar DMA 4500 M..Hasil analisis uji densitas menunjukkan bahwa APG hasil sintesis mempunyai densitas yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai densitas air. Hasil analisis ragam dengan α =5% menunjukkan bahwa konsentrasi katalis tidak berpengaruh nyata terhadap nilai densitas surfaktan APG yang dihasilkan.nilai densitas surfaktan APG yang dihasilkan berada pada kisaran 0.98 gr/cm 3. C. Derajat keasaman (ph) Derajat keasaman surfaktan APG sebaiknya mempunyai nilai yang netral, karena apabila terlalu asam atau basa akan dapat bereaksi dengan peralatan atau kulit saat diaplikasikan. Hasil analisis ragam dengan α =5% menunjukkan konsentrasi katalis tidak berpengaruh nyata terhadap nilai ph surfaktan APG yang dihasilkan. Nilai ph APG yang dihasilkan berada pada kisaran 7-8. D. Stabilitas busa Busa adalah sistem emulsi anatar fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair. Kestabilan busa diperoleh dari adanya zat pembusa (surfaktan). Zat pembusa ini teradsorpsi ke daerah antar fase dan mengikat gelembung-gelembung gas (Noerdin 2008). Stabilitas busa ditentukan dengan melarutkan surfaktan APG dalam air formasi (fluida dari reservoir lapangan minyak) dengan konsentrasi 0,5%. Larutan APG kemudian diaduk dengan vortex mixer. Tinggi busa yang dihasilkan diamati setiap 5 menit. Hasil penelitian menunjukkan APG yang dihasilkan sangat sedikit menghasilkan busa. Hasil analisis ragam dengan α =5% menunjukkan konsentrasi katalis tidak berpengaruh nyata terhadap stabiliatas busa APG. Kemampuan APG untuk menghasilkan busa sangat rendah yaitu hanya 2,3%. Hal ini mengindikasikan bahwa surfaktan APG yang dihasilkan akan mampu mencapai filtrasi rasio <1,2, karena hampir tidak terdapat busa yang dapat mengganggu proses injeksi surfaktan pada reservoir. Rendahnya kemampuan menghasilkan busa surfaktan APG yang dihasilkan disebabkan oleh panjang rantai karbon C-16 dari fatty alcohol penyusun utama surfaktan APG. Matheson (1996) menyebutkan bahwa kemampuan surfaktan dipengaruhi oleh panjang rantai karbon penyusunnya, C 16 -C 18 berperan terhadap kekerasan dan sifat detergensi, sedangkan C 12 - C 14 berperan terhadap efek pembusaan yang baik. Ware et al. (2007), melakukan pengujian kemampuan pembusaan antara surfaktan Sodium Lauryl Sulfate (SLS), APG C10 dan APG C12. Hasilnya yang diperoleh yaitu kemampuan surfaktan APG memiliki kemampuan pembusaan lebih rendah dibandingkan surfaktan SLS. E. Hydrofilic and Lipofilic Balance (HLB) HLB merupakan nilai yang menunjukkan keseimbangan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada surfaktan. Nilai HLB digunakan untuk menentukan sifat kelarutan APG dalam air atau minyak. Menurut Holmberg et al. (2003), nilai HLB menentukan aplikasi dari surfaktan yang dihasilkan. Hasil analisis ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α =5) menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata. Nilai HLB yang dihasilkan oleh APG berada pada kisaran 10. Menurut konsep Holmbergh (2003), APG yang dihasilkan dapat diaplikasikan untuk pengemulsi minyak dalam air (o/w), atau pelarut dan mempunyai daya detergensi yang baik. IV. KESIMPULAN Konsentrasi katalis yang memberikan hasil sintesis surfaktan APG terbaik untuk aplikasi EOR diperoleh dari perlakuan konsentrasi katalis PTSA 1.2% dengan hasil kinerja meliputi tegangan antarmuka 4.5x10 2 dyne/cm, ph 7.9, densitas 0.9839 gr/cm 3, HLB 10dan kemampuan menhasilkan busa yang sangat rendah, yaitu 2.3%. Perlu dilakukan perbaikan proses dalam hal penggunaan glukosa cair dengan konsentrasi 80 atau 75 persen sehingga lebih memudahkan dalam proses pengaliran glukosa ke reaktor butanolisis pada sistim kontinu. DAFTAR PUSTAKA [1] BP MIGAS. 2009. Spesifikasi Teknis Surfaktan untuk Aplikasi EOR. BP MIGAS, Jakarta. [2] Gibson, M.W. dan C. Leedy. 2001. Patens: Process for Reducing Cycle Times in Reaction Dur-
EN-140 ing The Production of Alkyl Polylicosides. Dalam www.uspto.gov. [12 Juni 2012]. [3] Hill K, von Rybinski, dan Stoll G. 2000. Alkyl Polyglicoside: Technology, Properties and Applications. New York : VCH Publishers. [4] Holmberg KB, Jonsson B, Kronberg dan Lindman. 2003. Surfactants and polymers in :Aqueous Solution 2 nd ed. Wiley, New York [5] Matheson KL. 1996. Surfactant raw materials : classification, synthesis, and uses. in : Spitz, L., editor. Soap and Detergents : A Theoritical and Practical Review. Champaign, Illinois :AOCS Press. [6] McCurry Jr, Patrick M, Rainer E, Paul S. 1996. Process for making alkyl polyglycosides. US Patent 5,512,666 [7] Noerdin M. 2008. Rancangan Proses Produksi Surfaktan Non Ionik Alkyl Polyglycoside (APG)Berbasis Pati Sagu dan Lauryl Alcohol (Dodecanol) serta Karakterisasinya pada Formulasi Herbisida. [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [8] Perrin DD,dan Armarego WLF. 1988. Purification of Laboratory Chemicals. Oxford :Pergamon Press. [9] Ware AM, JT. Waghmare, dan SA Momin. 2007. Alkylpolyglycocides carbohidrat based surfactant. J of Dispersion Science and Technology (28): 437-444. [10] Wuest W, Rainer E, Josef WK, Karlheinz H, dan Manfred B. 1992. Process for preparing alkyl glucosides compounds from oligo-and/or polysaccharides. US Patent 5,138,046.