BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Sejarah MA Darussalam Agung Kota Malang. mengembangkan pendidikan di Kedungkandang didirikanlah Madrasah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah pembelajar sejati, yang terus belajar dari ia lahir sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang. Pengelolaan diri atau regulasi diri adalah upaya individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan manusia dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok utama, sehubungan

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari hari, manusia selalu mengadakan bermacammacam

BAB II LANDASAN TEORI. berdasarkan hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Kecerdasan adversitas ini

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Risky Melinda, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. Pondok Pesantren Daar el-qolam merupakan salah satu pondok pesantren

PERTEMUAN 3 MENGEMBANGKAN DIRI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia per 31 Desember 2010 (KPK, 2010). Sumber lain menyebutkan jika

BAB I PENDAHULUAN. teknologi dan ilmu pengetahuan ini, dituntut orang-orang yang berkualitas

Pertemuan 3 MENGEMBANGKAN DIRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sepanjang hayatnya, baik sebagai individu, kelompok sosial, maupun sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam dunia pendidikan, pada setiap jenjang pendidikan, baik itu Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Al-Qur an. Oleh karena itu, beruntunglah bagi orang-orang yang dapat menjaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era perdagangan bebas ASEAN 2016 sudah dimulai. Melahirkan tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan medis (McGuire, Hasskarl, Bode, Klingmann, & Zahn, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sikap sikap dan keterampilan, serta peningkatan kualitas hidup menuju

ARIS RAHMAD F

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. membuat manusia dituntut untuk mengikuti segala perubahan yang terjadi dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ataupun kesuksesan. Keberhasilan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh

PETERPAN AND CINDERELLA SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha telah mencapai era globalisasi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. atau perusahaan dapat melakukan berbagai kegiatan bisnis, operasi fungsi-fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Sisten Kredit Semester UKSW, 2009). Menurut Hurlock (1999) mahasiswa

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir

persaingan yang terjadi dalam dunia industri, teknologi transportasi dan telekomunikasi bahkan dalam dunia pendidikan. Khususnya Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. memiliki pengetahuan yang cukup luas untuk menghadapi era tersebut. Semakin

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Negara-negara maju seperti Amerika, Inggris dan Jerman menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. adalah kemampuan berpikir analitik. Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. terutama bagi pembangunan bangsa dan negara. 3. kehidupan. Pendidikan tidak hanya bertindak sebagai alat yang dapat

ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA BERPRESTASI

BAB I PENDAHULUAN. baru. Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam prestasi belajarnya. Namun dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan suatu proses yang berlangsung secara aktif dan integratif untuk mencapai suatu

Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menengah adalah pendidikan yang dijalankan setelah selesai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk mencapai tujuan pembangunan, karena sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. hanya membekali siswa dengan kemampuan akademik atau hard skill,

HUBUNGAN SELF EFFICACY DENGAN ADVERSITY QUOTIENT (AQ) Shofiyatus Saidah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan

KECERDASAN ADVERSITAS

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anissa Dwi Ratna Aulia, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN MENGUBAH TANTANGAN MENJADI PELUANG PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI *

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. ataupun tidaknya suatu pendidikan pada bangsa tersebut. Oleh karena itu, saat ini

PENTINGNYA ADVERSITY QUOTIENT DALAM MERAIH PRESTASI BELAJAR. Oleh Zainuddin (Pendas, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah kota besar terdiri dari beberapa multi etnis baik yang pribumi maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan subjek yang sangat penting dalam sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORETIK. daya tarik baginya. Menurut Slameto (Djamarah, 2008) minat adalah suatu

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam kamus bahasa Inggris, adversity berasal dari kata adverse yang artinya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dunia pendidikan yang terus berkembang membuat banyak teori-teori

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penelitian ini adalah teori perilaku terencana yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebutuhan dibentuk oleh lima kebutuhan konatif (conative needs), yang memiliki karakter

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru SLB-C Islam di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bangsa, maju tidaknya suatu bangsa dipengaruhi oleh kualitas pendidikan bangsa

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi hambatan maupun tantangan yang dihadapi dan tentunya pantang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan memiliki peranan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Elsa Sylvia Rosa, 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bidang-bidang lainnya) dapat dinikmati oleh masyarakat sebagai konsumsi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, hampir setiap hari manusia menemui kesulitankesulitan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat biasanya mengartikan anak berbakat sebagai anak yang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu dalam hidupnya tidak terlepas dari proses belajar. Individu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pekerjaannya, mata pencahariannya, dan profesinya mengajar. Guru merupakan

BAB I PENDAHULUAN. adalah kualitas guru dan siswa yang mesing-masing memberi peran serta

PENGARUH ADVERSITY QUOTIENT TERHADAP PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA ANGKATAN 2013 FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SGD BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Dengan pendidikan. mengukur, menurunkan, dan menggunakan rumus-rumus matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan yang primer dan fundamental. Pengertian keluarga disini berarti nuclear family

BAB III METODE PENELITIAN. pendekatan deduktif yang berangkat dari permasalahan-permasalahan dari

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah pembelajar sejati, yang terus belajar dari ia lahir sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu keharusan bagi manusia dan untuk manusia itu sendiri agar bisa berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan pengalaman hidup yang diserap inderanya untuk belajar dan menjadikannya kesempatan untuk berkembang. Belajar adalah kegiatan berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Zimmerman (1989) mengatakan bahwa siswa yang memiliki regulasi diri dalam belajar merupakan siswa yang aktif secara metakognitif, motivasi dan perilakunya dalam proses belajar. Regulasi diri dalam belajar juga merupakan kemampuan individu yang aktif secara metakognitif yang mempunyai dorongan untuk belajar dan berpartisipasi aktif dalam proses belajar. Zimmerman (1989) menjelaskan bahwa regulasi diri dalam belajar merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mencapai tujuan belajar dengan mengaktifkan dan mempertahankan pikiran, perilaku dan emosi. 1

2 Bandura (dalam Alwisol, 2009) yakin bahwa manusia menggunakan strategi proaktif maupun reaktif untuk melakukan regulasi diri. Hal tersebut berarti bahwa secara reaktif berusaha untuk mengurangi perbedaan antara pencapaian tujuan mereka, tetapi setelah mereka dapat menutupi perbedaan tersebut, mereka secara proaktif akan menentukan tujuan yang baru dan lebih tinggi untuk diri mereka sendiri. Regulasi diri adalah kemampuan untuk mengontrol perilakunya sendiri. Regulasi diri merupakan penggunaan suatu proses yang mengaktifasi pemikiran, perilaku, dan perasaan yang terus-menerus dalam upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Schunk & Zimmerman dalam Susanto, 2006). Individu melakukan pengaturan diri ini dengan mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri (Hendri, 2008). Di dalam regulasi diri ada tiga komponen penting yaitu kemampuan metakognitif untuk membuat perencanaan, monitoring, dan modifikasi cara berpikir. Manajemen diri dan minat dalam pengerjaan tugas-tugas, seperti kemampuan bertahan dalam menyelesaikan tugas yang sulit serta aspek penting yang lainnya adalah strategi kognitif yang digunakan siswa untuk belajar, mengingat, dan mengerti materi-materi pembelajaran (Pintrich & Groot, 1990). Apabila siswa mampu dan memiliki ketiga aspek tersebut, maka ia akan memiliki tingkat regulasi diri yang tinggi sehingga ia memiliki adversity quotient yang baik.

3 Kemampuan regulasi diri tidak dapat berkembang dengan sendirinya. Dibutuhkan suatu lingkungan yang kondusif agar anak dapat mengembangkan regulasi diri (Susanto, 2006). Regulasi diri yang baik diperlukan karena dengan adanya regulasi diri ini siswa akan mengetahui dan memahami perilaku seperti apa yang dapat diterima oleh orang tua dan lingkungannya, sehingga anak bisa menetapkan target prestasi yang harus diraihnya. Regulasi diri yang baik juga membantu siswa dalam mengatur, merencanakan, dan mengarahkan dirinya untuk mencapai tujuan tertentu. Susanto (2006) menyatakan bahwa perkembangan regulasi diri sebenarnya sudah mulai berlangsung pada anak ketika memasuki lingkungan sekolah. Pada lingkungan sekolah, anak-anak dituntut untuk dapat mengikuti proses belajar-mengajar misalnya belajar untuk memusatkan perhatian. Santrock (2008) juga menyatakan bahwa dalam periode masa kanak-kanak menengah dan akhir adalah suatu periode dimana prestasi menjadi tema yang lebih utama dan pengendalian diri menjadi semakin baik. Berdasarkan proses regulasi diri dari Zimmerman (2008), terdapat tiga tahap proses regulasi diri, yaitu tahap orientasi ke depan, tahap performansi, dan tahap refleksi diri. Tahap orientasi ke depan terdiri dari dua proses utama yaitu analisis tugas dan keyakinan motivasi diri. Analisis tugas terdiri dari penetapan tujuan dan perencanaan strategi. Keyakinan motivasi diri terdiri dari efikasi diri, harapan terhadap hasil, minat atau nilai

4 intrinsik dan orientasi tujuan belajar. Tahap performansi diri terdiri dari dua proses yaitu kontrol diri dan observasi diri. Kontrol diri terdiri dari imajinasi, pengarahan diri, pemusatan perhatian, dan strategi belajar. Observasi diri terdiri dari dua proses utama yaitu pencatatan diri atau perekaman diri terhadap peristiwa personal, dan eksperimen diri untuk mendapatkan penyebab dari peristiwa tersebut. Tahap refleksi diri terdiri dari dua proses utama yaitu penilaian diri (self judgement) dan reaksi diri. Bentuk dari penilaian diri adalah evaluasi diri, yaitu membandingkan hasil observasi diri terhadap standar performansi yang sudah ada sebelumnya, performansi dari orang lain, atau standar performansi yang absolut. Bentuk lain dari penilaian diri adalah atribusi penyebab yang menunjuk pada keyakinan tentang penyebab dari kesuksesan atau kesalahan. Bentuk reaksi diri pada regulasi diri terdiri dari kepuasan diri dan respon adaptif atau defensif. Peningkatan kepuasan diri pada tahap refleksi diri meningkatkan motivasi, sedangkan penurunan kepuasan diri akan meruntuhkan usaha belajar. Reaksi defensif menunjuk pada upaya untuk melindungi citra diri dengan menarik diri atau menghindari peluang untuk belajar. Mempertahankan motivasi diri sendiri merupakan hal yang harus dilakukan oleh seorang siswa untuk dapat melakukan regulasi diri dengan baik. Menciptakan dorongan untuk perilaku diri sendiri, mengakui dan membuktikan kompetensi yang dimiliki, kemudian merasa puas dengan diri sendiri sehingga dapat meningkatkan minat dalam mengerjakan sesuatu.

5 Di tengah masalah yang dihadapi siswa dan untuk dapat mempertahankan motivasi diri sendiri, dibutuhkan daya juang siswa agar dapat meraih hasil yang maksimal. Beragam masalah dihadapi setiap orang dengan cara yang berbeda, dan hasilnya ada yang gagal dan ada yang berhasil. Salah satu aspek yang menjadi faktor penyebab kesuksesan dan kegagalannya adalah kemampuan seseorang dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah hidupnya yang oleh Stoltz (2007) disebut sebagai adversity quotient. Menurut Goleman (2001) Konsep ini muncul dikarenakan konsep IQ (Intellegence Quotient) yang menggambarkan tingkat kecerdasan individu dan EQ ( Emotional Quotient) yang menggambarkan aspek afektif dan keefektifan dalam berinteraksi dengan orang lain dianggap kurang dapat memprediksi keberhasilan seseorang. Dalam kenyataannya, individu yang cerdas dan baik secara emosional terkadang tidak mendapatkan kesuksesan dalam hidupnya karena mereka cepat menyerah bila dihadapkan pada kesulitan atau kegagalan dan pada akhirnya mereka berhenti berusaha dan menyia-nyiakan kemampuan IQ dan EQ yang dimilikinya. Ini menunjukkan bahwa IQ dan EQ kurang bisa menjadi prediktor dalam kesuksesan seseorang. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Widyaningrum (2007) bahwa daya juang berperan besar dalam mempengaruhi usaha seseorang dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialaminya.

6 Individu yang mempunyai adversity quotient yang kuat akan mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Adversity quotient sangat penting bagi kehidupan, diantaranya berperan dalam mempengaruhi daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, pengambilan resiko, perbaikan, ketekunan, belajar serta cara merangkul perubahan (Stoltz, 2007). Dengan demikian, siswa diharapkan memiliki adversity quotient yang tinggi sehingga mampu menghadapi daya saing ketika terjun di masyarakat. Adversity quotient juga turut mempengaruhi produktivitas, serta cara-cara menyesuaikan diri dengan perubahan sehingga kesuksesan akan dapat diraih sekalipun masalahmasalah datang sebagai penghalang. Selama masih di sekolah, adversity quotient ini jelas akan berpengaruh terhadap motivasi, ketekunan, dan belajar siswa. Adversity quotient tidak bisa muncul dengan sendirinya, ada beberapa hal yang ikut mempengaruhinya, diantaranya berasal dari faktor internal dan faktor eksternal (Stoltz, 2007). Faktor internal yang ikut mempengaruhi adversity quotient antara lain genetika, keyakinan, bakat, hasrat atau kemauan, karakter, kinerja, kecerdasan dan kesehatan. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi adversity quotient adalah pendidikan dan lingkungan. Pendidikan berpengaruh karena turut mengembangkan pengetahuan dan kecerdasan yang dimiliki seseorang, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan keterampilan dan kinerja yang dihasilkan. Lingkungan tempat individu tinggal dapat mempengaruhi

7 bagaimana individu beradaptasi dan memberikan respon kesulitan yang dihadapinya. Penelitian tentang adversity quotient telah banyak dilakukan. Penelitian terdahulu tentang adversity quotient pernah dilakukan oleh Hairatussani Hasanah (2010) dengan subjek penelitian siswa SMAN 102 Jakarta Timur yang hasilnya menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan prestasi belajar siswa SMAN 102 Jakarta Timur. Dari penelitian ini menunjukkan tingkat adversity quotient yang tinggi tidak menjamin prestasi belajar juga tinggi. Penelitian lain juga dilakukan oleh Dwi Wahyu Sho imah (2005), yang menghubungkan adversity quotient dengan toleransi stres terhadap mahasiswa yang berkesimpulan bahwa adversity quotient mahasiswa Psikologi UNS termasuk dalam kategori sedang cenderung tinggi. Adversity quotient mampu membuat individu mengelola situasi sulit menjadi sesuatu yang positif. Individu yang memiliki adversity quotient yang baik akan terhindari kegagalan dalam menghadapi stres dan berhasil meghadapi stres secara terus menerus yang akhirnya membentuk toleransinya terhadap stres. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang sempurna karena memiliki potensi-potensi hebat yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lainnya. Salah satunya ialah adversity quotient yang merupakan suatu potensi luar biasa dimana dengan potensi tersebut seseorang dapat mengubah hambatan menjadi peluang.

8 Pada umumnya ketika siswa dihadapkan pada kesulitan dan tantangan hidup mereka menjadi loyo dan tak berdaya. Inilah yang disebut sebagai tanda-tanda AQ rendah. Selain IQ, kesuksesan juga dapat diukur melalui AQ. Menurut Stoltz (2007) bahwa kesuksesan ditentukan oleh AQ yakni kemampuan bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya. Proses belajar di sekolah dituntut fokus untuk mendalami materimateri yang disampaikan oleh guru. Dengan fokus, maka siswa akan mudah menyerap setiap materi pelajaran yang disampaikan gurunya. Akan tetapi, berbeda halnya dengan siswa MA Darussalam Agung Buring Malang yang belajar sambil bekerja, ini berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan salah seorang siswa, diketahui bahwa siswa bekerja setelah pulang sekolah. Ini dilakukan untuk membantu orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Siswa laki-laki biasanya membantu orang tuanya di sawah atau merawat ternak milik orang lain, sedangkan siswa perempuan biasanya membantu orang tuanya berdagang di pasar atau di sawah. Sehingga konsentrasi siswa terbagi antara belajar dan bekerja untuk membantu orang tuanya. Terkadang ketika sudah bekerja siswa tidak masuk sekolah. Konsentrasi siswa yang terbagi diperlukan suatu kemampuan untuk mengatur dan mengarahkan aktivitas agar meraih hasil maksimal. Sehingga, siswa yang belajar sambil bekerja diharapkan mampu memiliki

9 regulasi diri yang baik agar mampu fokus terhadap pelajaran di sekolah dan membagi waktu dengan pekerjaan yang digeluti di luar jam sekolah. Stoltz (2007) menjelaskan bahwa untuk mencapai suksesnya pekerjaan dan hidup terutama ditentukan oleh adversity quotient. Sebab adversity quotient bisa membantu individu-individu dalam memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup sehari-hari. Adversity quotient merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan. Dikatakan juga bahwa adversity quotient berakar pada bagaimana kita merasakan dan menghubungkan dengan tantangantantangan. Orang yang memiliki AQ tinggi tidak menyalahkan pihak lain atas kemunduran yang terjadi dan mereka bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah. Ia juga mengemukakan konsep adversity quotient, merupakan faktor yang paling penting dalam meraih kesuksesan. Seseorang dengan adversity quotient tinggi ini adalah individu yang merasa berdaya, optimis, tabah, teguh dan memiliki kemampuan bertahan terhadap kesulitan. Tidak banyak orang yang menyadari bahwa masalah yang dihadapi sebenarnya dapat menjadi peluang kesuksesan untuk dirinya, asalkan seseorang tersebut bersedia bangkit dan belajar dari setiap kegagalannya untuk terus maju menuju keberhasilan yang diinginkannya. Karena dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan individu sehingga tingkahlakunya terus berkembang.

10 Adversity quotient (AQ) yang dikonsepkan sebagai seberapa besar individu mampu dan mau untuk berjuang merupakan faktor penting yang mampu membuat seseorang memaksimalkan potensi IQ dan EQ-nya. Sebab tanpa adanya usaha dan daya juang yang tinggi, maka IQ dan EQ seseorang akan menjadi sia-sia dan tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Sehingga regulasi diri yang ingin dicapai menjadi tidak maksimal. Untuk itu, adversity quotient sangat diperlukan dalam usaha pencapaian keberhasilan regulasi diri. Menurut Stoltz (2007), hidup ini seperti mendaki gunung. Kesuksesan dapat di rumuskan sebagai tingkat dimana seseorang bergerak ke depan dan ke atas, terus maju dalam menjalani kehidupannya, kendati terdapat beberapa rintangan. Oleh karena itu, Stoltz (2007) membagi tipe orang berdasarkan atas kemampuan mereka dalam mendaki. Yang pertama atau tingkatan paling bawah adalah quitters, yaitu bagi mereka yang memilih untuk berhenti, keluar, menghindari kewajiban, ataupun mundur darinya. Yang kedua adalah campers, yaitu bagi mereka yang merasa cukup dalam pendakiannya, untuk kemudian berhenti dan berkemah. Dan yang terakhir adalah climbers, yaitu mereka yang digolongkan sebagai pendaki, mereka yang seumur hidup memberikan dedikasinya tanpa menghiraukan keuntungan dan kerugian serta latar belakang. Orang yang mempunyai tipe climbers, akan berjuang sekuat tenaga memberikan sumbangsihnya dan kemanfaatan bagi orang banyak. Orang-orang tipe ini akan puas manakala

11 hidupnya bermanfaat bukan malah menyengsarakan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Banyak orang yang berhasil secara materi maupun pengetahuan didasarkan pada sikap pantang menyerah, berani bangkit dari kegagalan dan selalu terus mencoba sampai mendapat apa yang dicita-citakannya. Bagi siswa yang dapat mengatasi kegagalan atau hambatan menjadi sebuah peluang tentu memiliki regulasi diri yang baik. Dari uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa regulasi diri siswa dapat dilihat dari daya juang atau kegigihannya sehingga dapat meningkatkan regulasi dirinya. Untuk itu, peneliti tertarik untuk mengangkat masalah ini sebagai bahan penelitian dengan judul: hubungan antara adversity quotient dengan regulasi diri siswa madrasah aliyah darussalam agung buring malang. B. Rumusan Masalah Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat adversity quotient siswa Madrasah Aliyah Darussalam Agung Buring Malang? 2. Bagaimana tingkat regulasi diri siswa Madrasah Aliyah Darussalam Agung Buring Malang? 3. Apakah ada hubungan antara adversity quotient dengan regulasi diri?

12 C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui tingkat adversity quotient siswa Madrasah Aliyah Darussalam Agung Buring Malang. 2. Untuk mengetahui tingkat regulasi diri siswa Madrasah Aliyah Darussalam Agung Buring Malang. 3. Untuk mengetahui hubungan antara adversity quotient dengan regulasi diri siswa Madrasah Aliyah Darussalam Agung Buring Malang. D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan kontribusi yang positif bagi berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya psikologi pendidikan dan dapat menjadi inspirasi penelitian-penelitian selanjutnya. b. Manfaat Praktis Dapat membantu menyediakan informasi ilmiah kepada para guru, orang tua, dan siswa untuk lebih mengenal, memahami, dan mengarahkan siswa agar menjadi generasi penerus yang memiliki adversity quotient yang baik.