BAB I PENDAHULUAN. mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. miskin di dunia berjumlah 767 juta jiwa atau 10.70% dari jumlah penduduk dunia

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

I. PENDAHULUAN. Kebijakan Otonomi Daerah yang saat ini sangat santer dibicarakan dimana-mana

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Adanya perubahan Undang-Undang Otonomi daerah dari UU

1 UNIVERSITAS INDONESIA

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Semenjak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penerapan prinsip-prinsip good governance.dalam rangka pengaplikasian

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

3. KERANGKA PEMIKIRAN

Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB II. Tinjauan Pustaka. Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang mengacu pada UU Nomor 22 tahun 1999 mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah telah membawa perubahan yang fundamental dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah kabupaten/kota. Kedua undang-undang tersebut kemudian menjadi pedoman pokok dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai 1 Januari 2001. Kedua undang-undang tersebut juga berimplikasi pada pelimpahan kewenangan antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang. UU nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 mengatur tentang pembagian kewenangan dan fungsi antara pemerintah pusat dan daerah. Sedangkan UU nomor 25 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No.33 tahun 2004 mengatur pembagian sumber-sumber daya keuangan antara pusat dan daerah sebagai adanya konsekuensi dari pembagian kewenangan tersebut. Pada tahun 2001, desentralisasi di Indonesia mulai direalisasikan pelaksanaanya yang dandai dengan transfer tanggung jawab primer dari pemerintah pusat dalam bidang kesehatan, pendidikan kecuali dalam tingkat universas, infrastruktur, ekonomi, agriculture, dan lingkungan ke pemerintah kabupaten yang sekarang berjumlah kurang lebih 456 kabupaten. Hal tersebut menggambarkan bahwa pelayanan publik telah menjadi tugas dan wewenang pemerintah kabupaten. Pemerintah propinsi bertugas mengontrol dan mengatur serta koordinator dalam pelaksanaan pelayanan publik di pemerintah kabupaten. Sedangkan pemerintah pusat hanya bertanggung jawab dalam bidang pertahanan dan 1

keamanan, agama, kebijakan yang berhubungan dengan pihak luar negeri, kebijakan fiskal dan moneter. Desentralisasi fiskal di Indonesia menggunakan prinsip money follows function atau uang mengikuti kewenangan. Artinya adalah besarnya distribusi keuangan didasarkan oleh distribusi kewenangan tugas dan tanggung jawab yang telah dentukan terlebih dahulu. 1 Lebih lanjutnya mekanisme yang sesuai dengan prinsip money follow function ini merupakan penyerahan fungsi dan kewenangan harus disertai dengan kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri yang dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah pajak daerah dan retribusi daerah serta didukung dengan dana perimbangan yang terdiri dari bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Perkembangan dana perimbangan yang semakin meningkat setiap tahunnya dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini. Peningkatan dana perimbangan ini menggambarkan bahwa desentralisasi fiskal di Indonesia sesuai dengan prinsip money follow function. Tabel 1 Belanja Daerah Dalam APBN Tahun 2000-2006 Tahun Anggaran Dana Perimbangan % Pendapatan APBN % Belanja Negara 2000 32.9 16 14.9 2001 82.4 27 23.2 2002 94.53 31.3 27.5 2003 116.88 34.77 31.54 2004 131.55 34.58 33.07 2005 149.59 29.00 27.58 2006 216.59 34.64 33.44 Sumber : Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, Depkeu, Data Diolah. 1 B. Raksaka Mahi, Fiscal Decentralization : Its Impact On Cies Growth, Depok: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia FEUI Vol.2. No.1, Juli 2001, hlm.1. 2

Ada beberapa tujuan utama desentralisasi menurut Kammeier (2002), antara lain: a. Desentralisasi Polik Tujuannya memperbaiki keadilan dan demokrasi di bidang polik b. Desentralisasi Administratif Tujuannya meningkatkan efisiensi dan pengelolaan pelayanan masyarakat c. Desentralisasi Fiskal Tujuannya memperbaiki kinerja keuangan melalui peningkatan kemampuan menggali sumber keuangan (pembiayaan) lokal dan keputusan belanja rasional d. Desentralisasi Ekonomi Tujuannya menciptakan lingkungan investasi yang kondusif bagi perusahaan swasta dan pemenuhan tanggung jawab terhadap keputusan setempat Dari salah satu tujuan diatas, kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dalam penggalian Pendapatan Asli Daerah (PAD) seperti pendayagunaan potensi pajak dan retribusi daerah serta dana perimbangan diarahkan untuk tujuan peningkatan pelayanan publik. Dari sisi anggaran pemerintah kabupaten/kota, diharapkan kebijakan desentralisasi fiskal tersebut dapat meningkatkan pengeluaran pembangunan dalam bidang pelayanan publik seperti sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai segala bentuk kegiatan instusi yang merupakan perwujudan tugas dan fungsi pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak dan kewajiban masyarakatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Soepodo, 2003). Adapun pelayanan publik tersebut sering diukur dari hal pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, bantuan kepada kaum miskin), pelayanan administrasi (akte kelahiran dan akte kematian), pelayanan dalam menyediakan sarana dan prasarana yang lebih baik untuk 3

kegiatan ekonomi maupun sosial dan pelayanan dalam penyediaan lapangan kerja serta pelayanan terhadap perlindungan dan keamanan masyarakat (Diamar, 2003). Banyak teori yang menyatakan bahwa desentralisasi fiskal merupakan salah satu solusi bagi peningkatan kinerja pelayan publik. Hal ini dikakan dengan adanya desentralisasi, ukuran pemerintah kabupaten/kota meningkat sehingga meningkatkan transparansi dan akuntabilas pemerintah serta partisipasi masyarakat yang akan meningkatkan pelayanan publik. Menurut Kwon (2003) desentralisasi fiskal dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif untuk memperbaiki performance sektor publik. Desentralisasi dapat meningkatkan alokasi sumber daya yang efisien karena pemerintah kabupaten/kota lebih mengetahui informasi kondisi daerahnya sehingga dapat mengalokasikan sumber daya sesuai dengan kondisi geografis masing-masing daerah mengenai preferensi dan kebutuhan daerahnya sendiri serta adanya tekanan kompetisi inter jurisdiksi yang memotivasi pemerintah kabupaten/kota menjadi lebih inovatif dan akuntabel. Selain u, desentralisasi juga dapat mendorong partisipasi dari orang miskin dan mereka dapat secara aktif melakukan pemantauan dan evaluasi dari pelayanan publik di daerah sehingga akuntabilas dari pemerintah kabupaten/kota akan naik dan penyediaan jasa layanan publik akan semakin efisien. Desentralisasi dapat meningkatkan pelayanan publik dengan asumsi bahwa antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota memiliki tingkat kinerja pemerintahan yang sama-sama efisien. Oleh karena u, kesuksesan desentralisasi tergantung dari kondisi kinerja pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota negara tersebut. Dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia, studi dari Indonesia Poverty Team-World Bank (2005) mengatakan banyak hasil posif dari pelaksanaan desentralisasi di Indonesia termasuk penyediaan layanan masyarakat miskin yau dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Akan tetapi banyak pihak yang menilai bahwa daerah belum sepenuhnya 4

memprioraskan kebutuhan pengeluaran pada pelayanan dasar publik. Pemerintah kabupaten/kota cenderung memprioraskan pembiayaan anggaran operasional terka dengan fungsinya sebagai fungsi pemerintahan sementara alokasi belanja pelayanan publik justru mengalami penurunan. Banyak proyek-proyek di daerah yang masih bersifat mercusuar ataupun proyek yang hanya bersifat pembelanjaan aparatur seperti pembelian mobil dan rumah dinas bahkan pemerintah kabupaten/kota lebih suka menaruh uangnya dalam bentuk SUN dan SBI. Sedangkan program pengentasan kemiskinan, pembangunan prasarana jalan, kesehatan, dan pendidikan masih terbengkalai. 2 Salah satu pelayanan publik yang paling mendasar adalah sektor pendidikan. Sebelum desentralisasi, pemerintah kabupaten/kota hanya bertanggung jawab pada sekolah dasar. Konsekuensi dari diberlakukannya desentralisasi dalam pendidikan adalah pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten/kota pada semua tingkat pendidikan (TK, SD, SLTP, SLTA) kecuali perguruan tinggi. Pembagian urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan diatur dalam PP No.38 Tahun 2007. Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab atas hampir segala bidang yang terka dengan sektor pendidikan kecuali kurikulum dan penetapan standar yang menjadi kewenangan pusat. Pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab tersebut diikuti oleh pola pembiayaan pendidikan. Pemerintah kabupaten/kota memiliki tanggung jawab yang besar untuk membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD nya. Dukungan dari pemerintah pusat dan propinsi dimungkinkan tetapi harus melalui mekanisme APBD atau paling tidak tercatat dalam APBD kabupaten/kota. Dari sini terlihat bahwa masa depan pendidikan tergantung dari kemampuan pemerintah kabupaten/kota dalam mengelola sektor pendidikan. 3 2 Esther Sri Astuti S.A. dan Joko Tri Haryanto, Studi Analisis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pelayanan Sektor Publik, Jakarta: Jurnal Ekonomi Indonesia No.1, Juni 2007, hlm. 91. 3 Edy Priyono, Pembiayaan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah: Masalah dan Prospek, 2005 5

Mengamati beberapa indikator sederhana dari pendidikan menimbulkan keraguan apakah desentralisasi fiskal dapat meningkatkan pelayanan pendidikan. Oleh karena apa yang sedang terjadi di Indonesia pada era desentralisasi fiskal akhir-akhir ini terutama dalam pelayanan pendidikan merupakan suatu fenomena yang menarik, sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelian ini. Dengan menggunakan indikator pendidikan yang diwakili oleh tingkat angka partisipasi sekolah tingkat SD, SLTP dan SLTA, penelian ini akan meneli tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap pelayanan publik terutama dalam akses masyarakat terhadap pendidikan. I. 2 Rumusan Masalah Sesuai teori, desentralisasi fiskal akan meningkatkan pelayanan publik karena pemerintah kabupaten/kota dapat mengalokasikan sumber daya daerah sesuai dengan kondisi geografis masing-masing daerahnya. Akan tetapi yang terjadi saat ini di Indonesia terlihat sebaliknya. Banyak yang menilai bahwa desentralisasi belum sepenuhnya dapat meningkatkan pelayanan publik. Hal ini sangat berkebalikan dengan salah satu tujuan desentralisasi yau sebagai alat untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan diselenggarakan dengan seoptimal mungkin guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Dengan demikian, studi ini diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan berikut: 1. Apakah alokasi pemerintah pusat dalam desentralisasi fiskal Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan dapat meningkatkan pengeluaran pendidikan pemerintah kabupaten/kota 2. Jika meningkat, apakah peningkatan pengeluaran pendidikan pemerintah kabupaten/kota dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan SD, SLTP dan SLTA 6

3. Apakah era desentralisasi fiskal dapat meningkatkan pengeluaran pendidikan pemerintah kabupaten/kota dan akses masyarakat terhadap pendidikan SD, SLTP dan SLTA I. 3 Tujuan Penelian Seperti yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, tujuan skripsi ini adalah: 1. Menganalisa alokasi pemerintah pusat dalam desentralisasi fiskal (DAU, DAK pendidikan) terhadap pengeluaran bidang pendidikan pemerintah kabupaten/kota 2. Menganalisa pengaruh pengeluaran pendidikan pemerintah kabupaten/kota terhadap akses pendidikan SD, SLTP dan SLTA 3. Menganalisa pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pengeluaran pendidikan pemerintah kabupaten/kota dan akses masyarakat terhadap pendidikan SD, SLTP dan SLTA I. 4 Hipotesa Penelian Hipotesis awal dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Diduga bahwa Dana Alokasi Umum yang merupakan block grant tidak berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran pendidikan pemerintah kabupaten/kota 2. Diduga bahwa Dana Alokasi Khusus Pendidikan yang merupakan specifict grant berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran pendidikan pemerintah kabupaten/kota 3. Diduga bahwa peningkatan pengeluaran pendidikan pemerintah kabupaten/kota dapat meningkatkan angka partisipasi sekolah 7

4. Diduga bahwa desentralisasi fiskal dapat meningkatkan pengeluaran pendidikan dan akses masyarakat terhadap pendidikan I. 5 Metodologi Penelian Metode yang digunakan adalah regresi dengan menggunakan data panel (gabungan data cross section dan time series). Data yang digunakan adalah data kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan jangka waktu 1995-1997 (sebelum desentralisasi) dan 2003-2006 (setelah desentralisasi). Pendekatan model yang digunakan dalam menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap pengeluaran pendidikan, studi kali ini akan menggunakan pendekatan model Elhiraika (2007). Selanjutnya, untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pendidikan pemerintah kabupaten/kota terhadap akses pendidikan SD, SLTP dan SLTA menggunakan pendekatan model Baldacci (2002). Yakni menggunakan indikator akses pendidikan yang diwakili oleh tingkat angka partisipasi kotor (gross enrolment rate) pada tingkat SD, SLTP dan SLTA. Model Pengeluaran Pemerintah Untuk Pendidikan eduspend = f ( dak, dau, ycap, ddes) Keterangan: eduspend = pengeluaran pendidikan pemerintah kabupaten/kota dau = dana alokasi umum pemerintah kabupaten/kota dak =dana alokasi khusus pendidikan pemerintah kabupaten/kota ycap = PDRB per kapa kabupaten/kota dummy desentralisasi : ddes = 1 (setelah desentralisasi) ddes = 0 (sebelum desentralisasi) 8

i = kabupaten/kota di Pulau Jawa t = sebelum desentralisasi (1995-1997) dan setelah desentralisasi (2003-2006) Model Akses Pendidikan ger = f ( eduspend, ilterate, ycap, ddes) Keterangan: GER = Gross Enrolment Rate tingkat SD, SLTP dan SLTA yakni persentase penduduk usia 6-18 tahun yang bersekolah terhadap penduduk usia 6-18 tahun eduspend = pengeluaran pendidikan pemerintah kabupaten/kota Ilterate = tingkat buta huruf dewasa (18 tahun ke atas) ycap = PDRB per kapa ddes = dummy desentralisasi : ddes = 1 (setelah desentralisasi) ddes = 0 (sebelum desentralisasi) i = kabupaten/kota di Pulau Jawa t = tahun sebelum desentralisasi (1995-1997) dan setelah desentralisasi (2003-2006) I. 6 Sistematika Penulisan Sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab 1 merupakan pendahuluan yang memberikan gambaran singkat mengenai isi skripsi ini yang berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelian, hipotesa sementara, metodologi penelian, dan sistematika penulisan penelian. 9

Bab 2 berisi tinjauan leratur yang berkaan dengan teori desentralisasi fiskal, teori pelayanan publik khususnya pelayanan pendidikan dan beberapa faktor yang mempengaruhi akses pendidikan di suatu daerah serta teori hubungan antara desentralisasi dengan pelayanan publik. Bab ini juga berisi hasil-hasil penelian sebelumnya yang berhubungan dengan dampak desentralisasi fiskal terhadap pelayanan publik serta kerangka pikir dari penulisan skripsi ini. Bab 3 berisi gambaran desentralisasi fiskal di Indonesia dan sektor pendidikan pemerintah serta kondisi indikator pendidikan sebelum dan setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal. Bab 4 adalah metodologi penelian. Bab ini akan menjelaskan model yang digunakan, variabel-variabel yang akan diestimasi, metode perhungan, asumsi yang digunakan dan sumber data. Bab 5 berisi analisa hasil dan pembahasan. Dalam bab ini akan dilaporkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data menggunakan Eviews. Isi dari bab ini adalah penjelasan dari output yang diperoleh dari pengolahan data. Bab 6 adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran kebijakan. Kesimpulan dilihat relevansinya dengan kondisi Indonesia sehingga bisa dihasilkan saran yang membangun. Selain u penulis juga akan menjelaskan mengenai keterbatasanketerbatasan yang dimiliki oleh penelian ini, agar dikemudian hari dapat dilakukan penyempurnaan studi untuk hasil yang lebih baik. 10