BAB 2 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. selama berabad-abad. Bagaimanapun, kemajuan tehnik anestesi modern. memungkinkan operasi menjadi lebih aman. Ahli anestesi yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KEJADIAN POSTDURAL PUNCTURE HEADACHE

Tempat/Tgl Lahir : Banda Aceh,26 Februari : Jl. Sei Bahorok Gg. Keplor No.30 Medan. : dr. Nadi Zaini Bakri, SpAn

Regional Anesthesia. Hospital Care Division PT B Braun Medical Indonesia

JURNAL KOMPLIKASI ANESTESI VOLUME 2 NOMOR 3, AGUSTUS 2015 TINJAUAN PUSTAKA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

ARTIKEL PENELITIAN. Kejadian Post Dural Puncture Headache dan Nilai Numeric Rating Scale Pascaseksio Sesarea dengan Anestesi Spinal

PERBANDINGAN INSIDENSI POST DURAL PUNCTURE HEADACHE SETELAH ANESTESIA SPINAL DENGAN JARUM 27G QUINCKE DAN 27G WHITACRE TESIS.

BAB I PENDAHULUAN. Usia bersifat irreversibel dan merupakan fenomena fisiologis progressif

ARTIKEL PENELITIAN. Pemberian Bolus 7,5 ml Poligelin pada Ruang Epidural untuk Menurunkan Kejadian Postdural Puncture Headache pada Anestesi Spinal

TRAUMA KEPALA. Doni Aprialdi C Lusi Sandra H C Cynthia Dyliza C

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. diinginkan (Covino et al., 1994). Teknik ini pertama kali dilakukan oleh seorang ahli bedah

BUKU AJAR SISTEM NEUROPSIKIATRI

BAB I PENDAHULUAN. anestesi yang dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui status

BAB I PENDAHULUAN. abdomen dan uterus untuk mengeluarkan janin. 1 Prevalensi terjadinya sectio. keadaan ibu dan janin yang sedang dikandungnya.

GAMBARAN KEJADIAN KAKU LEHER PADA PASIEN PASCA SEKSIO SESAREA DENGAN ANASTESI SPINAL DI RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU

BAB 4 HASIL PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan selama bulan Oktober 2010 sampai dengan

Anestesi spinal adalah pemberian obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid.

OLEH: dr. YUNITA DEWANI NIM: Universitas Sumatera Utara

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. Mencapai derajat sarjana S-1. Diajukan Oleh : Yunita Ekawati J Kepada : FAKULTAS KEDOKTERAN

BAB I PENDAHULUAN. tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi

MANAJEMEN NYERI POST OPERASI

BAB I PENDAHULUAN. anestesiologi. 3. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN

MODUL KEPANITERAAN KLINIK BEDAH

KOMPLIKASI PHLEBOTOMY

PROSEDUR PEMBERIAN MEDIKASI (OBAT)

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Association for Study of Pain (IASP) dalam Potter & Perry

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. dinding abdomen dan uterus (Fraser, 2009). Sedangkan menurut Wiknjosastro

Tipe trauma kepala Trauma kepala terbuka

RINI ASTRIYANA YULIANTIKA J500

BAB I PENDAHULUAN. peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi

Nyeri. dr. Samuel Sembiring 1

Pendahuluan. Cedera kepala penyebab utama morbiditas dan mortalitas Adanya berbagai program pencegahan

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pada

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Apendisitis adalah suatu peradangan pada apendiks, suatu organ

SURAT PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN. Nyeri kepala mungkin merupakan bagian terbesar dari penderitaan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR PEMBERIAN NUTRISI PARENTERAL SOP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. emosional atau mengalami cemas akan mengalami rasa nyeri yang hebat setelah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I KONSEP DASAR. saluran usus (Price, 1997 : 502). Obserfasi usus aiau illeus adalah obstruksi

MEKANICAL CERVICAL & LUMBAR TRACTION. Oleh: Sugijanto

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan adalah modal utama bagi manusia, kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. yang cepat, termasuk pertumbuhan serta kematangan dari fungsi organ reproduksi

PYLORUS STENOSIS HYPERTROPHY

CHECKLIST ANAMNESIS KASUS NYERI KEPALA

CEDERA KEPALA, LEHER, TULANG BELAKANG DAN DADA

MODUL INTERVENSI PAIN DAN CANCER PAIN

BAB I PENDAHULUAN. bertambah dan pertambahan ini relatif lebih tinggi di negara berkembang,

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

LAPORAN PENDAHULUAN. PADA PASIEN DENGAN KASUS CKR (Cedera Kepala Ringan) DI RUANG ICU 3 RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG

ANESTESI REGIONAL. Department of Anesthesiology Faculty Of Medicine Padjadjaran University

Cedera Spinal / Vertebra

BAB I PENDAHULUAN. kasus yang belum terselesaikan. Disisi lain juga telah terjadi peningkatan

Pusat Hiperked dan KK

BAB I PENDAHULUAN. Nyeri punggung bawah merupakan kasus yang banyak ditemui. dalam praktek sehari-hari, umumnya menyerang semua orang tanpa

BAB I PENDAHULUAN. dimana dijumpai beraneka ragam jenis keluhan antara lain gangguan neuromuskular,

BAB I PENDAHULUAN. bagian tubuh untuk perbaikan. Beberapa jenis pembedahan menurut lokasinya

BAB I PENDAHULUAN. maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (Permenkes RI No. 340/MENKES/PER/III/2010). Dalam memberikan

BAB I PENDAHULUAN. tindakan perbaikan kemudian akan diakhiri dengan penutupan dengan cara. penjahitan luka (Sjamsuhidajat & De Jong, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. Menstruasi adalah pendarahan periodik dan siklik dari uterus, disertai

GAMBARAN ANGKA KEJADIAN KOMPLIKASI PASCA ANESTESI SPINAL PADA PASIEN SEKSIO SESARIA

FORMULIR PERMINTAAN PELAYANAN SPIRITUAL BERDASARKAN AGAMA DAN KEPERCAYAAN PASIEN

GLUKOMA PENGERTIAN GLAUKOMA

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kepala dan leher adalah penyebab kematian akibat kanker tersering

BAB I PENDAHULUAN. macam aspek, diantaranya pertolongan persalinan yang salah satunya adalah

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

PHLEBOTOMY. Oleh. Novian Andriyanti ( ) PSIK Reguler 2. Fakultas Kedokteran. Universitas Brawijaya. Malang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB III KERANGKA KONSEP. Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagian besar meningioma berlokasi di kavitas intra kranial, diikuti

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan perasaan tegang, pikiran khawatir dan. perubahan fisik seperti meningkatnya tekanan darah.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam keluhan dan gangguan. Hal ini terjadi karena kurangnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ANESTESI REGIONAL. Intan Arvianty Maretta Prihardini H. Preceptor:Riri Risanti, dr. Sp.An.

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan menurut Wahyuningsih (2005), terapi Intravena adalah suatu

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK MIGRAIN DI RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN (RSUP) DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2010 JUNI 2012

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. langsung dan tidak langsung, kesehatan masyarakat juga perlu. With Low Back Pain : A Randomized Controllled Trial Bukti juga

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

Transkripsi:

BAB 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anestesi Spinal Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh August Bier (1898) pada praktis klinis, tehnik ini telah digunakan dengan luas untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah umbilicus. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal. 1 Anestesi spinal merupakan tehnik anestesi yang aman, ekonomis dan dapat dipercaya serta sering di pergunakan pada tindakan anestesi sehari-hari. Anestesi spinal disertai dengan beberapa komplikasi yang sering timbul, salah satu komplikasi yang dapat timbul adalah postdural puncture headache (PDPH). Dimana menurut berbagai peneliti, insidensi terjadinya Post Dural Puncture Headache berkisar antara 0% - 46%. 2,3 Angka yang tertinggi dijumpai pada penusukan lumbal diagnostic dengan Gambar 1. Jenis Tipe Jarum 5

menggunakan jarum spinal tipe Quincke dengan ukuran 20G atau 22G. 2 Tiap robekan pada dura dapat mengakibatkan terjadinya PDPH. Hal ini bisa disebabkan oleh tindakan diagnostic lumbal puncture, tindakan myelogram, anestesi spinal atau wet tap epidural bila jarum epidural menembus ruang epidural dan memasuki ruang sub-arakhnoid. Banyak faktor yang diduga mempengaruhi insidensi dan keparahan PDPH termasuk umur, jenis kelamin, dan ras pasien, tehnik SAB, jumlah tusukan yang dilakukan, besar jarum dan desain ujung jarum. 16 Salah satu faktor terpenting dan paling memegang peranan adalah desain dan besar jarum. Ada beberapa tipe jarum yang saat ini digunakan untuk tindakan punksi dura. Seara umum tipe jarum ini dibedakan menjadi dua tipe, yakni tipe cutting (quincke) dan non-cutting / atraumatic (whitacre, sprotte, atraucan). Jarum dengan ujung Quincke memotong serat dura dan bisa menyebabkan robekan dura yang menetap, sementara ujung jarum spinal non-cutting atau seperti pencil-point (Whitacre, Sprotte) dapat mendorong serat dura sehingga dapat kembali ke tempat semula dan mengurangi hilangnya CSF setelah tusukan dura dan mengurangi insidensi PDPH. Oleh karena itu, banyak variasi dalam insidensi PDPH yang bisa timbul dengan desain jarum spinal yang berbeda. Dengan mengurangi besar dari jarum spinal telah memberikan dampak yang signifikan terhadap insidensi dari PDPH. Insidensinya adalah 40% pada jarum 22G, 25% pada jarum 25G, 2-12% pada jarum 26G Quincke, 1-6% pada jarum 27G Quincke dan <2% pada jarum 29G. 17 Dari penelitian Hwang dkk, membandingkan insidensi PDPH dengan jarum 25G Whitacre dengan jarum 25G dan 26G Quincke tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik. 13 6

Dari penelitian Lynch dkk, menggunakan jarum spinal 27G Quincke dan 27G Whitacre pada pasien-pasien ortopedik dengan spinal anestesi, menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua tipe jarum dengan 27G Quincke 1.1% dan 27G Whitacre 0.5% dan tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap kegagalan tindakan anestesi dengan 27G Quincke 8.5% dan 27G Whitacre 5.5%. 14 Ripul dkk, membandingkan insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke dengan 25G Whitacre pada pasien-pasien obstetrik. Mereka menemukan bahwa ada perbedaan yang bermakna terhadap kejadian insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke (9%) dan 25G Whitacre (1%). 12 Dari penelitian Irawan dkk, di RS. Hasan Sadikin Bandung, meneliti insidensi PDPH pada pasien paska seksio caesarea dengan 3 jarum spinal, yakni 25G Quincke, 27G Quincke dan 27G pencil point, didapat hasil insidensi PDPH 68.2%, 31.8% dan 0%. (15) Shah dkk (2002), meneliti insidensi PDPH dengan tiga jarum yang serupa, yakni 25G dan 27G Quincke serta 27G Whitacre, didapatkan hasil insidensi PDPH 20%, 12.5% dan 4.5%. 1 Ada kecenderungan dengan pemakaian gauge/ukuran jarum lebih kecil (29G) disertai dengan insidensi kegagalan tehnik yang lebih besar. 12,16 Sebuah pengertian klasik mengenai dura mater spinal adalah serat kolagen yang tersusun teratur dan berjalan searah longitudinal. Hal ini didukung oleh penelitian histologis dari dura mater. Secara klinis dianjurkan untuk melakukan tindakan anestesi spinal bila dengan menggunakan jarum cutting secara paralel dan tidak memotong jalur serat dura longitudinal ini, dengan harapan akan memotong serat lebih sedikit. Akan tetapi dari penelitian mikroskop cahaya dan elektron menemukan pembantahan terhadap pendekatan klasik duramater manusia ini. Penelitian ini menemukan bahwa dura mater terdiri dari berbagai lapis serat, dimana tiap lapisan serat tidak memberikan orientasi arah yang spesifik. Sehingga penusukan jarum spinal dengan posisi sejajar searah longitudinal masih perlu dilakukan 7

penelitian lebih lanjut, walaupun ada penelitian yang menunjukkan adanya penurunan insidensi PDPH berdasarkan posisi bevel saat penusukan. 17 Ada beberapa penelitian yang meneliti mengenai hubungan banyaknya usaha tusukan spinal dengan insidensi PDPH yang menyertainya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Singh dkk (2009) dengan menggunakan jarum 23G Quincke membandingkan banyaknya tusukan dengan insidensi PDPH. Dari hasil penelitian tersebut didapat ada hubungan yang signifikan terhadap banyaknya usaha tusukan dengan tingginya insidensi. 18 Dari beberapa penelitian lain yang meneliti hubungan banyaknya tusukan spinal dengan insidensi PDPH pada jarum-jarum yang lebih kecil 26G dan 27G tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara banyaknya tusukan dengan tingginya insidensi PDPH, seperti yang dikemukakan oleh Kang SB dkk (1992). 19 Pada penelitian ini, peneliti meneliti insidensi PDPH antara dua tipe jarum ukuran 27G, sehingga peneliti mengesampingkan faktor banyaknya tusukan untuk mempengaruhi tingginya insidensi terjadinya PDPH. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jarum 27 G Spinocan sebagai tipe jarum Quincke dan jarum 27 G Pencan sebagai tipe jarum Whitacre. Kedua tipe jarum ini berasal dari perusahaan yang sama guna membantu homogenitas jarum. 2.2 Post Dural Puncture Headache 2.2.1 Defenisi PDPH Sudah lebih dari seratus tahun sejak dr.bier mengalami dan menulis laporan kasus pertama terhadap post dural puncture headache. Deskripsi dr.bier terhadap sakit kepala postural berat ini masih lazim dipakai sampai saat ini. Sebuah nyeri yang biasanya sangat berat, tumpul, bilateral, biasanya pada daerah frontal, retroorbital dan occipital yang menjalar ke leher, dimana biasanya diperberat bila posisi tegak lurus dan berkurang pada posisi supine. Nyeri kepala bisa berdenyut atau konstan dan bisa disertai dengan fotofobia, mual, muntah, gangguan pendengaran atau penglihatan. 7,8,9 8

Onset nyeri kepala akibat PDPH ini bisa terjadi pada 12 sampai 72 jam setelah prosedur; akan tetapi, juga bisa ditemukan segera setelah tindakan. Pasienpasien yang mengalami post dural puncture heachache tidak boleh diabaikan. Bila tidak ditangani nyeri bisa berlangsung sampai berminggu-minggu, dan pada kasuskasus yang sangat jarang, bisa diperlukan tindakan operasi untuk mengatasinya. Post Dural Puncture Headache (PDPH) merupakan komplikasi dari tusukan pada duramater (salah satu meningens yang mengelilingi otak dan spinal cord). PDPH sering terjadi pada anestesi spinal dan lumbal, dan juga epidural anestesi. PDPH bisa timbul dalam hitungan jam sampai hari setelah tusukan dan memberikan tanda dan gejala seperti pusing dan mual dan menjadi makin berat bila pasien mengambil posisi tegak lurus. Jadi PDPH bisa disimpulkan sebagai sakit kepala berat yang bisa disertai mual atau muntah setelah tusukan spinal dengan ciri khas memberat bila berubah posisi duduk atau tegak lurus dan menghilang atau berkurang bila posisi tidur datar. Dari pernyataan di atas, diambil criteria Post Dural Puncture Headache: 1 1. Timbul setelah mobilisasi 2. Diperberat dengan perubahan posisi duduk atau berdiri dan batuk, bersin 3. Berkurang atau hilang dengan posisi tidur terlentang 4. Nyeri sering terlokalisir pada occipital, frontal atau menyeluruh 2.2.2 Klasifikasi PDPH Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976) dikelompokkan menjadi 4 skala yakni: 1 1. Nyeri kepala ringan yang memungkinkan periode lama untuk duduk / berdiri dan tanpa ada gejala tambahan lain. 9

2. Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di sertai dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran dan penglihatan. 3. Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat tidur, berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering disertai dengan mual, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran. 4. Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita sedang berbaring terlentang di tempat tidur dan bertambah makin berat bila duduk atau berdiri, untuk makan tidak mungkin dilakukan karena mual dan muntah. Keluhan PDPH ini diduga merupakan akibat dari hilangnya cairan cerebrospinal ke dalam ruang epidural. Berkurangnya tekanan hidrostatik pada ruang subaraknoid akan menyebabkan regangan terhadap meningens sehingga terjadi tanda dan gejala penyerta. Hal ini disebabkan hilangnya CSF lebih cepat dari produksinya sehingga terjadi traksi terhadap struktur-struktur yang menyangga otak, terutama dura dan tentorium. Peningkatan traksi pada pembuluh darah juga menambah nyeri kepala. Traksi pada syaraf kranial dapat menyebabkan diplopia (biasanya pada syaraf kranial keenam) dan tinnitus. Jan dkk, membagi tingkat keparahan dari PDPH dengan skala manalog nuremik verbal 0 sampai 10 (0=tanpa nyeri dan 10=nyeri yang paling tak tertahankan). Untuk mempermudah, Shaik dkk (2008), membagi skala 0 10 ini menjadi 3 tingkat, yakni ringan, sedang dan berat, sesuai dengan yang tertera pada tabel 2.2-1. 20 10

Tabel 2.2-1. Klasifikasi PDPH Ringan Tidak ada gangguan dalam aktivitas Tidak dibutuhkan penanganan Sedang Terjadi gangguan dalam aktivitas Dibutuhkan analgesia secara regular Berat Hanya dapat berbaring di tempat tidur Anoreksia 2.2.3 Patofisiologi PDPH 2.2.3.1 Anatomi dura mater spinal Dura mater spinal adalah sebuah tuba yang menjalar dari foramen magnum menuju segmen kedua dari sakrum. Ia terdiri dari spinal cord dan akar-akar nervus yang menembusnya. Dura mater itu sendiri merupakan jaringan konektif yang padat yang terdiri dari serat kolagen dan elastis. Deskripsi klasik dari duramater spinal adalah serat kolagen yang menjalar dengan arah longitudinal. Hal ini telah didukung oleh penelitian histologis terhadap dura mater. Pengajaran klinis berdasarkan hal ini merekomendasikan agar jarum cutting spinal diorientasikan paralel dibandingkan dengan arah memotong serat-serat longitudinal ini. Akan tetapi, dari studi miskroskopik electron dan cahaya telah melawan teori klasik terhadap anatomi dura mater ini. Studi ini menunjukkan bahwa dura mater terdiri dari serat kolagen yang tersusun berlapis-lapis, dimana tiap lapis terdiri dari serat kolagen dan elastis yang 11

tidak menunjukkan orientasi yang spesifik. Pada permukaan luar atau permukaan epidural memang teratur dengan arah longitudinal, tetapi pola ini tidak berulang pada lapis-lapis berikutnya. Dari penilaian lebar terhadap ketebalan dura menunjukkan bahwa dura posterior bervariasi dalam ketebalan sepanjang spinal, baik dalam individu maupun antar individu. Perforasi dura pada area yang tebal akan menyebabkan kebocoran CSF yang lebih sedikit dibanding perforasi pada area yang tipis, dan hal ini dapat menjelaskan kejadian yang tidak terduga pada akibat perforasi dura. 17 Gambar 2. Spinal cord dan nerve roots 12

2.2.3.2 Cairan Cerebrospinal Produksi CSF terjadi terutama pada pleksus koroid, tetapi ada beberapa bukti yang menunjukkan adanya produksi ekstrakoroidal. Sekitar 500 cc dari CSF diproduksi perhari (0.35 cc/min). volume CSF pada orang dewasa adalah sekitar 150 cc, dimana setengahnya berada di dalam kavitas kranial. Tekanan CSF pada region lumbal pada posisi horizontal adalah 5-15 cmh 2 O. diperkirakan pada posisi berdiri akan meningkat sampai 40 cmh 2 O. Tekanan CSF pada anak-anak akan meningkat sesuai umur. 17 2.2.4 Terapi PDPH Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan PDPH, baik invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim anestesi. Walaupun tidak semuanya didukung oleh evidence based yang lengkap, tetapi kebanyakan telah diterima dengan baik oleh berbagai kalangan anestesiolog. Terapi non-invasif meliputi tirah baring, status hidrasi, posisi, ikatan abdominal, analgesia, dan obat-obat farmakologis lain seperti kaffein intravena, theophylline, dsb. Terapi invasif meliputi Epidural Blood Patch dan Epidural Dextran. 17 Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen abdomen, pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien tetap supine akan mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong cairan keluar dari lubang dura dan meminimalkan nyeri kepala. Medikasi analgesia bisa berkisar dari asetaminofen sampai NSAID. Hidrasi dan kaffein bekerja menstimulasi produksi CSF. Kaffein membantu dengan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial. 17,21 Salah satu yang menjadi faktor penentu terjadinya PDPH adalah status hidrasi pasien, dimana konsep hidrasi pada PDPH masih banyak salah dimengerti. Tujuan dari hidrasi adalah untuk memastikan kecepatan produksi CSF optimal, dimana 13

pasien dalam keadaan dehidrasi akan menyebabkan produksi CSF yang berkurang. Sehingga, bila seseorang sudah terehidrasi dengan baik, dan kecepatan produksi CSF normal, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa overhidrasi akan membantu meningkatkan kecepatan produksi CSF. Oleh karena itu tidak diperlukan pemberian cairan berlebihan pada pasien yang telah terehidrasi dengan baik, dan penting untuk memastikan bahwa pasien dalam kondisi terhidrasi baik sebelum dilakukan tindakan anestesi spinal. Pada penelitian ini, kami memastikan pasien dalam keadaan terhidrasi baik dengan melakukan terlebih dahulu Tilt Test. 22 Tilt test itu sendiri adalah tes kecukupan cairan/hidrasi pada pasien, dengan memperhitungkan faktor posisi dan gravitasi, dilakukan dengan mengukur tekanan darah pasien saat terlentang mendatar dan kemudian mengukur tekanan darah pasien setelah diposisikan tidur terlentang dalam posisi head up dengan sudut 40 50 selama 10 menit. Bila terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka dinyatakan Tilt Test positif dan pasien masih belum terhidrasi dengan cukup. Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif terhadap PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous ke ruang epidural pada, satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan dura. Hal ini dipercaya akan menghentikan kebocoran yang terjadi pada CSF oleh karena efek massa atau koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera atau beberapa jam setelah tindakan ketika produksi CSF secara perlahan akan meningkatkan tekanan intrakranial yang dibutuhkan. Sebanyak 90% pasien akan memberikan respon terhadap tindakan blood patch ini. 17,21 14

SPINAL Jarum Spinal 27G Quincke Jarum Spinal 27G Whitacre Dura Mengalami Robekan CSF Mengalami Kebocoran Isi Cranial tertarik pada posisi tegak lurus PDPH Nyeri kepala berat dan tumpul yang bertambah bila posisi tegak lurus dan hilang bila posisi supine Gambar 3. Kerangka Konsep 15