BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyulitkan, masa bermain, disebut pula masa aesthetis, yaitu masa

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. aspek fisik, sedangkan perkembangan merupakan segala perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN TEORI. proses kedewasaan, hingga kepada upaya pembentukan norma-norma yang. diharapkan oleh masyarakat pada umumnya (Casmini, 2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN TEMPER TANTRUM PADA ANAK USIA PRASEKOLAH (3-6 TAHUN) DI TK PUSPA RITA NGIPIK KECAMATAN PRINGSURAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh peneliti, di PAUD X Bandung,

BAB V PEMBAHASAN. anak menilai bahwa perilaku tantrum adalah suatu perilaku yang masih

PENGEMBANGAN PERILAKU SOSIAL ANAK USIA DINI

ASPEK PERKEMBANGAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Prasekolah dapat diartikan sebagai pendidikan sebelum sekolah, jadi berarti

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu rasa yang wajar dan natural (Setiawani, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan anak untuk optimalisasi bagi perkembangannya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5. Pilihlah salah satu dari pilihan di bawah ini yang merupakan KELEMAHAN anda! (Jawablah dengan sejujur-jujurnya)

BAB II KONSEP KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA DINI DAN TEKNIK COLLECTIVE PAINTING

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

Perkembangan Emosi Pada Bayi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

3. Emosi subyek ketika menjawab pertanyaan interview. 4. Bagaimana kebudayaan etnis Cina dalam keluarga subyek?

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

Rita Eka Izzaty Staf Pengajar FIP-BK-UNY

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya perilaku agresif saat ini yang terjadi di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

LAMPIRAN. Tabel Karakteristik ADHD dan gangguan Sensori Integrasi (SI) Karakteristik Permasalahan ADHD Gangguan SI Terlalu lelah.

MEMAHAMI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK BAGI PENGEMBANGAN ASPEK SENI ANAK USIA DINI Oleh: Nelva Rolina

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

MENGELOLA STRESS DAN MENGENDALIKAN EMOSI. dr Gunawan Setiadi Tirto Jiwo, Pusat Pemulihan dan Pelatihan Gangguan Jiwa

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

Santi E. Purnamasari, M.Si., Psi. Fak. Psikologi UMBY

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

TUMBUH KEMBANG ANAK USIA DINI. Rita Eka Izzaty

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan keluarga adalah lingkungan sekolah, dan pihak yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB IV ANALISIS DATA. peneliti, maka peneliti menganalisis dengan analisis deskriptif komparatif.

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan potensi sumber daya manusia serta penerus cita-cita perjuangan bangsa

Developmental and Clinical Psychology

BAB I. self atau diri sendiri. Penyandang Autisme pada dasarnya seseorang yang. melakukan auto-imagination, auto-activity, auto-interested, dan lain

SEKOLAH IDEAL. Oleh: Damar Kristianto

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

GAMBARAN POLA ASUH ORANGTUA PADA ANAK PENYANDANG EPILEPSI USIA BALITA DI POLIKLINIK ANAK RSUP.PERJAN DR. HASAN SADIKIN BANDUNG.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

Membangun Sosial Emosi Anak. di Usia 2-4 tahun SERI BACAAN ORANG TUA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida

LETTER OF CONSENT. Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini

Tumbuh Kembang Anak Usia KOMPETESI DASAR. 5-6 Tahun

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Anak Prasekolah Awal masa kanak-kanak, selain mendapat sebutan masa yang menyulitkan, masa bermain, disebut pula masa aesthetis, yaitu masa berkembangnya rasa keindahan. Hal ini karena masa prasekolah, panca indera anak sedang dalam keadaan peka, sehingga perlu dilatih dengan berbagai permainan yang menarik, yang indah, karena anak senang dengan permainan yang indah. Para pendidik, memberi sebutan usia prasekolah, karena belum mempunyai kewajiban mengikuti sekolah formal. Anak prasekolah mempunyai sifat pembangkang, senang menentang, sulit diatur, maka orang Jawa menyebut kondisi itu sebagai kemratu-ratu, yang artinya sifatnya seperti ratu yang senang memerintah. Orang psikolog menyebutnya tempertantrum, yang artinya luapan kemarahan. Pada masa anak prasekolah, emosi anak sangat kuat, ditandai dengan tantrum (luapan kemarahan), ketakutan yang hebat, iri hati. Anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara tiga sampai lima tahun (Whaley s & Wong, 2000). Anak prasekolah adalah pribadi yang mempunyai potensi berbagai macam potensi. Potensi-potensi itu dirangsang dan dikembangkan agar pribadi anak tersebut berkembang secara optimal. Tertunda atau terhambatnya pengembangan potensi-potensi itu akan mengakibatkan timbulnya masalah. Usia prasekolah diantara usia 3 (tiga) 7

sampai 5 (lima) tahun bertujuan membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, ketrampilan dan daya cipta yang diperlukan untuk anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. Snowman dalam Patmonodewo (1995) menemukan ciri-ciri anak prasekolah atau TK, diantaranya: 1. Ciri-ciri fisik Anak prasekolah mempergunakan ketrampilan gerak dasar (berlari, berjalan, memanjat, melompat, dan sebagainya) sebagai bagian dari permainan mereka. Mereka masih sangat aktif, tetapi lebih bertujuan dan tidak terlalu mementingkan untuk bisa beraktivitas sendiri. 2. Ciri sosial Pada umumnya anak dalam tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat, tetapi sahabat ini cepat berganti. Kelompok bermainnya cenderung kecil dan tidak terlalu teroganisir secara baik, tetapi mereka mampu berkomunikasi lebih baik dengan anak lain. Anak lebih menikmati permainan situasi kehidupan nyata, dan dapat bermain bersama dengan saling memberi serta menerima arahan. Perasaan empati dan simpati terhadap teman juga berkembang, mampu berbagi dan bergiliran dengan inisiatif mereka sendiri, anak menjadi lebih sosialis. 3. Ciri emosional Anak terdorong mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan dan iri hati pada anak 8

prasekolah sering terjadi. Mereka seringkali memperebutkan perhatian guru dan berebutan makanan atau mainannya. 4. Ciri kognitif Anak prasekolah umumnya terampil dalam berbahasa. Sebagian besar dari mereka senang berbicara dan sebagian lagi menjadi pendengar yang baik. Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi dan kasih sayang. Anak mampu menangani secara lebih efektif dengan ide-idenya melalui bahasa, dan mulai mampu mendeskripsikan konsep-konsep yang lebih abstrak. Mereka menyesuaikan dan mengubah konsep secara konstan. Contoh, konsep mereka mengenai waktu menjadi semakin luas. Mereka bisa memahami hari, minggu, bahkan bulan. Masa prasekolah merupakan periode kritis untuk efektivitas upaya upaya pencegahan dan penanganan tumbuh kembang anak. Berbagai jenis perkembangan anak dengan berbagai derajatnya sering kali dapat terlihat pada anak prasekolah. Oleh karena itu, orang tua perlu deteksi dini terhadap gangguan pada anak untuk dapat segera memberikan rujukan kepada tenaga professional seperti dokter tumbuh kembang anak, psikologi, ataupun perawat untuk menangani masalah anak. Masalah perilaku pada anak pra sekolah banyak terjadi karena tugastugas perkembangan pada suatu periode tertentu tidak terpenuhi sehingga menimbulkan masalah anak. Mittman dalam Nakita (1981; 2008) 9

mengemukakan beberapa masalah umum yang terjadi pada anak pada usia prasekolah: 1. Tidak patuh Ada 3 bentuk ketidakpatuhan: melakukan instruksi tapi terpaksa, tidak mau melakukan instruksi, atau sengaja melakukan yang bertolak belakang dengan instruksi. Penyebab perilaku tidak patuh antara lain : pola pengasuhan yang serba membolehkan atau terlalu disiplin, pola pengasuhan yang tidak konsisten, orang tua yang mengalami stres, ataupun anak terlalu pandai. 2. Tempertantrum Tempertantrum merupakan kemarahan yang meledak-ledak yang berupa hilangnya kontrol diri berbentuk menjerit-jerit, memaki, merusak barang, dan berguling-guling di lantai. Anak yang lebih kecil biasanya muntah atau mengompol, ada juga yang menyerang orang lain dengan menyepak dan memukul. Tempertantrum sering terjadi pada anak usia prasekolah terutama 2-4 tahun ketika anak pertama kali berusaha menunjukkan negativisme dan kemandiriannya. Setelah lebih besar (5-12 tahun) anak sudah bisa mengutarakan pikirannya secara verbal sehingga tempertantrum akan berkurang. Penyebab tantrum karena reaksi instingtif saat frustrasi, diserang atau keinginan tidak terpenuhi, meniru, ketidakmampuan mengutarakan isi hati secara komunikatif. 10

3. Agresif: verbal atau fisik Perilaku agresif adalah perilaku yang dapat menimbulkan luka pada diri sendiri atau orang lain. Agresi bisa berupa agresi fisik seperti memukul, menyepak, melempar, mendorong, meludahi, dan lain-lain. Agresi psikis seperti memanggil nama dengan tidak hormat, mengejek, memerintah, memberi label, bertengkar, dan mengancam. Anak yang agresif cenderung impulsif, mudah marah, tidak matang, sukar menerima kritik dan mudah frustrasi. Penyebabnya antara lain karena frustrasi datam kehidupan sehari-hari atau karena pengaruh daya khayal anak. Anak yang sering menonton film-film agresif cenderung lebih agresif daripada anak lain pada umumnya. 4. Menarik diri Anak yang menarik diri tidak mau terlihat dalam kontak sosial dengan teman-temannya. Hal ini dapat dipengaruhi oleh masalah lain seperti kesulitan bersekolah, gangguan kepribadian, dan masalah-masalah emosional. Namun bisa juga terjadi anak-anak yang terlalu pandai atau terlalu kreatif seringkali mengalami masalah ini. Cara berpikir yang berbeda membuat teman-teman seusianya tidak dapat menerima mereka sehingga ia terkucilkan. Anak-anak menarik diri disebabkan oleh rasa takut terhadap orang lain, kurangnya keterampilan sosial seperti antri, berbagi, menyumbangkan ide, atau orang tua yang tidak suka pada teman sebayanya. 11

5. Impulsif Anak yang impulsif bertindak secara spontan secara mendadak, memaksa, dan tidak sengaja. Ia tidak memikirkan akibat dari tindakannya. Anak usia prasekolah masih wajar jika menunjukkan beberapa perilaku impulsif mengingat kematangan kognitif dan emosinya masih belum berkembang sepenuhnya. Namun untuk kasus-kasus yang ekstrim, impulsivitas dapat disebabkan oleh penyebab organik, kecemasan (karena cemas tidak dapat berpikir rasional), dan pengaruh budaya atau pengasuhan. 6. Terlalu aktif Anak yang terlalu aktif biasanya masih bisa mengikuti kegiatan belajar, namun pada saat tertentu ia menjadi sangat aktif dan jika ditelusuri penyebabnya bisa dari faktor internal maupun eksternal. Faktor internal seperti kondisi emosi, kejenuhan belajar, dan kebutuhan akan perhatian anak. Sedangkan faktor eksternal karena manajemen kelas yang kurang baik, pelajaran kurang menantang, ataupun karena karakteristik guru. 7. Kurang mampu berkonsentrasi Beberapa anak kurang mampu berkonsentrasi. Anak yang kurang mampu berkonsentrasi bisa karena mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian (attention deficit disorder), tetapi juga ada kemungkinan disebabkan oleh faktor emosional ataupun terlalu banyak minat. Penyebab kurangnya perhatian antara lain karena gangguan perkembangan syaraf, temperamen, gangguan perseptual (penglihatan atau 12

pendengaran), tidak dapat membedakan antara figur dan latar belakang (misalnya tidak dapat membedakan mana suara yang bising atau mana suara guru), tidak dapat memahami keurutan seringkali bingung dan menjadi tampak seperti tidak memperhatikan. Kecemasan dan rasa tidak aman, kurangnya kernatangan emosi juga dapat menjadi penyebab kurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian. 8. Suka melamun Melamun merupakan kegiatan yang wajar pada anak-anak. Melamun menjadi masalah ketika dilakukan pada saat yang tidak tepat. Jika anak melamun sampai tidak dapat memperhatikan instruksi guru dan melaksanakan tugasnya maka melamun menjadi masalah. Kegiatan melamun berlebihan dapat terjadi ketika realita kehidupan anak tidak memuaskan sehingga lebih memilih berkhayal daripada memikirkan kenyataannya. 9. Egois Anak yang egois hanya peduli dengan dirinya sendiri, hanya berfokus pada kesejahteraan dirinya sendiri tanpa peduli orang lain. Anak usia prasekolah umumnya masih egosentris karena dunianya masih terpusat pada dirinya sendiri, karena merasa dirinya dan dunia sekitarnya adalah satu. Penyebab perilaku egois dapat dikarenakan berbagai ketakutan, seperti takut dekat dengan orang lain, takut ditolak, dan takut perubahan. Anak yang banyak merasakan ketakutan seringkali memandang berbagai 13

perubahan dalam hidupnya sebagai sesuatu yang mengancam dirinya. Ia memandang segala sesuatu dari sudut pandangnya dan memahami sudut pandang orang lain dianggap sebagai suatu perubahan yang menakutkan. 10. Terlalu tergantung Perilaku ketergantungan meliputi mencari perhatian, kasih sayang ataun bantuan dari orang lain secara berlebihan. Ciri-ciri terlalu tergantung antara lain: sering merengek, menangis, sering menyela pembicaraan orang tua, menuntut orang lain membantunya melakukan sesuatu padahal sebenarnya ia bisa melakukannya, tidak punya inisiatif, lebih menunggu bantuan orang dewasa, memerlukan kedekatan fisik, suka mencari perhatian atau mengharapkan orang tua sering mengawasinya, berbicara dengannya, melihat apa yang telah dibuatnya. Setelah usia 4 tahun jika anak masih menangis ketika ditinggal ibunya berarti bahwa ia menunjukkan perilaku ketergantungan. Penyebab perilaku ketergantungan adalah adanya penguatan dari orangtua, rasa bersalah orang tua, pola pengasuhan yang permisif, mencari perhatian orang tua, perasaan egois, dan perasaan ditolak. B. Perilaku Tempertantrum 1. Pengertian Tempertantrum Definisi tantrum menurut Kamus Perkembangan Anak adalah luapan kemarahan atau kekesalan, dan bisa terjadi pada semua orang. Namun, saat orang membicarakan tantrum, mereka biasanya 14

membicarakan mengenai satu hal spesifik, yaitu luapan kemarahan yang dilakukan anak kecil. Tempertantrum (untuk selanjutnya disebut tantrum) sering kali muncul pada anak prasekolah. Tingkah laku ini biasanya mencapai titik terburuk sekitar usia 18 bulan hingga tiga tahun, dan kadang masih banyak dijumpai pada anak usia lima sampai enam tahun (Purnamasari, 2005). Tantrum adalah ekspresi yang lebih sering diungkapkan masa kanak-kanak jika dibandingkan dengan rasa takut. Alasannya adalah karena rangsangan yang menimbulkan rasa marah lebih banyak. Pada anak usia dini anak-anak mengetahui bahwa kemarahan merupakan cara yang efekif untuk memenuhi keinginan mereka. Frekuensi dan intensitas kemarahan yang dialami setiap anak berbeda-beda. Sebagian anak dapat melawan rangsangan yang menimbulkan marah secara lebih baik dibandingkan dengan anak lainya. Kemampuan melawan rangsangan marah pada anak bervariasi, yang tergantung pada kebutuhan, kondisi fisik dan emosi anak serta usia anak (Hurlock, 1997). Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak dengan ciriciri sebagai berikut: (Ferdinand, 2008) 1. Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur. 2. Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru. 3. Lambat beradaptasi terhadap perubahan. 15

4. Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif. 5. Mudah terprovokasi, mudah merasa marah. 6. Sulit dialihkan perhatiannya. Ledakan kemarahan (tempertantrum) secara normal menurun dengan bertambahnya usia, seperti dijelaskan pada gambar dibawah ini. Gambar 2.1 Ledakan Kemarahan (temper tantrum) (J. Macfarlane, L. Allen, and M.P., Honzik : A development study of behavior problems of normal children between twenty-one months and fourteen years dalam Hurlock, 1997) Reaksi tantrum secara garis besar dapat dibagi menjadi dua golongan besar: impulsif dan ditekan (Hurlock, 1997). a. Reaksi impulsif Reaksi impulsif biasanya disebut agresi. Reaksi ini dapat berupa reaksi fisik atau kata-kata, dan dapat ringan atau kuat. Ledakan kemarahan yang kuat (tempertantrum) adalah khas pada anak kecil. Anak tidak 16

ragu-ragu melukai orang lain dengan cara apapun. Ekspresi marah yang impulsif lebih umum dibandingkan dengan reaksi yang ditahan. Reaksi impulsif muncul lebih awal dan lebih tidak dapat diterima secara sosial. Sebagian besar reaksi marah yang impulsive bersifat menghukum ke luar (extrapunitive), artinya bahwa reaksi itu ditunjukkan kepada orang lain. Sebagian reaksi marah bersifat menghukum ke dalam (intrapunitive), artinya bahwa anak anak mengarahkan reaksi mereka kepada diri sendiri. b. Reaksi yang ditekan Reaksi yang ditekan selalu berada di bawah pengendalian atau ditekan. Anak-anak mungkin meninjau diri sendiri, yang karenanya mereka berusaha untuk tidak menyalahkan orang lain. Mereka mungkin menjadi masa bodoh, memperlihatkan ketidakacuhan, atau kurang keberanian. Perilaku semacam ini disebut impunitive atau membebaskan dari hukuman. Anak mungkin menganggap bahwa perlawanan adalah sia-sia, bahwa lebih baik mereka merasa frustasi atau menyembunyikan kemarahan daripada mengekspresikan kemarahan. Reaksi marah ditunjukkan dengan cara bersikap menderita, cemberut, mengasihi diri sendiri, atau mengancam. 2. Manifestasi Tantrum Tantrum termanifestasi dalam berbagai perilaku. Berikut adalah beberapa contoh perilaku tantrum menurut tingkatan usia (Ferdinand, 2008) : 17

a. Di bawah usia 3 tahun Pada anak usia 3 tahun tantrum termanifestasi dalam perilaku menangis, menggigit, memukul, menendang, menjerit, dan melempar barang. b. Usia 3-4 tahun Pada anak usia 3-4 tahun tantrum termanifestasi dalam perilaku seperti perilaku anak usia 3 tahun ditambah, menghentak-hentakkan kaki, berteriak-teriak, dan merengek. c. Usia 5 tahun ke atas Pada anak usia 5 tahun keatas tantrum termanifestasi dalam perilaku seperti kategori anak usia dibawah 3 tahun, 3-4 tahun ditambah memaki, menyumpah, memukul kakak, adik atau teman, mengkritik diri sendiri, memecahkan barang dengan sengaja, dan mengancam. 3. Jenis Jenis Tantrum Pada Anak Menurut Stanley Turecki, M.D dalam Naila (2009) seorang psikiatris anak dan keluarga yang juga diplomat dari The American Board of Psychiatry and Neurology, membagi tantrum menjadi dua jenis, yaitu: a. Manipulatif tantrum Manipulatif tantrum yaitu tantrum akibat kemauan anak tidak dituruti. Misalnya anak minta dibelikan permen di supermarket tetapi tidak dituruti orang tua. Anak menjadi tantrum karena tidak dituruti keinginannya. Orang tua merasa malu karena perilaku anak tersebut, 18

dan terpaksa membelikan permen. Anak akan salah persepsi dan menganggap bahwa jika dia tantrum, keinginan anak akan terpenuhi. b. Temperamental tantrum Temperamental tantrum yaitu tantrum karena temperamen anak tidak dipahami. Misalnya anak yang tantrum karena disuruh mandi saat anak masih asyik bermain boneka. Anak tidak bisa dipaksa melakukan kegiatan yang tidak diinginkanya. Akan tetapi orang tua tidak mengerti kondisi anak, dan tetap memaksa anak. Akhirnya anak akan tantrum agar orang tua bisa memahami anak. Begitu pentingnya orang tua memahami temperamen anak. Hal ini karena kesehatan anak bukan hanya fisik, tetapi juga psikis. Jika temperamen anak tidak dipahami orangtuanya, anak bisa mengalami stress hingga depresi yang sepertinya sakit secara fisik, tetapi jika diperiksakan dokter tidak menemukan apapun diagnosa apapun. Itu sebabnya, para dokter anak yang memahami temperamen anak, bisa memberikan saran dan nasehat bagi para orang tua anak tersebut. 4. Faktor Faktor Tantrum Ada berbagai faktor penyebab yang mempengaruhi anak sehingga anak tak mampu mengendalikan emosinya dan menjadi tantrum. Diantaranya adalah faktor fisiologis, faktor psikologis dan faktor orang tua dan faktor lingkungan (Lyness, 2009). a. Faktor Fisiologis Penyebab fisiologis dapat muncul ketika anak merasa lelah karena bermain, mengantuk, lapar atau ketika anak sedang sakit. Pada saat ini 19

anak menjadi kesal karena kebutuhannya tidak terpenuhi sedangkan anak belum mampu mengungkapkannya secara lisan kepada orang tua. Emosi anak memuncak ketika orang tua tidak mampu memahami apa yang dibutuhkannya. Akhirnya anak menjadi marah, dan menangis. b. Faktor Psikologis Penyebab psikologis dapat terjadi karena anak mengalami kegagalan dalam melakukan sesuatu dan menjadi emosi akibat kegagalan tersebut. Keadaan ini dapat semakin parah jika orang tua atau keluarga anak selalu membandingkan kemampuan anak dengan orang lain. Demikian juga orang tua yang memiliki tuntutan tinggi terhadap anak akan memicu kejengkelan dan menjadi kemarahan yang tidak terkendali. c. Faktor Orang Tua Cara orang tua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan tantrum. Anak yang dimanjakan dan selalu mendapatkan yang diinginkan, bisa tantrum ketika permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orang tuanya, anak bisa menjadi bereaksi menentang dominasi orang tua dengan perilaku tantrum. Orang tua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak tantrum. d. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan juga turut berperan dalam menciptakan tantrum pada anak. Lingkungan keluarga maupun lingkungan luar rumah sama 20

besar pengaruhnya. Tantrum yang paling sering terjadi adalah ketika anak melihat orang tuanya mengungkapkan kemarahannya secara negatif, maka akan terekam pada anak dan membayangi pikiran anak. Lingkungan luar rumah juga mempengaruhi anak tantrum. Anak yang terbiasa melihat tetangga marah-marah, maka akan mempengaruhi perkembangan emosi anak pula. 5. Mencegah Terjadinya Tantrum Temper tantrum dapat dicegah dengan cara sederhana dan bijaksana. Misalnya dengan memberi kesempatan pada anak untuk bermain dan mengekspresikan keinginannya secara wajar. Jika belum mampu mengungkapkan secara lisan usahakan agar anak mampu mengungkapkan dengan isyarat. Orang tua harus memahami apa yang menjadi kebutuhan anak, jangan terlalu mengekang namun berikan kepercayaan bahwa anak mampu bermain dan bergaul dengan baik. Kemampuan anak dalam mengungkapkan keinginan baik dengan isyarat maupun lisan bisa dilatih sedikit demi sedikit. Dan ketika anak sudah terlatih dalam hal ini, maka tempertantrum tidak akan terjadi. Begitu juga saat anak sudah bisa diajak berkomunikasi, berikan pengertian dan penjelasan kepada anak dari hati ke hati. Berbicara dengan ucapan yang lembut dan tegas akan membuat anak tenang dan tidak merasa seperti dimarahi. Anak yang sudah terbiasa berkomunikasi dengan baik biasanya mudah mengerti dan memahami. 21

Namun bila suatu anak kita mengalami tempertantrum di tempat umum, hal yang mesti dilakukan adalah menjaga emosi. Mungkin kita akan merasa malu dilihat oleh banyak orang, tetapi bertindak gegabah dan memarahi anak dengan emosi tidak terkendali akan membuat kita lebih malu lagi. Untuk menjadi orang tua yang baik salah satu cara diantaranya adalah menghindari kekerasan dengan anak. Orang tua yang sering marah dihadapan anak akan terekam dalam pikiran anak. Keadaan yang demikian dapat berpengaruh pada perkembangan emosi anak (Meadow, 2002). 6. Menangani Anak yang Sedang Mengalami Tantrum Dalam buku Tantrums Secret to Calming the Storm (La Forge: 1996) banyak ahli perkembangan anak menilai bahwa tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif dan emosi anak. Sebagai bagian dari proses perkembangan, episode tantrum pasti berakhir (Ferdinand, 2008). Beberapa hal positif yang bisa dilihat dari perilaku Tantrum adalah bahwa dengan tantrum anak ingin menunjukkan independensinya, mengekpresikan individualitasnya, mengemukakan pendapatnya, mengeluarkan rasa marah dan frustrasi dan membuat orang dewasa mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit. Namun demikian bukan berarti bahwa tantrum sebaiknya harus dipuji dan disemangati (encourage). Jika orangtua membiarkan tantrum 22

berkuasa (dengan memperbolehkan anak mendapatkan yang diinginkannya setelah ia tantrum) atau bereaksi dengan hukuman-hukuman yang keras dan paksaan-paksaan, maka berarti orang tua sudah menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan agresif. Sebaiknya orang tua memberikan pendekatan positif pada anak, misalnya dengan memberikan pujian, dan penghargaan yang lebih banyak dibandingkan hukuman (Meadow, 2009). Menurut Aliza (2005), jika tantrum tidak bisa dicegah dan tetap terjadi, maka beberapa tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua adalah : a. Memastikan segalanya aman Jika tantrum terjadi di muka umum, pindahkan anak ke tempat yang aman untuk melampiaskan emosi. Selama tantrum (di rumah maupun di luar rumah), jauhkan anak dari benda-benda, baik benda-benda yang membahayakan dirinya. Jika selama tantrum anak menyakiti teman maupun orangtuanya sendiri, jauhkan anak dari teman tersebut dan jauhkan diri orang tua dari anak. b. Orangtua harus tetap tenang, berusaha menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak marah pada anak. c. Tidak mengacuhkan tantrum anak Selama tantrum berlangsung, sebaiknya tidak membujuk-bujuk, tidak berargumen, tidak memberikan nasihat-nasihat moral agar anak 23

menghentikan tantrumnya, karena anak tidak akan menanggapi / mendengarkan. Usaha menghentikan tantrum seperti itu, anak akan semakin lama tantrumnya dan meningkat intensitasnya. Cara yang terbaik adalah membiarkannya. Tantrum justru lebih cepat berakhir jika orang tua tidak berusaha menghentikannnya dengan rayuan atau paksaan. d. Jika perilaku tantrum dari menit ke menit bertambah buruk dan tidak berakhir, selama anak tidak memukul-mukul, peluk anak dengan rasa cinta 7. Menangani Anak Pasca Tantrum Saat tantrum anak sudah berhenti, seberapa pun parahnya ledakan emosi yang telah terjadi tersebut, janganlah diikuti dengan hukuman, nasihat-nasihat, teguran, maupun sindiran. Anak jangan diberikan hadiah apapun, dan anak tetap tidak boleh mendapatkan apa yang diinginkan (jika tantrum terjadi karena menginginkan sesuatu). Orang tua tetap tidak memberikan apa yang diinginkan anak, orang tua akan terlihat konsisten dan anak akan belajar bahwa ia tidak bisa memanipulasi orangtuanya. Berikanlah rasa cinta dan rasa aman kepada anak. Ajak anak, membaca buku atau bermain sepeda bersama. Tunjukkan kepada anak, sekalipun ia telah berbuat salah, sebagai orang tua tetap mengasihinya. Setelah tantrum berakhir, orang tua perlu mengevaluasi mengapa sampai terjadi tantrum. Apakah benar-benar anak yang berbuat salah atau orang tua yang salah merespon perbuatan/keinginan anak. Evaluasi juga 24

anak tantrum apakah karena anak merasa lelah, frustrasi, lapar, atau sakit. Berpikir ulang ini perlu, agar orang tua bisa mencegah tantrum berikutnya (Hames, 2005). Jika anak yang dianggap salah, orang tua perlu berpikir untuk mengajarkan kepada anak nilai-nilai atau cara-cara baru agar anak tidak mengulangi kesalahannya. Kalau memang ingin memberi nasihat, jangan dilakukan setelah tantrum berakhir, tapi lakukan ketika keadaan sedang tenang dan nyaman bagi orang tua dan anak. Waktu yang tenang dan nyaman adalah ketika tantrum belum dimulai, bahkan ketika tidak ada tanda-tanda akan terjadi tantrum. Saat orang tua dan anak sedang gembira, tidak merasa frustrasi, lelah dan lapar merupakan saat yang ideal. C. Pola Asuh Orang Tua 1. Pengertian Pola Asuh Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang ditetapkan. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat. 25

Mengasuh anak dapat menjadi sesuatu yang menantang, tetapi membutuhkan waktu dan energi ekstra, dan strategi-strategi baru untuk mengasuh anak yang sulit dikendalikan secara efektif. Belajar cara-cara baru mengasuh anak mungkin sulit dilakukan, tetapi orang tua harus berusaha mencurahkan usaha untuk mengurusi anak (Drew, 2006). 2. Tipe Pola Asuh Pola asuh orang tua mempengaruhi seberapa baik anak membangun nilainilai dan sikap-sikap anak yang bisa dikendalikan. Baimruind, pakar perkembangan anak telah mengelompokkan pola asuh kedalam empat tipe: bisa diandalkan, otoriter, permisif, dan campuran (Drew, 2006). a. Pola Asuh Bisa Diandalkan Orang tua yang bisa diandalkan menyeimbangkan kasih sayang dan dukungan emosional dengan struktur dan bimbingan dalam membesarkan anak-anak mereka. Orang tua tipe ini memperlihatkan cinta dan kehangatan kepada anak. Mereka harus mendengarkan secara aktif dan penuh perhatian, serta menyediakan waktu bertemu yang positif secara rutin dengan anak. Orang tua tipe bisa diandalkan membiarkan anak untuk menentukan keputusan sendiri dan mendorong anak untuk membangun kepribadian. Orang tua yang bisa diandalkan menyadari bahwa beberapa sikap yang sulit dikendalikan pada anak pasti diimbangi dengan sikap positif. Seseorang anak keras kepala yang sering membantah juga dapat menjadi anak yang gigih, fokus, dan selalu menuntaskan tugas mereka. Intinya, pola asuh yang bisa diandalkan melibatkan ras hormat 26

kepada anak sebagai individu unik yang bisa diterima dan dicintai bahkan ketika anak bersikap tidak normal. Anak-anak dari orang tua yang bisa diandalkan cenderung memiliki kebanggaan diri yang sehat, hubungan positif dengan sebayanya, percaya diri, dan sukses. Anak-anak ini juga memiliki masalah emosional yang lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan dengan tipe pola asuh lain. Anak mampu mengatasi stres dengan baik, berjuang mencapai tujuan, dan mengendalikan diri terhadap amarah. b. Pola Asuh Otoriter Orang tua otoriter menekankan batasan dan larangan di atas respon positif. Orang tua sangat menghargai anak yang patuh terhadap perintah orang tua dan tidak melawan. Orang tua tipe ini cenderung untuk menentukan peraturan tanpa berdiskusi dengan anak terlebih dahulu. Mereka tidak mempertimbangkan harapan-harapan dan kehendak hati anak. Hukuman sebagai penegak kedisiplinan dan amarah diterapkan pada tipe orang tua otoriter. Penelitian telah menunjukkan bahwa anak dari orang tua otoriter bisa menjadi pemalu, penuh ketakutan, menarik diri, dan berisiko terkena depresi. Anak bisa menjadi sulit membuat keputusan untuk diri anak karena sudah biasa diperintah apa yang harus dikerjakan. 27

c. Pola Asuh Permisif Orang tua tipe permisif tidak memberikan struktur dan batasan yang tepat bagi anak. Orang tua tipe ini cenderung mempercayai bahwa ekspresi bebas dari keinginan hati dan harapan sangatlah penting bagi perkembangan psikologis. Orang tua menyembunyikan ketidaksabaran, kemarahan, atau kejengkelan pada anak. Ketika orang tua menentukan peraturan, batasanya cederung tidak jelas dan diterpkan secara tidak konsisten, Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua tipe permisif biasanya menjadi anak yang manja. Anak cenderung menuntut, kurang percaya diri, dan kurang bisa mengendalikan diri. Anak senang bila keinginan dipenuhi, tetapi mudah marah ketika keinginannya tidak dipenuhi. d. Pola asuh campuran Pola asuh campuran orang tua tidak konsisten dalam mengasuh anak. Orang tua terombang-ambing antara tipe bisa diandalkan, otoriter, atau permisif. Orang tua mungkin menghadapi sikap anak dari waktu ke waktu dengan cara berbeda. Contohnya, orang tua bisa memukul anaknya ketika anak menolak perintah orang tua, pada kesempatan lain orang tua mengabaikan anak bila anak melanggar perintah orang tua. 28

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah (Edward, 2006): a. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalamannya sangat berpengaruh dalam mengasuh anak. b. Lingkungan Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anak. c. Budaya Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oelh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggapnya berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima di masyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya. 29

D. Kerangka Teori Faktor fisiologis: 1. Lelah 2. Mengantuk 3. Lapar 4. Sakit Faktor psikologis 1. Kegagalan anak 2. Tuntutan orang tua Perilaku Tantrum Faktor orang tua: 1. Pola asuh orang tua Faktor lingkungan: 1. Lingkungan keluarga 2. Lingkungan luar rumah Skema 2.2 Kerangka Teori (Sumber : Lyness, 2009 & Ferdinand, 2008) E. Kerangka Konsep Variabel Independen Variabel Dependen Pola Asuh Orang Tua Perilaku Tantrum Skema 2.3 Kerangka Konsep 30

F. Variabel Penelitian Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Independen Variabel independen pada penelitian ini adalah pola asuh. Pola asuh merupakan sebab timbulnya atau berubahnya variabel dependen (variabel terikat), yaitu tempertantrum. Dapat dikatakan bahwa pola asuh adalah variabel yang mempengaruhi variabel tantrum. 2. Variabel Dependen Variabel dependen pada penelitisn ini adalah tempertantrum, variabel tersebut dipengaruhi atau yang menjadi akibat adanya variabel pola asuh (Nursalam, 2003). G. Hipotesis Hipotesa penelitian ini adalah Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku tempertantrum pada anak prasekolah. 31