BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. lebih di Indonesia terjadi di kota-kota besar sebagai akibat adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen

BAB I PENDAHULUAN. setelah diketahui bahwa kegemukan merupakan salah satu faktor risiko. koroner, hipertensi dan hiperlipidemia (Anita, 1995).

BAB 1 : PENDAHULUAN. kemungkinan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Gizi lebih yang terjadi pada remaja,

BAB I PENDAHULUAN. anak dan remaja saat ini sejajar dengan orang dewasa (WHO, 2013). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. kegemukan sebagai lambang kemakmuran. Meskipun demikian, pandangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai akibat dari kecenderungan pasar global, telah memberikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan manusia bekerja secara maksimal (Moehji, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Overweight dan obesitas adalah dua istilah yang berbeda. Overweight

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pembangunan suatu bangsa

BAB 1 PENDAHULUAN. akan menjadikan masyarakat Indonesia untuk dapat hidup dalam lingkungan sehat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Indonesia mengalami permasalahan gizi ganda yaitu perpaduan antara gizi

BAB I PENDAHULUAN. lebih sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan lain. Gizi lebih dan. nama Sindrom Dunia Baru New World Syndrome.

BAB I PENDAHULUAN. Usia remaja merupakan usia peralihan dari masa anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. tetapi kurang serat (Suyono dalam Andriyani, 2010). Ketidakseimbangan antara

BAB 1 : PENDAHULUAN. pada anak-anak hingga usia dewasa. Gizi lebih disebabkan oleh ketidakseimbangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam. Disaat masalah gizi kurang belum seluruhnya dapat diatasi

BAB I PENDAHULUAN. kegemukan atau obesitas selalu berhubungan dengan kesakitan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu studi telah menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor

BAB I PENDAHULUAN. prevalensi yang selalu meningkat setiap tahun, baik di negara maju maupun

BAB I PENDAHULUAN. dunia, lebih dari 1 milyar orang dewasa adalah overweight dan lebih dari 300

BAB I PENDAHULUAN. mereka dalam dekade pertama kehidupan. Masa remaja merupakan jembatan

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini, masalah kegemukan ( overweigth dan obesitas) menjadi

BAB I PENDAHULUAN. derajat kesehatan yang baik dan setinggi-tingginya merupakan suatu hak yang fundamental

BAB 1 PENDAHULUAN. (overweight) dan kegemukan (obesitas) merupakan masalah. negara. Peningkatan prevalensinya tidak saja terjadi di negara

BAB I PENDAHULUAN. sebagai generasi penerus bangsa yang potensi dan kualitasnya masih perlu

BAB 1 : PENDAHULUAN. penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Salah satu indikator

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan gizi saat ini cukup kompleks meliputi masalah gizi ganda. Gizi

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebiasaan makan..., Evi Heryanti, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan pangan manusia berasal dari tumbuh-tumbuhan (pertanian primer) serta

BAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas merupakan pembahasan yang sensitif bagi remaja, semua remaja

BAB I PENDAHULUAN. badan menjadi gemuk (obese) yang disebabkan penumpukan jaringan adipose

BAB 1 : PENDAHULUAN. lebih. Kondisi ini dikenal sebagai masalah gizi ganda yang dapat dialami oleh anakanak,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

BAB I PENDAHULUAN. jantung beristirahat. Dua faktor yang sama-sama menentukan kekuatan denyut nadi

BAB I PENDAHULUAN. begitu pula dengan permasalahan kardiovaskuler dan DM (Marliyanti, 2010).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

BAB I PENDAHULUAN. gizi terjadi pula peningkatan kasus penyakit tidak menular (Non-Communicable

BAB I PENDAHULUAN. tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat. Memasuki era globalisasi, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan pola makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari sepuluh masalah kesehatan utama di dunia dan kelima teratas di negara

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas dapat di definisikan sebagai kelebihan berat badan, yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dianggap masalah oleh semua orang. Papalia dan Olds (1995) mengatakan bahwa obesitas dan overweight terjadi jika individu

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Terciptanya SDM yang berkualitas ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. WHO menyatakan bahwa obesitas sudah merupakan suatu epidemi global,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus dapat menyerang warga seluruh lapisan umur dan status

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi otot

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun(rahayu, 2014). Menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hadi (2003) ketidakseimbangan asupan energi (energy intake) yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan menyebabkan meningkatnya taraf dan kualitas hidup masyarakat, baik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. lemak tubuh karena ambilan makanan yang berlebih (Subardja, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. higienis. Menurut (Irianto,2007) fast food memiliki beberapa kelebihan yaitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penduduk usia lanjut di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. asupan makanan yang semakin mengarah kepada peningkatan asupan makanan siap saji

BAB I PENDAHULUAN. Hipertensi memiliki istilah lain yaitu silent killer dikarenakan penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan kelompok peralihan dari masa anak-anak. menuju dewasa dan kelompok yang rentan terhadap perubahanperubahan

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran fast food dalam industri makanan di Indonesia mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan untuk fungsi tubuh yang normal (Soetjiningsih, 2016). Umumnya

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka

BAB I PENDAHULUAN. penyakit degeneratif akan meningkat. Penyakit degeneratif yang sering

Mengatur Berat Badan. Mengatur Berat Badan

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun terus meningkat, data terakhir dari World Health Organization (WHO)

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik. adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan (Sugondo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada berbagai kalangan, terjadi pada wanita dan pria yang berumur. membuat metabolisme dalam tubuh menurun, sehingga proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sepuluh tahun terakhir, obesitas menjadi. masalah global (WHO, 2015). Prevalensi obesitas didunia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi energi pada kelompok umur 56 tahun ke atas yang. mengkonsumsinya di bawah kebutuhan minimal di provinsi Jawa Barat


BAB I PENDAHULUAN. makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan menjadi status gizi

BAB I PENDAHULUAN. kegemukan merupakan status gizi tidak seimbang akibat asupan giziyang

BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ditandai dengan berat badan diatas rata-rata dari indeks massa tubuh (IMT) yang di

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah kesehatan merupakan masalah yang ada di setiap negara, baik di

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gizi Lebih Gizi lebih merupakan keadaan gizi seseorang yang pemenuhan kebutuhannya melampaui batas lebih dari cukup (kelebihan) dalam waktu cukup lama dan dapat terlihat dari kelebihan berat badan yang terdiri dari timbunan lemak, besar tulang, dan otot atau daging. Gizi lebih dapat juga diartikan sebagai peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan fisik dan skeletal sebagai akibat akumulasi lemak yang berlebihan dalam tubuh. Gizi lebih menunjukkan suatu keadaan dimana terdapat berat badan berlebih.seseorang dikatakan bergizi lebih atau overweight bila jumlah lemak 10-20% diatas nilai normal (Almatsier, 2009). Gizi lebih terjadi karena asupan energi yang masuk lebih besar dibanding yang keluar sehingga terjadi kelebihan energi dalam bentuk jaringan lemak. Kesenjangan antara masukan dan pengeluaran energi dalam pola konsumsi sebagian besar diduga disebabkan karena modifikasi gaya hidup. Perubahan gaya hidup yang menjurus ke westernisasi dan pola hidup kurang gerak. Perubahan gaya hidup ini mengakibatkan terjadinya perubahan pola makan yang merujuk pada pola makan tinggi kalori, lemak dan kolesterol, terutama makanan siap saji (fast food) yang berdampak meningkatkan obesitas (Hidayati, 2006). Peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat tertentu, terutama di perkotaan menyebabkan perubahan dalam gaya hidup, terutama pola makan. Pola makan berubah ke pola makan baru yang rendah karbohidat, rendah serat kasar, dan tinggi lemak sehingga menjadikan mutu makanan ke arah tidak seimbang.

Dampak masalah gizi lebih tampak dengan semakin meningkatnya penyakit degeneratif, seperti jantung koroner, diabetes mellitus (DM), hipertensi, dan penyakit hati (Supriasa, 2002). Gizi lebih atau kegemukan ditandai dengan ketidakseimbangan antara energi masuk dan energi keluar dan merupakan kumpulan dari simpanan energi ditubuh yang diubah menjadi lemak (Pritasari, 2006). Jumlah lemak dalam tubuh akan bertambah seiring dengan bertambahnya usia, karena melambatnya metabolisme dan berkurangnya akitivitas fisik. Kegemukan adalah kelebihan lemak tubuh. Kegemukan terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi (Gibney, 2009). Menurut Mitchel (2003), berat badan seseorang mencerminkan keseimbangan jangka panjang antara energi intake dan energi output. Energi intake dipengaruhi oleh banyak faktor. Pilihan makanan dapat memberikan dampak secara keseluruhan pada energi intake. Mahasiswa termasuk dalam usia dewasa awal umumnya berumur 18-20 tahun. Dewasa awal umumnya telah melengkapi pertumbuhan fisiknya pada umur 20 tahun. Dewasa awal umumnya lebih aktif, mengalami penyakit berat tidak sesering kelompok usia yang lebih tua. Dewasa awal juga cenderung mengabaikan gajala fisik dan sering menunda dalam mencari perawatan kesehatan. Pada perkembangan di usia ini akan mencakup perubahan yang teratur dalam karakter dan sikap. Perubahan perkembangan didasarkan pada karakter awal yang membantu pembentukan karakter dan perilaku selanjutnya di masa depan (Potter dan Perry, 2005).

Kegemukan yang terjadi akan mengakibatkan timbunan lemak di beberapa bagian tubuh, seperti; perut, lengan, dan paha. Gizi lebih atau kegemukan bisa kita tentukan dengan menggunakan IMT (Indeks Massa Tubuh), gizi lebih diangka 25-27 dan lebih dari 27 dikatakan obesitas. 2.2 Masalah Gizi Lebih Dalam 10 tahun terakhir ini, angka prevalensi atau kejadian obesitas diseluruh dunia menunjukkan peningkatan yang signifikan. Saat ini, 1,6 miliar orang dewasa di seluruh dunia mengalami berat badan lebih (overweight), dan sekurang-kurangnya 400 juta diantaranya mengalami obesitas. Pada tahun 2015, diperkirakan 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700 juta di antaranya mengalami obesitas. Kejadian obesitas di negara negara maju seperti di negara negara Eropa, Amerika, dan Australia telah mencapai tingkatan epidemi. Kejadian ini tidak hanya terjadi di negara negara maju saja, obesitas di beberapa negara berkembang bahkan telah menjadi masalah kesehatan yang lebih serius. Sebagai contoh, 70% dan penduduk dewasa Polynesia di Samoa masuk kategori obesitas (WHO, 1998). Badan kesehatan dunia atau World of Healty Organitation (WHO), bahkan menyatakan masalah kelebihan bobot tubuh ini sudah menjadi epidemi dunia. Laporan Newsweek edisi 11 Agustus 2003, kasus obesitas di dunia meningkat 2 50% dalam sepuluh tahun terakhir ini. Lembaga obesitas internasional di London, Inggris, memperkirakan sebanyak 1,7 milyar orang di bumi ini mengalami kelebihan berat badan. Sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam American Journal of Epidemiology mengungkapkan, obesitas yang dialami seseorang pada saat remaja berkaitan erat dengan peningkatan risiko kematian di

usia paruh baya. Penelitian tersebut melibatkan 227 ribu pria dan wanita Norwegia yang diukur tinggi dan berat badannya antara tahun 1963-1975 saat mereka berusia antara 14-19 tahun. Dengan mengikuti perkembangan mereka sampai tahun 2004, saat mereka rata-rata berusia 52 tahun, 9650 orang diantaranya meninggal. Hasil penelitian Nita dalam Pratama (2009) diketahui bahwa mereka yang mengalami obesitas atau overweight (kelebihan berat badan) saat remaja diketahui 3-4 kali lebih berisiko mengalami penyakit jantung yang berujung pada kematian. Resiko kanker kolon serta penyakit pernapasan seperti asma dan emfisema juga meningkat 2-3 kali. Prevalensi overweight dan obesitas juga meningkat sangat tajam di kawasan Asia Pasifik. Sebagai contoh, 20,5% dari penduduk Korea Selatan tergolong overweight dan 1,5% tergolong obesitas. Di Thailand, 16% penduduknya mengalami overweight dan 4% mengalami obesitas. Didaerah perkotaan Cina, prevalensi overweight adalah 12,% pada laki-laki dan 14,4% pada perempuan, sedang di daerah pedesaan prevalensi overweight pada laki-laki dan perempuan masing masing adalah 5,3% dan 9,8% (Vichuda, 2011). Masalah gizi di Indonesia saat ini memasuki masalah gizi ganda. Artinya, masalah gizi kurang masih belum teratasi sepenuhnya, sementara sudah muncul masalah gizi lebih. Kelebihan gizi yang menimbulkan obesitas dapat terjadi baik pada anak-anak hingga usia dewasa. Negara kita sekarang dihadapkan pada masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kurang dan gizi lebih pada waktu yang bersamaan. Masalah gizi lebih semakin tinggi terjadi karena pola hidup yang kurang tepat di masyarakat. Masalah gizi kurang telah lama ada di Indonesia, tetapi kasusnya masih tetap ada sampai saat ini.

Status gizi pada kelompok dewasa di atas 18 tahun didominasi dengan masalah obesitas, walaupun masalah kurus juga masih cukup tinggi. Angka obesitas pada perempuan cenderung lebih tinggi dibanding laki-laki. Secara nasional dapat dilihat masalah gizi pada penduduk dewasa di atas 18 tahun adalah: 12,6%kurus, dan 21,7% gabungan kategori berat badan lebih dan obese, yang bisa juga disebut obesitas (Novitasary, 2013). Pada tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9%, naik 18,1% dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5% dari tahun 2010 (15,5%). Sedangkan kecenderungan prevalensi obesitas penduduk laki-laki dewasa (>18 tahun) di masing-masing provinsi tahun 2007, 2010 dan 2013. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Gizi lebih saat ini menjadi tren baru yang mengakibatkan banyak penyakit degeneratif yang menyertainya. Gizi lebih dapat disebabkan oleh banyak faktor. Di Indonesia saat ini angka gizi lebih terus meningkat disertai meningkatnya penyakit degeneratif. Perubahan gaya hidup terjadi di semua lapisan masyarakat di Indonesia. Perubahan aktivitas dan pola makan menjadi faktor yang mengakibatkan gizi lebih. Menurut Azrul dalam Riska (2012) masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi. Soekirman (2000) juga menyebutkan bahwa masalah gizi merupakan masalah di tiap-tiap negara, baik negara miskin, negara berkembang, dan negara maju. Negara miskin cenderung dengan masalah gizi

kurang dan berhubungan dengan penyakit infeksi dan negara maju cenderung dengan masalah gizi lebih. 2.3 Penentuan Status Gizi Menurut Depkes (2002), status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan. Dalam menentukan status gizi untuk ukuran baku antropometri sering digunakan World Health Organization National Centre for Health Statistic (WHO-NHCS). Klasifikasi status gizi berdasarkan buku WHO- NHCS terbagi empat: (1) gizi lebih termasuk kegemukan dan obesitas (2)gizi baik (3)gizi kurang, dan (4)gizi buruk. Status gizi adalah posisi atau peringkat yang didefinisikan secara sosial yang diberikan kepada kelompok oleh orang lain. Status gizi juga merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi. Dibedakan atas status gizi buruk, status gizi kurang, status gizi baik, dan status gizi lebih (Almatsier, 2009). Penilaian status gizi diartikan sebagai intrepretasi data tentang asupan dan penggunaan zat gizi perorangan untuk menentukan status kesehatannya (Arisman, 2012). Dalam penelitian ini digunakan penilaian dengan menggunakan cara Antropometri, yaitu penilaian status gizi dengan mengukur tinggi dan berat badan. Pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise dan berat menggunakan bathroom scale. Antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Antropometri dalam gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Secara umum antropometri

digunakan untuk melihat ketidakseimbangan antara asupan energi dan protein. Ketidakseimbangan bisa dilihat pada pola pertumbuhan fisik, proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan air dalam tubuh. Batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasar nilai Body Mass Index (BMI) atau istilah bahasa Indonesianya Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT adalah alat sederhana untuk melakukan pemantauan gizi orang dewasa diatas 18 tahun khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk WHO Antropometri 2005 batas ambang berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Batas ambang normal untuk laki-laki 20,1-25 dan untuk perempuan 18,7-23,8. Untuk mengukur IMT dapat digunakan rumus: IMT= Klasifikasi nilai ambang batas Indeks Massa Tubuh untuk Indonesia adalah: Tabel 2.1 Kategori Nilai Ambang Batas Indeks Massa Tubuh untuk Indonesia Kategori IMT Kurus < 17,0 Normal > 18,5 25,0 Gemuk > 25,0 27,0 Obesitas > 27,0 Sumber : Departemen Kehatan RI Tahun 2014 2.4 Penyebab Gizi Lebih Faktor utama penyebab overweight dan obesitas adalah aktivitas fisik yang

kurang, perubahan gaya hidup, serta pola makan yang salah diantaranya pola makan tinggi lemak dan rendah serat (Makaryani, 2013). Obesitas merupakan penyakit yang disebabkan oleh multifaktorial, antara lain disebabkan oleh faktor genetik, faktor-faktor individu (usia dan jenis kelamin, pekerjaan), sedentary life style (peningkatan asupan makanan tinggi lemak dan tinggi karbohidrat, pengurangan aktivitas fisik dikarnakan pekerjaan), konsumsi alkohol dan rokok, pengetahuan dan sikap mengenai hidup sehat. Dari semua faktor risiko, sedentary life style merupakan faktor yang paling berpotensi terjadinya obesitas (Istiqamah, 2013). Menurut Purwati (2007) beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memiliki berat badan lebih antara lain; faktor genetik, pola makan, pengetahuan, dan aktivitas fisik 1. Pola Makan Kebiasaan yang kurang baik yang sering dilakukan seperti; mengonsumsi makanan cepat saji, makan berlebihan, makan tidak teratur, menghindari makan pagi,dan kebiasaan ngemil. Menurut Sismoyo dalam Pratama (2009) Makan saat ingin makan tidak saat merasa lapar akan menyebabkan kegemukan. Pola makan jika tidak dikonsumsi secara rasional mudah menyebabkan kelebihan masukan kalori yang akan menimbulkan berat badan berlebih. Dalam penelitian Meiningtias (2003) menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola makan karbohidrat dengan kegemukan, pola makan lemak dengan kegemukan, dan ada hubungan aktivitas fisik dengan kegemukan. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan antara konsumsi dan pengeluaran energi, serta aktivitas fisik yang kurang sehingga terjadi penumpukan lemak

dan akhirnya mengakibatkan kegemukan. Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai resiko peningkatan berat badan lebih besar dibanding kelompok dengan asupan rendah lemak (Meini, 2012). Hasil penelitian Suryaputra menunjukkan bahwa seluruh remaja pada kelompok obesitas memiliki tingkat konsumsi energi, karbohidrat, protein dan lemak yang lebih tinggi daripada kelompok non obesitas. Bahkan pada tingkat konsumsi lemak, hampir semua responden kelompok obesitas memiliki tingkat konsumsi lebih. Kelebihan energi setiap hari secara rutin pada remaja dapat menimbulkan timbunan lemak (adiposit) tubuh menjadi bertambah. Tingginya konsumsi protein hewani pada remaja dengan obesitas berkorelasi dengan rendahnya zat gizi hewan pada umumnya yang mengandung lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi. Bila kondisi ini terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka risiko untuk terjadinya obesitas makin meningkat. 2. Pengetahuan Tingkat pengetahuan seseorang akan memengaruhi status gizinya. Pengetahuan hasil dari tahu dan bagaimana seseorang akan mengaplikasikan ilmunya. Pengetahuan akan berhubungan erat dengan sikap dan tindakan. Pengetahuan yang baik dapat menghasilkan tindakan yang baik. Pengetahuan gizi seseorang akan memengaruhi status gizinya (Allo, 2013). Pengetahuan gizi remaja sangat berpengaruh terhadap pemilihan makanan. Seorang remaja akan mempunyai gizi yang cukup jika makanan yang mereka makan mampu menyediakan zat gizi yang cukup diperlukan tubuh. Menurut

Suharjo dalam penelitian Wulandari (2009) pengetahuan gizi memegang peranan yang sangat penting di dalam penggunaan dan pemilihan bahan makanan dengan baik, sehingga dapat mencapai keadaan gizi seimbang. Pengetahuan gizi akan mempengaruhi kebiasaan makan atau perilaku makan suatu masyarakat (Emilia, 2009). Apabila penerimaan perilaku baru didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut dapat berlangsung lama. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak disadari oleh pengetahuan dan kesadaran tidak akan berlangsung lama. Seperti halnya juga pada remaja apabila mempunyai pengetahuan yang baik tentang gizi diharapkan mempunyai status gizi yang baik pula (Notoatmodjo, 2007). Menurut Suhardjo dalam Wulandari (2009), pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahmiwati (2007), remaja yang memiliki pengetahuan gizi baik hanya 6%, pengetahuan gizi sedang 43% dan yang mempunyai pengetahuan gizi kurang 50%. Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali kandungan gizi makanan serta kegunaan zat gizi tersebut dalam tubuh. Pengetahuan gizi ini mencakup proses kognitif yang dibutuhkan untuk menggabungkan informasi gizi dengan perilaku makan, agar struktur pengetahuan yang baik tentang gizi dan kesehatan dapat dikembangkan (Emilia, 2009). Konsumsi makan dipengaruhi oleh kebiasaan makan yang didukung oleh pengetahuan gizi. Remaja yang memiliki pengetahuan gizi yang baik akan

lebih mampu memilih makanan sesuai kebutuhannya. Tingkat pengetahuan gizi seorang remaja akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang menentukan mudah tidaknya seseorang memahami manfaat kandungan gizi dari makanan yang dikonsumsi. Perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru (Dewi, 2013). Pengetahuan gizi yang kurang pada sebagian besar remaja kelompok obesitas memungkinkan mereka kurang dapat memilih menu makanan yang bergizi. Sebagian besar kejadian masalah gizi lebih atau kurang dapat dihindari apabila remaja mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup tentang memelihara gizi dan mengatur makan. 3. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik adalah gerakan fisik yang dilakukan mahasiswa sebagai salah satu bentuk pengeluaran energi. Beberapa penelitian epidemiologi menyebutkan bahwa obesitas pada remaja terjadi karena interaksi antara makan yang banyak dan sedikit aktivitas. Aktivitas fisik menyebabkan terjadinya proses pembakaran energi sehingga semakin remaja beraktivitas semakin banyak energi yang terpakai. Hasil penelitian ini senada dengan studi yang dilakukan Sherwood (2000), yang menunjukkan bahwa olahraga berkonstribusi pada pencegahan kenaikan berat badan. Demikian juga studi yang dilakukan Jakicic (2003), menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki berat badan lebih dan obesitas dapat menurunkan berat badannya

dalam jangka panjang dengan tambahan aktivitas fisik 200-300 menit/minggu. Dalam hasil penelitian Mahardikawati (2008) aktivitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Kelebihan energi karena rendahnya aktivitas fisik dapat meningkatkan resiko kegemukan dan obesitas. Aktivitas fisik terbagi tiga macam yaitu; aktivitas fisik ringan (berjalan kaki, menyapu lantai, mencuci baju, mencuci kendaraan, berdandan, duduk, dan nonton TV), aktivitas sedang (berjalan cepat, berlari kecil, dan bermain tenis meja), aktivitas berat (bermain sepak bola, berenang, dan senam) dilakukan sedikitnya 60 menit setiap hari untuk mencegah berat badan berlebih (Nurmalina, 2011). Asupan energi bagi obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan yang non obesitas. Yang menarik adalah bahwa yang obesitas 2-3 kali lebih sering mengkonsumsi fast food. Seseorang yang asupan energinya tinggi ( 2200 kkal/hari) dan mempunyai waktu menonton TV 3 jam/hari mempunyai risiko menderita obesitas 12,3 kali lebih tinggi dibandingkan seseorang yang asupan energi < 2200 kkal/hari dan waktu menonton TV < 3 jam/hari. Studi ini menunjukkan adanya interaksi antara gaya hidup sedentarian (perilaku hidup kurang gerak) dan diet tinggi kalori. Wanita Usia Subur (WUS) merupakan wanita usia produktif merupakan wanita yang berusia 15-49 tahun dan wanita pada usia ini masih berpotensi untuk mempunyai keturunan. Pada wanita, kurangnya aktivitas fisik sangat mempengaruhi kesehatannya. Apalagi jika aktivitasnya kurang namun asupan

makanan lebih banyak masuk, maka akan menyebabkan penimbunan lemak yang akan mengakibatkan obesitas terjadi (Novitasary, 2013). Aktivitas yang dilakukan oleh tubuh membutuhkan energi yang dikeluarkan, begitupun sebaliknya apabila aktivitas fisik berkurang maka lebih banyak energi yang tersimpan didalam tubuh (WHO, 2011). Hasil penelitian Sartika (2011) anak yang tidak rutin berolah raga justru cenderung memiliki asupan energi yang lebih tinggi dibandingkan anak yang rutin berolah raga. Makanan dan aktivitas fisik dapat mempengaruhi timbulnya obesitas baik secara bersama maupun masing-masing. Faktor lainnya seperti tingkat ekonomi, akan memengaruhi daya beli. Seseorang juga mengonsumsi makanan terlihat dari kebudayaannya. Kerusakan pada hipotalamus akan membuat seseorang mengalami kegemukan jika terjadi di bagian HVM (hipotalamus ventromerdial) mengalami kerusakan dan orang akan menjadi kurus atau kehilangan nafsu makan bila kerusakan terjadi pada HL (hipotalamus lateral). Metabolisme basal yang terjadi dalam tubuh akan meningkat seiring bnertambahnya usia. Secara alamiah penurunan metabolisme akan terjadi ketika usia semakin menurun. Efek penggunaan obat dapat menjadi salah satu penyebab kegemukan. Beberapa obat akan merengsang rasa lapar dalam tubuh. Makan mengonsumsi obat akan membuat nafsu makan meningkat. Jenis obatnya seperti OAD (Obat Oral Antidiabetes), penggunaan dalam jangka lama akan menyebabkan kegemukan. 2.5 Kerangka Konsep Kerangka konsep ini akan menjelaskan gambaran kejadian yang menyebabkan terjadinya gizi lebih pada mahasiswa Fakultas Kesehatan

Masyarakat. Berdasarkan landasan teori diatas maka kerangka konsep yang dapat dibuat: Pengetahuan Pola Makan Jenis Makanan Jumlah Makan Frekuensi Makan Kejadian Gizi Lebih Aktivitas Fisik Gambar 2.1. Kerangka Konsep Hubungan Pengetahuan, Pola Makan, dan Aktivitas Fisik. Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa gizi lebih menjadi variabel dependen, sedangkan pengetahuan, pola makan, dan aktivitas fisik menjadi variabel independen. Pengetahuan, pola makan, dan aktivitas fisik dapat memengaruhi terjadinya gizi lebih.