2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

dokumen-dokumen yang mirip
PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

BAB I PENDAHULUA N A.

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tests of Normality

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erie Syaadah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA TEMA PEMANASAN GLOBAL UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Abdul Latip, 2015

2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Ismail, 2016

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... ii. UCAPAN TERIMA KASIH... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... vii. DAFTAR GAMBAR...

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi siswa

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran sains di Indonesia dewasa ini kurang berhasil meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Tersedia online di EDUSAINS Website: EDUSAINS, 9 (1), 2017, 14-23

BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI. guru dengan siswa dalam berinteraksi. Misalnya dalam model pembelajaran yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siska Sintia Depi, 2014

Tersedia online di EDUSAINS Website: EDUSAINS, 7 (2), 2015,

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. metode yang ditujukan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan objek

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siti Nurhasanah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rahmat Rizal, 2013

Kimia merupakan salah satu rumpun sains, dimana ilmu kimia pada. berdasarkan teori (deduktif). Menurut Permendiknas (2006b: 459) ada dua hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Prima Mutia Sari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup global, setiap tahun pada bulan April diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah seperti tidak dapat melanjutkan studi, tidak dapat menyelesaikan

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman mengajar, permasalahan seperti siswa jarang

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini menjadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tiara Nurhada,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

2016 PEMBELAJARAN STEM PAD A MATERI SUHU D AN PERUBAHANNYA D ENGAN MOD EL 6E LEARNING BY D ESIGNTM UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang melek terhadap sains dan teknologi (UNESCO,

BAB I PENDAHULUAN. secara maksimal. Keberadaan buku ajar memberikan kemudahan bagi guru dan. siswa untuk dapat memahami konsep secara menyeluruh.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang mempelajari

Mengingat pentingnya LS, ternyata Indonesia juga telah memasukan LS ke dalam kurikulum maupun pembelajaran. Salah satunya menerapkan Kurikulum

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Irpan Maulana, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Gina Gusliana, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan keterampilan sepanjang hayat (Rustaman, 2006: 1). Sistem

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SRIE MULYATI, 2015 KONSTRUKSI ALAT UKUR PENILAIAN LITERASI SAINS SISWA SMA PADA KONTEN SEL VOLTA MENGGUNAKAN KONTEKS BATERAI LI-ION RAMAH LINGKUNGAN

Yuniar Fikriani Amalia, Zainuddin, dan Misbah Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN IPA TERPAD U TIPE INTEGRATED TERHAD AP PENGUASAAN KONSEP D AN BERPIKIR KRITIS SISWA SMP PAD A TOPIK TEKANAN

PENERAPAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR PROSES SAINS SISWA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Julia Artati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Badan Nasional Standar Pendidikan (BSNP) merumuskan 16

BAB I PENDAHULUAN. khususnya Fisika memegang peranan penting. Indonesia sebagai negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BABI PENDAHULUAN. sendiri dan alam sekitar. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yossy Intan Vhalind, 2014

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Heri Sugianto, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi salah satu fokus dalam penyelenggaraan negara. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. sering dimunculkan dengan istilah literasi sains (scientific literacy). Literasi

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman serta kemajuan ilmu pengetahuan mengakibatkan situasi

BAB I PENDAHULUAN. Di era global ini, tantangan dunia pendidikan begitu besar, hal ini yang

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan. Kondisi ini menuntut pembelajaran Fisika dengan kualitas yang baik

2016 PENGUASAAN KONSEP DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SMP PADA PEMBELAJARAN IPA TERPADU TIPE CONNECTED BERBASIS GUIDED INQUIRY

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usep Soepudin, 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. semua potensi, kecakapan, serta karakteristik sumber daya manusia kearah yang

R PENGEMBANGAN MODUL INTERAKTIF LITERASI SAINS UNTUK PEMBELAJARAN IPA TERPADU PADA TEMA BIOTEKNOLOGI DI BIDANG PRODUKSI PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

Universitas Pendidikan Indonesia, Indonesia Jl. Dr. Setiabudhi No. 299 Bandung

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. optimum hendaknya tetap memperhatikan tiga ranah kemampuan siswa yaitu

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SMK

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maimunah, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. agar teori dapat diterapkan pada permasalahan yang nyata (kognitif), melatih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gresi Gardini, 2013

Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika. Vol 02 No 01 Tahun 2013, 20-25

BAB I PENDAHULUAN. sarana dalam membangun watak bangsa. Tujuan pendidikan diarahkan pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. mengatur dan menyelesaikan tugas-tugas yang mempengaruhi kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. martabat manusia secara holistik. Hal ini dapat dilihat dari filosofi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Literasi sains adalah kemampuan seseorang untuk memahami sains, dan kemampuan seseorang untuk menerapkan sains bagi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga didukung oleh National Science Education Standard (1996, hlm. 22) yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki literasi sains adalah seseorang yang mampu bertanya, menemukan, ataupun menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari rasa keingintahuan yang tinggi yang berasal dari pengalaman sehari-hari. Hal ini juga berarti bahwa seseorang yang memiliki literasi sains akan mampu mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena ilmiah. Lebih lanjut OECD (2013, hlm. 9 ) mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan literasi sains adalah seseorang yang memiliki kapasitas dalam menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan data untuk memahami alam semesta dan membuat keputusan dari perubahan yang terjadi karena aktivitas manusia. Berdasarkan definisi literasi sains di atas, maka dapat dikatakan bahwa literasi sains merupakan hal yang sangat penting untuk dikuasai oleh peserta didik. Hal ini dikarenakan literasi sains dapat menjadi suatu bekal yang dapat digunakan peserta didik untuk berpartisipasi lebih cerdas (intellegently) dalam kehidupan sosial masyarakat (Laugksch, 2000, hlm. 84). Selain hal itu, literasi sains dapat berguna bagi peserta didik karena merupakan cara-cara sains yang dapat digunakan oleh seseorang untuk mengatasi permasalahan hidup secara lebih bertanggung jawab untuk kehidupan yang lebih baik. Literasi sains penting untuk dimiliki peserta didik dalam kaitannya dengan peserta didik mampu memahami lingkungan hidup, kesehatan, ekonomi, dan masalah-masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat modern yang sangat bergantung pada teknologi dan kemajuan, serta perkembangan ilmu pengetahuan (Toharudin, 2011, hlm. 3). Wenning (2005, hlm. 3) juga menyatakan

2 bahwa literasi sains merupakan hal yang penting untuk dimiliki peserta didik dan merupakan suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan bagi semua peserta didik. Pentingnya literasi sains peserta didik nampaknya sudah dianggap serius oleh negara-negara di luar negeri seperti Amerika dan Australia. Hal ini terbukti bahwa Amerika sudah memiliki standar khusus yaitu Benchmark for Science Literacy (AAAS, 2013). Benchmark fo Science Literacy merupakan standar khusus mengenai kemampuan literasi sains yang harus dimiliki peserta didik pada setiap grade yang berbeda. Di Australia literasi sains dijadikan sebagai tujuan pendidikan sains (ACARA, 2015). Berdasarkan pemaparan tentang pentingnya literasi sains di atas maka sudah selayaknya peningkatan literasi sains peserta didik menjadi tujuan utama pendidikan sains di Indonesia saat ini. Berdasarkan hasil observasi di lapangan diperoleh data bahwa pendidik belum memfasilitasi literasi sains peserta didik dengan baik dalam proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Hal ini terlihat pada saat proses pembelajaran berlangsung. Pertama, pada saat pembelajaran IPA, pendidik tidak menghadirkan fenomena ilmiah dalam kehidupan sehari-hari peserta didik terlebih dahulu, pendidik langsung masuk ke materi pelajaran. Hal ini menyebabkan peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk mengobservasi fenomena ilmiah yang terjadi, peserta didik juga tidak memiliki kesempatan untuk mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan ilmiah dari suatu fenomena ilmiah, peserta didik juga tidak memiliki kesempatan untuk membuat dan membenarkan prediksi, serta peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk melakukan inferensi terhadap suatu fenomena ilmiah. Kedua, pada saat pembelajaran IPA pendidik jarang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan kegiatan eksperimen yang bermakna ataupun kegiatan-kegiatan yang bernuansa penyelidikan ilmiah. Hal ini menyebabkan peserta didik tidak memiliki kesempatan untuk mengkonstruk pengetahuannya sendiri, peserta didik juga tidak memiliki kesempatan untuk merancang penyelidikan ilmiah dan mengidentifikasi variabel-variabel penyelidikan. Selama ini yang terjadi dalam proses pembelajaran adalah bersifat orientasi menuntaskan materi, dan kurang memperhatikan pembelajaran yang bernuansa proses. Hal ini didukung dari hasil

3 wawancara pendidik IPA, bahwa kegiatan pembelajaran selama ini lebih menekankan pada aspek mengingat materi-materi yang telah diberikan. Ketiga, pada saat kegiatan penyimpulan, pendidik tidak membimbing peserta didik untuk menyimpulkan berdasarkan fakta dan data yang diperoleh, tetapi peserta didik hanya menyimpulkan dari hasil membaca buku, dalam hal ini pendidik belum menekankan pentingnya pengetahuan epistemik kepada peserta didik, sehingga peserta didik tidak membangun pengetahuannya sendiri secara konstruktif. Masalahmasalah pada proses pembelajaran yang ditemukan berdasarkan hasil observasi tersebut berdampak pada rendahnya literasi sains peserta didik. Rendahnya literasi sains peserta didik didukung oleh hasil kajian internasional PISA (Programme for International Student Assessment). PISA merupakan studi literasi yang bertujuan untuk meneliti secara berkala tentang kemampuan peserta didik pada usia 15 tahun dalam membaca, matematika, dan sains (Toharudin dkk, 2011, hlm.15). Berdasarkan analisis hasil PISA pada tahun 2012, kemampuan literasi sains peserta didik Indonesia menempati peringkat 64 dari 65 negara peserta. Ratarata skor sains anak-anak Indonesia adalah 382. Padahal rata-rata skor OECD untuk sains adalah 501 (OECD, 2012, hlm. 9). Hasil studi PISA 2012 juga menunjukkan bahwa kebanyakan peserta didik Indonesia (41%) hanya mampu mencapai level 1, yang berarti bahwa peserta didik Indonesia memiliki pengetahuan sains yang terbatas yang hanya bisa diaplikasikan pada sedikit situasi yang familiar dengannya dan pada persoalan sederhana yang sangat dikenalinya. Lebih lanjut, tidak ada peserta didik Indonesia yang mencapai level 5 dan 6. Level 5 menuntut kemampuan peserta didik mengidentifikasi komponen sains yang rumit di dalam kehidupan, menggunakan konsep sains dan ilmu pengetahuan tentang sains serta dapat membandingkan dan memilih upaya apa yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah sains yang rumit, sedangkan level 6 menuntut peserta didik mengidentifikasi secara konsisten, menjelaskan, dan menggunakan pengetahuan sains di dalam situasi lingkungan yang rumit. Salah satu faktor penyebab rendahnya literasi sains peserta didik adalah proses pembelajaran yang belum memfasilitasi literasi sains peserta didik. Pembelajaran

4 yang dilakukan pendidik selama ini kurang bisa mengembangkan kemampuan literasi peserta didik khususnya pada aspek menjelaskan fenomena ilmiah, mengevaluasi dan merancang penelitian ilmiah, serta menginterpretasikan data dan bukti ilmiah. Selama ini pembelajaran yang berlangsung kurang melibatkan peserta didik secara aktif dalam mengkonstruk pengetahuannya seperti yang dipaparkan di atas misalnya tidak adanya fenomena ilmiah yang dihadirkan pendidik kepada peserta didik serta tidak adanya nuansa pembelajaran berbasis penyelidikan ilmiah (inquiry) sehingga peserta didik cenderung pasif dan mendengarkan penjelasan pendidik saja, bahkan pada saat kegiatan penyimpulan, peserta didik tidak menyimpulkan berdasarkan fakta dan bukti ilmiah. Selain proses pembelajaran yang kurang bisa memfasilitasi kemampuan intelektual peserta didik, faktor lain yang menyebabkan rendahnya literasi sains peserta didik indonesia adalah kurang terlatihnya dalam menyelesaikan soal-soal dengan karakteristik berpikir tingkat tinggi seperti soal-soal PISA (Kemendiknas, 2011, hlm.1) hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan pendidik bahwa soal-soal yang diberikan kepada peserta didik cenderung pada soal-soal hanya menekankan pada aspek penguasan konsep dan kemampuan mengingat peserta didik saja, soal-soal tersebut masih jauh dari karakteristik soal-soal PISA. Solusi yang dipandang mampu mengatasi permasalahan tersebut dan dipandang mampu meningkatkan kemampun literasi sains peserta didik adalah dengan diterapkannya pembelajaran berbasis inquiry. Salah satu pembelajaran berbasis inquiry yang dipandang sistematis dan komprehensif serta mampu mengembangkan kemampuan literasi sains peserta didik adalah dengan menerapkan levels of inquiry. Levels of inquiry merupakan hierarki pembelajaran yang sistematis dan komprehensif dimulai dari tahap discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry laboratory, real-world application, dan hypothetical inquiry (Wenning, 2005, hlm.4; 2010, hlm.12; 2011, hlm.10). Melalui levels of inquiry peserta didik diberikan kesempatan untuk melakukan observasi, memprediksi, mengumpulkan dan menganalisis data, mengembangkan prinsip-prinsip ilmiah, mensintesis hukum-hukum, serta merumuskan dan menguji

5 hipotesis untuk mengeneralisasikan penjelasan-penjelasan (Wenning, 2011, hlm.17). Melalui tahapan discovery learning dan interactive demonstration peserta didik dapat menyatakan fakta dan menjelaskan fenomena ilmiah, melalui tahapan inquiry lesson peserta didik diberi kesempatan untuk mengevaluasi dan merancang penelitian ilmiah, dan melalui tahap inquiry lab peserta didik dilatih untuk dapat menginterpretasikan data dan bukti ilmiah berdasarkan percobaan yang telah dilakukan. Tahapan-tahapan levels of inquiry tersebut sejalan dengan kerangka domain kompetensi literasi sains yang meliputi menjelaskan fenomena ilmiah, mengevaluasi dan merancang penelitian ilmiah, dan menginterpretasikan data dan bukti ilmiah (OECD, 2013). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa literasi sains peserta didik meningkat setelah diterapkan pembelajaran berbasis inquiry (Gormally, 2009, hlm. 8). Selain itu, Pratiwi (2014, hlm. 72) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa achievement peserta didik meningkat setelah diterapkan levels of inquiry. Namun belum ada penelitian yang mengkaji tentang penerapan levels of inquiry terhadap kemampuan literasi sains peserta didik berdasarkan framework PISA 2015. Untuk itulah peneliti tertarik untuk mengkaji kaitan levels of inquiry dan kemampuan literasi sains peserta didik. Selain hal tersebut dalam penelitian ini peneliti menggunakan pembelajaran IPA secara terpadu yang mengaitkan biologi, kimia, dan fisika secara terintegrasi. Selain mengkaji tentang peningkatan kemampuan literasi sains peserta didik, peneliti juga akan mengembangkan satu set instrumen yang akan digunakan untuk mengukur kemampuan literasi sains peserta didik. Adapun tema yang akan diambil dalam penelitian ini adalah limbah dan upaya penanggulangannya, pertimbangan peneliti mengambil tema ini adalah karakteristik tema limbah dan upaya penanggulangannya banyak yang dapat dijelaskan melalui penyelidikan ilmiah sehingga cocok jika diterapkan dengan menggunakan levels of inquiry. Oleh karena itulah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Penerapan Levels of Inquiry untuk Meningkatkan Literasi Sains Peserta didik SMP pada Tema Limbah dan Upaya Penanggulangannya.

6 B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam penelian ini adalah Bagaimana peningkatan literasi sains peserta didik pada tema tema limbah dan upaya penanggulangannya setelah diterapkan levels of inquiry agar penelitian lebih terarah maka rumusan masalah dijabarkan menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah signifikansi perbedaan nilai pretest dan nilai posttest literasi sains peserta didik SMP setelah diterapkan levels of inquiry pada tema limbah dan upaya penanggulangannya? 2. Bagaimanakah keterlaksanaan levels of inquiry pada tema limbah dan upaya penanggulangannya untuk meningkatkan literasi sains peserta didik SMP? 3. Bagaimanakah tanggapan peserta didik setelah diterapkan levels of inquiry pada tema limbah dan upaya penanggulangannya? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan untuk mencapai suatu tujuan, baik tujuan secara umum ataupun tujuan secara khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan literasi sains peserta didik SMP setelah diterapkan levels of inquiry. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah 1. Mendeskripsikan literasi sains peserta didik SMP sebelum dan setelah diterapkan levels of inquiry 2. Mendeskripsikan keterlaksanaan levels of inquiry pada tema limbah dan upaya penanggulangannya 3. Mendeskripsikan tanggapan peserta didik setelah diterapkan levels of inquiry pada tema limbah dan upaya penanggulangannya D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan menjadi alternatif solusi dalam meningkatkan literasi sains peserta didik. Hasil peneliatian ini diharapkan dapat memperkaya hasil penelitian sejenis sehingga dapat digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan seperti pendidik, praktisi pendidikan, peneliti dan lain-lain. Penelitian ini diharapkan

7 bermanfaat sebagai pembanding, pendukung atau bahkan sebagai rujukan bagi penelitian selanjutnya. E. Struktur Organisasi Tesis Struktur organisasi tesis ini terdiri dari 5 bab. Berikut ini adalah pemaparan sistematika penulisan setiap bab dalam penelitian penerapan levels of inquiry untuk meningkatkan literasi sains peserta didik SMP pada tema limbah dan upaya penanggulangannya. Bab I : Berisi tentang pemaparan yang meliputi pendahuluan, bab ini meliputi uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi tesis. Bab II : Berisi tentang pemaparan yang meliputi kajian pustaka dan kerangka pemikiran, dalam bab ini juga diuraikan keterkaitan antara levels of inquiry dengan literasi sains. Bab III : Berisi tentang pemaparan metode penelitian yang meliputi desain penelitian, populasi dan sampel penelitian, definisi operasional, prosedur penelitian, instrumen penelitian, serta analisis data penelitian. Bab IV : Berisi tentang pemaparan temuan hasil penelitian dan juga pembahasan mengenai hasil penelitian yaitu mengenai peningkatan literasi sains peserta didik, keterlaksanaan pembelajaran levels of inquiry, serta respon atau tanggapan peserta didik terhadap pembelajaran. Bab V : Berisi tentang simpulan penelitian serta implikasi dan rekomendasi mengenai penelitian selanjutnya.