LAYANAN TERPADU LOW VISION DALAM MENDUKUNG INKLUSI

dokumen-dokumen yang mirip
KONSEP DASAR LOW VISION DAN KEBUTUHAN LAYANANNYA

BAB I PENDAHULUAN. siswa, karena kegiatan membaca merupakan prasyarat dalam menguasai. berbagai ilmu pengetahuan. Berbagai ilmu pengetahuan memerlukan

KETERAMPILAN DASAR DALAM PENANGANAN PENYANDANG LOW VISION. Irham Hosni PLB FIP UPI PUSAT PELAYANAN TERPADU LOW VISION BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rika Saptaningrum, 2013

BAB II TUNANETRA (LOW VISION)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan analisis data penelitian yang telah dipaparkan pada bab

JASSI_anakku Volume 18 Nomor 1, Juni 2017

PANDUAN PELASANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

PENGEMBANGAN KETERAMPILAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI (KKS) PENYANDANG TUNANETRA. Irham Hosni

BAB II MEMBACA PERMULAAN PADA SISWA LOW VISION DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA

BAB I PENDAHULUAN. vision di dunia. Data dari VISION 2020, suatu program kerjasama antara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013

Dari pengertian WHO diatas tentang Low Vision dapat ditangkap hal sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

KEMANDIRIAN DAN ADAPTASI ANAK BERKEBUTUHAN PENDIDIKAN KHUSUS/LUAR BIASA

Membaca dan Menulis bagi Anak Low Vision. Irham Hosni PLB FIP UPI Pusat Layanan Terpadu Low Vision

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai

PRINSIP DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN ORIENTASI BAGI TUNANETRA Irham Hosni

PANDUAN PELAKSANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

KONSEP DAN STRATEGI IMPLEMENTASI KTSP SLB TUNANETRA

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN. itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha. merespon perubahan perubahan yang terkait secara cepat, tepat

JASSI_anakku Volume 18 Nomor 2, Desember 2017

BAB 1 PENDAHULUAN. titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia dan

BAB I PENDAHULUAN. Para pendidik mempunyai tanggung jawab besar untuk membantu siswa

KONSEP DASAR BIMBINGAN JASMANI ADAPTIF BAGI TUNANETRA. Irham Hosni PLB FIP UPI

MAKALAH PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI ANAK LOW VISION OLEH AHMAD NAWAWI

BAB I PENDAHULUAN. Penglihatan juga merupakan jalur informasi utama, oleh karena itu. Meskipun fungsinya bagi kehidupan manusia sangat penting, namun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI BAGI TUNANETRA

Partisipasi Penyandang Cacat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

MANAJEMEN PEMBELAJARAN PROGRAM AKSELERASI DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN (Studi Kasus di SMP Negeri 9 Surakarta)

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

LAPORAN OBSERVASI SLB-A-YKAB SURAKARTA

PEMERIKSAAN VISUS MATA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous. refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

A. Perspektif Historis

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

MENGENALI PENYANDANG TUNANETRA DAN INTERVENSI PENDIDIKANNYA Oleh: Ishartiwi PLB-FIP- UNY

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pengklasifikasian anak itu sudah dibagi dengan jelas. Untuk anak yang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Menurut Global Data on Visual Impairment 2010, WHO 2012, estimasi

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

BAB I PENDAHULUAN. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah bagian dari masyarakat

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bahwa pada hakekatnya pembangunan

2016 PENGEMBANGAN PROGRAM LATIHAN ORIENTASI DAN MOBILITAS TEKNIK PENDAMPING AWAS BAGI KELUARGA SISWA TUNANETRA

KETERAMPILAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI BAGI TUNANETRA

BAB 1 PENDAHULUAN. tiap tahunnya, hal ini ditandai dengan prestasi anak bangsa yang sudah mampu

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA SILABUS

Penyesuaian Diri Penyandang Low Vision dalam Melewati Pendidikan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan sumber daya manusia, termasuk tunanetra. Pendidikan

2016 LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK TUNANETRA

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

Inkonsistensi Penyelenggaraan Pendidikan SMA dan SMK 1 Istanto W. Djatmiko

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN ORIENTASI DAN MOBILITAS BAGI SISWA TUNANETRA. Yuni Astuti ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda beda di setiap negara seperti

BAB I PENDAHULUAN. Disability (kekhususan) merupakan konsekuensi fungsional dari kerusakan

Kesetaraan Gender Strategi Jitu dalam Pemberantasan Buta Aksara di Indonesia

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

Bagaimana? Apa? Mengapa?

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

Dwi Arnia Ulfa a, Abdul Salim b, Sunardi c.

Seminar Nasional Fisika dan Pendidikan Fisika Pembelajaran Sains berbasis Kearifan Lokal Surakarta, 14 September 2013

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 63 TAHUN 2011 TENTANG PENGEMBANGAN ANAK USIA DINI HOLISTIK INTEGRATIF PROVINSI JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan diri dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat

BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB II STRATEGI GURU REGULER DALAM PENGELOLAN KELAS DENGAN MELIBATKAN SISWA LOW VISION

Pembangunan merupakan rangkaian dari program-program disegala bidang secara

PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN

STANDAR PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BEDAH SARAF

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN BAGI MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI

PENGEMBANGAN BUKU PENGAYAAN APRESIASI SASTRA BERHURUF BRAILLE INDONESIA DENGAN MEDIA REGLET BAGI SISWA TUNANETRA DI SEKOLAH INKLUSI KOTA SURAKARTA

PROSPEK TENAGA KEPENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

LAYANAN KONSELING DI SEKOLAH (KONSEP & PRAKTIK)

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

BIDANG PENDIDIKAN. Ida Rindaningsih, M.Pd

SITUASI GANGGUAN PENGLIHATAN DAN KEBUTAAN

POLA INTERAKSI GURU DAN SISWA TUNANETRA SMPLB A BINA INSANI BANDAR LAMPUNG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

KARYA TULIS ILMIAH. Disusun Oleh: ENGKI SOFYAN NIM

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

Transkripsi:

LAYANAN TERPADU LOW VISION DALAM MENDUKUNG INKLUSI (Model Pusat Layanan Terpadu Low Vision YPWG kerjasama dengan Dinas Pendidikan Jawa Barat dan RS Mata Cicendo) Irham Hosni (Disampaikan pada Konferensi Nasional Pendidikan Tunanetra I Jaringan ICEVI Indonesia Kerjasama Dengan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas di Batam, 24 27 Juli 2007 Abstrak: Didasarkan pada pemikiran bahwa pembaharuan Layanan Bagi Low Vision akan berkembang dan berkesinambungan bila telah diterjemahkan kedalam budaya yang kita miliki dan tidak terlepas (exclusive) dari sitem yang sudah ada. Terlayaninya pendidikan seluruh anak low vision dalam kontek Pendidikan untuk semua, ada 4 aspek yang harus dirancang dan digarap secara terpadu yaitu: Bagaimana menjaring anak low vision, bagaimana layanan rehabilitasinya, bagaimana bentuk dan model pendidikannya dan bagaimana menyiapkan tenaga ahli lapangannya. Untuk menuju inklusif perlu dikembangkan tiga bentuk layanan yaitu layanan langsung, layanan kerjasama dan layanan konsultatif dengan strategi yang berorientasi pada tujuan, fungsional dan sikap. Dengan pendekatan stimulasi penglihatan, efisiensi penglihatan dan pembelajaran berdasarkan sisa penglihatan, maka layanan rehabilitasi visualnya perlu dilakukan secara terpadu antara secrening, asessmen klinis, training dan konseling, serta penempatan anak kembali di lingkungan habitatnya. I. Latar belakang pemikiran A. Orang awam menyangka bahwa semua tunanetra itu buta tidak melihat. Karena menyangka buta maka ia menganggap semua tunanetra tidak bisa melihat samasekali. B. Tunanetra sering dianggap orang yang tidak dapat melihat alias buta total, hal ini tidak benar. 90% tunanetra masih memiliki sisa penglihatan yang bisa dirangsang untuk dapat digunakan meskipun hanya untuk membantu melancarkan mobilitasnya. C. 60% dari yang disebut tunanetra ternyata masih mampu menggunakan sisa penglihatannya untuk membaca dan menuis awas, baik ia menggunakan alat Bantu penglihatan seperti kaca mata dan alat pembesaran lainnya maupun tanpa alat Bantu penglihatan. Dengan demikian tidak semua tunanetra memerlukan tulisan Braille dalam pendidikannya.

D. Lokasi keberadaan penyandang low Vision sangat menyebar di daerah dengan radius sangat luas, dan bisa disandang oleh bayi atau balita, anak maupun orang dewasa dan tua. Penyandang Low Vision bisa datang dari keluarga miskin maupun kaya. E. Dari penelitian ditemukan bahwa Prestasi belajar penyandang Low Visio lebih rendah dari mereka yang tergolong buta dan sering dianggap malas, hal ini sebagai akibat dari pelayanan pendidikan yang diberikan kepada penyandang low vision disamakan dengan yang tergolong buta yaitu menggunakan huruf Braille. F. Jumlah penyandang low vision tiga kali lipat dari yang tergolong buta, dan selama ini belum mendapatkan layanan yang sesuai dengan kebutuhannya. G. Layanan Untuk penyandang Low vision masih tergolong baru dan masih jauh dari apa yang diharapkan. Diawali oleh surat Mendikbud RI No. 6801/MPK/96 tanggal 16 Februari 1996 dan Surat Dirjen Dikdasmen Dedikbud No. 0195/C2/LL/96 tangal 1 April kepada YPAB dan YPWG untuk melaksanakan Uji Coba Layanan pendidikan bagi penyandang Kurang awas. H. Jumlah anak tunanetra yang mendapat pelayanan pendidikan di Indonesia, masih sangat kecil, padahal dari segi undangundang seharusnya tidak menjadi penghambat. Misalnya UUD 1945 (60 tahun) yang lalu sudah dengan jelas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Juga tahun 1989 dengan undang-undang no. 2/1989 Indonesia juga telah mengikrarkan wajib belajar. Banyak lagi peraturan pemerintah dan keputusan menteri yang sangat mendukung seperti peraturan tentang pendidikan terpadu dan sebagainya. Mengapa jumlah anak tunanetra yang dilayani ini masih terjadi sangat sedikit? Pasti ada sesuatu yang salah, minimal di dalam menterjemahkan layanan pendidikan bagi anak luar biasa secara oprasional dalam kebijakan. I. Perlu adanya pelayanan bagi penyandang low vision yang komprehensif, sistematis, terencana, profesional dan berakar dari budaya dan kekuatan kita sendiri, sehingga terlayaninya seluruh anak low vision dalam pendidikannya.

II. Pengertian Tentang Low Vision Definisi atau pengertian tentang low vision yang ditetapkan akan berakibat kepada jumlah atau populasi dari low vision. Bagi kita yang akan memberikan pelayanan, definisi kerja tentang low vision lebih dibutuhkan. WHO menetapkan definisi kerja tentang Low Vision sebagai berikut: A person with low vision is one has impairment of visual functioning even after treatment and/or standard refractive correction, and has a visual acuity of les then 6/18 (20/60) to light perception or a visual field of less than 10 degree from the point of fixation, but who uses or is potentially able to use, vision for the planning and/or execution of a task. Dari pengertian WHO di atas tentang Low Vision dapat ditangkap hal sebagai berikut: A. Setelah diobati dan dikoreksi dengan kacamata, masih memiliki kelainan pada fungsi penglihatannya. B. Ketajaman penglihatan 6/18 (20/60) sampai persepsi cahaya. C. Lantang pandangnya kurang dari 10 derajat. D. Dapat menggunakan atau berpotensi untuk menggunakan sisa penglihatannya dalam merencanakan dan melaksanakan tugas sehari-hari. III. Jumlah penyandang Low Vision Diperkirakan 45 juta orang di dunia ini buta dan tiga kali dari jumlah tersebut (135 Juta) menyandang low vision. Jadi diperkirakan ada 180 juta orang di dunia ini menyandang tunanetra. Di Indonesia memang tidak ada data yang bisa dipakai, tetapi hasil penelitian di Indonesia jumlah anak low vision jumlahnya cukup besar. Dalam tulisan yang berjudul tentang Program penanggulangan Penyandang Low Vision DR.Dr. Salamun (Januari 1996) mengungkapkan data hasil penelitian sebagai berikut:

A. Penelitian di RSU Dr. Sutomo Surabaya tahun 1986 Kemungkinan penyandang low vision pada kelompok umur sekolah yaitu antara umur 5-20 tahun adalah 3,12 % dari seluruh pengunjung. Angka kesakitan mata adalah 18 %, sedangkan kelompok umur 5 20 tahun di Indonesia sebanyak 31.500.000 Dengan demikian penyandang Low Vision pada kelompok usia sekolah diperkirakan ada 1,12% X 18% X31.500.000 = 175.274 anak umur sekolah. B. Penelitian Di Bandung tahun 1987 Diperoleh data kemungkinan penyandang Low Vision pada murid kelas 1 SD. Adalah 1,56%. Maka Kota Bandung diperkirakan ada 600 anak yang mengalami low vision di kelas 1 SD. Bila diproyeksikan, anak SD kelas I ada 4.500.000 maka penyandang low vision diperkirakan adalah 70.200 anak. C. Penelitian di Jakarta tahun 1995 Pada pemeriksaan murid SD, SMP, SMA secara acak di daerah Jakarta utara diperoleh data anak yang mengalami low vision sebesar 1,5%. Pada pemeriksaan murid SLB/A di Jakarta Selatan diperoleh data bahwa 50% muridnya memiliki penglihatan bila dikoreksi dengan kaca mata biasa dapat membaca lebih baik tanpa instrumen khusus untuk membaca. Sedangkan bila diberikan instrumen baca yang khusus, anak tersebut lebih meningkat lagi kemampuan membacanya. D. William G. Brohier, Consultan pendidikan dan Rehabilitasi CBM untuk Asia, mengungkapkan dalam papernya pada CBM Indonesian Partners Meeting yang berjudul Special Needs Education" mengungkapkan bahwa berdasarkan data WHO anak umur 7-15 tahun yang tergolong buta adalah 260 orang per satu juta penduduk.

IV. Sistem Layanan Bagi Low Vision Untuk menuntaskan masalah yang ada sekarang ini tentang pelayanan bagi anak low Vision maka ada empat komponen yang harus digarap secara bersama. Ke empat komponen ini saling menunjang dan saling mempengaruhi, yaitu: A. Komponen penjaringan dan data, yang meliputi berapa jumlah anak, di mana anak itu adanya, bagaimana menemukannya, siapa yang melaksanakannya, bagaimana jaringan kerjanya. B. Komponen Rehabilitasi visualnya, Di mana tempatnya, bagaimana bentuk lembaganya, lokasi di mana, tugas, jenis layanan dan peran, fungsi, tenaga, jaringan kerja yang diperlukan dalam mendukung rehabilitasi anak low vision. C. Komponen Layanan Pendidikan Luar Biasanya, yang meliputi di mana penyandang low vision harus sekolah, jenis dan bentuk pendidikannya, prinsip pengajaran, kurikulum, guru dan jaringan kerjanya. D. Komponen Tenaga lapangan, bagaimana menyiapkan tenaga lapangan, jenis tenaga lapangan yang dibutuhkan, jumlahnya, dan siapa yang bertanggung jawab melaksanakan tersebut. V. BENTUK ATAU MODEL YAYANAN LOW VISION A. Bentuk layanan langsung, artinya instruktur low vision bekerja langsung dengan anak low vision dalam periode tertentu. Layanan langsung ini dilakukan di pusat layanan maupun di tempat khusus di sekolah anak. B. Bentuk layanan kerjasama, artinya instruktur atau guru Low vision bersama guru reguler secara bersama-sama melayani anak low vision. Biasanya layanan ini berlangsung atau dilakukan di sekolah di mana anak belajar. C. Bentuk layanan konsultatif, artinya guru atau instruktur low vision bekerja dan membimbing guru reguler tentang cara bagaimana layanan pada anak harus diberikan.

VI. Strategi layanan bagi Low Vision. Semua bentuk layanan bagi penyandang low vision hendaknya menggunakan strategi yang berorientasi kepada: A. Fungsional yaitu menjelaskan dan meningkatkan fungsi penglihatan seperti meningkatkan ketajaman, mengurangi silau, meningkatkan sensitifitas terhadap kekontrasan, memperluas lantang pandang dan sebagainya. B. Tujuan, yaitu membantu penyandang low vision agar mampu melakukan pekerjaan tertentu seperti membaca, menulis, memasak, berbelanja, dan keterampilan sehari-hari lainnya termasuk mobilitas secara mandiri. C. Sikap, yaitu membantu penyandang low vision secara psikologis agar dapat beradaptasi dan bersosialisasi secara wajar dalam lingkungannya, percaya diri, sadar dan memahami tentang kondisi penglihatannya. Dengan strategi yang berorientasi kepada fungsional, tujuan dan sikap maka secara utuh dan seimbang penyandang low vision dapat mengembangkan personal dan sosialnya sehingga menjadi sumber daya manusia yang mandiri dan beradaptasi. VII. Pendekatan layanan Penyandang Low Vision Ada tiga pendekatan dalam pelayanan anak low Vision yaitu: A. Pendekatan Stimulasi penglihatan (vision stimulation) Stimulasi dalam urutan perkembangan: 1. Movement (gerakan) Fixation. 2. Kesadaran (awarenes) Attention (perhatian) Mengenal objek dan simbul. (Sadar kenal mewakilkan Objek ingatan visual Visual closure skills.) 3. Menguraikan objek dan pussel. 4. Mengenal simbul yang abstrak.

B. Pendekatan efisiensi penglihatan (vision eficiency) Agar penglihatan efisien dalam melihat objek, maka diperlukan: Cahayanya, kekontrasannya, ukuran besarnya dan jaraknya dengan mata sesuai dengan yang dibutuhkan. C. Pendekatan pengajaran dengan menggunakan sisa penglihatan (Vision utilization Instruction) Penggunaan pendekatan di atas dalam layanan tergantung pada: A. Rendah tidaknya ketajaman Penglihatan yang dimiliki. B. Besar kecilnya hambatan lantang pandang yang dimiliki. C. Banyak tidaknya pengalaman anak dalam menggunakan penglihatan. Makin negatif ke tiga faktor tersebut di atas maka pendekatannya mulai dari Stimulasi penglihatan sebelum sampai kepada pengajaran yang menggunakan sisa penglihatan. VIII. Alur layanan bagi penyandang low vision Urutan kegiatan untuk menangani masalah Penyandang low vision yaitu: A. Penjaringan penyandang low vision. o Mengembangkan system penjaringan dan pendataan o Membentuk jaringan kerja dengan lembaga terkait. o Menerima klien dari puskesmas, rumah sakit, dokter dan umum. B. Pemeriksaan mata oleh dokter mata. a. Menetapkan status penyakit, Penyebab dan masuk golongan low vision atau tidak. b. Menetapkan sifatnya menetap atau menurun. c. Menetapkan kebutuhan pengobatannya. d. Melakukan referal ke low vision center.

C. Asessmen klinis dan preskripsinya. a. Menilai sisa penglihatan. b. Menilai luas lantang pandang. c. Memberikan gambaran tentang kemampuan yang bisa dilakukan. d. Menilai dan menetapkan alat Bantu yang dibutuhkan, e. Memberi saran tentang latihan yang dibutuhkan. f. Memberikan saran dan menilai modifikasi lingkungan yang dibutuhkan. D. Latihan dan konseling. a. Memberikan latihan fungsi dan stimulasi penglihatan. b. Memberikan latihan penggunaan alat Bantu penglihatan. c. Mengevaluasi hasil assessment klinis, d. Memberikan konseling pada klien dan orang tuanya. e. Latihan Orientasi dan mobilitas. f. Memberikan bimbingan pendidikan. g. Memberikan bimbingan kerja. h. Memberikan konseling tentang penyebab dari low visionnya, apa yang bisa, yang harus dan yang tidak bisa dilakukan oleh anak, orang tua dan lingkungannya. E. Penempatan low vision di lingkungan kehidupan. Agar anak low vision yang telah direhabilitasi bisa hidup di lingkungan habitatnya secara inclusive, maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah: a. Melakukan Modifikasi lingkungan yang diperlukan seperti lingkungan rumahnya, sekolah dan kelasnya, lingkungan kerjanya dan sebagainya. b. Membimbing orang sekitar penyandang low vision bagaimana hidup bersamanya. c. Membentuk jaringan kerja dengan guru, orang tua, dan orang yang terlibat dengan anak dan orang low vision.

IX. Kurikulum pendidikan Low Vision. A. Kurikulum untuk anak low vision sebetulnya seperti kurikulum untuk anak awas pada umumnya. B. Perbedaannya hanya ditambahkan tentang kegiatan latihan stimulasi penglihatan, efisiensi penglihatan, home management, orientasi mobilitas. C. Aktivitas kurikulumnya dan semua yang dirancang untuk pengajaran anak low vision memperhatikan faktor: 1. Cahaya (intensitas, arah) 2. Kekontrasan (warna) 3. Ukuran (besar kecilnya) 4. Jarak ( objek dengan penglihatan) 5. Posisi (letak objek agar bisa dilihat) D. Perbedaan lainnya dalam proses pembelajaran anak low vision dengan yang awas adalah penggunaan alat bantu penglihatan. Alat bantu penglihatan adalah alat yang membantu penglihatan anak low vision untuk melihat objek lebih jelas, lebih besar, kontras dan sebagainya. Alat bantu tersebut bisa berupa alat bantu optik dan non optik. Optik banyak berhubungan dengan lensa dan kaca pembesar, sedangkan non optik banyak berhubungan dengan sarana lain di luar optik. X. Langkah sukses layanan Low Vision dalam mendukung inclusive anak di lingkungan Kerjasama yang antara tenaga medis, ahli asessmen klinis, instructur low Vision, orang tua guru kelas dan guru sumber merupakan kunci keberhasilan anak low vision dalam mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Sekolah dan guru reguler anak low vision sering mengalami kesulitan dalam berbagai hal, tetapi jelasnya sumber untuk mendapatkan bantuan Akan mengatasi masalah (perlunya resource center low vision) Dengan jelasnya sumber untuk mendapatkan bantuan dalam menyelesaikan masalah, dapat meningkatkan percaya diri dan

partisipasi guru sekolah reguler dalam melayani anak low vision di kelasnya. XI. Penutup Demikian kosep layanan low vision yang dapat kami ungkap yang didasarkan pada pengalaman dan pengamatan praktis di lapangan yang telah kami oprasionalkan di low vision center kami.

LAYANAN TERPADU LOW VISION DALAM MENDUKUNG INKLUSI (Model Pusat Layanan Terpadu Low Vision YPWG kerjasama dengan Dinas Pendidikan Jawa Barat dan RS Mata Cicendo) (Disampaikan pada Konferensi Nasional Pendidikan Tunanetra I Jaringan ICEVI Indonesia Kerjasama Dengan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas di Batam, 24 27 Juli 2007 Irham Hosni Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Ditjen Menejemen Dikdasmen Depdiknas - 2005