BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kurang termotivasi dalam belajar matematika. Abdurrahman (2009:253) mengemukakan alasan pentingnya siswa belajar matematika:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari,terut a-ma di sekolah sekolah

EKSPERIMENTASI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEAD TOGETHER DAN THINK PAIR SHARE TERHADAP HASIL BELAJAR

BAB I PENDAHULUAN. dengan pendidikan. Menurut UU No. 20 Pasal 1 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, kreatif, mandiri, serta mampu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kualitas pendidikan matematika. Matematika mempunyai peranan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dari ilmu yang lain, dengan kata lain matematika tumbuh dan berkembang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu kualitas suatu bangsa. Selain karena pendidikan dipandang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang sedang terjadi dengan apa yang diharapkan terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan investasi yang paling utama bagi setiap bangsa,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu usaha masyarakat untuk memajukan peradaban dan pengetahuan. Pendidikan berperan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1

I. PENDAHULUAN. Pesatnya perkembangan zaman di era globalisasi menuntut setiap negara untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem pernapasan manusia adalah sistem organ yang terjadi dalam tubuh manusia. Pada materi ini siswa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas dapat dilakukan melalui

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Rata-rata UN SMP/Sederajat

BAB I PENDAHULUAN. yang diharapkan. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadi dalam diri seseorang dan interaksi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha yang mempunyai tujuan, yang dengan. didik (Sardiman, 2008: 12). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dimana kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan aspek pokok bagi kehidupan suatu bangsa. Kondisi bangsa di masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan pokok manusia dan memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan sebagainya (Trianto, 2011). Hakekat IPA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu pembelajaran yang ada di sekolah adalah pembelajaran Ilmu

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Peran pendidikan sangat dibutuhkan dalam mempersiapkan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. maupun Rohani semakin meningkat dalam usaha menyesuaikan diri dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cerdas, kreatif, terampil, dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Matematika. Disusun Oleh:

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bangsa yang bermartabat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara spesifik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan diri secara utuh dalam arti pengembangan segenap potensi

I. PENDAHULUAN. pesat. Manusia dituntut memiliki keterampilan berpikir kritis, sistematis,

I. PENDAHULUAN. Bagian ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada hakikatnya adalah suatu proses dimana induvidu dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk membenahi, meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa ialah dengan pendidikan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka. menghasilkan perubahan yang positif dalam diri anak.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini sedang mengalami krisis, yang harus dijawab oleh dunia pendidikan. Jika proses-proses

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah investasi sumber daya manusia jangka panjang yang mempunyai nilai strategis bagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. (Langeveld, dalam Hasbullah, 2009: 2). Menurut Undang-Undang Republik. Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

BAB I PENDAHULUAN. penguasaan matematika yang kuat sejak dini (BNSP, 2007).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut Mulyasa (2006:164) menyatakan bahwa, Proses

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. diperlukan penguasaan matematika sejak dini. Oleh karena itu, selayaknya mata

I. PENDAHULUAN. melalui proses pembelajaran. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Republik

tanya jawab, pemberian tugas, atau diskusi kelompok) dan kemudian siswa merespon/memberi tanggapan terhadap stimulus tersebut. Pembelajaran harus

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah investasi sumber daya manusia jangka panjang yang mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia. Oleh sebab itu, hampir semua negara menempatkan variabel pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan utama. Hal ini dapat dilihat dari isi Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Suatu bangsa dikatakan cerdas apabila penduduk dalam suatu bangsa tersebut mampu memajukan negaranya dan ikut berpartisipasi aktif dalam dunia pendidikan. Pendidikan memegang peranan yang paling penting untuk kemajuan dan perkembangan berkualitas suatu bangsa, karena dengan pendidikan manusia dapat memaksimalkan kemampuan maupun potensi dirinya baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat (1) (dalam Prayitno, 2010:51) yang menyebutkan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Matematika adalah salah satu pelajaran yang sangat penting untuk dipelajari oleh siswa dalam dunia pendidikan. Matematika diberikan pada setiap jenjang pendidikan untuk menyiapkan siswa dalam menghadapi perkembangan dunia yang semakin maju dan berkembang pesat. Cockrof (dalam Abdurrahman, 2009:253) mengemukakan bahwa: Matematika perlu diajarkan kepada siswa karena (1) selalu digunakan dalam segala segi kehidupan; (2) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir 1

2 logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang. Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa selain mengembangkan kemampuan berpikir, bernalar, mengkomunikasikan gagasan, matematika juga dapat menjadi modal atau alat untuk mempelajari mata pelajaran lainnya, seperti fisika, kimia, biologi dan bahkan ilmu sosial. Penguasaan matematika akan memberikan dasar pengetahuan untuk bidang-bidang yang sangat penting, seperti penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Oleh karena peranan matematika yang sangat besar, seharusnya matematika menjadi mata pelajaran yang menyenangkan dan menarik, sehingga dapat meningkatkan keinginan dan semangat siswa dalam mempelajarinya. Keinginan dan semangat yang meningkat ini akan dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa dan berbagai aspek yang perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran matematika. Akan tetapi, kenyataan yang sering ditemukan di lapangan adalah bahwa hasil belajar siswa pada bidang studi matematika masih rendah. Rendahnya prestasi belajar pada matematika dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah kesulitan yang dialami siswa dalam mempelajari matematika. Kesulitan dalam belajar matematika mengakibatkan kemampuan pemecahan masalah siswa rendah. Seperti diungkapkan oleh Widianti (http://newspaper.pikiran-rakyat.com, diakses pada 04 Februari 2014): Selama ini pembelajaran matematika terkesan kurang menyentuh kepada substansi pemecahan masalah. Kebanyakan mengajarkan prosedur atau langkah pengerjaan soal. Bahkan, siswa cenderung menghafalkan konsep-konsep matematika dan sering dengan mengulang-ulang menyebutkan definisi yang diberikan guru atau yang tertulis dalam buku yang dipelajari, tanpa memahami maksud isinya. Kecenderungan semacam ini tentu saja dapat dikatakan mengabaikan kebermaknaan dari konsep-konsep matematika yang dipelajari siswa, sehingga kemampuan siswa dalam memecahkan masalah sangat kurang. Kebanyakan guru mengajar dengan model yang kurang sesuai dengan materi yang diajarkan karena masih didominasi oleh pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvensional yang dilakukan tidak mampu menolongnya keluar dari masalah karena siswa hanya dapat memecahkan masalah apabila informasi

3 yang dimiliki dapat secara langsung dimanfaatkan untuk menjawab soal. Dalam menjawab suatu persoalan siswa sering tertuju pada satu jawaban yang paling benar dan menyelesaikan soal dengan tertuju pada contoh soal tanpa mampu memikirkan kemungkinan jawaban dalam memecahkan masalah tersebut. Matematika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah yang merupakan mata pelajaran yang sangat berguna dan banyak memberi bantuan dalam berbagai aspek kehidupan. Matematika merupakan sarana berpikir untuk menumbuh kembangkan pola pikir yang logis, sistematis, objektif, kritis dan rasional yang harus dibina sejak dini. Namun banyak orang yang memandang matematika sebagai bidang studi yang paling sulit dan merupakan momok yang menakutkan bagi siswa. Kesulitan yang dirasakan pada siswa terhadap matematika disebabkan ilmunya yang dianggap abstrak dan kompleks terutama pada materi yang memerlukan keterampilan pemahaman berbahasa seperti yang dikemukakan oleh Bambang (dalam http://rbaryans.wordpress.com/2008) bahwa : Banyak faktor yang menyebabkan matematika dianggap pelajaran sulit, diantaranya adalah karakteristik matematika yang bersifat abstrak, logis, sistematis, dan penuh dengan lambang-lambang dan rumus yang membingungkan. Selain itu, beberapa pelajar tidak menyukai matematika karena matematika penuh dengan hitungan dan miskin komunikasi. Rendahnya hasil pembelajaran matematika disebabkan oleh banyak faktor. Di antara faktor penyebab rendahnya hasil belajar, selain faktor internal yang berhubungan dengan kondisi fisik, kecerdasan, motivasi, minat, sikap dan bakat siswa juga disebabkan oleh faktor eksternal yaitu guru dan proses pembelajaran di sekolah. Banyak guru masih menggunakan paradigma pembelajaran lama dalam arti komunikasi dalam pembelajaran matematika cenderung berlangsung satu arah. pembelajaran kebanyakan berpusat pada guru serta dalam pelaksanaannya guru memegang kendali sedangkan siswa cenderung pasif dalam menerima informasi, pengetahuan dan keterampilan yang diberikan oleh guru. Tidak jarang pula aktivitas tanya jawab yang terjadi terkesan dipaksakan misalnya siswa baru menjawab sebuah pertanyaan apabila sudah mendapat perintah atau ditunjuk oleh gurunya. Hal tersebut mengakibatkan

4 aktivitas belajar siswa rendah karena mereka hanya dijadikan objek pembelajaran bukan subjek dalam pembelajaran. Berdasarkan hasil Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMA Negeri 1 Stabat, kelemahan belajar matematika diantaranya adalah sebagai berikut : (1) Masih banyak siswa kurang memperhatikan materi yang diberikan guru. (2) Masih banyak siswa kurang dalam mengerjakan latihan-latihan soal. (3) Masih banyak siswa malu bertanya tentang materi yang belum dimengerti. (4) Masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan guru. Masih banyak siswa tidak diberi dukungan penuh dari orang tua. (6) Ketika diberikan tes mayoritas siswa memperoleh nilai yang rendah. Hal yang sama seperti yang diungkapkan oleh Trianto (2009:5): Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah) dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini tampak dari hasil rerataan hasil belajar peserta didik yang senantiasa masih sangat memprihatinkan. Prestasi ini tentunya merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri, yaitu bagaimana sebenarnya belajar itu (belajar untuk belajar). Dalam arti yang lebih substansial, bahwa proses pembelajaran hingga dewasa inni masih memberikan dominasi guru dan tidak memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dalam proses berpikirnya. Padahal belajar itu adalah berbuat, seperti yang diungkapkan Slameto (2010:2) bahwa, Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Jadi, rendahnya hasil belajar dan aktivitas siswa juga dipengaruhi oleh kurangnya variasi metode dalam mengajar yang digunakan guru dalam proses belajar dan mengajar dan cenderung tidak mengajak siswa untuk berperan secara aktif di dalam pembelajaran yang berlangsung. Seiring dengan hal tersebut, hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti guru matematika di kelas VII SMP Negeri 1 Stabat mengemukakan bahwa Aktivitas belajar matematika siswa di kelas masih kurang, kebanyakan siswa hanya memperhatikan saja tanpa mau bertanya. Kemampuan memecahkan

5 masalah dari soal yang diberikan masih kurang, sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa kelas VII juga masih rendah, bahkan masih banyak siswa kelas VII yang memperoleh nilai di bawah rata rata dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) matematika 65, masih banyak siswa yang tidak mencapai KKM.Hal ini terlihat dari ulangan harian bulanan siswa, bahwa ada sekitar 36 % siswa (18 orang) yang hanya mencapai KKM. Demikian juga halnya dengan nilai semester bahwa ada sekitar 44 % siswa yang hanya mencapai KKM (22 orang). Rendahnya hasil belajar matematika juga dipengaruhi oleh model pembelajaran yang digunakan oleh guru. Hasil observasi awal yang dilakukan oleh peneliti di SMP Negeri 1 Stabat menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di sekolah tersebut masih menggunakan metode pembelajaran ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas, artinya metode pembelajaran yang digunakan masih banyak didominasi oleh guru, sementara siswa duduk secara pasif menerima informasi pengetahuan dan keterampilan. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa metode yang digunakan masih kurang bervariasi. Rendahnya kemampuan siswa pada pembelajaran matematika tidak terlepas dari kemampuan guru dalam memilih dan menggunakan metode yang tepat dan melibatkan siswa, sehingga siswa lebih mudah untuk memahami dan tidak merasa bosan. Seperti yang dikatakan Arends (dalam Trianto, 2009 : 7) bahwa : Dalam mengajar guru selalu menuntut siswa untuk belajar dan jarang memberikan pelajaran tentang bagaimana siswa untuk belajar, guru juga menuntut siswa untuk menyelesaikan masalah, tapi jarang mengajarkan bagaimana siswa seharusnya menyelesaikan masalah. Pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori kontruktivisme. Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Penggunaan kelompok menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif. Sesuai dengan pendapat Artzt & Newman (dalam Trianto 2009 : 56) menyebutkan bahwa: dalam belajar kooperatif, siswa belajar bersama sebagai

6 suatu tim dalam menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Jadi setiap anggota kelompok memliki tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya. Slavin dalam penelitiannya mengemukakan bahwa hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tehnik-tehnik pengajaran kooperatif lebih unggul dalam meningkatkan hasil belajar, (Ibrahim dkk, 2000:16). Sehingga model pengajaran kooperatif sangat baik digunakan untuk siswa yang berkemampuan rendah, sedang, maupun tinggi. (http://nitanurtafita.blogspot.com/2011/10/pembelajaranmetode-nht.html diakses pada 21 Nopember 2014) Ada beberapa tipe pembelajaran kooperatif, di antaranya adalah model kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) dan tipe TPS (Think Pair Share). Model pembelajaran NHT (Numbered Head Together) atau penomoran berpikir bersama adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. Numbered Head Together (NHT) pertama kali dikembangkan oleh Spenser Kagen (1993) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. (Dalam Trianto 2009 : 81) Ada beberapa manfaat pada model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap siswa yang hasil belajar rendah yang dikemukakan oleh Lundgren (dalam Ibrahim, 2000: 18), antara lain adalah : a. Rasa harga diri menjadi lebih tinggi b. Memperbaiki kehadiran c. Penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar d. Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil e. Konflik antara pribadi berkurang f. Pemahaman yang lebih mendalam g. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi h. Hasil belajar lebih tinggi Kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe NHT sebagaimana dijelaskan oleh Hill (1993) dalam Tryana (2008) bahwa model NHT dapat

7 meningkatkan prestasi belajar siswa, mampu memperdalam pamahaman siswa, menyenangkan siswa dalam belajar, mengembangkan sikap positif siswa, mengembangkan sikap kepemimpinan siswa, mengembangkan rasa ingin tahu siswa, meningkatkan rasa percaya diri siwa, mengembangkan rasa saling memiliki, serta mengembangkan keterampilan untuk masa depan. (http://www.tuanguru.com/2011/12/pembelajaran-kooperatif-tipe-nht.html diakses pada tanggal 21 Nopember 2014) Berbeda dengan NHT (Numbered Head Together), model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think Pair Share) merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Pertama kali dikembangkan oleh Frang Lyman dan koleganya di Universitas Maryland sesuai yang dikutif Arends (1997), menyatakan bahwa think-pair-share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asusmsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam think pair share dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespon dan saling membantu. (Dalam Trianto 2009 : 81) Kedua model ini sama-sama baik dalam proses pembelajaran kooperatif, namun di sini akan diteliti apakah ada perbedaan yang signifikan hasil belajar siswa apabila diajarkan oleh kedua kelas yang berbeda. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai: Perbedaan Hasil Belajar Pembelajaran Kooperatif tipe NHT dengan TPS pada Materi Aritmatika Sosial Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Stabat Tahun Pelajaran 2014/2015. 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Hasil belajar yang diperoleh siswa kelas VII masih rendah. 2. Hasil belajar siswa pada bidang studi matematika masih rendah khususnya pada materi Aritmatika Sosial.

8 3. Matematika dianggap sebagai bidang studi yang paling sulit dan beberapa siswa tidak menyukai matematika karena matematika penuh dengan hitungan dan miskin komunikasi. 4. Proses pembelajaran yang dilakukan masih berpusat pada guru (Ekspositori), meskipun model pembelajaran telah berkembang salah satunya dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan TPS sehingga siswa dapat berperan aktif dalam proses belajar dan meningkatkan hasil belajarnya. 1.3. Pembatasan Masalah Dari identifikasi masalah di atas, perlu adanya pembatasan masalah agar masalah dalam penelitian ini terarah dan jelas. Penelitian ini dibatasi pada perbedaan hasil belajar pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan TPS pada materi Aritmatika Sosial siswa kelas VII di SMP Negeri 1 Stabat T.A. 2014/2015. 1.4. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang dikemukakan maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : Ada perbedaan yang signifikan hasil belajar yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan TPS pada materi Aritmatika Sosial siswa kelas VII di SMP Negeri 1 Stabat T.A. 2014/2015. 1.5. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : Untuk mengetahui perbedaan yang signifikan hasil belajar yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan TPS pada materi Aritmatika Sosial siswa kelas VII di SMP Negeri 1 Stabat T.A. 2014/2015.

9 1.6. Manfaat Penelitian Setelah dilakukan penelitian diharapkan hasil penelitian dapat memberikan manfaat yang berarti yaitu : 1. Bagi Guru a. Memberikan gambaran bagaimana cara mengajarkan matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe numberedhead-together (NHT) dan tipe think-pair-share (TPS). b. Dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam proses belajar mengajar khususnya dalam pemilihan model pembelajaran efektif yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa. 2. Bagi Peserta Didik a. Menumbuhkan sikap positif (minat dan respon belajar) peserta didik serta dapat mengatasi kesulitan belajar matematika yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa. b. Menumbuhkan kemampuan bekerjasama, berkomunikasi dan mendengarkan pendapat orang lain, melatih rasa peduli dan kerelaan untuk berbagi dan meningkatkan rasa penghargaan terhadap orang lain. c. Dapat dijadikan sebagai sarana untuk belajar mengaktifkan diri dalam proses belajar mengajar. 3. Bagi Sekolah Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan positif dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan khususnya dalam mata pelajaran matematika, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik dan sekaligus dapat digunakan sebagai bahan penelitian lanjutan. 4. Bagi Peneliti a. Sebagai bekal peneliti sebagai calon guru matematika agar siap melaksanakan tugas di lapangan. b. Sebagai bahan masukan dan pembanding kepada peneliti lain yang ingin meneliti permasalahan yang sama di masa yang akan datang.