BAB I PENDAHULUAN. juga tidak dapat melakukan tindakannya sendiri. 1 Agar dapat melakukan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1.

TANGGUNG JAWAB DIREKSI TERHADAP KERUGIAN PT BERDASARKAN DOKTRIN BUSINESS JUDGEMENT RULE

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Doktrin piercing the corporate veil ditransplantasi ke dalam sistem hukum

BAB I PENDAHULUAN. Grafindo Persada, Jakarta, 2000 hal 1. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. dan harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. 3. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Analisis pemahaman..., Kristanto, FH UI, BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak terelakkan lagi, dimana Indonesia berada di tengah dan dalam kancah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016. Kata kunci: Tanggungjawab, Direksi, Kepailitan, Perseroan Terbatas

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. BUMN sebagai salah satu badan hukum publik yang bergerak di sektor

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan

Direksi mempunyai tugas dan wewenang ganda yaitu melakukan pengurusan dan menjalankan perwakilan perseroan Direksi yang mengurus dan mewakili

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.

EKSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS. Oleh : Raffles, S.H., M.H.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG DOKTRIN BUSINESS JUDGMENT RULE DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

TANGGUNG JAWAB DIREKSI BERDASARKAN PRINSIP FIDUCIARY DUTIES DALAM PERSEROAN TERBATAS

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB II KEWENANGAN DIREKSI PERSEROAN DALAM MELAKSANAKAN PENGURUSAN PERUSAHAAN

PENERAPAN PRINSIP KEADILAN DALAM GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PEMENUHAN HAK-HAK PEMEGANG SAHAM MINORITAS DIAN APRILLIANI / D

KEJAHATAN KORPORASI (CORPORATE CRIME) OLEH: Dr. Gunawan Widjaja,SH.,MH.,MM

Lex Privatum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016

BAB I PENDAHULUAN. separate entity dan limited liability yang dikenal di dalam Perseroan Terbatas.

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional. Banyak

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN ANAK PERUSAHAAN. A. Status Badan Induk perusahaan dan Anak Perusahaan

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN PRINSIP FIDUCIARY RELATIONSHIP

TANGGUNG JAWAB ANGGOTA DEWAN KOMISARIS DALAM PERSEROAN ATAS KELALAIAN MELAKSANAKAN TUGAS PENGAWASAN

WEWENANG DIREKSI DAN AKIBAT HUKUMNYA BAGI PERSEROAN TERBATAS

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG DIREKSI PERSEROAN TERBATAS

TUGAS, WEWENANG, DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI & KOMISARIS BUMN PERSERO

FAJAR EKO PRABOWO WENNY SETIAWATI FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KEGIATAN EKONOMI DEPOK JANUARI 2013

BAB II RUANG LINGKUP KEDUDUKAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan: 1. Batasan Kewenangan dan Intervensi yang Dimiliki Komisaris

DAFTAR PUSTAKA. Budirto, Agus, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Mataram : Ghalia Indonesia, 2009

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Chidir. Badan Hukum Bandung: Alumni. Amos, Abraham. Legal Opinion Jakarta:Raja Grafindo Persada

BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1997 telah mengakibatkan kelumpuhan perekonomian nasional. termasuk akibat ketidakberdayaan sektor swasta nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya disebut Perseroan ) adalah badan hukum yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. struktur yang memberi ciri pada sistem, maka dapat bertahan sebagai kesatuan. 1

TUGAS DAN WEWENANG SERTA TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS. Oleh : Frankiano B.

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR

SUATU PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN Oleh : Jonas Lukas 2

BAB II KEDUDUKAN PENGURUS YAYASAN DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN. modal yang sehat, transfaran dan efisien. Peningkatan peran di bidang pasar

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang telah

BAB II PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE DI DALAM PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PADA PERSEROAN TERBATAS

BUSINESS JUDGMENT RULE SEBAGAI IMMUNITY DOCTRINE BAGI DIREKSI BADAN USAHA MILIK NEGARA DI INDONESIA *

TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERHADAP PERSEROAN YANG DINYATAKAN PAILIT. Angga Pramodya Pradhana Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun

BAB V PENUTUP. pajak, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: dengan adanya beberapa teori yaitu Doctrine of strict liability atau

BAB III TATA KELOLA KOPERASI (COOPERATIVE GOVERNANCE)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Badan Usaha Milik Negara,

BAB II KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN DALAM PERSEROAN TERBATAS

BAB III PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS DAN DAMPAK PENERAPANNYA

METODE PENELITIAN. sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode

TANGGUNG JAWAB PRIBADI DIREKSI TERHADAP PERBUATAN HUKUM PERSEROAN YANG MERUGIKAN PIHAK KETIGA

ANALISIS TERHADAP KEWAJIBAN DIREKSI PERSEROAN DALAM MENYELENGGARAKAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM. Disusun Oleh : Andri Wihanjaya N.P.M.

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dinyatakan setiap orang berhak untuk bekerja serta

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari segi kegiatannya, lebih tampak sebagai lembaga sosial. Sejak awal. dan meningkatkan kesejahteraan orang lain.

BAB III METODE PENELITIAN

BUSINESS JUDGEMENT RULE SEBAGAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DIREKSI PERSEROAN DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI BISNIS

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI PADA SEBUAH PERSEROAN TERBATAS MENURUT

KARYA TULIS ILMIAH AKIBAT HUKUM TINDAKAN PENGURUS YAYASAN DALAM MELAKUKAN PENYERTAAN MODAL KE DALAM UNIT USAHANYA

Kewenangan, Tanggung Jawab, Resiko, dan Direksi serta Business Judgment Rule. Miko Kamal. SH (Bung Ha(a), LL.M (Deakin) PhD (Macquarie)

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean BAB I PENDAHULUAN

KEPASTIAN HUKUM PENANAMAN MODAL ASING DALAM BENTUK PERSEROAN TERBATAS (NAAMLOZE VENNOTSCHAP)

PROBLEMATIKA STATUS KEKAYAAN NEGARA DALAM PERMODALAN BUMN PERSERO Oleh: Amanda Savira Karin

Materi Minggu 6. Pengambil Keputusan Strategik: Manajer Strategik dan Corak Manajemen Strategik

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. mengambil keputusan bisnis walaupun berisiko. Keputusan yang diambil dapat saja

1 Universitas Indonesia

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE. Hj. MUSKIBAH, SH. M.Hum.

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan nasional meliputi berbagai aspek antara lain

Definisi Perseroan Terbatas menurut Pasal 1 angka 1 UUPT adalah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan di bidang komunikasi dan informasi dalan era globalisasi ini telah

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era global dimana segala aspek mulai berkembang pesat salah satunya

Eksistensi RUPS sebagai Organ Perseroan Terkait Dengan Pasal 91 Undang-Undang Perseroan Terbatas. Oleh: Pahlefi 1

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2

Oleh : Nike K. Rumokoy. Abstract:

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 5/Mei/2016

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan negara merupakan salah satu asas pokok. pembentukan pemerintah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat terpisahkan dari dunia bisnis di Indonesia. Terkait dengan

DAFTAR PUSTAKA. Adrian Sutedi. Hukum Kepailitan. Bogor: Ghalia Indonesia, Jawab Pendiri Perseroan Terbatas. Jakarta: Ghalia Indonesia,2002.

BAB II MANAJEMEN RISIKO KAITANNYA DENGAN PERAN DIREKSI BANK. A. Pengertian, Fungsi dan Ruang Lingkup Manajemen Risiko

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan memperoleh dan meningkatkan kesejahteraan. 1 Mengingat prospek

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perseroan Terbatas atau yang biasa disebut PT, di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dimana dalam Pasal 1 Ayat (1) UUPT dijelaskan bahwa PT adalah badan hukum (recht persoon) dimana memiliki hak, kewajiban, dan harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. Sebagai suatu artificial person, perseroan tidak mungkin memiliki kehendak sehingga juga tidak dapat melakukan tindakannya sendiri. 1 Agar dapat melakukan kegiatannya, maka diperlukan alat perlengkapan yang disebut organ perseroan yang terdiri dari tiga macam yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris. 2 Dari ketiga organ tersebut dapat dilihat salah satu organ penting dalam PT adalah Direksi karena merupakan organ PT yang memiliki tugas mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar 3, serta bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan tujuan perseroan (Pasal 1 Ayat ( 5) dan Pasal 92 Ayat (1) UUPT). 1 Gunawan Widjaja, Tanggung jawab direksi atas kepailitan perseroan, Ed. 1. Cet. 2, PT Raja Grafindo persada, Jakarta, 2004, h. 2. 2 Gatot Supramono, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Cetakan Kelima, PT Penerbit Djambatan, Jakarta, Hal. 9. 3 M.Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi pertama, cet.ke- 1, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, h.225. 1

2 Agar dapat melakukan secara legal mandate pengelolaan perseroan harus dikelola oleh direksi. Kewajiban tersebut dibebankan oleh UUPT kepada direksi sebagai suatu organ sehingga setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseroan. 4 Hal ini karena direksi mempunyai kewenangan yang diberi oleh undang-undang dalam menjalankan fungsi pengurusan dan perwakilan perseroan terbatas sehingga tidak memerlukan kuasa dari Perseroan. 5 Apabila direksi dalam melakukan tindakan pengambilan keputusan menyebabkan kerugian pada PT, direksi tidak bertanggungjawab terhadap kerugian PT, berdasarkan business judgement rule. Doktrin Putusan Bisnis (Business Judgment Rule) berasal dari sistem common law yang merupakan turunan dari Hukum Korporasi di Amerika Serikat. Dalam hukum korporasi terdapat doktrin business judgment rule, disamping prinsip duty of skills and care, yang harus dijalankan dalam rangka memenuhi fiduciary duty oleh Direksi Perseroan Terbatas. Sejalan dengan diundangkannya UUPT yang diperbaharui dari UUPT nomor 1 tahun 1995 menjadi UUPT nomor 40 tahun 2007, yang merupakan transplantasi hukum Anglo Saxon ke dalam hukum Indonesia, doktrin- 4 Tanggung jawab kolegial masing-masing anggota direksi dalam organ direksi dijelaskan dalam penjelasan Pasal 83 Ayat (1) UUPT dan diperjelas kembali dalam ketentuan Pasal 85 Ayat (1) jo. Pasal 57 Ayat (1) UUPT dalam suatu RUPS Tahunan. 5 M.Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Edisi 1, Cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 349.

3 doktrin modern tersebut dalam corporate law juga seharusnya dikandung dalam Pasal 85 UUPT. 6 Dalam penerapannya doktrin ini mencegah pengadilan-pengadilan di Amerika untuk mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh Direksi yang diambil dengan itikad baik, dalam arti direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan direksi tersebut didasari itikad baik dan sifat hati-hati. Doktrin business judgment rule, di negara asalnya Amerika Serikat yang menggunakan sistem common law, dapat melindungi direksi dari tuntutan hukum, jika ternyata keputusan bisnis yang diambilnya membawa konsekuensi kerugian bagi korporasinya. Perlindungan ini dapat diberikan, jika dalam mengambil keputusan tersebut, direksi memenuhi sejumlah persyaratan. Persyaratan ini, antara lain, adalah tidak adanya benturan kepentingan atau conflict of interest, dan keputusan itu dibuat demi kepentingan korporasi semata atau to the best interest of the corporation. Namun, hal yang perlu dipastikan disini adalah bahwa UUPT yang saat ini berlaku telah mengandung secara penuh dan pasti doktrin business judgement rule ini. Doktrin ini yang telah lama diterapkan untuk melindungi Direksi dalam pertanggungjawaban hukum yang diambil dari keputusan-keputusan bisnis mereka dan mengajarkan bahwa suatu putusan direksi mengenai aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun 6 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Cetakan ke II, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, h. 205.

4 putusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan, sepanjang putusan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Putusan sesuai hukum yang berlaku; 2. Dilakukan dengan itikad baik; 3. Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose); 4. Putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional (rational basis); 5. Dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan oleh orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa; 6. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya (reason able belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi perseroan. 7 Jika prinsip tanggungjawab direksi tersebut dikaitkan dengan business judgement rule maka seorang direksi suatu perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan direksi sesuai dengan apa yang telah dicantumkan pada Pasal 97 ayat (5) UUPT yang mengatur mengenai syarat seorang direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas suatu kerugian PT. Berbeda dengan doktrin lainnya, yaitu fiduciary duty, ultra vires, corporate oportunity dan self dealing dan business judgement rule dirumuskan secara samar-samar dalam UUPT. 8 Dengan demikian, walaupun berbeda (tetap tidak bertentangaan) dengan doktrin-doktrin lain yang lebih memberatkan direksi. Oleh karena itu, doktrin putusan bisnis ini lebih memihak kepada direksi, tetapi masih 7 Ibid., h, 186. 8 Tri Budiyono, Desember 2009, Transplantasi Hukum, Harmonisasi dan Potensi benturan, Cetakan pertama, Griya Media, Salatiga, Hal. 258.

5 dalam koridor hukum perseroan yang umum bahwa pengadilan dapat melakukan scrunty (penilaian) terhadap setiap putusan dari direksi, termasuk putusan bisnis yang sudah di setujui oleh RUPS, sepanjang untuk memutuskan apakah putusan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku atau tidak. Akan tetapi, doktrin putusan bisnis ini tidak untuk menilai sesuai atau tidaknya dengan kebijaksanaan bisnis. 9 Di Indonesia, meskipun undang-undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan tidak mau untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi. 10 Berikut adalah salah satu kasus hukum korporasi yang penulis angkat sebagai studi kasus dalam penulisan skripsi ini yang membelit direksi di perseroan di tanah air. Kronologi singkat kasus PT. Merpati Nusantara Airlines dengan Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), yang melibatkan direksi. Direktur Utama bersama dengan para Direksi lainnya PT MNA melakukan penambahan dua unit pesawat. perjanjian sewa pesawat antara MNA dan TALG. Keduanya sepakat atas Lease of Aircraft Summary of Term (LASOT). Untuk pengadaan dua pesawat tersebut, LASOT mewajibkan Merpati menempatkan security deposit. Ternyata kedua pesawat Boeing 9 Munir Fuady I, Op.Cit. Hal. 206. 10 L.C Soesanto, Universitas Diponegoro, The Spectrum of Corporate Crime in Indonesia, http://www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/soesanto.pdf

6 yang dijanjikan tidak datang. 11 MNA pun mengadukan LASOT ke pengadilan Amerika Serikat. Akhirnya, pengadilan AS memutuskan TALG bersalah dan harus mengembalikan uang yang diambil dari MNA. Pada pengadilan Indonesia direktur PT MNA dianggap sebagai tersangka dalam perkara korupsi. Pada awal 2013 Direktur dan General Manager Merpati di vonis bebas oleh pengadilan TIPIKOR karena mereka tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi. 12 Sepintas tampaknya doktrin business judgment rule menyisihkan kekuatan berlakunya doktrin-doktrin duty of care. Praktis semua pengadilan di Amerika Serikat sepakat bahwa anggota direksi tidak harus bertanggungjawab atas terjadinya kerugian perseroan apabila anggota direksi dalam mengambil suatu pertimbangan (judgment) dilakukan dengan itikad baik. Namun kebanyakan dari pengadilan juga berpendapat bahwa tidak seharusnya para anggota direksi itu bertindak sembrono atau melakukan kelalaian yang berat. Bila demikian halnya, maka anggota direksi yang bersangkutan harus bertanggungjawab atas kerugian perseroan yang telah ditimbulkannya. 13 Mengenai perbuatan-perbuatan dan pertimbangan bisnis apa saja yang tidak dilindungi oleh business judgment rule, sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat dan hakim. Apabila kita mempelajari putusanputusan pengadilan Amerika Serikat, dapat diketahui bahwa ternyata 11 Hotasi Nababan, Jangan Pidanakan Perdata, Menggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati, Cetakan Pertama, Q Communication, Pejompongan, Jakarta, 2012, h. 9. 12 http://news.detik.com/read/2013/03/07/031656/2188024/10/kejaksaaan-ajukan-kasasi-atasvonis-bebas-hotasi-nababan, dikunjungi pada tanggal 12 November 2013 pukul 19.59. 13 Robert Charles Clark dalam Sutan Remy Syahdeni, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, h. 430.

7 Pengadilan-pengadilan tidak seragam dalam merumuskan pengecualianpengecualian rule tersebut. Beberapa pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan (judgment) seorang anggota direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali apabila pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan suatu kecurangan (fraud), atau menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality). Sedangkan beberapa pengadilan yang lain berpendapat bahwa seorang direktur, yang dalam mengambil pertimbangan yang telah menimbulkan kerugian bagi perseroan, tidak dilindungi oleh business judgment rule apabila kerugian tersebut adalah sebagai akibat kelalaian berat (gross negligence) dari anggota direksi yang bersangkutan. 14 Ide dasar dari tidak berlakunya perlindungan business judgment rule bagi anggota direksi perseroan dalam hal terdapat kecurangan (fraud) dan terdapat benturan kepentingan (conflict of interest) sedangkan para anggota direksi itu ternyata telah berupaya untuk mengedepankan kepentingan pribadinya atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat transaksi yang dilakukannya demi kepentingan pribadinya adalah karena judgment yang telah diambilnya itu tidak dapat dikatakan sebagai discretionary exercises of power on behalf of the corporation yang ingin dilindungi dengan rule tersebut. Sedangkan ide yang berada dibelakang pengecualian terhadap berlakunya business judgment rule apabila terdapat perbuatan yang melanggar hukum (illegality exception) adalah karena 14 Robert Charles Clark dalam Sutan Remy Syahdeni, Op. Cit, h. 429.

8 shareholders derivative suits can be a useful supplement to the enforcement activities of public prosecutors and regulatory agencies. 15 Uraian kasus MNA tersebut di atas menunjukkan dengan jelas adanya masalah dari segi hukum. Masalah hukum yang dimaksud adalah bahwa tindakan pengambilan keputusan direksi yang merupakan tugas direksi sehari-hari sebagai pelaksana dari perseroan yang merupakan wewenang dan tanggung jawab Direksi yang juga diatur dalam UUPT jelas menunjukkan adanya kesenjangan dari segi hukum. Sepintas tampaknya doktrin business judgment rule menyisihkan kekuatan berlakunya doktrindoktrin duty of care. Praktis semua pengadilan di Amerika Serikat sepakat bahwa anggota direksi tidak harus bertanggungjawab atas terjadinya kerugian perseroan apabila anggota direksi dalam mengambil suatu pertimbangan (judgment) dilakukan dengan itikad baik. Namun kebanyakan dari pengadilan juga berpendapat bahwa tidak seharusnya para anggota direksi itu bertindak sembrono (act negligently) atau melakukan kelalaian yang berat (act in a grossly negligently way). Bila demikian halnya, maka anggota direksi yang bersangkutan harus bertanggungjawab atas kerugian perseroan yang telah ditimbulkannya. 16 Berkaitan dengan tindakan anggota direksi atau pejabat korporasi yang mengambil tindakan untuk kepentingan dan keuntungan bagi korporasi, doktrin dalam hukum korporasi yang melindungi para direktur yang beritikad baik tersebut sebagaimana terdapat dalam teori Business 15 Loc. Cit., 16 Ibid.,

9 Judgment Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat popular untuk menjamin keadilan, bagi para direktur yang mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis. Salah satu tolak ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) yang tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah: 1. Memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar, 2. Tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik, 3. Memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan. Sehingga, apabila terbukti bahwa tindakan atau keputusan yang diambil oleh direktur untuk memberlakukan suatu kebijakan korporasi yang didasarkan atas business judgment yang tepat dalam rangka meraih keuntungan sebanyak-banyaknya bagi korporasi, maka apabila ternyata tindakan yang diambil tersebut menimbulkan kerugian yang melahirkan pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dibebankan pada pribadi pengurus (direksi atau pejabat korporasi lainnya), tetapi dibebankan pada korporasi. Pertanggungjawaban oleh pengurus hanya dimungkinkan apabila terbukti terjadi pelanggaran duty of care dan duty of loyalty.

10 Lagi pula, hal ini adalah keputusan dari direksi perusahaan bahwa pencarian penyebab dari tindakan berdasarkan dari peraturan yang sudah sempurna adalah bukan hal yang terbaik bagi perusahaan. Pendapat ini, seperti putusan bisnis yang lainnya, harus dibuat oleh direktur perusahaan sebagai pelaksanaan business judgment nya. Efek dari konklusi bisnis ini, tidak dapat dipengaruhi oleh pernyataan yang ilegal dari tindakan awal yang timbul pada penyebab tindakan tersebut. 17 Keputusan Direksi yang menimbulkan kerugian perseroan atas kesalahan atau kelalaiannya, dalam kenyataannya penuntutan, kasus PT. Merpati Nusantara Airlines yang sudah saya uraikan diatas tersebut dilakukan dengan menggunakan UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Law in book berbeda dengan law in action, karena penerapan hukum yang tidak tepat pada suatu perkara, yaitu antara hukum perdata dengan hukum pidana, atau secara khusus antara UUPT dalam ranah hukum bisnis dengan UU Pemberantasan TIPIKOR dalam hukum publik. Kesenjangan dalam bentuk lain adalah antara das sein dengan das sollen, atau ketentuan mengenai Business Judgement Rule dalam hukum korporasi. Hal ini yang perlu dipastikan, karena unsur kerugian negara itu merupakan titik tolak kasus MNA di atas yang dituntut melalui UU Pemberantasan TIPIKOR. Titik persoalan untuk memperjelas garis batas antara kerugian akibat tindakan kepengurusan sehubungan dengan resiko bisnis yang wajar yang dikandung dalam tindakan kepengurusan itu 17 Cf. Miller v. American Telephone &Telegraph Co. 507, F.2d 759 (3d Cir.1974)

11 dengan kerugian untuk memperkaya diri atau orang lain perlu diketemukan. Dalam kasus PT MNA, UUPT belum dapat menentukan standar direksi seperti di negara lain yang menetapkan standar duty of care dan duty of loyality dalam penetuan pengelolaan perseroan yang salah, apabila direksi di dalam mejalankan kewenangannya harusnya tidak melanggar prinsip fiduciary duty sesuai standar pelanggaran duty of care dan duty of loyality, maka direksi dapat memanfaatkan business judgement rule untuk pembelaan dirinya bila ia dipertanggungjawabkan dalam pengelolaan perseroan. Pada kasus kedua ini hanya merupakan resiko bisnis dan bukan tindak pidana umum yang diatur oleh KUH Pidana atau UU Pemberantasan TIPIKOR. Dengan demikian adanya kesalahan dan kelalaian dari Direksi dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi harus memenuhi syarat adanya kerugian yang timbul dari kesalahan atau kelalaiannya. Adanya kesalahan dan kelalaian dari Direksi dilihat dari tindakannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar perseroan. Dilihat dari substansinya tindakan tersebut tidak didasarkan atas itikad baik dan prinsip kehati-hatian (duty to act in good faith, duty of care, duty of loyalty) sehingga merugikan perseroan. Dilihat dari tindakannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar perseroan sehingga dapat merugikan perseroan. Yang mana menurut Pasal 97 UUPT tersebut, syarat Direksi dapat dimintakan tanggung jawab penuh secara pribadi apabila direksi melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugasnya,

12 yaitu tanpa itikad baik dan tidak bertanggungjawab serta tidak untuk kepentingan dan usaha perseroan. 18 Setelah melihat latar belakang masalah tersebut diatas maka penulis tertarik untuk menulis PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI BERKAITAN DENGAN BUSINESS JUDGEMENT RULE BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS B. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang diatas maka penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tanggungjawab direksi berkaitan dengan Business Judgement Rule berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas? 2. Bagaimanakah penerapan Doktrin Business Judgement Rule dalam kasus PT. Merpati Nusantara Airlines? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan uraian diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi atau keterangan guna: 18 Orinton Purba, Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris, dan Direksi Perseroan Terbatas agar terhindar dari Jerat Hukum, Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup), Cimanggis, Depok, 2011, h. 69.

13 1. Mengetahui pengaturan atas pertangungjawaban Direksi berkaitan dengan Business Judgement Rule berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 2. Mengetahui penerapan dari doktrin Business Judgement Rule tersebut dalam kasus PT. Merpati Nusantara Airlines. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat terhadap hukum korporasi di Indonesia dan pembelajaran, di antaranya : 1. Manfaat Teoritik Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi awal guna mengetahui lebih lanjut tentang pertanggungjawaban Direksi pada Perseroan Terbatas dikaitkan dengan Business Judgement, yang selama ini masih salah kaprah dalam perlindungan direksi dikaitkan dengan kerugian negara. 2. Manfaat Praktis Dengan penelitian ini penulis dapat menambah wawasan ilmu yang baru untuk memahami atau mengetahui pelaksanaan doktrin Business Judgement Rule dalam pertanggungjawaban Direksi pada Perseroan Terbatas yang disusun dalam bentuk skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana.

14 E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Selain itu penelitian ini juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran. Apabila di dalam penelitian tersebut menggunakan peraturan perundangundangan, yang harus dilakukan oleh peneliti adalah mencari peraturan perunfang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu tersebut. 19 Penelitian yang dilakukan peneliti merupakan penelitian yuridis normatif yang mengedepankan data sekunder untuk menjelaskan masalah hukum yang diangkat. 1. Metode Pendekatan Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji secara mendalam tentang Analisis Yuridis Normatif terhadap Pertanggungjawaban Direksi berkaitan dengan Business 19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Surabaya, 2010, h. 194.

15 judgement Rule berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 20 b. Pendekatan Konsep adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Dalam penelitian ini pertanggungjawaban direksi berkaitan dengan business judgement rule berdasarkan undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. 2. Teknik Pengumpulan Data Suatu penelitian membutuhkan data yang lengkap, dalam hal ini dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai validitas dan reabilitas yang cukup tinggi. Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data, karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kepustakaan dalam melakukan pengumpulan data yaitu dalam menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan dan 20 Ibid, h. 93.

16 bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer, sebagai contoh buku-buku, jurnal, majalah, buletin dan internet. 3. Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer yaitu Peraturan Perundang-undangan antara lain: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dimana merumuskan pasal 1 ayat (1), pasal 1 ayat (5), pasal 92 ayat (1), pasal, 92 ayat (5) pasal 85, pasal 103, dan pasal 97. b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh pada jurnaljurnal hukum, pendapat para sarjana, yurisprudensi dan hasilhasil simposium mutakhir atau majalah hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terkait dengan permasalahan yang dikaji yaitu berasal dari penjelasan Undang-undang, buku-buku liberatur, artikel, internet dan pendapat para ahli. 21 c. Bahan Hukum Tersier, yang merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan 21 Ibid, h. 296.

17 hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum dan Oxford Law Dictionary, dan Black s Law Dictionary. 4. Unit Analisis dan Unit Amatan a. Unit Amatan Unit amatan di dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya yang ditempuh dalam penyelamatan kredit bermasalah berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. b. Unit Analisis Dalam Anailis ini untuk pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui Studi Kepustakaan (Library Research), berupa dokumen-dokumen maupun Peraturan Perundangundangan yang berkaitan dengan Tanggung jawab direksi berkaitan dengan business judgement.