BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak menuju masa

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, keadaan dunia pendidikan di Indonesia mengalami. perkembangan. Salah satu perkembangan terbaru yang terjadi adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 2014

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian No.Daftar : 056/S/PPB/2012 Desi nur hidayati,2013

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY DAN PEMODELAN TERHADAP SELF-EFFICACY SISWA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB II MENINGKATKAN SELF EFFICACY MELALUI BIMBINGAN KELOMPOK TEKNIK MODELING. A. Memahami Self Efficacy dan Proses Pembentukannya

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi. dan negara. Contoh peran pendidikan yang nyata bagi perkembangan dan

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini setiap orang berusaha untuk dapat bersekolah. Menurut W. S

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu terlahir dengan memiliki kapasitas untuk belajar yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pengetahuan atau menambah wawasan. Penyelenggaraan. melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB I PENDAHULUAN. yang dididik secara formal dan diberikan wewenang untuk menerapkan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai tenaga kerja merupakan salah satu aset yang menentukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam rangka menyongsong era persaingan bebas antar bangsa yang semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. Menengah Pertama individu diberikan pengetahuan secara umum, sedangkan pada

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Perguruan tinggi merupakan satuan penyelenggara pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. tingkat ini seorang siswa mulai mengalami penjurusan IPA dan IPS. Selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan negara di segala bidang. Agar mendapatkan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. tersebut maka terjadi banyak perubahan di segala bidang termasuk di bidang

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

2016 HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PRESTASI BELAJAR

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya peranan pendidikan dalam kehidupan. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebutuhan dibentuk oleh lima kebutuhan konatif (conative needs), yang memiliki karakter

BAB I PENDAHULUAN. sumbangsih bagi bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Untuk memajukan

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi atau Universitas merupakan lembaga pendidikan tinggi di

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan dan sepanjang hidup serta segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman sekarang ini kemajuan suatu negara dipengaruhi oleh faktor

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia (SDM) yang berkualitas. Manusia harus dapat menyesuaikan dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya ( Oleh

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai

BAB II LANDASAN TEORI. emosional dengan adanya ciri-ciri seperti keterangsangan fisiologis, perasaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat keberhasilan pendidikan.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal (Harian

PENINGKATAN SELF EFFICACY PESERTA DIDIK MELALUI KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK KOGNITIF. Oleh: Andi Riswandi Buana Putra, M.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Di tahun 2009 angka pengangguran terdidik telah mencapai

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk mencapai tujuan pembangunan, karena sumber daya manusia yang

2016 EFEKTIVITAS STRATEGI SELF-REGULATED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN SELF-EFFICACY PESERTA D IDIK D ALAM MENGHAFAL AL-QUR AN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Dalam pendidikan formal dan non- formal proses belajar menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Persaingan di era globalisasi sangat menuntut sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah suatu masa bagi individu untuk mempersiapkan diri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi ini, pertumbuhan di bidang pendidikan kian

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA AKSELERASI. Widanti Mahendrani 1) 2)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Elsa Sylvia Rosa, 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sengaja,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan selalu berkaitan dengan pendidik dan peserta didik. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tugas perkembangannya di periode tersebut maka ia akan bahagia, namun

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam perkembangan remaja dalam pendidikan formal seperti di sekolah,

BAB I PENDAHULUAN. perilaku yang diinginkan. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

PENINGKATAN PEMAHAMAN SISWA TERHADAP LAYANAN INFORMASI DENGAN TEKNIK MODELING DALAM PEMILIHAN JURUSAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Bedasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU pendidikan No.2 Tahun,1989, pendidikan adalah usaha sadar untuk

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Dalam pendidikan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi.

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. impian masa depan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut,

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Bandura self efficacy adalah kepercayaan individu pada kemampuannya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Masa sekarang masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebabkan karena masa remaja dikenal sebagai masa untuk mencari identitas dan

BAB I PENDAHULUAN. hanya membekali siswa dengan kemampuan akademik atau hard skill,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai bidang kehidupan, yaitu politik, ekonomi, sosial dan budaya. Perubahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sri Murni, 2014 Program bimbingan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa

BAB I PENDAHULUAN. Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) termasuk individu-individu yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa transisi ini, remaja mengalami perubahan dalam aspek fisik, mental, spiritual, intelektual, dan sosial. Perkembangan remaja yang dapat dicapai dengan baik merupakan bekal keberhasilan di masa dewasa kelak. Berdasarkan karakteristik perubahan yang terjadi pada masa remaja, seringkali para remaja dihadapkan berbagai masalah yang menyangkut berbagai aspek perkembangan. Timbulnya masalah ini banyak berhubungan dengan tuntutan tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja, sehingga remaja perlu menyesuaikan diri antara kekuatan diri yang dimilikinya dengan kelemahan dirinya dan tantangan dari lingkungan. Masalah-masalah remaja juga berhubungan dengan pengaruh lingkungan yang datang, mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Terkait hubungan dengan keluarga, remaja sering menghadapi masalah yang timbul karena terjadinya pergeseran peran dalam keluarga yaitu dari anak-anak menjadi remaja (Santrock, 1995:41). Misalnya remaja menginginkan untuk bersikap mandiri dan diakui sebagai sosok yang telah dewasa, sedangkan orang tua melihat sikap remaja tersebut sebagai anak yang telah melepaskan diri dari orang tua. Banyak orang tua yang menganggap bahwa anak mereka berubah pada saat menginjak remaja, dari seorang anak yang penurut menjadi seorang anak yang tidak mau

diatur dan menentang standar yang ditetapkan oleh orang tua. Apabila hal ini terjadi orang tua cenderung mengendalikan dengan keras dan memberi banyak tekanan kepada remaja agar menaati standar-standar orang tua. Demikian pula peran remaja sebagai seorang siswa di sekolah, hal umum yang dihadapi oleh remaja adalah berkaitan dengan cara belajar, penyesuaian pendidikan, dan penyesuaian dengan norma sekolah. Transisi dari sekolah dasar ke sekolah lanjutan memungkinkan dapat menimbulkan stress. Hal ini disebabkan karena transisi berlangsung ketika terjadi banyak perubahan pada individu di dalam keluarga dan sekolah yang berlangsung secara serentak. Santrock (1995:16) menyatakan bahwa remaja yang melakukan transisi dari sekolah dasar ke sekolah lanjutan mengalami top-dog phenomenon yaitu keadaan bergerak dari posisi teratas (di sekolah dasar menjadi murid yang paling tua dan berkuasa) ke posisi yang terendah (di sekolah lanjutan menjadi murid yang paling muda). Penelitian Eccles & Midgely menemukan bahwa tahun pertama di sekolah lanjutan menyulitkan bagi banyak murid (Santrock, 1995:16). Contoh lain masalah yang dihadapi oleh siswa adalah pemilihan jurusan yang diminati seringkali bertentangan dengan keinginan orang tua, sehingga tidak jarang orang tua memaksa anak mereka memilih jurusan yang tidak diminati oleh anak. Keterpaksaan siswa memilih jurusan yang tidak diminati mempengaruhi terhadap kesuksesan dalam bidang akademik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Eccles, Wigfield dan Schiefele yang menemukan bahwa hubungan siswa dengan orang tua dapat mempengaruhi terhadap prestasi dan motivasi sosial siswa (Santrock, 2007:532). Santrock (2007:529) juga menyatakan bahwa

beberapa anak mengidap kecemasan tingkat tinggi disebabkan karena orang tua membebankan standar prestasi yang tidak realistis. Peneliti melakukan studi pendahuluan melalui wawancara dengan tujuh siswa SMA. Hasil studi menunjukkan bahwa siswa memiliki minat yang berbeda terhadap mata pelajaran yang berbasis sains dan sosial. Dua dari tujuh siswa menyukai pelajaran berbasis sains daripada mata pelajaran yang berbasis sosial, dengan alasan karena pelajaran yang berbasis sains dianggap mata pelajaran pasti (tanpa analisis nalar). Lima siswa menyatakan bahwa mereka merasa lebih mudah dan berminat terhadap pelajaran yang berbasis sosial karena tidak menggunakan logika matematika (hitung menghitung). Perbedaan minat terhadap dua basis mata pelajaran ini seringkali menimbulkan respons yang berbeda. Bagi siswa yang lebih berminat terhadap mata pelajaran berbasis sosial cenderung kurang berminat dan merasa sulit mempelajari mata pelajaran sains. Hal ini menjadi problem tersendiri dalam tugas akademik. Hasil wawancara menunjukkan bahwa siswa merasa nilai mata pelajaran yang diminati lebih baik dibanding mata pelajaran yang tidak diminati. Berdasarkan studi pendahuluan di atas peran pendidik tidak hanya menemukan metode yang tepat untuk menyampaikan mata pelajaran yang dianggap sulit bagi siswa, akan tetapi juga menumbuhkan keyakinan siswa untuk menyelesaikan tugas yang dianggap sulit. Dengan demikian usaha yang mereka lakukan lebih bersifat intrinsik dan bukan karena tekanan dari luar. Disamping itu, kebijakan akademik yang berlaku di setiap sekolah seringkali menimbulkan persepsi tersendiri bagi siswa. Hasil survei yang

dilakukan oleh Nurmalitasari (2010:15) di RSBI SMAN 3 Semarang kepada siswa kelas olimpiade menunjukkan bahwa 36 siswa di kelas olimpiade merasa jenuh dengan metode penyampaian yang monoton, dan banyaknya tugas yang diberikan di luar jam sekolah, Tiga puluh siswa merasa kecewa dan sedih bahkan ada tiga siswa yang merasa lemas dan pusing bila mengalami kegagalan akademik. Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa siswa tidak hanya membutuhkan program pendukung untuk meningkatkan pemahaman terhadap mata pelajaran yang tidak diminati, melainkan juga dibutuhkan penanaman untuk menumbuhkan keyakinan dapat menyelesaikan tugas-tugas yang dianggap sulit sehingga individu mampu beradaptasi terhadap stress yang dihadapi. Menurut Bandura (1997:22) keyakinan akan kemampuan diri untuk menguasai situasi dan menyelesaikan tugas-tugas yang dianggap sulit disebut dengan self efficacy. Self efficacy mempengaruhi usaha individu, seberapa besar individu memiliki daya tahan menghadapi kesulitan dan reaksi emosi yang ditunjukkan pada saat menghadapi tugas. Bandura menyakini bahwa self efficacy merupakan faktor penting yang mempengaruhi terhadap prestasi murid (Santrock, 2010:352). Siswa yang memiliki self efficacy tinggi mau mengerjakan tugas-tugas yang menantang, mereka menyetujui pernyataan saya tahu bahwa saya mampu menguasai materi ini dan saya bisa mengerjakan tugas ini. Beberapa hasil penelitian tentang self efficacy dalam bidang pendidikan yang dilakukan oleh Bouffard-Bouchard, Parent, dan Larive menemukan bahwa siswa dengan self efficacy yang tinggi memberikan kontribusi dalam strategi regulasi diri yang lebih efektif (Santrock, 2007:525-529). Studi ini mendukung

pendapat Bandura yang menyatakan bahwa self efficacy dapat meningkatkan ketekunan siswa, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kinerja memori mereka. Hasil penelitian Pintrich dan Schunk (Santrock:530) menunjukkan bahwa self efficacy dapat mempengaruhi murid dalam memilih tugas, usaha, ketekunan, dan prestasinya. Murid yang merasa mampu menguasai suatu keahlian atau melaksanakan suatu tugas akan lebih siap untuk berpartisipasi, bekerja keras, lebih ulet dalam menghadapi kesulitan dan mencapai level yang lebih tinggi. Pernyataan di atas menjadi bukti bahwa self efficacy merupakan kebutuhan siswa yang perlu dikembangkan sebagai bekal dalam menjalani tugas-tugas dan tantangan kehidupan. Zimmerman, Bandura, dan Martinez-Pons (Schulze, & Schulze, 2007:87) menggunakan analisis jalur untuk menunjukkan bahwa self efficacy meningkatkan kinerja siswa baik secara langsung maupun tidak langsung. Siswa yang memiliki self efficacy yang tinggi tidak hanya menunjukkan keberhasilan yang lebih baik secara akademik akan tetapi mereka juga menetapkan tujuan akademik yang lebih tinggi untuk diri mereka sendiri. Bimbingan dan konseling sekolah memiliki peran penting dalam memberikan layanan kepada siswa untuk pengembangan diri. Studi yang dilakukan oleh Kartadinata (2011:85) menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling di sekolah dirasakan bermanfaat oleh peserta didik dalam pengembangan diri, walaupun pola pikir dan perilaku yang dikembangkan belum terwujud dalam perilaku aktual yang mapan. Peserta didik menaruh harapan

(ekspektasi) yang cukup tinggi terhadap layanan bimbingan dan konseling untuk membantu dirinya dalam hal memahami diri dan lingkungan, memahami nilainilai, memperoleh informasi untuk mengembangkan rencana karir, mengembangkan dan memperbaiki sifat diri, serta dalam hal mengembangkan kemampuan interaksi sosial dan kehidupan beragama. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Amerika yang menunjukkan bahwa layanan konseling yang berkualitas tinggi memiliki efek jangka panjang pada kesejahteraan siswa serta dapat mencegah siswa dari kekerasan dan obat-obatan. Layanan konseling sekolah yang berkualitas dapat meningkatkan prestasi akademik siswa, memberikan efek positif pada nilai siswa, meningkatkan kemampuan guru untuk mengelola kelas secara efektif dan dapat membantu untuk mengatasi kebutuhan kesehatan mental siswa (McQuillan, 2008: 9) Hasil penelitian bimbingan komprehensif yang dilakukan dalam negeri sejak tahun 1994 sampai sekarang menunjukkan bahwa bimbingan komprehensif mampu memberikan kontribusi yang positif di sekolah (Nurihsan, 2011:316). Berikut beberapa hasil penelitian yang dilakukan: penelitian yang dilakukan oleh Nurihsan sejak tahun 1994 hingga 1998 yang menunjukkan bahwa bimbingan komprehensif mampu meningkatkan mutu proses dan mutu hasil pendidikan di SMU Jawa Barat. Penelitian yang dilakukan oleh Kartadinata dan kawan-kawan menunjukkan bahwa bimbingan komprehensif perkembangan mampu meningkatkan mutu menejemen sistem layanan bimbingan dan konseling di sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi di Jawa Barat. Penelitian

berikutnya dilakukan oleh Nurihsan dkk menunjukkan bahwa bimbingan komprehensif mampu meningkatkan mutu pendidikan di sekolah menengah atas di Padang, Manado, dan Nusa Tenggara Timur. Model pengembangan program bimbingan dan konseling komprehensif yang dikembangkan oleh ASCA merupakan bagian terpadu dari keseluruhan program pendidikan di sekolah. Program-program yang dikembangkan dalam bimbingan dan konseling di sekolah merupakan program yang sesuai dengan perkembangan siswa secara akademik, karir, dan pribadi-sosial. Self efficacy merupakan salah satu aspek perkembangan siswa yang perlu dikembangkan untuk mencapai perkembangan akademik, karir, dan pribadi-sosial secara optimal. Schunk (Santrock, 2010:523) menyatakan: Self efficacy mempengaruhi aktivitas siswa. Siswa yang memiliki self efficacy rendah memungkinkan untuk menghindari banyak tugas belajar, khususnya yang menantang dan sulit. Sebaliknya siswa yang memiliki self efficacy tinggi bersedia untuk mengerjakan tugas-tugas yang menantang dan sulit. Mereka lebih mungkin untuk tekun berusaha menguasai tugas-tugas pembelajaran. Alderman (Schulze, 2007:108) menyatakan bahwa teknik untuk dapat membangun self efficacy siswa dalam pembelajaran adalah modeling, feedback, goal setting, rewards, dan asessment self eficacy. Di antara teknik tersebut proses modeling dapat diterapkan dalam strategi kelompok. Proses modeling mengarah kepada proses yang menunjukkan dan menjelaskan proses penguasaan keterampilan baru terhadap orang yang baru mengenal. Modeling merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan self efficacy, karena dengan modeling dapat memberikan informasi yang jelas mengenai bagaimana mendapatkan

keterampilan dan dapat meningkatkan harapan siswa bahwa ia bisa menguasai keterampilan tersebut (Schunk 1989). Ada dua tipe modeling yang dapat digunakan di kelas untuk meningkatkan self efficacy siswa, yaitu: mastery dan coping model. Mastery model adalah menampilkan seseorang yang ahli pada satu tugas kepada peserta didik untuk dijadikan model. Model ini membantu siswa mengembangkan kemampuan untuk mengatasi masalah dan rintangan. Coping model dilakukan dengan menampilkan seseorang yang mungkin masih memiliki beberapa kesulitan dengan tugas, akan tetapi dapat menjadi contoh dan menunjukkan bahwa ia dapat menyelesaikan tugas dengan sukses kepada seseorang yang baru mendapatkan keterampilan (Schulze 2007:108). Peran teman sebaya (coping model) dan guru (mastery model) sangat membantu dalam meningkatkan self efficacy melalui teknik modeling ini. Menurut Alderman (Schulze & Schulze 108:2007) banyak peneliti yang menyakini bahwa melakukan tugas-tugas bersama teman sebaya yang lebih mampu dapat membantu individu menempuh penyelesaian tugas-tugas. Schmuck & Schmuck (2007:93) menyatakan bahwa membentuk kelompok kecil dapat membantu satu sama lain untuk menyelesaikan tugas yang lebih kompleks serta strategi untuk meningkatkan self efficacy siswa. Penelitian lain menemukan bahwa pembelajaran kooperatif melalui kelompok kecil dapat menjadi strategi yang efektif untuk meningkatkan prestasi terutama jika dua syarat terpenuhi (Santrock, 2010:397), yaitu pertama, disediakan penghargaan kepada kelompok. Beberapa tipe pengakuan atau

penghargaan diberikan kepada kelompok sehingga anggota kelompok dapat memahami bahwa membantu orang lain adalah demi kepentingan diri mereka juga. Hal ini sejalan dengan pernyataan Schulze & Schulze (2007:109) yang menyatakan bahwa penghargaan terbaik diberikan kepada kelompok, bukan secara individual. Menghargai siswa sebagai satu kelompok akan membantu menciptakan suasana yang lebih kooperatif, dan teman sebaya dapat berperan sebagai model yang efektif. Kedua, meminta pertanggung jawaban individu sebagai bagian dari kelompok. Jika dua hal ini terpenuhi, maka pembelajaran kooperatif akan meningkatkan prestasi di grade yang berbeda-beda dan meningkatkan prestasi di bidang keterampilan dasar seperti pemecahan masalah. Bimbingan kelompok dengan teknik modeling diharapkan mampu mengembangkan perfomansi self efficacy pada siswa. Sebagaimana dalam paparan di atas bahwa guru dan teman sebaya memberikan peran yang penting dalam meningkatkan self efficacy siswa. Kesimpulan ini juga didukung oleh pengalaman Harpine (2008: 07) dalam mengembangkan program bimbingan yang berpusat pada kelompok dalam Camp Sharigan (sebuah program motivasi) bersama anak dan remaja. Melalui pengalaman tersebut Harpine mampu mengembangkan self efficacy anak-anak dan remaja dengan baik. B. Rumusan masalah Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan sebelum melakukan treatmen, terdapat beberapa siswa yang perlu mendapatkan bimbingan akademik lebih intens. Permasalahan akademik yang biasa terjadi adalah berkaitan dengan

tugas-tugas belajar, misalnya pencapaian nilai yang belum mencukupi standar, anak berkebutuhan khusus, keterlambatan berada di sekolah, dan antusiasme dalam belajar. Berdasarkan hasil studi pendahuluan tersebut, peneliti menilai perlu adanya layanan dasar di bidang akademik yang bertujuan untuk meningkatkan minat dan kepercayaan menyelesaikan tugas-tugas belajar sebagai siswa. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Apakah bimbingan kelompok teknik modeling meningkatkan self efficacy akademik siswa SMA Laboratorium UPI? rumusan masalah ini dijabarkan ke dalam beberapa sub rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah perbandingan self efficacy akademik siswa SMA Laboratorium UPI sebelum dan setelah mendapat perlakuan bimbingan kelompok teknik modeling? 2. Bagaimanakah gambaran self efficacy akademik siswa SMA Laboratorium UPI yang mendapatkan perlakuan bimbingan kelompok teknik modeling jenis coping model dan mastery model? C. Tujuan penelitian Sesuai dengan rumusan masalah penelitian yang telah disebut di atas yaitu untuk menguji meningkatkan efektivitas bimbingan kelompok teknik modeling dalam self efficacy akademik siswa. Secara lebih rinci penelitian ini dimaksudkan untuk mencapai hal-hal berikut.

1. Mengetahui perbandingan self efficacy akademik siswa SMA Laboratorium UPI sebelum dan setelah mendapat perlakuan bimbingan kelompok teknik modeling. 2. Mengetahui gambaran self efficacy akademik siswa SMA Laboratorium UPI yang mendapatkan perlakuan bimbingan kelompok teknik modeling jenis coping model dan mastery model. 3. Mengetahui efektivitas bimbingan kelompok teknik modeling jenis mastery model dan coping model dalam meningkatkan self efficacy akademik siswa. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini memberikan sejumlah manfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini memperkaya dan menguatkan teori tentang salah satu cara untuk meningkatkan self efficacy melalui vicarious experience atau modeling. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi rujukan untuk pengembangan teori self efficacy dan bimbingan di sekolah. 2. Secara praktis a. Bagi sekolah, khususnya guru BK. Penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam mengembangkan program layanan bimbingan terutama untuk meningkatkan self efficacy akademik siswa.

E. Asumsi b. Bagi prodi BK. Penelitian ini dapat menjadi salah satu kekayaan hasil penelitian sebagai pengembangan keilmuan di dunia akademik. c. Bagi peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk memperkuat pada kajian teoritis. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka peneliti mengajukan asumsi dasar. 1. Berdasarkan teori self efficacy menyatakan bahwa salah satu sumber self efficacy adalah melalui modeling (Vicarious Experience). Bandura (1997:86) menyatakan bahwa vicarious experience juga efektif untuk meningkatkan self efficacy individu. 2. Bandura (1997:99) menyebutkan bahwa model yang digunakan dapat berupa mastery model ataupun coping model. Modeling formats may rely on masterly models, who perform calmly and faultlessly, or on coping models, who begin timorously but gradually over- come their difficulties by tenacious effort than from observing only facile performances by adept models. 3. Penelitian Pintrich dan Schunk (Santrock, 2010:530) menunjukkan bahwa self efficacy dapat mempengaruhi murid dalam memilih tugas, usaha, ketekunan, dan prestasinya. Murid yang merasa mampu menguasai suatu keahlian atau melaksanakan suatu tugas akan lebih siap untuk berpartisipasi, bekerja keras, lebih ulet dalam menghadapi kesulitan dan mencapai level yang lebih tinggi. Pernyataan di atas menjadi bukti bahwa

self efficacy merupakan kebutuhan siswa yang perlu dikembangkan sebagai bekal dalam menjalani tugas-tugas dan tantangan kehidupan. 4. Zimmerman, Bandura, dan Martinez-Pons (Schulze, & Schulze, 2007:87) menggunakan analisis jalur untuk menunjukkan bahwa self efficacy meningkatkan kinerja siswa baik secara langsung maupun tidak langsung. Siswa yang memiliki self efficacy yang tinggi tidak hanya menunjukkan keberhasilan yang lebih baik secara akademik akan tetapi mereka juga menetapkan tujuan akademik yang lebih tinggi untuk diri mereka sendiri F. Metode penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode eksperimen kuasi dan desain nonrandomized pretest-postest control group design. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan instrumen self report self efficacy akademik yang disusun oleh peneliti yang kemudian di koreksi oleh ahli. Lokasi penelitian ini adalah di SMA Laboratorium Universitas Pendidikan Indonesia dengan mengambil sampel kelas X.