PEMETAAN BATIMETRI 3D PERAIRAN PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA WORLDVIEW-2 BAGUS BASTIAN

dokumen-dokumen yang mirip
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

Evaluasi Citra Quickbird untuk Pemetaan Batimetri Gobah Dengan Menggunakan Data Perum: Studi Kasus Gobah Karang Lebar dan Pulau Panggang

Evaluasi Citra Quickbird untuk Pemetaan Batimetri Gobah Dengan Menggunakan Data Perum: Studi Kasus Gobah Karang Lebar dan Pulau Panggang

EVALUASI CITRA WORLDVIEW-2 UNTUK PENDUGAAN KEDALAMAN PERAIRAN DANGKAL PULAU KELAPA-HARAPAN MENGGUNAKAN ALGORITMA RASIO BAND

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN-SHARPENED

PEMISAHAN ANTARA RADIANSI DASAR PERAIRAN DAN RADIANSI KOLOM AIR PADA CITRA ALOS AVNIR-2

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juni 2015, ISSN

Pengaruh Pengambilan Sampel... (Syarif Budhiman et al.)

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Analisa Perubahan Luasan Terumbu Karang Dengan Metode Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Pulau Menjangan, Bali) Teguh Hariyanto 1, Alhadir Lingga 1

EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Diterima: 9 Februari 2008; Disetujui: 9 November 2008 ABSTRACT ABSTRAK

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Pola Sebaran Total Suspended Solid (TSS) di Teluk Jakarta Sebelum dan Sesudah Reklamasi

APLIKASI DATA SATELIT SPOT 4 UNTUK MENDETEKSI TERUMBU KARANG: STUDI KASUS DI PULAU PARI

APLIKASI ALGORITMA VAN HENGEL DAN SPITZER UNTUK EKSTRAKSI INFORMASI BATIMETRI MENGGUNAKAN DATA LANDSAT

PEMETAAN PROFIL HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL BERDASARKAN BENTUK TOPOGRAFI: Studi Kasus Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Jakarta

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

Validasi Algoritma Estimasi Konsentrasi Chl-A pada Citra Satelit Landsat 8 dengan Data In-Situ (Studi Kasus: Perairan Selatan Pulau Lombok, NTB)

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

KAJIAN GEOMORFOLOGI HABITAT BENTIK PERAIRAN DANGKAL PULAU HARAPAN-KELAPA, KEPULAUAN SERIBU TARLAN SUBARNO

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

HASIL DAN ANALISA. 3.1 Penentuan Batas Penetrasi Maksimum

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

Pemetaan Distribusi Spasial Konsentrasi Klorofil-a dengan Landsat 8 di Danau Towuti dan Danau Matano, Sulawesi Selatan

3. METODOLOGI PENELITIAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN LAUT DANGKAL DI GUGUSAN PULAU TIGA, KABUPATEN NATUNA DENGAN MENGGUNAKAN CITRA ALOS AVNIR-2 LA ODE AHMAD MUSTARY

PERUBAHAN DELTA DI MUARA SUNGAI PORONG, SIDOARJO PASCA PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO

Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun

VALIDASI ALGORITMA ESTIMASI KONSENTRASI CHL-A PADA CITRA SATELIT LANDSAT 8 DENGAN DATA IN-SITU (Studi Kasus: Perairan Selatan Pulau Lombok, NTB)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL PULAU PANGGANG DAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN CITRA WORLDVIEW-2 ADE AYU MUSTIKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB III METODE PENELITIAN

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolio, Surabaya Jl. Kalisari No.08 Pekayon Pasar Rebo, Jakarta 13710

BAB III METODE PENELITIAN

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

DAFTAR PUSTAKA. 1. Abidin, Hasanuddin Z., 2001, Geodesi Satelit, PT Pradya Paramita, Jakarta.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KOMPLEKSITAS DASAR PERAIRAN TERUMBU KARANG DENGAN BENTHIC TERRAIN MODELER DAN IN SITU RUGOSITY DI PULAU KELAPA DAN HARAPAN, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

PEMETAAN BENTIK HABITAT DAN TUTUPAN LAHAN PULAU TUNDA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT WORLDVIEW-2 IRPAN PIDIA PUTRA

ix

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan

PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN CITRA SATELIT SPOT-5 DI PESISIR BINTAN TIMUR, KEPULAUAN RIAU ALVIDITA BEATRIX INDAYANI

APLIKASI CITRA QUICKBIRD UNTUK PEMETAAN 3D SUBSTRAT DASAR DI GUSUNG KARANG

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

STUDI KONSENTRASI KLOROFIL-A BERDASARKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH TERAPAN KALIBRASI RADIOMETRIK PADA CITRA LANDSAT 8 DENGAN MENGGUNAKAN ENVI 5.1

PEMETAAN PROFIL TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI IWAN ERIK SETYAWAN

EVALUASI AKURASI EKSTRAKSI KEDALAMAN LAUT DENGAN METODE LYZENGA DAN MODIFIKASINYA MENGGUNAKAN DATA SPOT-7 DI TELUK BELANGBELANG MAMUJU

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

Perbandingan Pengaruh Koreksi Radiometrik Citra Landsat 8 Terhadap Indeks Vegetasi Pada Tanaman Padi

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di :

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

Neritic Vol. 6 No.1, hal 01-06, Maret 2015 ISSN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

MODIFIKASI ALGORITMA AVHRR UNTUK ESTIMASI SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) CITRA AQUA MODIS

MONITORING PERUBAHAN LANSEKAP DI SEGARA ANAKAN, CILACAP DENGAN MENGGUNAKAN CITRA OPTIK DAN RADAR a. Lilik Budi Prasetyo. Abstrak

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN

PROSIDING SEMINAR NASIONAL GEOMATIKA 2012 BADAN INFORMASI GEOSPASIAL

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

Jurnal Geodesi Undip April 2015

Uji Akurasi Produk Reflektan-Permukaan Landsat Menggunakan Data In situ di Danau Kasumigaura, Jepang

Ari Anggoro 1, Vincentius P. Siregar, dan Syamsul B. Agus Institut Pertanian Bogor Jl. Lingkar Akedemik, Kampus IPB Dermaga, Bogor Indonesia

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

EVALUASI AKURASI EKSTRAKSI KEDALAMAN LAUT DENGAN METODE LYZENGA DAN MODIFIKASINYA MENGGUNAKAN DATA SPOT-7 DI TELUK BELANGBELANG MAMUJU

RSNI-3 Rancangan Standar Nasional Indonesia-3

Transkripsi:

PEMETAAN BATIMETRI 3D PERAIRAN PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA WORLDVIEW-2 BAGUS BASTIAN DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Batimetri 3D Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Worldview-2 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skipsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2013 Bagus Bastian NIM C54080030

ABSTRAK BAGUS BASTIAN. Pemetaan Batimetri 3D Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Worldview-2. Dibimbing oleh VINCENTIUS P SIREGAR. Salah satu keunggulan memanfaatkan inderaja adalah untuk pemetaan batimetri yang lebih efektif dan efisien dibanding metode lainnya. Batimetri juga termasuk kedalam suatu sistem dinamis yang rentan akan perubahan, sehingga teknologi inderaja merupakan solusi alternatif yang tepat secara cepat dan berkala untuk merevisi peta batimetri yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan batimetri perairan dangkal Pulau Panggang, Kepulauan Seribu menggunakan citra Worldview-2 dengan mengaplikasikan algoritma Stumpf (2003) melalui pemilihan dari 3 kombinasi kanal, Green/Yellow (G/Y), Green/Red (G/R) dan Coastal Blue/NIR2 (CB/N2) dan menyajikannya dalam 3 dimensi (3D). Model kombinasi kanal yang terpilih sebagai konverter kedalaman aktual diantaranya model G/R dengan akurasi 73,6% untuk perairan dangkal dan G/Y dengan akurasi 69,1% dan 74,2% untuk perairan gobah. Tingkat akurasi peta batimetri hasil estimasi mencapai 67%. Penggabungan data pemeruman dengan batimetri hasil estimasi menciptakan gambaran 3 dimensi topografi perairan Pulau Panggang yang lebih baik. Kata kunci: algoritma Stumpf, batimetri, pemetaan, Worldview-2 ABSTRACT BAGUS BASTIAN. 3D Bathymetric Mapping of Panggang Island Waters, Seribu Islands Using Image of Worldview-2. Supervised by VINCENTIUS P SIREGAR. One of the advantage to utilizing remote sensing is to map bathymetry that more effective and efficient than the others method. Also bathymetry is included into a dynamic system that vulnerable to changes, so that remote sensing technology is the alternative solution which are quickly and periodically to revise the existing bathymetry maps. This research aim is to map the shallow waters bathymerty of Panggang Island, Seribu Islands using image of Worldview-2 by applying Stumpf algorithm (2003) through the selection of the 3 bands combination, Green/Yellow (G/Y), Green/Red (G/R) and Coastal Blue/NIR2 (CB/N2) and presenting it in three dimensions (3D). Band combination model was chosen as the actual depth converter are G/R model with an accuracy of 73.6% for the shallow waters, G/Y model with an accuracy of 69.1% and 74.2% for lagoon areas. The result showed that the bathymetry map s accuracy rate reached 67%. Complementary the sounding data with bathymetry from the estimation creates a better 3-D image topography of Panggang Island waters. Keywords: bathymetry, mapping, Stumpf algorithm, Worldview-2

PEMETAAN BATIMETRI 3D PERAIRAN PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA WORLDVIEW-2 BAGUS BASTIAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu Dan Teknologi Kelautan DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Judul Skripsi : Pemetaan Batimetri 3D Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Worldview-2 Nama : Bagus Bastian NIM : C54080030 Disetujui oleh Dr.Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Ketua Departemen Tanggal Lulus: 23 Mei 2013

PRAKATA Puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam penulisannya, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Dr.Ir. Vincentius P. Siregar, DEA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbinganya selama penyelesaian penelitian. 2. Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc dan Dr. Henry Manik, Ph.D, selaku Dosen Penguji Tamu dalam ujian skripsi ini. 3. Dr. Syamsul Bahri Agus, S.Pi, M.Si, Dr. Muh. Banda Selamat, MT., S.Pi dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL (DISHIDROS TNI-AL) atas data dan arahannya. 4. Ayah, Ibu, dan seluruh keluarga atas dukungannya baik secara moril maupun materil selama penyusunan skripsi ini. 5. Iqoh Faiqoh, terima kasih atas dukungan dan semangat yang telah diberikan. 6. Keluarga besar ITK 45 atas persahabatan dan suka duka yang telah terbangun selama ini. Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna bagi diri sendiri maupun pembaca dapat dikembangkan melalui penelitian selanjutnya. Bogor, Mei 2013 Bagus Bastian

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 METODE 3 Bahan dan Alat 3 Pengumpulan dan Pengolahan Data Lapang 3 Pengolahan Citra 5 Peta Batimetri dan Peta Topografi 3D 8 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Pemilihan Model Kedalaman Relatif 9 Pemilihan Model Kedalaman Relatif Berdasarkan Pemisahan Albedo 11 Peta Batimetri 16 Batimetri 3 Dimensi (3D) 18 SIMPULAN DAN SARAN 20 Simpulan 20 Saran 20 DAFTAR PUSTAKA 21 LAMPIRAN 23 RIWAYAT HIDUP 36

DAFTAR GAMBAR 1 Lokasi Penelitian Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 3 2 Koreksi pasang surut 4 3 Diagram alir pengolahan data batimetri dengan citra satelit Worldview-2 8 4 Pembagian kelas berdasarkan nilai - nilai puncak histogram data (Dianovita (2011)) 9 5 Model kedalaman relatif hasil estimasi rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR 2 10 6 Penampakan (a) Kanal Merah (630-690 nm) dan (b) Kanal Hijau (510 580 nm) citra WV-2 pada perairan Pulau Panggang 12 7 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 1 dengan rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR2 13 8 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 2 dengan rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR2 14 9 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 3 dengan rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR 2 16 10 Peta kedalaman aktual perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu hasil estimasi algoritma Stumpf 17 11 Tampilan 3D perairan Pulau Panggang hasil estimasi algoritma Stumpf 19 12 Tampilan 3D perairan Pulau Panggang kombinasi data pemeruman dan estimasi algoritma Stumpf 20 DAFTAR LAMPIRAN 1 Metadata citra Worldview-2 yang diakuisisi pada tanggal 19 Oktober 2011. 24 2 Perbandingan kanal untuk estimasi batimetri 29 3 Uji akurasi kedalaman aktual dengan kedalaman pemeruman 30 4 Uji akurasi kedalaman aktual dengan kedalaman pemeruman daerah kajian laut dalam 31 5 Klasifikasi kelas kedalaman berdasarkan metode Natural Breaks 32 6 Contoh data nilai kedalaman in situ dan kedalaman aktual hasil konversi algoritma Stumpf, beserta nilai biasnya 33

PENDAHULUAN Latar Belakang Batimetri adalah ukuran kedalaman dari permukaan lautan hingga dasar perairan. Informasi tentang batimetri sangat dibutuhkan karena sekitar 71% permukaan di bumi ditutupi oleh perairan, seperti samudra, laut, sungai dan berbagai tubuh air lainnya (Alsubaie, 2012). Batimetri juga termasuk kedalaman suatu sistem yang dinamis, terutama daerah pesisir, dimana daerah ini setiap saat mengalami perubahan sehingga informasi akan batimetri harus diketahui dan secara cepat mampu diperbaharui. Informasi tentang batimetri suatu perairan memberikan banyak manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung, apalagi dihadapkan pada kondisi perairan Indonesia yang luas dengan banyaknya pulau pulau kecil. Manfaat tersebut diantaranya untuk kepentingan militer, navigasi serta perencanaan dan manajemen pesisir. Kegiatan manusia yang hidup di pesisir seperti berenang, memancing, bahkan berbagai kegiatan teknisi bawah laut seperti penanaman pipa bawah laut, kabel, dan pengeboran minyak erat sekali kaitannya dengan informasi batimetri. Selain itu juga, batimetri zona intertidal diperlukan untuk studi morfologi dasar laut, lingkungan, pengelolaan sumberdaya pesisir dan permodelan oseanografi (Siregar dan Selamat, 2010). Teknologi pemetaan batimetri belakangan ini mengalamai perkembangan yang pesat mengingat kebutuhan yang semakin meningkat, baik dari sisi piranti penduga kedalaman hingga metode yang dikembangkan. Pemanfaatan penginderaan jarak jauh satelit atau yang biasa dikenal dengan Inderaja adalah salah satu dari cara pemetaan batimetri yang sedang berkembang pesat saat ini. Pemetaan dengan inderaja lebih banyak digunakan karena cara ini mampu menghemat biaya serta efektif dan efisien dalam pemetaan batimetri. Selain keunggulan keunggulan yang mampu diberikan Inderaja, metode ini memiliki keunggulan lainnya seperti mampu mengkaji satu cakupan daerah yang luas dan mampu mendeteksi daerah yang sulit dijangkau sekalipun. Parthish et al., (2011) menambahkan, pemetaan jenis ini memiliki keuntungan lain dibanding dengan sistem pemetan yang biasa digunakan, yaitu hasil berupa data digital yang bisa diakses pengguna kapanpun. Teknologi ini juga mampu untuk mendapatkan informasi secara sinoptik tentang fenomena yang terjadi di lautan yang dinamis, serta mempunyai kemampuan memberikan informasi secara kontinu karena wahana satelit telah diprogram untuk melintasi daerah yang sama dalam waktu tertentu (Wahyuningrum, 2007). Pendugaan batimetri menggunakan wahana satelit bukan menjadi sesuatu yang baru dalam dunia kelautan. Berbagai penelitian telah dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan suatu metode pendugaan kedalaman menggunakan pendekatan algoritma agar mendekati kedalaman aslinya, seperti yang telah dilakukan Lyzenga (1978), Benny dan Dawson (1983), Jupp (1988). Disamping itu, pemetaan batimetri selain dipengaruhi oleh metode pendugaan juga dipengaruhi oleh citra wahana satelit yang dipakai, karena setiap wahana memiliki kedetailan yang berbeda dari resolusi piksel maupun kekuatan sensor dalam pendeteksian. Adapun citra wahana satelit yang telah digunakan dalam pendugaan

2 seperti satelit SPOT, Formosat, Landsat, Ikonos, Quickbird dan yang terbaru adalah Worldview-2. Penggunaan metode Stumpf et al., (2003) masih jarang digunakan oleh para peneliti di Indonesia. Hal tersebut adalah yang melatarbelakangi penggunaan metode Stumpf pada penelitian ini. Stumpf et al., (2003) mengembangkan sebuah model rasio yang membandingkan 2 buah faktor reflektansi air. Stumpf beramsumsi dengan menggunakan perbandingan 2 kanal akan mengurangi efek albedo perairan yang selama ini menjadi masalah dalam pemetaan batimetri ataupun habitat perairan. Penelitian Madden (2011) yang menggunakan algoritma Stumpf dengan perbandingan Green/Yellow dan Green/Red pada Teluk Tampa, Meksiko berhasil menyimpulkan bahwa perbandingan di atas merupakan perbandingan kanal yang paling mendekati data kedalaman aktual hasil ground check, Madden juga menemukan perbandingan Green/Yellow lebih mendekati data kedalaman pengukuran lapang pada subsrat yang gelap, sedangkan perbandingan Green/Red ratio lebih mendekati ground check pada subsrat yang terang (contoh: pasir). Densham (2005) juga menyebutkan kanal Green dan Yellow adalah kanal yang paling berguna untuk menentukan batimetri perairan dangkal antara 2.5 hingga 20 m. Densham juga berhasil menunjukkan manfaat dari kanal Green dan Red dalam peningkatan akurasi pada perairan keruh. Parthish et al. (2009) yang melakukan penelitian menggunakan kanal Coastal Blue yang disandingkan dengan kanal NIR 2 menghasilkan nilai kualitas R 2 sebesar 0.909 sebagai model pilihan dalam menentukan kedalaman relatif. Coastal Blue adalah kanal baru dari Worldview-2 dengan panjang gelombang terendah (400 450 nm) dari 7 kanal lainnya, merupakan kanal yang diperuntukkan untuk mengestimasi kedalaman karena panjang gelombang yang rendah sangat sedikit diserap air, sehingga penetrasi lebih maksimal. Kelemahan kanal ini sangat dipengaruhi atmosfir (DigitalGlobe, 2009). Pada penelitian ini dilakukan pemetaan batimetri menggunakan algoritma Stumpf (2003) menggunakan rasio kanal yang digunakan Madden (2011) dan Parthish (2009) dan akan diterapan pada citra satelit Worldview-2 di daerah perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Peta batimetri 2 Dimensi ditransformasikan ke bentuk 3 Dimensi. Visualisasi informasi batimetri ke bentuk 3 Dimensi bertujuan untuk lebih memahami bentuk topografi perairan daerah yang sedang dikaji. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan citra Worldview-2 untuk memetakan batimetri perairan dangkal Pulau Panggang, Kepulauan Seribu dan menyajikannya dalam 3 Dimensi (3D) dengan mengaplikasikan kombinasi kanal algoritma Stumpf (2003).

3 METODE Penelitian ini terbagi dalam beberapa tahapan, diantaranya tahap pengumpulan data (citra satelit, data pemeruman dan data pasang surut) yang dilaksanakan pada Februari 2012 hingga April 2012, tahap pengolahan citra yang dilakukan pada April 2012 hingga Agustus 2012 dan tahap penyelesaian (pembuatan peta) yang dilaksanakan pada September 2012 hingga Desember 2012. Lokasi yang dipilih untuk studi kasus adalah Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Lokasi Penelitian Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu Citra WV-2 dengan tanggal akuisisi pada 19 Oktober 2011 (5 44 11,24 LS - 106º 35 10,08 BT hingga 5 44 56,53 LS - 106º 36 28,14 BT) dan telah terkoreksi geometrik maupun radiometrik. Data pemeruman batimetri menggukan GPS Sounder dengan tanggal 6 Februari dan 9 11 Maret 2012 di perairan Pulau Panggang. Data pasang surut Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL (DISHIDROS TNI-AL) perairan Kepulauan Seribu bulan Oktober 2011 dan bulan Februari 2012. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari seperangkat personal komputer yang dilengkapi perangkat lunak ENVI 5.0, ArcGIS 9.3, dan Microsoft Excel. Pengumpulan dan Pengolahan Data Lapang Data Kedalaman Pada pengukuran data kedalaman pemeruman (sounding) menggunakan GPS Sounder dapat terjadi kesalahan yang menyangkut presisi dan akurasinya.

4 Presisi mengacu pada keakuratan dari ulangan pembacaan piranti pemeruman, sedangkan akurasi merupakan kedekatan data dengan kedalaman sebenarnya. Memperhatikan pernyataan di atas, tidak semua data hasil pemeruman memiliki akurasi yang terjamin, sehingga penyeleksian data pemeruman dilakukan. Berdasarkan kedua pertimbangan di atas terdapat 103 titik kedalaman terseleksi (Gambar 1). Koreksi Pasang Surut Pengambilan data lapang dan waktu perekaman citra terjadi pada dua waktu yang berbeda, sehingga kedalaman perairan Pulau Panggang pada saat survei lapang (Ap) dengan saat perekaman citra (As) juga berbeda. Ini disebabkan karena perairan selalu berada pada kondisi tinggi muka laut yang dinamis, sehingga perubahan kedalaman dari waktu ke waktu terjadi. Dengan itu diperlukan suatu teknik kalibrasi data kedalaman terhadap pasang surut suatu daerah. Data pasang surut tahun 2011 digunakan untuk mengkalibrasi kedalaman hasil estimasi algoritma Stumpf pada citra Worldview-2 dengan akuisisi 19 Oktober 2011 sedangkan data pasang surut tahun 2012 digunakan untuk mengkalibrasi kedalaman hasil pemeruman yang dilakukan pada tahun 2012. Koreksi pasang surut dilakukan dengan menghitung perbedaan elevasi muka air saat satelit melintas dengan muka air pada survei lapang, dengan persamaan di bawah ini : K = As Ap. (1) dimana : K As Ap = Nilai Koreksi = Elevasi muka air saat satelit lewat = Elevasi muka air saat pemeruman (survei lapang) elevasi muika air (m) 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 K 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 waktu setempat Gambar 2 Koreksi pasang surut As Ap Setelah dilakukan perhitungan, nilai koreksi yang didapat direduksikan dengan setiap data kedalaman hasil pemeruman. Hasil koreksi ini sudah siap sebagai pembanding dengan data hasil dugaan satelit.

5 Pengolahan Citra Estimasi Kedalaman Perairan Dengan Metode Perbandingan Kanal Pengolahan atau pemprosesan citra dibagi kedalam beberapa tahap, yaitu tahap awal (pemulihan citra) dan tahap lanjutan. Citra Worldview-2 telah terkoreksi baik geometrik maupun radiometrik, sehingga tidak perlu dilakukan koreksi atau pemulihan lagi (Lampiran 1). Tahap lanjutan yaitu tahap konversi dan ekstraksi nilai Digital Number (DN) citra untuk menghitung kedalaman suatu perairan. Adapun semua perbandingan kanal yang mungkin dipakai pada satelit Worldview-2 dalam menduga kedalaman menurut Legleiter et al., (2009) yang diacu dalam Luce et al., (2009) ditampilkan pada Lampiran 2. Perbandingan kanal yang digunakan dalam penelitian ini adalah Green/Yellow, Coastal Blue/NIR 2 dan Green/Red. Dengan memanfaatkan panjang gelombang yang telah mengalami atenuasi di kolom air, Stumpf membuat suatu formula penduga kedalaman dengan dua reflektansi panjang gelombang sebagai berikut: ( ( ) ( ) )... (2) dimana : Z = Kedalaman m 1 = Koefisien kalibrasi R w ( ) = Reflektansi perpanjang gelombang yang meninggalkan air n = Konstanta untuk menjaga rasio tetap positif m 0 = Koreksi kedalaman nol (0) Pengolahan citra Worldview-2 menggunakan pendekatan Stumpf et al. (2003) yang telah dimodifikasi oleh Madden (2011) dengan langkah langkah sebagai berikut: 1. Masking citra. Masking yang paling efektif untuk memisahkan antara badan air dengan vegetasi adalah dengan melibatkan kanal dengan panjang gelombang terbesar. Pada Worldview-2 kanal dengan panjang gelombang paling besar adalah NIR 2 (860 1040 nm), dikarenakan kanal ini memiliki nilai radiansi yang lebih besar pada daratan daripada nilai radiansi pada air (DigitalGlobe, 2009). 2. Konversi Nilai Digital ke Top of the Atmosphere Radiance (TOA). Nilai digital (DN) dikalkulasi agar menghasilkan nilai TOA radiansi menggunakan persamaan dibawah:.... (3) dimana : L = Nilai TOA Radiance (W-m -2 -sr -1 -µm -1 ) K Band = Faktor kalibrasi dari setiap kanal

6 q Pixel,Band Band = Nilai Digital (DN) masing masing kanal = Lebar kanal Faktor kalibrasi dari setiap kanal dan lebar kanal tersedia di dalam metadata citra (Lampiran 1). 3. Koreksi terhadap Hamburan Rayleigh dan Aerosol. Aerosol adalah partikel partikel halus yang tersebar di atmosfer dalam berbagai ukuran (0.001 1,000 mm). Keberadaan partikel partikel halus ini di udara dapat menjadi penghalang radiasi matahari mengingat bahwa sifat dari partikel ini dapat menghamburkan dan menyerap energi yang dilepaskan matahari. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi nilai yang terkandung dalam citra hasil pemindaian satelit. Pembersihan terhadap Aerosol Radiance (L a ) telah dikembangkan dan disempurnakan oleh Naval Postgraduate School (NPS) Aerosol Retrival Model melalui suatu metode yang diberi nama Dark Pixel Substraction Method (Durkee et al., 2000 yang diacu dalam Madden 2011). Dengan memanfaatkan kanal NIR 1 dan kanal merah dari WV-2 pada piksel yang gelap dilakukan ekstraksi radiansi akibat interaksi dengan partikel aerosol (Madden, 2011). Persamaan untuk menghitung Aerosol Radiance ada 3 jenis sesuai tingkatan hamburan: - Hamburan minimal aerosol radiance: L a 7.66/ 7.54... (4) - Rata rata hamburan aerosol radiance: L a 9.17/ 9.01... (5) - Hamburan maksimal aerosol radiance: L a 9.85/ 9.32... (6) Selain aerosol, hamburan Rayleigh (L r ) juga berpengaruh terhadap radiasi yang dipancarkan oleh matahari. Hamburan jenis ini terjadi ketika panjang gelombang radiasi lebih besar dibandingkan ukuran partikel penghambur. Efek Rayleigh sangat berpengaruh terhadap panjang gelombang pendek, oleh karena itu hamburan Rayleigh harus dibersihkan dari citra karena pada penelitian ini menggunakan gelombang yang relatif pendek. Adapun persamaan untuk menghitung hamburan Rayleigh yang telah dikembangkan oleh NPS Model sebagai berikut: L r 16.00/ 17.60... (7) Setelah membersihkan citra dari aerosol dan efek Rayleigh, water leaving radiance (L w ) dapat dihitung dengan persamaan berikut: L w = TOA - L r - L w... (8) 4. Mengubah Radiance ke Water Leaving Reflectance Konversi nilai radiansi ke reflektansi melibatkan nilai/besaran irradiance. Tingkat energi matahari akan berbeda berdasarkan waktu penyinarannya, lokasi

belahan bumi, musim, dan lain lain. Faktor faktor di atas merupakan faktor yang mempengaruhi radiansi dari sinar matahari. Persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung water leaving reflectance (R w ) adalah sebagai berikut: 7 2.... (9) dimana : L d ES 2 Esun s = Rata rata reflektansi kanal = TOA Radiance setiap kanal = Jarak antara bumi dan matahari pada waktu mendapatkan citra = Solar irradiance = Sudut puncak matahari (Zenith Angle) Informasi tentang parameter parameter diatas dapat diperoleh dari metadata citra satelit (Lampiran 1). 5. Menghitung Kedalaman Relatif (Relative Bahtymetry). Perhitungan kedalaman relatif menggunakan panjang gelombang yang lebih pendek dari water leaving reflectance R w sebagai pembilang dan panjang gelombang yang lebih panjang R w sebagai penyebut dengan persaman di bawah ini: ( ) ( )..... (10) 6. Menghitung Kedalaman Aktual (Absolute Bathymetry). Kedalaman relatif yang didapat disesuaikan menggunakan regresi linier dengan data lapang (ground truth/ground check). Hasil dari setiap regresi digunakan untuk menentukan koefisien m 1 dan konstanta m 0 pada Persamaan 2 dari setiap perbandingan kanal.

8 Gambar 3 Diagram alir pengolahan data batimetri dengan citra satelit Worldview-2 Peta Batimetri dan Peta Topografi 3D Kedalaman aktual hasil perhitungan algoritma Stumpf diinterpolasi guna menghasilkan kedalaman perairan secara menyeluruh pada perairan Pulau Panggang. Inverse Distance Weighted atau biasa dikenal dengan IDW adalah interpolator yang menggunakan pembobotan titik dalam interpolasi sedemikian rupa sehingga pengaruh suatu titik ke titik lainnya berkurang seiring bertambahnya jarak (Siregar dan Selamat, 2009). Interpolator IDW dipilih sebagai metode interpolasi pada penelitian ini karena interpolasi jenis ini memiliki ketegasan pada setiap titik datanya, dan tidak akan menghasilkan nilai interpolasi diluar nilai maksimum yang dimiliki data.

Penentuan kelas kedalaman didasarkan pada metode N k pada ArcGIS. Metode ini mengaplikasikan algoritma pembagian alami Jenks seperti yang dijelaskan di Jenks dan Caspall (1971). N k membagi kelas berdasarkan nilai - nilai puncak histogram datanya (Gambar 4). Metode ini bekerja dengan mengurangi varian dalam kelas dan memaksimalkan varian antara kelas, dimaksudkan disini adalah data yang memiliki kemiripan akan dikelompokkan kedalam satu kelas, sedangkan data dengan kemiripan yang jauh akan dipisahkan kedalam kelompok yang berbeda. Pemilihan jumlah kelas mungkin memiliki pengaruh dalam klasifikasi (ESRI, 2012). 9 Gambar 4 Pembagian kelas berdasarkan nilai - nilai puncak histogram data (Dianovita, 2011)) Hasil interpolasi menghasilkan batimetri Pulau Panggang dalam raster (2D). ArcScene adalah suatu tools dari ArcGIS yang khusus dalam visualisasi 3 dimensi (3D). Dengan ArcScene, batimetri dalam bentuk raster 2 dimensi dapat dibangkitkan kedalam tampilan 3 dimensi. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilihan Model Kedalaman Relatif Pemilihan model kedalaman terbaik akan menghasilkan peta batimetri dengan akurasi yang baik pula. Pemilihan model didasarkan pada koefisien determinasi (R²) yang dihasilkan dari regresi model itu sendiri. Persamaan regresi model terbaik akan digunakan keseluruh liputan citra untuk menghasilkan peta batimetri. Tiga jenis rasio kanal diujikan dan hasil yang didapat sangat variatif antar masing masing kanal yang dicobakan dalam penelitian ini. Regresi model kedalaman menggunakan rasio Green/Yellow (G/Y) yang mengkorelasikan kedalaman relatif dan kedalaman pemeruman menghasilkan R 2 bernilai 0,13 (Gambar 5a). Sedangkan koefisien determinasi (R²) yang dihasilkan rasio Green/Red berniali sebesar 0,04 (Gambar 5b). Pada Gambar 5c menunjukkan perbandingan model rasio Coastal Blue/NIR 2 (CB/N2). Model ini adalah model yang memiliki nilai R² yang paling besar, yaitu 0,754. Menurut Walpole (1997), nilai koefisien determinasi akan lebih baik bila nilai tersebut

10 semakin mendekati 1, yaitu sekitar 100% nilai variabel dependen dapat diwakili atau dijelaskan oleh variabel independen. Kedalaman Pemeruman Kedalaman Pemeruman 14 12 10 8 6 4 2 0 14 12 10 8 6 4 2 0 y = 93.296x - 93.563 R² = 0.1305 1 1.02 1.04 1.06 1.08 1.1 Kedalaman Relatif (a) y = -18.502x + 25.022 R² = 0.0047 1.02 1.04 1.06 1.08 1.1 1.12 Kedalaman Relatif Rasio G/Y Rasio G/R Kedalaman Pemeruman 15 10 5 0-5 (b) (c) y = -68.352x + 81.64 R² = 0.7548 1 1.05 1.1 1.15 1.2 1.25 Kedalaman Relatif Rasio CB/N2 Gambar 5 Model kedalaman relatif hasil estimasi rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR 2 Persamaan regresi model terbaik diterapkan pada kedalaman relatif untuk dirubah ke kedalaman aktual dan selanjutnya dibandingkan dengan data pemeruman. Kedalaman aktual yang dihasilkan model CB/N2 berkisar 0 hingga 10 m (kedalaman negatif tidak dihitung). Dalam kasus ini, rasio CB/N2 dinilai tidak bisa dipilih sebagai model pilihan karena ini tidak dapat untuk mendeteksi

kedalaman 6 8 m (Lampiran 3c), walaupun terdapat kedalaman pemeruman pada 6 8 m sebagai pembanding. Hasil yang digambarkan rasio G/Y dan G/R tidak memuaskan mengingat dari koefisien determinasi yang dihasilkan bernilai kecil serta model CB/N2 yang menghasilkan nilai kedalaman aktual yang tidak sesuai pada sebagian tingkatan kedalaman. Fakta ini menunjukkan bahwa mungkin disebabkan kondisi optik pada badan air berbeda beda. Menurut Siregar dan Selamat (2010), saat karakteristik optik berbeda dalam satu liputan citra, algoritma penduga kedalaman tidak dapat diterapkan secara keseluruhan areal. Oleh karena itu, ketiga perbandingan rasio ini masih perlu diuji lebih lanjut untuk pembuatan peta batimetri. Berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh Madden yang memanfaatkan kombinasi kanal Green/Yellow dan Green/Red untuk menduga kedalaman perairan dari wahana dan metode yang sama dengan penelitian ini. Hal ini disebabkan bahwa kualitas serta geomorfologi perairan yang berbeda jauh adalah penyebab dari kecilnya tingkat keakurasian yang dihasilkan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu teknik pengolahan citra tambahan yang diharapkan dapat meningkatkan akurasi model pendugaan. Siregar dan Selamat (2010) juga menyatakan, jika koefisien determinasi rendah maka algoritma yang diterapkan atau asusmsi homogenitas kualitas perairan tidak terpenuhi, sehingga diperlukan pengolahan secara terpisah. Pemisahan didasarkan pada tingkatan albedo dasar perairan sebelum pengolahan citra lebih lanjut dilakukan. 11 Pemilihan Model Kedalaman Relatif Berdasarkan Pemisahan Albedo Pada penelitian penelitian sebelumnya, teknik pemisahan citra sudah banyak dilakukan, seperti yang diterapkan oleh Mumby et al. (1998) dan Andrefouet (2003) dalam mengklasifikasikan dan memetakan terumbu karang. Begitu juga halnya yang dilakukan Siregar dan Selamat (2010) dalam mengkaji konsistensi algoritma Jupp untuk memetakan batimetri gobah, teknik pemisahan gobah dilakukan karena asumsi homogenitas tidak terpenuhi. Pada penelitian ini, pengklasifikasian citra dilakukan berdasarkan tingkatan albedo. Albedo merupakan tingkatan reflektansi dasar perairan yang bisa dibedakan melalui warna perairan yang tampak pada citra. Menurut Wahyuningrum (2007) warna laut mengindikasikan adanya konsentrasi dan komposisi unsur utama penyusun air laut dan ciri optiknya. Ada 2 faktor yang mempengaruhi nilai pantulan suatu piksel citra yaitu absorpsi (penyerapan) dan scaterring (hamburan) dari gelombang eletromagnetik yang terpancar. Kedua faktor ini bervariasi di setiap tipe subsrat, kualitas air dan tingkatan kedalaman. Total Suspended Solid (TSS) adalah kandungan penyusun optik perairan yang sering berperan terhadap absorpsi cahaya. Sedangkan dalam kasus hamburan cahaya, jenis subsrat memiliki peranan penting. Semakin halus suatu permukaan semakin sedikit cahaya yang direfleksikan tepat ke sensor satelit (pantulan spekular), begitu pula sebaliknya semakin kasar permukaan, cahaya yang dipantulkan ke sensor semakin banyak (pantulan difus). Kedua faktor utama diatas akan menciptakan tingkatan albedo yang berbeda beda pada satu liputan citra.

12 Setiap sensor secara spesifik difokuskan pada kisaran spektrum elektromagnetik tertentu yang sensitif terhadap fitur tertentu pada permukaan bumi, atau pada kandungan atmosfer (DigitalGlobe, 2009). Pernyataan diatas adalah dasar dalam pemisahan albedo pada citra. Cahaya dengan panjang yang lebih pendek berpenetrasi baik terhadap kedalaman perairan (gelombang biru) karena atenuasi pada gelombang jenis ini kecil, sedangkan cahaya dengan panjang gelombang lebih panjang (gelombang inframerah dekat) akan dengan cepat diserap oleh komponen optik perairan, sehingga buruk penetrasinya ke dalam air. Tidak semua panjang gelombang akan teratenuasi dengan tingkatan yang sama (Jupp, 1988). Perhitungan terhadap koefisien atenuasi perairan Pulau Panggang dilakukan secara terpisah dengan pengolahan citra menggunakan algoritma Lyzenga. Koefisien ini diperoleh dengan membangkitkan 30 Training Area (TA) di sepanjang perairan Pulau Panggang, Pulau Karya hingga perairan Pulau Pramuka dan diperoleh nilai ki/kj sebesar 0,483. Nilai koefisien atenuasi ini diasumsikan berlaku untuk satu liputan citra karena TA yang dibangkitkan tersebar di perairan liputan citra. Kanal 5 (merah) pada WV-2 menampakkan perairan dangkal lebih jelas dibanding perairan gobah dan perairan dalam Pulau Panggang (Gambar 4a). Oleh karena itu, kanal merah digunakan sebagai acuan dalam memisahkan perairan dangkal (daerah kajian 1) untuk pengolahan lebih lanjut. Gambar 4b menunjukkan tampilan kanal 3 (hijau) yang mampu menampakkan dengan jelas perbedaan albedo pada gobah Pulau Panggang. Dengan kanal ini, gobah dapat dibagi kedalam dua daerah berdasarkan tingkatan albedo, yaitu daerah kajian 2 (Shallow Lagoon) dan daerah kajian 3 (Deep Lagoon). Selanjutnya, daerah kajian yang telah terpisah pisah diberlakukan proses pengolahan citra dan diuji akurasinya dengan data pemeruman. (a) (b) Gambar 6 Penampakan (a) Kanal Merah (630-690 nm) dan (b) Kanal Hijau (510 580 nm) citra WV-2 pada perairan Pulau Panggang Model Daerah Kajian 1 (Perairan Dangkal) Penelitian yang dilakukan Agus (2012) tentang klasifikasi habitat perairan Pulau Panggang, daerah kajian 1 meliputi daerah perairan dangkal yang ditutupi oleh pasir, lamun dan ruble. Pasir sebagai subsrat yang mendominasi di daerah ini memantulkan cahaya paling kuat, ditandai dengan tingkat keabuan tinggi. Suatu piksel yang memiliki tingkat keabuan terang, nilai digitalnya (DN) semakin besar.

Begitu sebaliknya, semakin mendekati tingkat keabuannya gelap, DN akan semakin kecil. Pada Gambar 7a memperlihatkan perbandingan kedalaman relatif rasio G/Y dengan kedalaman pemeruman. Koefisien determinasi (R²) yang dihasilkan 0,537. Hasil yang lebih baik ditunjukkan perbandingan rasio G/R pada daerah kajian 1 (Gambar 7b), yaitu sebesar 0,736. Sedangkan koefisien determinasi perbandingan rasio CB/N2 bernilai sangat kecil, yaitu 0,022 (Gambar 7c). 13 Kedalaman Pemeruman 2.5 2 1.5 1 0.5 0 y = 21.735x - 21.727 R² = 0.5374 1 1.02 1.04 1.06 1.08 Kedalaman Relatif Rasio G/Y Kedalaman Pemeruman Kedalaman Pemeruman 2.5 2 1.5 1 0.5 (a) y = 23.402x - 23.895 R² = 0.7368 0 1.02 1.04 1.06 1.08 1.1 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Kedalaman Relatif (b) y = 1.9732x - 1.3176 R² = 0.0221 1.1 1.15 1.2 1.25 Kedalaman Relatif Rasio G/R Rasio CB/N2 Gambar 7 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 1 dengan rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR2 (c) Madden (2011), bahwa profil batimetri dengan rasio G/R dan G/Y sangat baik pada pasir yang teduh (profil subsrat pasir yang mengalami degradasi warna akibat terkena bayangan awan, pohon dan lain lain) dan terang sekalipun, namun rasio G/R yang paling mendekati ground check pada subsrat yang terang. Hal ini disebabkan reflektansi kanal Red lebih tinggi pada subsrat pasir, bahkan melebihi reflektansi kanal Blue dan Yellow, kombinasinya dengan kanal Green

14 menciptakan korelasi yang baik pada segmen ini (Madden, 2011). Sehingga, rasio G/R dipilih untuk digunakan sebagai penduga kedalaman aktual pada daerah kajian 1. Model Daerah Kajian 2 (Shallow Lagoon) Daerah kajian 2 adalah daerah yang ditutupi habitat karang ruble, pasir lamun dan pasir (Agus, 2012). Daerah ini memiliki reflektansi lebih rendah dibanding daerah kajian 1, diduga karena kedalaman perairan yang bertambah dalam (> 2 m), menyebabkan terjadi pengurangan intensitas sinar tampak yang melewati kolom perairan. Uji akurasi model G/Y menghasilkan nilai R 2 sebesar 0,691 (Gambar 8a). Berbeda dengan model rasio G/Y, rasio G/R memiliki koefisien determinasi sebesar 0,244 (Gambar 8b) dan nilai koefisien hasil konversi kanal CB/N2 sebesar 0,015 (Gambar 8c) yang lebih kecil. 6 Kedalaman Pemeruman 4 2 y = 79.936x - 81.963 R² = 0.6919 0 1.05 1.06 1.07 1.08 1.09 1.1 Kedalaman Relatif Rasio G/Y Kedalaman Pemeruman 6 4 (a) 2 y = 30.494x - 28.982 R² = 0.2445 0 1.04 1.06 1.08 1.1 1.12 Kedalaman Relatif Rasio G/R 6 (b) Kedalaman Pemeruman 4 2 (c) y = 6.9129x - 3.948 R² = 0.0152 0 1.1 1.12 1.14 1.16 1.18 1.2 Kedalaman Relatif Rasio CB/N2 Gambar 8 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 2 dengan rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR2

Model rasio G/R dan CB/N2 menghasilkan koefisien dengan nilai yang kecil, padahal daerah ini memiliki subsrat pasir. Hal ini disebabkan perbedaan nilai reflektansi antara daerah kajian 1 dan daerah kajian 2 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sehingga berdampak pada rasio kanal. Model perbandingan G/Y adalah model terbaik dari 2 model lain yang diujikan pada daerah kajian ini. Rasio model G/Y dapat digunakan untuk penentuan kedalaman aktual. Hal ini disebabkan oleh kanal Yellow yang terdapat pada model G/Y merupakan kanal yang sensitif terhadap pasir terang atau albedo dasar perairan tinggi (Madden, 2011). Model Daerah Kajian 3 (Deep Lagoon) Daerah kajian 3 merupakan daerah yang didominasi oleh tutupan terumbu karang dan karang ruble berdasarkan kajian yang dilakukan Agus (2012). Daerah ini tampak gelap pada citra disebabkan albedo yang rendah dan daerah gelap sering diinterpretasikan sebagai laut dalam. Jupp (1988) telah membahas ini sebelumnya, dimana dikatakan bahwa sebagian besar eror atau kesalahan dalam pendugaan kedalaman menggunakan citra satelit sering berasal dari variasi albedo dan sifat sifat reflektansi dari setiap subsrat. Berdasarkan survei, kedalaman daerah ini berkisar antara 8 13 m. Reflektansi dari daerah kajian 3 bernilai sangat kecil dikarenakan terumbu karang menghamburkan cahaya yang datang ke segala arah, ditambah dengan faktor atenuasi yang sangat besar pada daerah ini. Pada gambar 9a ditunjukkan perbandingan kedalaman relatif hasil rasio G/Y pada daerah kajian 3 dengan data pemeruman. Koefisien determinasi hasil perbandingan ini sangat baik, yaitu 0,742. Sedangkan nilai R 2 rasio G/R bernilai 0,031 (Gambar 9b) dan rasio CB/N2 dengan 0,166 (Gambar 9c). Rasio G/R dan CB/N2 tidak mampu mewakili kedalaman berdasarkan hubungan liniernya dikarenakan nilai determinasi yang kecil. Dari 3 perbandingan tersebut, rasio G/Y menghasilkan nilai determinasi paling besar dibanding rasio lainnya. Lee et al. (2011) juga menyatakan, rasio Green/Yellow adalah rasio yang baik dalam menetukan kedalaman antara 2,5 20 m. Pernyataan ini sesuai mengingat bahwa daerah kajian 3 memiliki kedalaman antara 8 13 m. Rasio G/Y juga memiliki keunggulan dalam menduga batimetri pada subsrat gelap (Madden, 2011). Pada akhirnya, daerah kajian 3 digunakan rasio G/Y untuk penentuan kedalaman aktual daerah tersebut. Dua dari tiga model rasio telah terpilih dalam menduga batimetri secara spesifik pada masing masing daerah kajian. Model rasio G/R untuk daerah kajian 1 dan model rasio G/Y untuk daerah kajian 2 dan 3. Model rasio G/R sangat baik dalam pendugaan batimetri di kedalaman 0-3 m seperti pada kasus daerah kajian 1. Model rasio G/Y juga menunjukkan hasil yang sangat baik, dimana pada dua daerah kajian yang berbeda (daerah kajian 2 dan 3) mendominasi pendugaan model lainnya. 15

16 Kedalaman Pemeruman 14 12 10 8 6 4 2 0 y = 195.83x - 197.88 R² = 0.742 1.03 1.04 1.05 1.06 1.07 1.08 1.09 Kedalaman Relatif Rasio G/Y 15 (a) Kedalaman Pemeruman 10 5 y = 35.95x - 28.588 R² = 0.0318 0 1.04 1.05 1.06 1.07 1.08 1.09 Kedalaman Relatif Rasio G/R Kedalaman Pemeruman 15 10 (b) 5 y = 34.669x - 29.633 R² = 0.166 0 1.05 1.1 1.15 1.2 Kedalaman Relatif Rasio CB/N2 (c) Gambar 9 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 3 dengan rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR 2 Peta Batimetri Nilai m 0 dan m 1 persamaan regresi dari model yang terpilih digunakan sebagai pengubah kedalaman relatif ke kedalaman aktual pada masing masing daerah kajian. Peta batimetri hasil konversi dibagi menjadi 6 kelas kedalaman. Kedalaman yang mampu diestimasi oleh algoritma Stumpf untuk perairan Pulau Panggang hingga mencapai 14 m yang merupakan kedalaman maksimal dari perairan dangkal daerah ini. Sedangkan pada perairan dalam, algoritma Stumpf mampu mendeteksi hingga kedalaman 41 m (Lampiran 5). Hal ini bisa saja terjadi karena metode Stumpf memanfaatkan model kedalaman air relatif, model ini

memungkinkan suatu korelasi antara piksel kedalaman relatif citra dengan data pemeruman laut dalam sekalipun sehingga kedalaman yang terbentuk juga mengikuti data pemeruman yang terkorelasi. Tingkat akurasi yang buruk dihasilkan pada daerah kajian laut dalam (Lampiran 4), mengingat bahwa kedalaman daerah kajian ini melebihi 25 m yang merupakan kedalaman maksimal yang mampu dideteksi dengan baik oleh algoritma buatan Stumpf (Stumpf, 2003). 17 Gambar 10 Peta kedalaman aktual perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu hasil estimasi algoritma Stumpf Pada peta, daratan ditampilkan dengan warna cokelat, kelas kedalaman perairan dangkal memliki selang kedalaman antara 0 13,233 m (Gambar 10). Kelas kedalaman 13,233 41,254 m adalah kelas perairan dalam, namun daerah kajian ini bukan merupakan pokok pembahasan penelitian karena memiliki kedalaman diatas 30 m (berdasarkan data pemeruman) yang kurang atau bahkan tidak memungkinkan suatu metode untuk menduga kedalamannya. Konteks perairan dalam menurut inderaja memiliki definisi yang berbeda dengan akustik. Perairan dalam menurut inderaja memiliki kedalaman lebih dari 30 m, sedangkan perairan dalam berdasarkan definisi akustik memiliki kedalaman lebih dari 200 m. Hal berikut didasarkan pada kemampuan maksimal yang masih mampu diindera dari masing masing teknologi. Uji akurasi atau validasi data yang berfungsi untuk menguji ketelitian dari data atau informasi yang dihasilkan dari pengolahan citra. Pada umumnya uji akurasi ini dilakukan untuk membandingkan antara kedua data atau informasi, yaitu data dari hasil analisis penginderaan jauh dan data dari survei lapang (ground truth), dimana data dari survei lapang berisi sumber informasi atau data yang lebih akurat dan detail (Siregar et al., 2008). Uji akurasi peta ditunjukkan dengan matriks kesalahan pada tabel di bawah ini. Pada perairan dangkal, berdasarkan nilai Producer dan User Accuracy, kelas kedalaman 0 1,14 dan 1,14 3,22 m memiliki keakurasian yang paling tinggi (> 75%), sedangkan akurasi peta keseluruhan mencapai persentase yang baik, yaitu 67% (Tabel 1).

18 Tabel 1 Matriks kesalahan kelas kedalaman aktual dan kedalaman estimasi Aktual 0-1.14 1.14-3.22 3.22-4.66 4.66-8.87 8.87-13.22 Total Baris User Accuracy Estimasi 0-1.14 20 1 21 0.95 1.14-3.22 1 13 14 0.93 3.22-4.66 1 10 6 17 0.59 4.66-8.87 1 5 8 11 25 0.32 8.87-13.22 1 2 5 18 26 0.69 Total Kolom 21 17 17 19 29 103 Producer Accuracy 0.95 0.76 0.59 0.42 0.62 0.67 Batimetri 3 Dimensi (3D) Topografi Hasil Estimasi Model permukaan digital yang digambarkan dengan permukaan bumi termasuk objek objek yang ada padanya seperti tanaman dan gedung disebut Digital Surface Model atau DSM, sedangkan model permukaan digital yang hanya menyajikan permukaan tanah terbuka tanpa objek apapun diatasnya disebut Digital Terrain Model atau DTM. Digital Elevation Model atau DEM sering dikatakan merupakan turunan dari kedua model diatas merupakan suatu bentuk penyajian informasi ketinggian muka bumi (Selamat, 2012). Aplikasi DEM diterapkan untuk menghasilkan bentuk 3 dimensi perairan Pulau Panggang. Pada Gambar 11, topografi perairan dangkal Pulau Panggang tampak rata, hanya saja pada daerah gobah topografi dasar perairan terlihat berfluktuasi. Hal ini disebabkan efek atenuasi pada perairan dangkal meningkat seiring bertambahnya kedalaman, seperti yang ditunjukkan pada topografi gobah hasil estimasi. Hal yang berbeda ditunjukkan topografi perairan dalam hasil estimasi algoritma Stumpf. Terlihat pada Gambar 11, pada barat daya perairan Pulau Panggang, topografi tampak begitu rata seperti halnya perairan dangkal, dikarenakan tingkat keabuan perairan yang kurang variatif pada daerah tersebut, dapat dilihat pada penampakan citra (Gambar 1). Hasil yang berbeda ditunjukkan topografi pada tenggara dan utara perairan Pulau Panggang. Topografi berfluktuatif terlihat seperti terdapat gunung gunung bawah laut yang menjulang ke permukaan perairan (Gambar 11). Hal ini disebabkan tingkat keabuan yang bervariatif di daerah ini, sehingga korelasi yang terbentuk antara data pemeruman dan kedalaman relatif ikut bervariasi dan juga berdampak pada kedalaman aktual yang tercipta.

19 Gambar 11 Tampilan 3D perairan Pulau Panggang hasil estimasi algoritma Stumpf Topografi Hasil Estimasi Dan Data Pemeruman Survei perairan menggunakan GPS Sounder memungkinkan pendugaan batimetri perairan lebih akurat, bahkan untuk perairan dalam. Namun, kelemahan dari survei ini tidak semua badan perairan bisa dipetakan, seperti perairan yang terlalu berbahaya (dangkal) dan kondisi subsrat dasar yang tidak beraturan sehingga tidak mungkin dilalui oleh kapal akustik (Wouthuyzen, 2001). Pemanfaatan penginderaan merupakan teknik pendugaan batimetri perairan dangkal yang paling banyak dipergunakan saat ini. Teknologi ini dipandang sebagai cara yang efektif dan efesien, terutama di daerah yang sama sekali belum ada data atau berubah sangat cepat. Namun Wouthuyzen (2001) menyatakan bahwa, teknik ini memiliki tingkat keterbatasan menembus perairan antara 15 25 m (hanya pada perairan yang jernih/perairan karang). Keunggulan data survei pemeruman pada perairan dalam dimanfaatkan dengan mengkombinasikan hasil estimasi batimetri perairan dangkal Pulau Panggang untuk menciptakan tampilan 3D yang lebih baik dan lebih nyata. Berdasarkan Gambar 12, terlihat bagian tubir selatan perairan Pulau Panggang topografi perairan tidak langsung curam. Perairan selatan Pulau Panggang cenderung menurun secara landai berdasarkan data pemeruman. Sedangkan pada barat daya, barat laut dan tenggara pulau, topografi dasar perairan langsung curam setelah tubir. Berbeda dengan hasil sebelumnya yang ditunjukkan oleh Gambar 11, dimana pada semua bagian tubir Pulau Panggang mengalami kecuraman yang tinggi hingga ke kedalaman maksimal perairan (41 m). Hal ini disebabkan karena hasil estimasi laut dalam tidak konsisten diduga oleh algoritma Stumpf dan juga dikarenakan tingkat atenuasi yang tinggi pada daerah tersebut.

20 Gambar 12 Tampilan 3D perairan Pulau Panggang kombinasi data pemeruman dan estimasi algoritma Stumpf SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari 3 rasio kanal yang dicobakan, 2 yang bisa digunakan untuk pendugaan batimetri perairan Pulau Panggang, yaitu rasio Green/Red dan Green/Yellow. Rasio kanal Green/Red adalah rasio terbaik untuk menduga batimetri pada perairan sangat dangkal dengan subsrat terang (pasir/gosong karang), sedangkan rasio kanal Green/Yellow memiliki nilai koefisien determinasi tertinggi untuk menduga kedalaman antara 2,5 20 m. Keakurasian peta batimetri hasil algoritma Stumpf mencapai 67%. Tampilan 3D perairan mampu menjelaskan keadaan topografi dasar perairan Pulau Panggang itu sendiri. Penggabungan data pemeruman dengan hasil estimasi Stumpf menghasilkan tampilan 3D yang lebih baik pada perairan Pulau Panggang. Saran Saran untuk penelitian selanjutnya agar meneliti berbagai rasio kanal lainnya yang mungkin untuk pendugaan batimetri dan mampu memaksimalkan penggunaan kanal Coastal Blue yang memang diperuntukkan untuk studi batimetri.

21 DAFTAR PUSTAKA Agus SB. 2012. Kajian konektifitas habitat ontogeny ikan teumbu menggunakan permodelan geospasial di perairan Kepulauan Seribu [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 259 hlm. Alsubaie NM. 2012. The potential of using Worldview-2 imagery for shallow water depth mapping [tesis]. Alberta : University of Calgary. 97 hlm. Andrefouet S, Kramer P, Torres-Pulliza D, Joyce KE, Hochberg EJ, Garza-Perez R, Mumby PJ, Riegl B, Yamano H, White WH et al. 2003. Multi-site evaluation of IKONOS data for classification of tropical coral reef environments. Remote Sensing of Environment. 88:128-143. Densham M. 2005. Bathymetry mapping with Quickbird data [tesis]. California: Naval Postgraduate School. 62 hlm. Dianovita C. 2011. Pemetaan batimetri perairan dangkal karang congkak dan karang lebar dengan menggunakan citra IKONOS pan-sharpened [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 64 hlm. DigitalGlobe. 2009. The benefit of the spectral bands of WorldView-2. White Paper. 9 hlm. DigitalGlobe. 2011. Radiometric use of Worldview-2 imagery [catatan teknis]. 17 hlm. ESRI. 2012. Classifying numerical fields for graduated symbology [internet]. [diacu 2013 April 11]. Tersedia dari: http://help.arcgis.com/en/arcgisdesktop/10.0/help/index.html#//00s50000001r0 00000. Green EP, Mumby PJ, Edwards AJ, Clark CD. 2000. Remote sensing handbook for tropical coastal management. Paris: UNESCO Publishing. Jupp DLB. 1988. Background and extentions to depth of penetration (DOP) mapping in shallow coastal waters. Proceedings of the symposium on remote sensing of the coastal zone; Gold Coast; Queensland; September 1988. IV.2.1 IV.2.19. Lee KR, Kim AM, Olsen RC, Kruse FA. 2011. Determination of bottom-type and bathymetry using WorldView-2. Remote Sensing Center, Naval Postgraduate School (CA). 14 hlm. Loomis MJ. 2009. Depth derivation from the Wolrdview-2 satellit using hyperspectral imagery [tesis]. California : Naval Postgraduate School. 69 hlm. Luce JJ, Steele R, Bird S. 2009. Application of Worldview-2 data for the estimation of bathymetry in a Boreal River using surveyed cross sections, band ratios and multivariate adaptive polynomialspline regression. Canada. 17 hlm. Madden CK. 2011. Contributions to remote sensing of shallow water depth with the Worldview-2 yellow band [tesis]. California : Naval Postgraduate School. 83 hlm. Mumby PJ, Clark CD, Green EP, Edward AJ. 1998. Benefit of water column correction and contextual editing for mapping coral reef. J Remot Sens. 19(1):203-210. Partish D, Gopinath G, Ramakrishnan SS. 2011. Coastal bathymetry by coastal blue. Institute of Remote Sensing, Anna University. 9 hlm.

22 Roem M. 2011. Metode dan pendekatan teoritis dalam derivasi batimetri laut dangkal dari data citra satelit Worldview-2. J Harpodon Borneo. 4(2):1-10. Selamat MB. 2012. Karakteristik subsrat dasar dan batimetri perairan dangkal berbasis sistem optik [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 105 hlm. Siregar VP, Wouthuyzen S, Sukimin S. 2008. Pendugaan potensi ikan karang dengan citra satelit resolusi tinggi dan merancang alat tangkap yang selektif di Kepulauan Seribu. Laporan Penelitian. Bogor: Seameo Biotrop. Siregar VP, Selamat MB. 2009. Interpolator dalam pembuatan kontur peta batimetri. JITKT. 1(1):39-40. Siregar VP, Selamat MB. 2010. Evaluasi citra Quickbird untuk pemetaan batimetri gobah dengan menggunakan data perum: studi kasus gobah Karang Lebar dan Pulau Panggang. J Ilmu Kelaut. 11 hlm. Stumpf RP, Holdried K, Siclair M. 2003. Determination of water depth with highresolution satellite imagery over variable bottom types. Limnol Oceanogr. 48(1, part 2):547-556. Wahyuningrum PI. 2007. Pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan dangkal menggunakan data Landsat-7 ETM 22 + (Studi kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.105 hlm Walpole RE. 1997. Pengantar statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum. Wouthuyzen, S. 2001. Pemetaan perairan dangkal dengan menggunakan citra satelit landsat-5 tm guna dipakai dalam pendugaan potensi ikan karang : Suatu studi di pulau-pulau padaido. Seminar Sehari Potensi dan Eksploitasi Sumberdaya Alam Nasional Dalam Mendukung Otonomi Daerah. 29 Maret 2001. Jakarta, Indonesia.

LAMPIRAN 23

24 Lampiran 1 Metadata citra Worldview-2 yang diakuisisi pada tanggal 19 Oktober 2011. version = "23.7"; generationtime = 2011-11-16T16:21:12.000000Z; productorderid = "052619182010_01_P001"; productcatalogid = "20300100922D7F00"; imagedescriptor = "ORStandard2A"; bandid = "Multi"; pansharpenalgorithm = "None"; numrows = 2263; numcolumns = 3683; productlevel = "LV2A"; producttype = "Standard"; numberoflooks = 1; radiometriclevel = "Corrected"; radiometricenhancement = "Off"; bitsperpixel = 16; compressiontype = "None"; BEGIN_GROUP = BAND_C ULLon = 106.55560967; ULLat = -5.72709855; ULHAE = 17.36; URLon = 106.62209210; URLat = -5.72691423; URHAE = 17.36; LRLon = 106.62220793; LRLat = -5.76782364; LRHAE = 17.36; LLLon = 106.55572076; LLLat = -5.76800929; LLHAE = 17.36; abscalfactor = 9.295654e-03; effectivebandwidth = 4.730000e-02; TDILevel = 24; END_GROUP = BAND_C BEGIN_GROUP = BAND_B ULLon = 106.55560967; ULLat = -5.72709855; ULHAE = 17.36; URLon = 106.62209210; URLat = -5.72691423; URHAE = 17.36; LRLon = 106.62220793; LRLat = -5.76782364; LRHAE = 17.36; LLLon = 106.55572076; LLLat = -5.76800929; LLHAE = 17.36; abscalfactor = 1.783568e-02; effectivebandwidth = 5.430000e-02; TDILevel = 10; END_GROUP = BAND_B BEGIN_GROUP = BAND_G ULLon = 106.55560967; ULLat = -5.72709855; ULHAE = 17.36;