BAB IV ANALISIS Analisis Terhadap Jaring Kontrol Geodesi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II DASAR TEORI. 2.1 Geodesi dan Keterkaitannya dengan Geospasial

KAJIAN ASPEK TEKNIS TERHADAP UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DASAR DALAM PERSPEKTIF BIDANG KELAUTAN

Status Data RBI Skala 1: dan 1: Tahun Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim Badan Informasi Geospasial KEBIJAKAN SATU PETA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dr. ir. Ade Komara Mulyana Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim. BADAN INFORMASI GEOSPASIAL

Titiek Suparwati Kepala Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial. Disampaikan dalam Workshop Nasional Akselerasi RZWP3K

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;

Gasetir Sebagai Bagian Kekayaan Budaya Bangsa

2/24/2013 PETA DASAR. C. Peta LLN. A. Peta RBI. B. Peta LPI. Toponimi. Pemukiman. Garis Pantai. Jaringan Hidrologi. Jaringan Jalan.

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

2014, No.31 2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL. BAB I K

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari buah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lampiran 1. Dokumen daftar informasi publik dari setiap satker/unit kerja.

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Keterkaitan antar lokasi atau ruang dapat dilihat secara fisik maupun nonfisik.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III IMPLEMENTASI PENENTUAN BATAS LAUT KABUPATEN SELAYAR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

INTEGRASI PETA TEMATIK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL

UNDANG-UNDANG INFORMASI GEOSPASIAL DAN IMPLEMENTASINYA. Sora Lokita

Misi BAKOSURTANAL 6. Kebijakan 7. Program

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b...

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

Peranan Informasi Geospasial dalam Penilaian Sumberdaya Hutan di Indonesia

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

(BIG) Jl. Raya Jakarta-Bogor KM. 46. Cibinong Telepon. (021) Faksimile. (021) PO. Box. 46 CBI

Artikel. Pemanfaatan Pesawat Nir-Awak untuk Pemetaan Garis Pantai. Kerjasama BIG dan LAPAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISA PETA LINGKUNGAN PANTAI INDONESIA (LPI) DITINJAU DARI ASPEK KARTOGRAFIS BERDASARKAN PADA SNI

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data

RINGKASAN SKEMA SERTIFIKASI SUB BIDANG HIDROGRAFI

BAB I PENDAHULUAN. prasarana perhubungan, baik perhubungan darat, laut, maupun udara. Dari ketiga

2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DATA SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR SAMPAI DENGAN SEMESTER I TAHUN I. Luas Wilayah ** Km2 773, ,7864

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian dari wilayah Propinsi Sumatera Utara yang terletak di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

KONDISI FISIK WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DUKUNGAN ILMU GEOGRAFI UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI UU NOMOR 4 TAHUN ASEP KARSIDI, M.Sc., Ph.D. KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL

Pengaruh Perubahan UU 32/2004 Menjadi UU 23/2014 Terhadap Luas Wilayah Bagi Hasil Kelautan Terminal Teluk Lamong antara

PENDAHULUAN. Laut yang mengelilingi pulau-pulau di Indonesia membuat banyak terbentuknya

Jurnal Geodesi Undip Juli 2017

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum

BAB II PEMUTAKHIRAN PETA LAUT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pengembang, Kontraktor), maka diperoleh rating keseluruhan infrastruktur yang

GEODESI FISIS Isna Uswatun Khasanah

MILIK UKDW PENDAHULUAN BAB 1

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana

BAB I PENDAHULUAN I.1

KESIAPAN E-GOVERNMENT XYZ

Pesawat Polonia

Peran Data dan Informasi Geospasial Dalam Pengelolaan Pesisir dan DAS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan akan transportasi akan terus bertambah seiring dengan semakin tingginya

KORIDOR EKONOMI INDONESIA DALAM PENATAAN RUANG SUATU PERSPEKTIF

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

Ringkasan Materi Pelajaran

BAB. Bentuk Permukaan Bumi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

TUGAS BAHASA INDONESIA

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara Timur yang terletak di daratan Pulau Flores. Wilayah Kabupaten

BAB 1 PENDAHULUAN. informal dan hampir 30% dari pekerja di sektor informal adalah nelayan, dan secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota Semarang merupakan ibu kota propinsi Jawa Tengah. Kota

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang subduksi Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 magnitud gempa utama 8.5

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari

Home : tedyagungc.wordpress.com

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Kandungan Informasi Geospasial Dasar (Kelautan) Bagian berikut akan menjelaskan tentang analisis penyelenggaraan Informasi Geospasial Dasar Kelautan yang telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial 4.1.1 Analisis Terhadap Jaring Kontrol Geodesi Sebenarnya dalam penyelenggaraan Informasi Geospasial Dasar bidang Kelautan, sangat diperlukan adanya penyebaran stasiun pasut (pasang surut laut) yang memadai, terutama dalam negara kepulauan seperti Indonesia ini. Dengan adanya penyebaran stasiun pasut yang baik maka akan memfasilitasi penentuan referensi vertikal yang baik pula, dalam perspektif kelautan untuk penentuan referensi kedalaman. Namun dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial tidak disebutkan mengenai Jaring Stasiun Pasut dalam Jaring Kontrol Geodesi sebagai bagian dari Informasi Geospasial Dasar, meskipun dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Informasi Geospasial disebutkan bahwa Jaring Kontrol Geodesi sebagai bagian dari Informasi Geospasial Dasar terdiri dari Jaring Kontrol Horizontal Nasional, Jaring Kontrol Vertikal Nasional, dan Jaring Kontrol Gaya Berat dan Pasang Surut Laut. 4.1.1.A Analisis Terhadap Jaring Kontrol Horizontal Nasional (JKHN) Gambar 4.1 Distribusi JKHN (Sumber: BAKOSURTANAL) 22

Dari Gambar 4.1 tentang data distribusi Jaring Kerangka Horinzontal Nasional terbaru yang didapatkan pada saat penulisan Tugas Akhir ini, dapat dilihat secara langsung bahwa masih kurang rapatnya pengadaan titik-titik kontrol horizontal di bagian timur wilayah Indonesia. Dilihat dari pulau per pulaunya, Pulau Jawa memiliki tingkat kerapatan yang paling baik, disusul oleh Pulau Sumatra yang pengadaannya cukup merata. Pada Pulau Kalimantan terlihat bahwa kerapatan jaring kerangka horizontal di wilayah selatan cukup baik, namun tidak demikian halnya dengan wilayah tengah dan barat Kalimantan. Demikian halnya pada Pulau Sulawesi yang sudah cukup rapat, namun bagian tengahnya masih memerlukan pengadaan yg lebih rapat lagi. Sedangkan pada Pulau Papua, masih sangat memerlukan pengadaan titik-titik kontrol horizontal yang lebih banyak dan merata. Penyelenggaraan teknisnya mengacu pada SNI 19-6724-2002 tentang Jaring Kontrol Horizontal. 4.1.1.B Analisis Terhadap Jaring Kontrol Vertikal Nasional (JKVN) Gambar 4.2 Distribusi JKVN (Sumber: BAKOSURTANAL) Dari data distribusi Jaring Kerangka Vertikal Nasional terbaru yang didapatkan pada saat penulisan Tugas Akhir ini, dapat dilihat secara langsung bahwa pada bagian timur wilayah Indonesia masih belum dibangun kerangka vertikal yang memadai. Dilihat dari pulau per pulaunya, Pulau Jawa dan Sumatra memiliki tingkat kerapatan yang paling baik. Pada Pulau Kalimantan dan Sulawesi jumlah dan sebarannya masih sangat minim. Sedangkan pada Pulau Papua sangat memerlukan pengadaan titik-titik kontrol vertikal dalam jumlah banyak dan 23

merata. Penyelenggaraan teknisnya mengacu pada SNI 19-6988-2004 tentang Jaring Kontrol Vertikal dengan Metode Sipat Datar. 4.1.1.C Analisis Terhadap Jaring Kontrol Gaya Berat Nasional (JKGN) Pengukuran gaya berat di Indonesia telah lama dilakukan oleh perusahaan minyak di Jawa dan Sumatera. Namun, cakupannya tergolong sempit. Sayangnya data yang dimaksud selama ini dirahasiakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut karena dapat mengungkap kondisi lapisan permukaan bumi yang memiliki cekungan minyak. Sementara itu, di luar Pulau Jawa dan Sumatera boleh dibilang hingga kini minim data gaya berat, bahkan Papua masih tergolong blank area. Penyediaan data gaya berat secara nasional untuk keperluan pembangunan di daerah dilakukan Bakosurtanal dengan menggandeng Denmark Technical University. Untuk mempercepat survei gravitasi ini dipilih wahana pesawat terbang, biasa disebut Airborne Gravimetry. Survey ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan survei di darat (terestrial) dan satelit. Dengan pesawat terbang jangkauan lebih luas dan cepat untuk medan yang berat, seperti hutan, pegunungan, dan perairan dangkal hingga pesisir. Selain itu juga memberikan kesinambungan data antara laut dan darat. Resolusi data lebih baik dibandingkan dengan satelit dan biaya yang dikeluarkan pun relatif lebih murah. Dalam program Bakosurtanal yang diberi nama Survey Airborne Gravity Indonesia (SAGI) ini, tahap awalnya dilakukan di seluruh Sulawesi, sebagai daerah yang memiliki topografi yang kompleks, selanjutnya baru dilanjutkan ke wilayah Indonesia lainnya. Penyelenggaraan teknisnya mengacu pada SNI 19-7149-2005 tentang Jaring Kontrol Gaya Berat. Ilustrasinya bisa dilihat pada Gambar 4.3 24

Gambar 4.3 Ilustrasi Pengerjaan SAGI (Sumber: BAKOSURTANAL) 4.1.1.D Analisis Terhadap Jaring Stasiun Pasut (Pasang Surut Laut) Gambar 4.4 Distribusi Stasiun Pasut (Sumber: BAKOSURTANAL) 25

Dari Gambar 4.4 tentang data distribusi Jaring Stasiun Pasut terbaru yang didapatkan pada saat penulisan Tugas Akhir ini, dapat dilihat secara langsung bahwa sama halnya dengan JKHN dan JKVN, pada bagian timur wilayah Indonesia masih belum dibangun stasiun-stasiun pasut dalam jumlah yang memadai. Dilihat dari pulau per pulaunya, Pulau Jawa dan Sumatra memiliki jumlah dan sebaran stasiun pasut yang paling baik, disusul oleh Pulau Sulawesi dalam jumlah dan sebaran yang cukup baik. Sedangkan pada Pulau Kalimantan dan Papua masih sangat minim jumlah dan sebarannya. 4.1.2 Analisis Terhadap Peta Dasar (Kelautan) Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial ini belum difasilitasi keseluruhan jenis garis pantai dalam bentuk Peta Dasar. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, dalam pasal 13 dinyatakan garis pantai terdiri atas: Garis Pantai Surut Terendah (digunakan untuk penyelenggaraan Peta LPI dan Peta LLN), Garis Pantai Pasang Tertinggi, dan Garis Pantai Tinggi Muka Air Laut Rata-Rata (untuk penyelenggaraan Peta Rupabumi, meskipun tidak termasuk dalam bidang Kelautan). Garis Pantai Pasang Tertinggi belum difasilitasi untuk penggunaan dalam bentuk Peta Dasar apapun, termasuk dalam perspektif Kelautan. 26

4.1.2.A Analisis Terhadap Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) Standarisasi nasional penyelenggaraan Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) yang telah disusun baru untuk dua skala, yaitu SNI 19-6726-2002 untuk skala 1:50 000 dan SNI 19-6727-2002 untuk skala 1:250 000. Masih ada skala-skala Peta LPI yang masih belum disusun standarisasinya, yaitu untuk skala 1:25.000 dan skala 1:10.000. 4.1.2.B Analisis Terhadap Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) Tidak seperti Peta Lingkungan Pantai Indonesia, standarisasi nasional terbaru Peta Lingkungan Laut Nasional masih dalam tahap penyusunan. Peta-peta LLN yang ada saat ini acuan pembuatannya hanya berdasarkan peta awal buatan tahun 1992 oleh Dishidros. 4.2 Analisis Terhadap Penyelenggaraan Informasi Geospasial Dasar Tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja Badan Informasi Geospasial sebagai penyelenggara Informasi Geospasial Dasar masih belum dijelaskan secara rinci pada Undang- Undang tersebut sehingga masih diperlukan adanya peraturan pendukung untuk memfasilitasinya. Untuk kualifikasi kompetensi penyelenggara Informasi Geospasial Dasar, telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Dengan penyusunan kurikulum geospasial yang baik maka diharapkan adanya kesetaraan sumber daya manusia Indonesia dan asing dalam bidang geospasial, terutama untuk kelautan. Sedangkan dalam hal pembinaan penyelenggara dan pengguna informasi geospasial, Badan Informasi Geospasial perlu memperhatikan kepentingan akademik, publik serta industri; terutama dalam pengadaan sarana dan prasarana termutakhir dalam hal pendidikan dan pelatihannya. 27