PREVALENSI MIKROFILARIA SETELAH PENGOBATAN MASAL 4 TAHUN DI WILAYAH KAMPUNG SAWAH, KECAMATAN CIPUTAT, TANGERANG SELATAN

dokumen-dokumen yang mirip
Prevalensi pre_treatment

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. 1

Kata kunci: filariasis; IgG4, antifilaria; status kependudukan; status ekonomi; status pendidikan; pekerjaan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

ANALISIS SITUASI FILARIASIS LIMFATIK DI KELURAHAN SIMBANG KULON, KECAMATAN BUARAN, KABUPATEN PEKALONGAN Tri Wijayanti* ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

Kondisi Filariasis Pasca Pengobatan Massal di Kelurahan Pabean Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PENDIDIKAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS YANG DITENTUKAN BERDASARKAN DISTRIBUSI IGG4 ANTIFILARIA. Biyan Maulana*, Heri Wibowo**

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

Filariasis Limfatik di Kelurahan Pabean Kota Pekalongan

DETEKSI ANTIBODI SPESIFIK FILARIA IgG4 DENGAN PAN LF PADA ANAK SEKOLAH DASAR UNTUK EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA FILARIASIS DI DESA SANGGU KABUPATEN BARITO SELATAN KALIMANTAN TENGAH

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

Cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun

SITUASI FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA TENGAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2009

URIC ACID RELATIONSHIP WITH BLOOD SUGAR PATIENTS TYPE 2 DIABETES MELLITUS THE EXPERIENCE OF OBESITY

SOP POMP FILARIASIS. Diposting pada Oktober 7th 2014 pukul oleh kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Filariasis limfatik atau Elephantiasis adalah. penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit di mana

SURVEI DARAH JARI FILARIASIS DI DESA BATUMARTA X KEC. MADANG SUKU III KABUPATEN OGAN KOMERING ULU (OKU) TIMUR, SUMATERA SELATAN TAHUN 2012

BAB XX FILARIASIS. Hospes Reservoir

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

PEMERIKSAAN MIKROFILARIA DI DUSUN CIJAMBAN KECAMATAN PANUMBANGAN KABUPATEN CIAMIS. Mei Widiati*, Ary Nurmalasari, Septi Nurizki ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan bagi negara tropis/

Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah di Kelurahan Jati Sampurna

CAKUPAN PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2011 FILARIASIS MASS TREATMENT COVERAGE IN DISTRICT SOUTHWEST SUMBA 2011

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA MALARIA DI KABUPATEN SUKABUMI PERIODE JANUARI-DESEMBER 2011

Identification of vector and filariasis potential vector in Tanta Subdistrict, Tabalong District

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

STUDI ENDEMISITAS FILARIASIS DI WILAYAH KECAMATAN PEMAYUNG, KABUPATEN BATANGHARI PASCA PENGOBATAN MASSAL TAHAP III. Yahya * dan Santoso

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi parasit pada saluran cerna dapat disebabkan oleh protozoa usus dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

KEPATUHAN MASYARAKAT TERHADAP PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KABUPATEN BELITUNG TIMUR TAHUN 2008

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

STUDl KOMUNITAS NYAMUK TERSANGKA VEKTOR FILARIASIS DI DAERAH ENDEMIS DESA GONDANGLEGI KULON MALANG JAWA TIMUR. Oleh : Akhmad Hasan Huda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Faktor Risiko Kejadian Filarisis Limfatik di Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

SKRINING MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BANYUASIN KECAMATAN LOANO KABUPATEN PURWOREJO PROPINSI JAWA TENGAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Gambaran Diagnosis Malaria pada Dua Laboratorium Swasta di Kota Padang Periode Desember 2013 Februari 2014

SKRIPSI. Oleh Thimotius Tarra Behy NIM

UPAYA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PRIMER FILARIASIS DI DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG

ABSTRAK. Helendra Taribuka, Pembimbing I : Dr. Felix Kasim, dr., M.Kes Pembimbing II : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RISIKO KEJADIAN FILARIASIS PADA MASYARAKAT DENGAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN YANG SULIT

Keberhasilan Pengobatan Massal Filariasis di Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan

DI DAERAH ENDEMIS FILARIASIS KECAMATAN PONDOK GEDE, KABUPATEN BEKASI, JAWA BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah

Analisis Nyamuk Vektor Filariasis Di Tiga Kecamatan Kabupaten Pidie Nanggroe Aceh Darussalam

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN FILARIASIS DI PUSKESMAS SE-KOTA PEKALONGAN TAHUN 2016

LYMPHATIC FILARIASIS (LF) ELIMINATION USED A COMMUNITY DIRECTED APPROACH.

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

BAB I PENDAHULUAN. Separuh penduduk dunia berisiko tertular malaria karena hidup lebih dari 100

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Filariasis Pada Masyarakat di Indonesia. Santoso*, Aprioza Yenni*, Rika Mayasari*

Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. No ISBN :

ABSTRAK P"'RBANDINGAN BEBERAPA METODA. DIAGNOSIS FILARIASIS BANKROFfI

Risk factor of malaria in Central Sulawesi (analysis of Riskesdas 2007 data)

SISTIM SURVEILANS. dr. I Nengah Darna MKes

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN INFEKSI CACING DI PUSKESMAS KOTA KALER KECAMATAN SUMEDANG UTARA KABUPATEN SUMEDANG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh parasit Protozoa genus Plasmodium dan ditularkan pada

ABSTRAK KARAKTERISTIK PENDERITA MALARIA DI KABUPATEN KEPUALAUAN MENTAWAI SELAMA JANUARI-DESEMBER 2012

GAMBARAN PEMBERIAN OBAT MASAL PENCEGAHAN KAKI GAJAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WELAMOSA KECAMATAN WEWARIA KABUPATEN ENDE TAHUN ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. (Harijanto, 2014). Menurut World Malaria Report 2015, terdapat 212 juta kasus

Transkripsi:

PREVALENSI MIKROFILARIA SETELAH PENGOBATAN MASAL 4 TAHUN DI WILAYAH KAMPUNG SAWAH, KECAMATAN CIPUTAT, TANGERANG SELATAN Silvia F. Nasution* dan Evi Ekawati Prodi Pendidikan Dokter, FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta *Corresponding author: silvia.nasution@gmail.com Abstract Limphatic filariasis is a target of global diseases elimination promoted by WHO to accomplish by the year of 2020.Until 2008, 316 out of 471 districts/provinces were mapped epidemiologically as endemic areas of filariasis. South Tangerang is one of the district reported as an endemic area of filariasis, with Mf prevalence ranged 1 2.4% determined from 2002 to 2009. Some factors play important roles in elimination program of filariasis, such as an appropriate diagnostic and its evaluation, and also annual program of Mass Drug Administration (MDA). In Ciputat area, South Tangerang district, the MDA has been conducted annually since 2009, and evaluation program by finger blood sample was also conducted in 2002 and 2009. Finding result showed prevalence 1.6% of Mf and 8 individu were clinically diagnosed as elephantiasis. Although the MDA has been conducted every year, but the evaluation has not yet been performed after 2009. The Study aimed to evaluate the MDA effect against mikrofilaria rate (Mf) and antigen circulation in perifer blood of people living near by the elephantiasis individu in Kampung Sawah area, Ciputat, South Tangerang. Periferal blood and blood vessel were collected at night from 08.00 10.00 PM. Peripheral blood were directly swab on slide or object glass to overnight preserve for giemsa stain in laboratory. After night preservation, the slide were then identified by microscope to detect microfilaria. The blood vessel were sentrifuged to collect the serum and performed rapid diagnostic test antigen antifilaria IgG4. Finding result of the study determined 95% Mf negative and 72.5 % negative of antigen anti-filaria IgG4. These finding showed that more than 70% of subjects were negative to filarial and its antigen circulation in the blood.this also indicates successfull program of 4 years MDA in this study area to eliminate parasite of filariasis. Keywords : Limphatic filariasis, Mass Drug Administration, Microfilaria rate, antigen antifilaria IgG4, rapid diagnostic test PENDAHULUAN Filariasis limfatik (FL) merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh vektor nyamuk infektif. Terdapat 3 spesies cacing filaria yang menginfeksi sistem limfatik manusia yaitu : Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Vektor nyamuk yang menularkan cacing tersebut adalah Culex sp. yang merupakan vektor tipe daerah perkotaan, dan Aedes sp atau Anopheles barbirostris yang merupakan tipe vektor filariasis daerah rural atau pedesaan. 1 Filariasis limfatik (FL) merupakan target program pemberantasan global yang diprakarsai oleh WHO, dan diharapkan akan mencapai keberhasilan pada tahun 2020. Sampai tahun 2008, dilaporkan jumlah kasus kronis filariasis secara kumulatif sebanyak 11.699 kasus di 378 kabupaten/kota. Sebanyak 316 Kabupaten/Kota dari 471 Kabupaten/Kota telah terpetakan secara Al-Kauniyah Jurnal Biologi Volume 6 Nomor 2, Oktober 2013 113

epidemiologis dinyatakan sebagai wilayah endemis filariasis sampai dengan tahun 2008. Berdasarkan hasil pemetaan didapat prevalensi mikrofilaria di Indonesia 19% (40 juta) dari seluruh populasi 220 juta. Bila tidak dilakukan pengobatan massal maka akan ada 40 juta penderita filariasis di masa mendatang. Di samping itu mereka menjadi sumber penularan bagi 125 juta penduduk yang tinggal di 316 Kabupaten/Kota endemis tersebut. 2 Menurut P2M & PLP, 1999 prevalensi filariasis bervariasi antara 0,5% - 19,49% dengan rata-rata prevalensi 3,1%. Dalam rangka menurunkan prevalensi dan program eliminasi filariasis, The World Health Assembly (WHA) pada tahun 1997 mengusulkan dua strategi pokok yaitu: memutuskan rantai penularan dengan program pengobatan masal dan mengurangi dampak kecacatan akibat manifestasi kronis dari penyakit ini. 3 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan program eliminasi filariasis tersebut, yaitu: diagnosis yang tepat serta evaluasi keberhasilan diagnostik dan pengobatan yang berkelanjutan. Teknik diagnostik FL mencakup: deteksi parasit dan produk yang dihasilkannya (seperti antigen, DNA), deteksi respon imun hospes terhadap parasit, dan nonspesifik hematologi, imunologi, atau perubahan struktur dalam respon terhadap infeksi. Namun demikian, terdapat beberapa fenomena yang terjadi di masyarakat terutama di daerah endemis, dimana respon imun individu menunjukkan perbedaan dalam reaksi terhadap efek pengobatan dengan DEC (Diethylcarbamazine) dan Albendazol. Pada individu yang mengalami penurunan level IgG4 setelah pengobatan menunjukkan bahwa pola antifilaria IgG4 dibagi dalam 2 kelompok yaitu: kelompok individu yang IgG4-nya secara berlanjut mengalami penurunan sampai 3 tahun setelah pengobatan; dan kelompok individu yang IgG4-nya meningkat antara 9 bulan sampai 2 tahun pasca pengobatan. 4 Pengobatan masal filariasis juga telah dilakukan yang disertai dengan evaluasi hasil pengobatan secara mikroskopis sampel darah jari (SDJ) sejak tahun 2002 sampai 2009. Terdapat dua strategi pengobatan masal yaitu: melakukan pengobatan secara masal (MDA: Mass Drug Administration) dengan memakai dua macam obat (Diethylcarbamazine = DEC 6 mg/kg BB selama 10-12 hari dan Albendazol dosis tunggal 400 mg) selama minimal lima tahun berturut-turut untuk semua masyarakat di daerah endemis, atau pengobatan masal dengan garam DEC 0.2-0.4%. 3 Dari data yang diperoleh pada periode 2002 2009 tersebut didapatkan wilayah Kampung Sawah Kecamatan Ciputat mencapai angka prevalensi filariasis sebesar 1,6% dengan jumlah penderita klinis elephantiasis sebanyak 8 orang pada tahun 2002 (Data DinKes TangSel, 2009). Program pengobatan masal terus dilanjutkan hingga saat ini, namun evaluasi hasil pengobatan baik secara SDJ maupun pemeriksaan antibodi belum pernah dilakukan kembali. Untuk mengukur apakah terjadi pengaruh pengobatan masal terhadap penurunan atau peningkatan prevalensi filariasis baik secara mikrofilaria rate maupun respon antibodi, maka perlu dilakukan peme-riksaan mikroskopis SDJ yang dikonfirmasi dengan uji rapid test dan ELISA dari sampel darah penduduk di wilayah endemis Kam-pung Sawah tersebut. MATERIAL DAN METODE Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan metode observasi dan pemeriksaan laboratorium untuk memban-dingkan hasil pemeriksaan mikroskopis dan rapid test sampel darah jari dan darah vena. Pengambilan sampel dilakukan di wilayah kelurahan Kampung Sawah Baru, Ciputat, Tangerang Selatan. Wilayah ini merupakan unit kerja UPT Puskesmas Kampung Sawah, Ciputat. Responden penelitian adalah penduduk yang tinggal di sekitar rumah penderita elefantiasis di lokasi Kelurahan Sawah Baru. Daerah ini merupakan daerah endemis filariasis tinggi dengan prevalensi 1,6% (hasil survey dinas kesehatan setempat). Sampel diambil secara cluster sampling dari penduduk yang tinggal di sekitar penderita Al-Kauniyah Jurnal Biologi Volume 6 Nomor 2, Oktober 2013 114

elefantiasis, yaitu 20 sampel dari penduduk yang tinggal di sekitar rumah penderita. Pada lokasi penelitian terdapat 5 orang penderita elefantiasis yang tinggal berdekatan di 2 RT yang berbeda. Kriteria pemilihan subyek adalah sebagai berikut : 1) Kriteria inklusi a) Subyek yang tinggal menetap di sekitar penderita elefantiasis/ limfedema filariasis dari segala umur b) Subyek dengan status mikrofilaremik /amikrofilaremik dengan atau tanpa gejala klinis c) Subyek yang memenuhi kriteria pada screening awal filariasis d) Subyek yang bersedia diambil SDJ dan darah venanya 2) Kriteria eksklusi a) Subyek yang tidak dapat mengikuti lagi penelitian (drop out) b) Subyek yang memiliki kelainan dan penyakit kronis lainnya Variabel sampel : 1. Variabel bebas adalah subyek yang sudah mendapatkan pengobatan filariasis dan tinggal di wilayah penelitian 2. Variabel terikat : a. Hasil pemeriksaan mikroskopis (positif/negatif mikrofilaremi) b.hasil pemeriksaan rapid test (positif negatif mikrofilaremi) Besar sampel ditetapkan berdasarkan 20 orang responden yang tinggal di sekitar penderita elefantiasis. Total sampel adalah jumlah penderita dikalikan 20 dengan jarak tempat tinggal ± 50 m dari rumah penderita. Dari 80 orang yang tinggal di sekitar penderita, hanya 40 orang yang bersedia menjadi responden penelitian dan diambil darahnya. Pemeriksaaan Sampel 1. Pemeriksaan Mikroskopis Pengambilan sampel darah malam pada puncak aktifitas parasit dalam darah tepi yaitu pada jam 20 23 PM. Volume darah yang diperlukan untuk pemeriksaan mikroskopis adalah dengan 1 2 tetes darah tepi yang diambil dari jari tangan. Sampel darah jari (SDJ) tersebut kemudian dibuat slide pada kaca objek untuk dilakukan pewarnaan. Mikrofilaria yang tinggal pada kaca slide, diwarnai dengan giemsa, dan diperiksa di bawah mikroskop. Hasil pemeriksaan mikroskopis dinyatakan positif bila ditemukan stadium mikrofilaria dengan ciri-ciri yang menunjukkan spesies W. bancrofti ataupun Brugia sp. Preparat yang ditemukan Mf-nya kemudian difoto dan dibuat data dokumentasi spesies. Penderita yang hasil pemeriksaan apus darah malamnya ditemukan parasit berupa mikrofilaria maka digolongkan mikrofilaremi positif. Prevalensi mikrofilaremi (Mf %) di wilayah tersebut adalah : orang yang sampel slide darahnya positif Mf MF % = x 100% keseluruhan orang yang dites untuk Mf Kepadatan Mf (Mfd) = hitungan sampel slide Mf yang ditemukan x 50 : keseluruhan slide yang ditemukan positif Mf * 50 digunakan pada faktor koreksi apabila volume darah 20 µl, sementara untuk jumlah darah yang berbeda faktor-faktor koreksinya juga berbeda (Annonimus, 2005). 2. Pemeriksaan Rapid test Pemeriksaan parasit dari darah vena dilakukan dengan dipstick atau rapid test filaria yang diambil serum dan plasmanya untuk diteteskan pada alat tersebut. Rapid test yang digunakan adalah Pan LF yang mengandung recombinan antigen filaria BmSXP1 dan BmR1 yang dicoating pada membran rapid test. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya 2 atau 3 garis/band pada membran atau lapisan tengah dari alat tersebut (Rahmah, 2007). HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dimulai dengan pencarian data sekunder di wilayah penelitian. Data yang diterima dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tercantum pada Tabel 1. Data pada Tabel 1 diperoleh dari hasil Sampel Darah Jari (SDJ) yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Tangerang Selatan sebagai gambaran penyebaran kasus endemisitas Al-Kauniyah Jurnal Biologi Volume 6 Nomor 2, Oktober 2013 115

filariasis di beberapa wilayah kecamatan dan kelurahan di Tangerang Selatan. Dari data tersebut, wilayah Kecamatan Pamulang di bawah UPT Pusekesmas Pamulang merupakan daerah endemis filariasis dengan kasus tertinggi mencapai 2.4 % dibandingkan wilayah lainnya di Kabupaten Tangerang Selatan pada tahun 2008 sedangkan wilayah Kampung Sawah pada tahun 2002 mencapai endemisitas 1,6% dan belum pernah lagi dilakukan evaluasi SDJ setelah itu. Keadaan geografis dan demografi penduduk wilayah Kampung Sawah Gambaran lokasi penelitian adalah daerah perumahan padat penduduk, terletak di wilayah perkotaan, terdapat perumahan elite di sekitar lokasi, dekat dengan jalan tol, lingkungan perumahan umumnya dikelilingi dengan kebun dan tanah kosong yang tidak terawat dengan tumpukan kayu ataupun sampah perumahan, bangunan rumah umumnya permanen, kondisi jamban dan sanitasi lingkungan luar rumah kurang terawat, dan status ekonomi menengah ke bawah dengan rata-rata pekerjaan sebagian masyarakatnya sebagai buruh atau pedagang dan ibu rumah tangga. Data survei gambaran klinis filariasis dan hasil pemeriksaan SDJ derajat Elephantiasis Extrimitas Inferior Dextra Stadium 2 dan 3. Tabel 2 menunjukkan karakteristik subyek penelitian serta hasil pemeriksaan sampel darah jari dan vena yang dilakukan secara mikroskopis dan rapid test pan LF. Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden/subyek penelitian adalah perempuan (65%) dan 4 dari 5 orang penderita elephantiasis adalah perempuan. Fenomena ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan penderita filariasis di daerah endemis sebagian besar atau mayoritas perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki (Nutman, 2000). Hal ini belum jelas apakah berhubungan dengan faktor hormon, aktivitas sehari-hari yang memungkinkan kontak dengan vektor, atau hal-hal lainnya yang berhubungan dengan perbedaan jenis kelamin. Data hasil pemeriksaan mikroskopis didapatkan hanya 5% sampel positif, dan sebagian besar (95%) sampel dengan hasil negatif. Sebanding dengan hasil mikroskopis tersebut didapatkan pula hasil rapid test dengan Pan LF menunjukkan 11 responden yang positif (27.5%) atau sejumlah 72.5% negatif antibody IgG4 dalam peredaran darahnya. Hal tersebut juga terlihat pada Gambar 2. Gambaran klinis elefantiasis didapatkan dari 5 orang penderita di lokasi penelitian dengan Tabel 2. Karakteristik subyek dan hasil pemeriksaan sampel No. Karakteristik subyek Jumlah (%) 1. Berdasarkan jenis kelamin Laki-laki 14 (35%) Perempuan 26 (65%) 2. Berdasarkan manifestasi klinis Elefantiasis derajat 2 2 ( 5%) Elefantiasis derajat 3 3 (7,5%) 3. Berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis Positif Negatif 4. Berdasarkan hasil pemeriksaan rapid test (RDT) Pan LF Positif Negatif 2 ( 5%) 38 (95%) 11 (27,5%) 29 (72,5%) Al-Kauniyah Jurnal Biologi Volume 6 Nomor 2, Oktober 2013 116

Gambar 2. Hasil pemeriksaan mikroskopis dan rapid test sampel filariasis Hasil pemeriksaan mikroskopis memiliki beberapa kelemahan dalam mendeteksi adanya parasit filarial yang beredar dalam peredaran darah seperti sensitifitasnya tergantung dari volume darah dan periodisitas parasit terutama terhadap individu amikrofilaremi yang simtomatik, perlu tenaga mikroskopis yang terlatih, hasil tidak konsisten dan sering berbeda hasilnya tergantung dari ketelitian individu yang memeriksanya, serta memerlukan waktu yang lama. Hasil pemeriksaan secara serologis dengan rapid test diharapkan dapat mengatasi kelemahan secara mikroskopis. Deteksi antibodi IgG4 merupakan marker yang sensitif untuk mengukur intensitas transmisi dan dapat menandakan adanya infeksi filaria aktif sebelum antigen atau mikrofilaria berada pada level / titer yang dapat terdeteksi sebagai indikator dini infeksi filariasis (Lammie, 2004), dan terjadi peningkatan level IgG4 tersebut selama infeksi aktif dan penurunan level setelah pengobatan. 7 Namun demikian, tidak terdapat hubungan yang langsung antara jumlah mikrofilaria dengan level specifik IgG4 (Terhell, 2002). Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis didapatkan 5 penderita atau 12.5% dari besar sampel penelitian yang terdiagnosa elephantiasis stadium 2 dan 3. Menurut Nutman (2000) secara garis besar manifestasi klinis LF dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: umur dan jenis kelamin penderita, spesies dan strain parasit, lokasi keberadaan cacing dewasa, paparan awal terhadap parasit, respon imun hospes, keberadaan mikrofilaria, serta infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri (menyebabkan sindroma akut dermatolymphangioadenitis). Fenomena yang terjadi dari hasil pemeriksaan parasit secara mikroskopis menunjukkan bahwa mayoritas responden yang tinggal di sekitar penderita filariasis di lokasi penelitian ini bila dilihat dari umur adalah kelompok usia dewasa diatas 20 tahun yang secara klinis menunjukkan asimptomatik terhadap penyakit tersebut. Secara epidemiologi, prevalensi dan intensitas infeksi filaria akan meningkat pada usia 20-30 tahun. Hal ini menimbulkan pertanyaan,apakah hal ini disebabkan oleh terbentuknya imunitas yang diperoleh terhadap parasit, ataukah karena faktor nonimun yang dipengaruhi oleh umur. Gejala klinis filariasis jarang terjadi pada usia sebelum usia 15 tahun. Namun, pendatang dari daerah non endemik filariasis perkembangan elephantiasis cenderung lebih sering dan sekitar 1-2 tahun lebih cepat dibandingkan penduduk yang menetap di daerah endemis (Nutman, 2000). Al-Kauniyah Jurnal Biologi Volume 6 Nomor 2, Oktober 2013 117

Pengobatan juga memepengaruhi hasil pemeriksaan baik secara mikroskopis maupun serologis. Responden penelitian ini sebagian besar telah mendapatkan pengobatan masal filariasis dengan kombinasi DEC+Albendazol dan parasetamol setiap tahunnya selama 4 periode pengobatan masal. Hasil negatif pada sebagian besar pemeriksaan mikroskopis maupun antibodi antifilaria dapat dimungkinkan oleh adanya efek obat tersebut pada kematian parasit. Mekanisme kerja DEC belum banyak difahami, dan obat ini memiliki sifat antifilaria yang kompleks dan bersifat paradoksikal terhadap sistem imun, cellular adherence, aktivasi komplemen serta metabolisme asam arakhidonik. Namun demikian, belum diketahui apakah sifat-sifat tersebut berhubungan dengan kerja antifilaria DEC (Nutman, 2000). Beberapa respon antibodi IgG4 yang terjadi pada sampel serum pasien pasca pengobatan dengan DEC menunjukkan beberapa variasi sebagai berikut: 1). Efek pengobatan terhadap mikrofilaria, dan 2). Efek pengobatan terhadap sirkulasi antigen. Proteksi terhadap infeksi filaria didefinisikan sebagai penurunan persentasi terhadap masuknya larva infektif, dapat dijelaskan dalam 3 cara. Pertama, infeksi berulang dapat membentuk ketahanan terhadap infeksi berikutnya; kedua, pengobatan antiparasit dapat memediasi terbentuknya resistensi; ketiga, larva infektif dari beberapa spesies filaria yang teradiasi, dapat membentuk imunitas protektif pada level tinggi (>90%) (Nutman, 2000). Hal-hal tersebut diatas dapat menjelaskan bagaimana mekanisme fenomena yang terjadi pada hasil pemeriksaan sampel darah responden pada penelitian ini, dimana sebagian besar menunjukkan hasil negatif baik secara mikrofilaremik maupun secara sirkulasi antibodi antifilaria dalam darah perifer maupun darah tepinya. Infeksi berulang oleh larva infektif telah membentuk ketahanan penduduk terhadap timbulnya respon fisiologis yang berlebihan terhadap infeksi tersebut, sehingga menekan simptomatik dari masuknya infeksi. Pengobatan masal secara berulang yang diberikan setiap tahunnya, juga dapat memediasi terbentuknya resistensi terhadap parasit tersebut, serta kemungkinan faktor lainnya yang dapat mempengaruhi keberhasilan dari program eliminasi filariasis ini. KESIMPULAN 1. Penderita elefantiasis ektremitas adalah perempuan sebanyak 80% dari seluruh penderita elefantiasis di wilayah penelitian. 2. Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan sampel negatif sebesar 95% dan 72,5% terhadap pemeriksaan rapid test pan LF 3. Lebih dari 70% subyek penelitian yang tinggal di sekitar penderita elefantiasis filariasis negatif mengandung mikrofilaria maupun antigen antifilaria IgG4 dalam darahnya. 4. Pengobatan masal filariasis pada tahun ke-4 program eliminasi filariasis di wilayah penelitian, menunjukkan penurunan persentase Mf rate dari evaluasi terakhir tahun 2009. Ucapan Terima Kasih 1. Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, Banten, Sub Bagian P2M dan PL 3. Laboratorium Kesehatan Daerah, Departemen Kesehatan Propinsi Banten 4. UPT Puskesmas Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan 5. Prof. Rahmah Noordin, Deputy Director INFORMM, University Sains Malaysia 6. Penduduk Kelurahan Kampung Sawah Baru dan Kampung Sawah Lama, Ciputat, Tangerang Selatan 7. Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UMJ Ciputat, Tangerang Selatan Al-Kauniyah Jurnal Biologi Volume 6 Nomor 2, Oktober 2013 118

DAFTAR PUSTAKA Handbook Filariasis. (2005). WHO. Jakarta, Indonesia. http://data.menkokesra.go.id/ content/pengobatan-massal-filariasis Lammie, P. J. (2004). Recombinant antigenbased antibody assays for the diagnosis and surveillance of lymphatic filariasis-a multicenter trial. Filarial journal. 3(9), 1-5. Markell, E. K., John, D.T., & Kratoski, W.A. (1999). Medical Parasitology 8 th edition. Philadelphia WB Saunders Co. 305-320. Noordin, R.. (2004). Comparison of IgG4 assays using whole parasite extract and BmR1 recombinant antigen in determining antibody prevalence in Brugian filariasis. Filarial Journal. 3(8), 1-6. Nutman, T. B., (2000). Lymphatic Filariasis. Imperial College Press, UK. p: i- viii+1-283. Rahmah, N. (2007). Multicentre evaluations of two new rapid IgG4 tests (WB rapid and panlf rapid) for detection of lymphatic filariasis. Filarial Journal 6, 9. Terhell, A. (2002). Epidemiological facets of lymphatic filariasis as revealed by the use of antifilarial. [Disertasi]. 10-80 Al-Kauniyah Jurnal Biologi Volume 6 Nomor 2, Oktober 2013 119