PERUBAHAN KADAR HORMON ESTROGEN PADA TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE SAFRIDA

dokumen-dokumen yang mirip
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Kedelai

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE TERHADAP KINERJA UTERUS TIKUS OVARIEKTOMI ADRIEN JEMS AKILES UNITLY

5 KINERJA REPRODUKSI

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Berat badan dewasa : - jantan - betina g. Konsumsi air minum tikus dewasa

OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

TINJAUAN PUSTAKA Kedelai dan Tempe

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. tradisional maupun pasar modern. Kacang kedelai hitam juga memiliki kandungan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus


PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar

KANDUNGAN SENYAWA ISOFLAVON DALAM TEMPE DAN MANFAATNYA BAGI KESEHATAN. Dr. Sri Handayani

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan lekosit tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah sebagai berikut :

OLEH: YULFINA HAYATI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

BAB I PENDAHULUAN. pembuatan tempe, tahu, kecap, oncom, susu, dan lain-lain. Kacangkacangan

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

Gambar 1. Mencit Putih (M. musculus)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus

MATERI DAN METODE. Prosedur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tumbuhan Bunga Matahari (Helianthus annuus L.)

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

PENGARUH PERENDAMAN DALAM LARUTAN GULA TERHADAP PERSENTASE OLIGOSAKARIDA DAN SIFAT SENSORIK TEPUNG KACANG KEDELAI (Glycine max)

I PENDAHULUAN. banyak peternakan yang mengembangkan budidaya puyuh dalam pemenuhan produksi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-abuan. Tempe dibuat dengan cara

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest.

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI...

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

I. PENDAHULUAN ,8 ton (49,97%) dari total produksi daging (Direktorat Jenderal Peternakan,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

METODE PENELITIAN. test design. Pretest adalah pengukuran kadar kolesterol total darah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

BAB 1 PENDAHULUAN. Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

BAB I PENDAHULUAN. didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Pertumbuhan Kelinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

BAB I PENDAHULUAN. biji. Setiap bagian tumbuhan akar, batang, daun dan biji memiliki senyawa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Susu kedelai adalah salah satu hasil pengolahan yang merupakan hasil ekstraksi dari

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap sebagai subsitusi

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh penggunaan ampas kecap dalam ransum

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. jantan maupun betina muda berumur 6-8 minggu yang dipelihara secara intensif,

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

BAB I PENDAHULUAN. Melalui penganekaragaman pangan didapatkan variasi makanan yang

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994).

BAB III METODE PENELITIAN

Pengertian Bahan Pangan Hewani Dan Nabati Dan Pengolahannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia mulai dalam kandungan sampai mati tampaklah. perkembangan, sedangkan pada akhirnya perubahan itu menjadi kearah

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tempe Kacang-kacangan dan biji-bijian seperti kacang kedelai, kacang tanah, biji kecipir, koro, kelapa, dll merupakan bahan

1 I PENDAHULUAN. Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian, dan (1.7) Waktu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker

Gambar 1. Beberapa varietas talas Bogor

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu,

BAB III METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE. Materi

Transkripsi:

PERUBAHAN KADAR HORMON ESTROGEN PADA TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE SAFRIDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perubahan Kadar Hormon Estrogen pada Tikus yang diberi Tepung Kedelai dan Tepung Tempe adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2008 Safrida NRP G351060431

3 ABSTRACT SAFRIDA.The alteration of rats estrogen hormone level that added soybean flour and tempeh flour. Under Supervision of DEDY DURYADI SOLIHIN and NASTITI KUSUMORINI. Soybean and tempeh contains isoflavon compound. The isoflavon molecule structure is similar with endogen estrogen. Hence, isoflavon is able to bond with estrogen reseptor so it can replace estrogen function. Estrogen hormone level have a large variation depend on estrus cycle phase. The objective of the research was to prove exogenous estrogen that produced by soybean flour and tempeh flour increases estrogen hormone level of ovariectomy rat, and to compare the ovariectomy rat estrogen hormone level that given soybean flour and tempeh flour. The experimental method used in this research is Randomized complete design with 6 block of treatments and 5 times repetition. The block of treatments are non-ovariectomy rat fed by pelet/control (Non-ov K), non-ovariectomy rat fed by 10 g dry weight/100 g body weight/day soybean flour (Non-ov Kd), nonovariectomy rat fed by 10 g dry weight/100 g body weight/day tempeh flour (Non-ov T), ovariectomy rat fed by pelet/control (Ov K), ovariectomy rat fed by 10 g dry weight/100 g body weight/day soybean flour (Ov Kd), ovariectomy rat fed by 10 g dry weight/100 g body weight/day tempeh flour (Ov T). The data of estrogen level is analyzed by Analysis of Variance (ANOVA) and then continued by Duncan Multiple Range Test at 95% confidence interval (5% significance level). Non-ovariectomy rat that given tempeh flour have longer estrus cycle than the non ovariectomy rat that given soybean flour. The isoflavon contained on the tempeh flour and soybean flour have an effect on vagina epitel, that is the proliferation and cornification on vagina epitel cell. Estrogen hormone level on non-ovariectomy rat fed by tempeh flour is higher than the estrogen hormone level on non- ovariectomy rat fed by soybean flour. The length of the estrus phase between the ovariectomy rat fed by tempeh flour, and ovariectomy rat fed by soybean flour equal to non ovariectomy rat fed by pelet. The added of soybean flour and tempeh flour to ovariectomy rat optimize estrogen hormone in order to happening the estrus phase. The added of tempeh flour to non ovariectomy and ovariectomy rat is better than the soybean flour. Keywords: estrogen, ovariectomy, estrus cycle, isoflavon, Rattus norvegicus Galur Sprague-Dawley i

4 RINGKASAN SAFRIDA. Perubahan Kadar Hormon Estrogen pada Tikus yang Diberi Tepung Tempe dan Tepung Kedelai. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan NASTITI KUSUMORINI. Kedelai dan tempe mengandung senyawa isoflavon. Struktur molekul isoflavonnya memiliki kemiripan dengan estrogen endogen. Oleh sebab itu isoflavon mampu berikatan dengan reseptor estrogen sehingga isoflavon dapat menggantikan fungsi estrogen. Kadar hormon estrogen sangat bervariasi tergantung pada fase siklus estrus. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan estrogen eksogenik yang dihasilkan tepung kedelai dan tepung tempe dapat meningkatkan kadar hormon estrogen tikus ovariektomi dan untuk membandingkan kadar hormon estrogen tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai dan tepung tempe. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yaitu pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 (enam) kelompok perlakuan dan 5 (lima) kali ulangan, kelompok perlakuan tersebut adalah kelompok 1: tikus non ovariektomi yag diberi pelet/ kontrol (Non-Ov K), kelompok 2: tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai 10 g bk/100 g bb/hari (Non-Ov Kd), kelompok 3: tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe 10 g bk/100 g bb/hari (Non-Ov T), kelompok 4: tikus ovariektomi yag diberi pelet/pakan biasa (Ov K), kelompok 5: tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai 10 g bk/100 g bb bk/hari (Ov Kd), dan kelompok 6: tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe 10 g bk/100 g bb/hari (Ov T). Setelah selesai masa perlakuan dilakukan pengambilan data untuk menentukan panjang siklus estrus dengan cara melakukan ulas vagina. Ulas vagina dilakukan 2 (dua) kali sehari, yaitu pada pagi hari (pukul 07.00 WIB) dan sore hari (pukul 18.00 WIB) selama dua minggu. Preparat ulas vagina selanjutnya difiksasi dengan methanol selama 15 menit dan diwarnai dengan Giemsa 10% selama 30 menit, dicuci dengan air mengalir setelah itu dikeringkan. Setelah kering, preparat diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x10. Pada fase diestrus, masing-masing tikus diambil darahnya secara interkardial sebanyak kurang lebih 1 ml. Darah dikoleksi pada tabung penampung, selanjutnya darah disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit sehingga didapatkan serum yang kemudian digunakan untuk penentuan kadar estrogen. Konsentrasi estrogen dalam serum diukur dengan metode Radioimmunoassay (RIA) dengan teknik fase padat menggunakan kit estrogen coat-a-count yang berisi estradiol berlabel 125 I. Data kadar estrogen dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05). Hasil analisis tepung kedelai dan tepung tempe menunjukkan 3 macam senyawa isoflavon utama yaitu daidzein, glisitein dan genistein. Hasil analisis kromatrogram menunjukkan bahwa senyawa isoflavon yang paling dominan baik pada tepung kedelai dan tepung tempe adalah daidzein dan genistein. Kandungan genistein dalam tepung tempe 250.65 mg/kg bk, lebih banyak dibandingkan tepung kedelai 65.15 mg/kg bk, sehingga tepung tempe lebih baik dari pada tepung kedelai.

5 Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe mempunyai siklus estrus yang lebih panjang dibandingkan dengan tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai. Kadar hormon estrogen pada tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe lebih tinggi dari pada tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai. Pemberian tepung tempe dan tepung kedelai pada tikus non ovariektomi dapat mengoptimalkan hormon estrogen sehingga terjadinya perpanjangan fase proestrus dan estrus. Kadar hormon estrogen pada tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe lebih tinggi bila dibandingkan dengan tikus ovariektomi kontrol, sedangkan kadar estrogen pada tepung kedelai sama dengan tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe. Kadar hormon tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe dan yang diberi tepung kedelai mempunyai efek pada epitel vagina yaitu terjadinya proliferasi dan kornifikasi sel epitel vagina. Pemberian tepung kedelai dan tepung tempe pada tikus ovariektomi dapat mengoptimalkan hormon estrogen dalam memunculkan fase estrus. Pemberian tepung tempe pada tikus non ovariektomi dan tikus ovariektomi lebih baik dari pada pemberian tepung kedelai. Kata kunci: estrogen, ovariektomi, siklus estrus, isoflavon, Rattus norvegicus Galur Sprague-Dawley

Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. 6

7 PERUBAHAN KADAR HORMON ESTROGEN PADA TIKUS YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE SAFRIDA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Progran Studi Biologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

8

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Drh. Hera Maheshwari, M.Sc. 9

10 PRAKATA Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga karya ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul: Perubahan kadar hormon estrogen pada tikus yang diberi tepung kedelai dan tepung tempe dilaksanakan sejak Juni 2007 sampai Desember 2007. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Ibu Dr. Nastiti Kusumorini selaku pembimbing yang telah banyak membantu serta memberikan motivasi dan arahan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih kepada Ibu Dr. Drh. Hera Maheshwari, M.Sc. atas kesediaaannya sebagai penguji luar komisi. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh staf pengajar Program Studi Biologi Pascasarjana IPB, staf pengajar dan pegawai di bagian Fisiologi dan Farmakologi FKH-IPB, staf laboran dari Laboratorium Jasa Analisis Pangan Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor, staf laboran dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor atas bantuan dan kerjasamanya. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada suami Muksin dan anak tercinta atas segala doa, motivasi, keikhlasan, kesabaran, dan cintanya. Terima kasih juga yang tidak terhingga kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih juga diungkapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Bantuan Beasiswa NAD, Bantuan Beasiswa Pemda Aceh Besar yang telah membantu memberikan dana untuk studi dan penelitian tesis. Terima kasih juga kepada rekan zoologi 2006 serta tim penelitian: Adri dan Ibu Atin yang telah banyak membantu serta memberi motivasi kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Bogor, Juli 2008 Safrida

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Aceh Besar pada tanggal 5 Agustus 1980 dari ayah Anwar Ahmad dan ibu Suwardiah. Penulis merupakan putri keempat dari tujuh orang bersaudara. Penulis sudah menikah dan sudah dikaruniai satu putra yang bernama Almas Mubarak. Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Aceh Besar. Pendidikan sarjana ditempuh di FKIP Biologi, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis diterima menjadi staf pengajar FKIP Biologi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan pada tahun 2006 diterima di Program Studi Biologi Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... ii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR LAMPIRAN... iv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah.... 2 Tujuan Penelitian... 2 Hipotesis... 3 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Kedelai... 4 Tempe... 6 Fitoestrogen... 8 Isoflavon... 9 Hormon Estrogen... 10 Biologi UmumTikus... 14 Siklus Estrus... 15 BAHAN DAN METODE... 19 Waktu dan Tempat Penelitian... 19 Bahan dan Alat... 19 Metode Penelitian... 19 Rancangan Percobaan... 24 Analisis Data... 24 HASIL DAN PEMBAHASAN... 25 Kandungan Senyawa Isoflavon Tepung Kedelai dan Tepung Tempe. 25 Siklus Estrus dan Kadar Hormon Estrogen Tikus Non Ovariektomi.. 26 Siklus Estrus dan Kadar Hormon Estrogen Tikus Ovariektomi... 29 Hubungan Panjang Siklus Estrus dengan Kadar Hormon Estrogen Pada Tikus... 33 SIMPULAN DAN SARAN... 35 DAFTAR PUSTAKA... 36 LAMPIRAN... 41

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi kimia biji kedelai kering per 100 gram... 5 2 Kandungan asam amino essensial biji kedelai... 5 3 Komposisi kimia tempe kedelai... 8 4 Hasil analisis senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe... 10 5 Perbandingan jenis sel pada preparat ulas vagina... 22 6 Hasil analisis kuantitatif senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe... 25 7 Pengaruh pemberian tepung kedelai dan tepung tempe pada panjang siklus estrus dan rataan kadar estradiol tikus non ovariektomi... 27 8 Pengaruh pemberian tepung kedelai dan tepung tempe pada panjang siklus estrus dan rataan kadar estradiol tikus ovariektomi... 29

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur isoflavon... 9 2 Bentuk-bentuk estrogen... 11 3 Skema pembentukan steroid pada perkembangan folikel... 13 4 Hubungan jalur metabolisme karbohidrat, protein dan lemak... 14 5 Gambaran ulas vagina tikus putih... 22 6 Diagram rataan panjang setiap fase siklus estrus tikus non ovariektomi... 27 7 Diagram rataan panjang setiap fase siklus estrus tikus non ovariektomi... 30 8 Grafik hubungan rataan kadar estradiol terhadap rataan panjang siklus estrus... 33

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Proses pembuatan tepung kedelai... 41 2 Proses pembuatan tempe... 42 3 Proses pembuatan tepung tempe... 43 4 Prosedur analisis kandungan isoflavon... 44 5 Kromatogram HPLC standar senyawa isoflavon... 47 6 Kromatogram HPLC tepung kedelai... 48 7 Kromatogram HPLC tepung tempe... 49 8 Contoh perhitungan kandungan senyawa isoflavon... 50 9 Data rataan fase siklus estrus tikus non ovariektomi sesudah diberi pelet.... 51 10 Data rataan fase siklus estrus tikus non ovariektomi sesudah diberi tepung kedelai... 52 11 Data rataan fase siklus estrus tikus non ovariektomi sesudah diberi tepung tempe... 54 12 Data rataan fase siklus estrus tikus ovariektomi setelah diberi pelet... 55 13 Data rataan fase siklus estrus tikus ovariektomi sesudah diberi tepung kedelai.... 57 14 Data rataan fase siklus estrus tikus ovariektomi sesudah diberi tepung tempe... 60 15 Data pengukuran estradiol pada fase diestrus tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley... 62 16 Hasil analisis statistik estradiol tikus non ovariektomi... 63 17 Hasil analisis statistik estradiol tikus putih ovariektomi... 64 18 Hasil analisis statistik untuk panjang siklus estrus terhadap kadar estradiol... 66

16 PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max L.) merupakan sumber protein yang paling baik serta sebagai sumber lemak, vitamin, mineral dan serat. Kandungan protein berkisar 30-40%, karbohidrat 34,8%, lemak 18,1% dan masih mengandung zat gizi yang lain sehingga mempunyai potensi yang cukup baik untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, khususnya kebutuhan protein. Selain dari kandungan gizi yang tinggi, kedelai merupakan sumber isoflavon (Heinnermen 2003). Isoflavon merupakan salah satu senyawa fitoestrogen, yaitu senyawa nabati yang memiliki efek serupa dengan estrogen. Fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause, memperbaiki lipid atau lemak dalam plasma, menghambat perkembangan arteriosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor atau kanker pada payudara dan endometrium (Hidayati 2003). Isoflavon terbukti mempunyai efek hormonal, khususnya efek estrogenik. Aktifitas estrogenik isoflavon diketahui terkait dengan struktur kimianya yang mirip dengan dietilstilbesterol, yang biasanya digunakan sebagai obat yang memiliki sifat estrogenik (Pawiroharsono 2007). Isoflavon mampu berikatan dengan reseptor estrogen sehingga dapat berpotensi sebagai pengganti hormon estrogen yang relatif aman (Yulianto 2004). Struktur molekul isoflavon kedelai dan produk olahannya memiliki kemiripan dengan estrogen endogen, oleh sebab itu isoflavon mampu berikatan dengan reseptor estrogen, dan pada akhirnya isoflavon dapat menggantikan fungsi estrogen. Afinitas isoflavon terhadap reseptor estrogen sangatlah rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogenous sehingga diperlukan jumlah fitoestrogen yang sangat besar untuk memperoleh efek yang memadai seperti estrogen (Tanu 2005). Tempe sebagai produk makanan telah dikenal baik oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat luar. Tempe merupakan salah satu produk olahan hasil fermentasi kedelai. Komponen dan nilai gizi dalam kedelai mengalami perubahan selama fermentasi menjadi tempe. Nilai gizi protein tempe meningkat setelah proses fermentasi karena terjadinya pembebasan asam amino hasil

17 aktivitas enzim proteolitik dari tempe. Fermentasi juga menyebabkan jumlah kandungan isoflavon dalam tempe meningkat dibandingkan dengan kedelai tanpa fermentasi (Cahyadi 2007). Manfaat tempe disamping kandungan gizinya yang tinggi, kandungan bioaktif yang dihasilkan dalam proses fermentasi kedelai menjadi tempe sangat bermanfaat bagi kesehatan (Nakajima et al. 2005). Pada tikus putih, estrogen dihasilkan dari masa pubertas yaitu sekitar usia 8 minggu sampai berhentinya masa reproduksi kurang lebih pada usia 2,5 tahun ( Hafez et al. 2000). Kadar hormon estrogen sangat bervariasi (berfluktuasi) tergantung pada fase siklus estrus (Turner dan Bagnara 1976). Fungsi estrogen dalam hubungannya dengan reproduksi adalah menyebabkan proliferasi dan pertumbuhan sel jaringan organ reproduksi dan jaringan lain yang berhubungan dengan reproduksi, mempertahankan sistem saluran kelamin betina dan sifat kelamin sekunder serta kelakuan kelamin betina (Guyton 1996). Selain untuk reproduksi, estrogen juga dibutuhkan untuk kesehatan terutama pada saat menopause yaitu untuk mempertahankan saluran reproduksi dan dapat mengurangi berbagai keluhan menopause (Ganong 2003). Dalam sistem reproduksi, hormon reproduksi memegang peranan yang sangat penting. Keberhasilan reproduksi tergantung pada keseimbangan hormon reproduksi. Hormon reproduksi utama pada hewan betina adalah hormon estrogen (Turner dan Bagnara 1976). Kekurangan hormon estrogen dapat menyebabkan gangguan reproduksi dan kesehatan, oleh karena itu diperlukan suplemen berupa tepung kedelai dan tepung tempe yang mengandung estrogen eksogenik. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan estrogen eksogenik yang terkandung dalam tepung kedelai dan tepung tempe dapat mengoptimalkan kadar hormon estrogen tikus dan untuk membandingkan kadar hormon estrogen tikus yang diberi tepung kedelai dan tepung tempe.

18 Hipotesis Estrogen eksogenik yang terkandung dalam tepung kedelai dan tepung tempe dapat mengoptimalkan kadar hormon estrogen tikus, dan pemberian tepung tempe lebih baik dibandingkan dengan pemberian tepung kedelai. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang estrogen eksogenik yang terkandung tepung tempe dan tepung kedelai dapat mempengaruhi reproduksi hewan dan manusia. Data ini dapat digunakan untuk penerapan dan pengembangan dalam Ilmu Kedokteran serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan dalam bidang farmasi.

19 TINJAUAN PUSTAKA Kedelai Kedelai (Glycine max) sudah dibudidayakan sejak 1500 tahun SM dan baru masuk ke Indonesia, terutama Jawa sekitar tahun 1750. Kedelai paling baik ditanam di ladang dan persawahan antara musim kemarau dan musim hujan. Sedangkan rata-rata curah hujan tiap tahun yang cocok bagi kedelai adalah kurang dari 200 mm dengan jumlah bulan kering 3-6 bulan dan hari hujan berkisar antara 95-122 hari selama setahun. Kedelai mempunyai perawakan kecil dan tinggi batangnya dapat mencapai 75 cm. Bentuk daunnya bulat telur dengan kedua ujungnya membentuk sudut lancip dan bersusun tiga menyebar (kanan-kiri-depan) dalam satu untaian ranting yang menghubungkan batang pohon. Menurut varietasnya ada kedelai yang berwarna putih dan hitam. Baik kulit luar buah polong maupun batang pohonnya mempunyai bulu-bulu yang kasar berwarna coklat. Untuk budidaya tanaman kedelai di pulau Jawa yang paling baik adalah pada ketinggian tanah kurang dari 500 m di atas permukaan laut (Ipteknet 2007). Klasifikasi ilmiah kedelai adalah sebagai berikut: kingdom Plantae, sub kingdom Traceeobionta, superdivisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Rosidae, ordo Fabales, family Fabaceae, genus Glycine, spesies G.max (L.) Merr (USDA 2007). Tanaman kedelai banyak ditanam di sawah setelah panen padi sebagai palawija yang dapat memperbaiki keadaan tanah. Kedelai merupakan tanaman semak semusim, tingginya 20 60 cm. Batang tanaman kacang-kacangan ini bersegi, berwarna hijau keputih-putihan. Daunnya segitiga majemuk, berbentuk bulat telur, ujung tumpul, tepi rata. Bunganya majemuk, berbentuk tandan, berwarna ungu / kuning keputihan. Buah kedelai berbentuk polong, seperti kacang, bertangkai pendek, pipih. Buah mudanya berwarna hijau dan tuanya berwarna kuning. Kedelai tidak hanya mengandung lebih banyak protein melebihi daging sapi dan ayam, tetapi juga kadar lemaknya yang lebih rendah tapi bernilai tinggi (Asiamaya 2007). Kedelai merupakan sumber protein nabati yang efisien, dalam arti bahwa untuk memperoleh jumlah protein yang cukup diperlukan kedelai dalam jumlah

20 yang kecil. Selain mengandung protein, kedelai juga mengandung zat besi, kalsium, vitamin A dan vitamin B1 (Cahyadi 2007) (tabel 1). Protein kedelai merupakan satu-satunya leguminosa yang mengandung semua asam amino esensial (tabel 2). Asam amino tersebut tidak dapat disintesis oleh tubuh, jadi harus dikonsumsi dari luar. Meskipun kadar minyaknya sekitar 18%, tetapi ternyata kadar lemak jenuhnya rendah dan bebas terhadap kolesterol serta rendah nilai kalorinya. Kedelai banyak dikonsumsi oleh manusia sebagai salah satu alternatif untuk menggantikan protein hewani yang relatif lebih mahal (Cahyadi 2007). Tabel1. Komposisi kimia biji kedelai kering per 100 gram Komponen Jumlah Kalori (kkal) 331.0 Protein (gram) 34.9 Lemak (gram) 18.1 Karbohidrat (gram) 34.8 Kalsium (mg) 227.0 Fosfor (mg) 585.0 Besi (mg) 8.0 Vitamin A (SI) 110.0 Vitamin B1 (mg) 1.1 Air (gram) 7.5 (Cahyadi 2007) Tabel 2. Kandungan asam amino essensial biji kedelai Asam Amino Jumlah (mg/g N) Isoleusin 340 Leusin 480 Lisin 400 Fenilalanin 310 Tirosin Sistin Treonin Triptofan Valin Metionin 200 110 250 90 330 80 (Cahyadi 2007) Kedelai mengandung lemak tak jenuh linoleat, oleat dan arakhidat, berfungsi sebagai zat yang mencegah penumpukan lemak berlebihan dalam tubuh

21 (lipotropikum) dan kandungan serat kedelai yang sangat tinggi berfungsi untuk membantu merangsang metabolisme dan dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah serta genistein yaitu senyawa fitoesterogen dalam kedelai yang dapat menghambat pertumbuhan sel kanker atau tumor (Asiamaya 2007). Menurut Cahyadi (2007) kedelai mentah yang tidak mengalami proses fermentasi mengandung senyawa antigizi diantaranya antitripsin, hemaglutinin, asam fitat dan oligosakarida penyebab timbulnya gas dalam perut sehingga perut menjadi kembung (flatulensi). Kedelai memiliki kandungan isoflavon lebih tinggi dibanding tanaman bahan pangan lainnya. Isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antiestrogen, antioksidan dan antikarsinogenik. Isoflavon dari golongan genistien dan daidzien dinilai paling berperan untuk kesehatan. Genotipe kedelai asal Brasilia, yaitu BRM95-50570 memiliki kandungan isoflavon cukup tinggi yaitu 290 mg/100 g biji kedelai. Hasil identifikasi yang dilakukan di Cina juga memperoleh tiga kedelai dengan kandungan isoflavon antara 548 hingga 656 mg/100 g biji kedelai. Genotipe IAC 100 (asal Brasilia) juga memiliki kandungan isoflavon 447,5 mg/100 g biji, dan genotipe tersebut tersedia di Indonesia (Muchlis dan Krisnawati 2007). Tempe Berbagai produk dapat dihasilkan dari kedelai, baik sebagai bahan makanan manusia, makanan ternak dan bahan industri lainnya. Pengolahan kedelai dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu dengan fermentasi dan tanpa fermentasi. Pengolahan melalui fermentasi akan menghasilkan produk seperti tempe, kecap, oncom, dan tauco. Sedangkan bentuk olahan tanpa melalui fermentasi adalah susu kedelai, tahu, tauge dan tepung kedelai. Sebagian masyarakat menyukai bentuk olahan berupa tempe, tahu dan kecap (Koswara 1995). Tempe sebagai salah satu produk olahan hasil fermentasi, terbentuk karena aktifitas kapang Rhizopus sp pada kedelai yang telah direbus sehingga membentuk massa yang padat dan kompak. Tempe yang baik tampak kompak, diselaputi miselium kapang yang berwarna putih pada seluruh bahan, tidak bernoda hitam

22 akibat timbulnya spora, tidak berlendir, mudah diiris, tidak busuk dan tidak berbau amoniak (Syarief et al. 1999). Keterlibatan mikroorganisme pada proses pembuatan tempe terutama terjadi pada saat perendaman oleh bakteri pembentuk asam dan saat fermentasi oleh aktifitas kapang. Sebagai akibat dari perubahan-perubahan tersebut tempe menjadi lebih enak, lebih bergizi dan lebih mudah dicerna. Salah satu faktor penting dalam perubahan tersebut adalah terbentuknya senyawa-senyawa isoflavon dalam bentuk bebas (aglikon) dan terbentuknya senyawa faktor-ii (6,7,4 -trihidroksiisoflavon) (Pawiroharsono 2007). Senyawa faktor II pada tempe berpotensi sebagai antikontriksi pada pembuluh darah dan menghambat pembentukan Low Density Lipoprotein (LDL), sehingga dapat mengurangi terbentuknya kerak lemak pada dinding pembuluh darah (atherosklerosis) (Jha et al. 1997). Menurut Wang dan Murphy (1994) senyawa faktor II berpotensi tinggi sebagai antioksidan. Tempe mengandung berbagai unsur yang bermanfaat bagi kesehatan. Seperti hidrat arang, lemak, protein, serat, vitamin, enzim, daidzein, genistein serta komponen anti-bakteri. Kandungan zat aktif isoflavon, khususnya daidzein, genistein, serta isoflavon faktor II yang dapat berikatan dengan reseptor hormon estrogen dalam tubuh dapat mengurangi keluhan psikovasomotor khususnya semburan atau hentakan panas di dada sebagaimana yang dialami perempuan saat memasuki masa menopause (Pawiroharsono 2007). Menurut Cahyadi (2007) tempe merupakan bahan makanan yang berkadar protein tinggi yaitu sekitar 20%, juga mengandung lemak berkadar rendah. Tempe yang baik dan bermutu tinggi memiliki cita rasa, aroma serta tekstur yang khusus dan sangat karakteristik, harus padat dengan jahitan miselia yang rapat dan kompak. Warna utama harus putih seperti kapas. Komposisi kimia tempe dapat dilihat pada tabel 3.

23 Tabel 3. Komposisi kimia tempe kedelai (dalam 100 gram bagian yang dapat dimakan) Komponen Tempe Protein (gram) 20.8 Lemak 8.8 Karbohidrat Abu Serat Karoten total (mg) 13.5 1.6 1.4 34 Kalsium 155 Besi Fosfor Air Vitamin B1 4.0 326 55.3 0.19 (Cahyadi 2007) Fitoestrogen Fitoestrogen merupakan suatu substrat yang berasal dari tumbuhtumbuhan yang strukturnya hampir sama dengan estrogen. Beberapa senyawa fitoestrogen yang diketahui banyak terdapat dalam tanaman, antara lain isoflavon, flavon, lignan, coumestans, tripterpene glycosides, acyclics, dan lain-lain. Fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause, memperbaiki lipid atau lemak dalam plasma, menghambat perkembangan arteriosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor atau kanker pada payudara dan endometrium (Hidayati 2003). Fitoestrogen dapat menempel pada reseptor estrogen sel-sel duktus kelenjar susu, jika seluruh reseptor diblokir oleh genistein, estrogen asli tidak berpeluang menempel pada reseptor. Fitoestrogen dapat mencegah pertumbuhan sel-sel kanker dan dapat mengurangi kadar kolesterol (Cahyadi 2007). Sel kanker sering kali menghasilkan satu atau lebih protein tirosin kinase dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan sel normal (Sofyan 2000). Pertumbuhan dan perkembangan sel normal maupun sel kanker sangat tergantung pada aktivitas reseptor. Reseptor tirosin kinase adalah EGFR (Epidermal Growth Factor Reseptor). Isoflavon dapat menghambat aktivitas protein tirosin kinase spesifik dengan menghambat aktivitas EGFR (Epidermal Growth Factor Reseptor) secara kompetitif dengan ATP (Akiyama 1987). Genistein dapat menghambat protein tirosin kinase dan reseptornya (Hudson 2003).

24 Isoflavon Isoflavon (gambar 1) tergolong kelompok flavonoid yang banyak ditemukan dalam buah-buahan, sayur-sayuran dan biji-bijian. Isoflavon kedelai terdapat dalam empat bentuk, yaitu 1) Glikosida: daidzin, genistin, dan glisitin; 2) Asetil glikosida: 6-0 Asetildaidzin, -genistin dan glisitin; 3) Malonil glikosida: 6-0 Malonildaidzin, -genistin dan glisitin; 4) Aglikon: daidzein, genistein, dan glisitein. Isoflavon yang dominan pada kedelai terdapat dalam bentuk glikosida (genistin dan daidzin) sedangkan yang dominan pada tempe adalah aglikon (genistein dan daidzein) yang dihasilkan dari pelepasan glukosa dari glikosida. Bentuk aglikon mempunyai bioviabilitas yang lebih baik dibandingkan bentuk glikon. Glikosida dipertahankan oleh tanaman dalam bentuk inaktif sebagai antioksidan. Isoflavon kedelai menstimulasi aktivitas osteoblastik (pembentukan sel-sel tulang) melalui aktivitas reseptor-reseptor estrogen, mampu meningkatkan produksi hormon pertumbuhan insuline-like growth factors-1 (IGF-1) yang memiliki hubungan positif terhadap pembentukan massa tulang (Yulianto 2003). Gambar 1. Struktur Isoflavon (Winarsi 2005) Hasil penelitian Astuti (1999) menunjukkan bahwa senyawa isoflavon yang dominan pada tepung kedelai dan tepung tempe adalah daidzein dan genistein. Kandungan total isoflavon pada tepung kedelai impor varietas americana adalah 22,93 mg/100g bk dan kandungan total isoflavon pada tepung tempe kedelai impor varietas americana 77,98 mg/100g bk (tabel 4). Tabel 4. Hasil analisis senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe.

25 Komponen Tepung kedelai (mg/100g bb) Tepung tempe (mg/100g bb) Tepung kedelai (mg/100g bk) Tepung tempe (mg/100g bk) Faktor II 0,04 0,37 0,04 0,41 Daidzein 14,59 27,10 15,68 30,20 Glisitein 0,97 0,74 1,04 0,83 Genistein 5,74 41,76 6,17 46,54 Total isoflavon 21,34 69,97 22,93 77,98 Keterangan: bb = berat basah; bk = berat kering. ( Astuti 1999) Hasil penelitian Nakajima et al. (2005) menunjukkan bahwa kandungan total isoflavon dalam tempe yang berasal dari kedelai kuning adalah 102,7 mg per 100 g berat basah dan kandungan total isoflavon dalam tempe yang berasal dari kedelai hitam adalah 103,2 mg per 100 g berat basah. Isoflavon mempunyai efek estrogenik bagi manusia dan hewan tergantung pada dosis yang digunakan (Yulianto 2003). Dosis Isoflavon yang digunakan oleh manusia berkisar 0,4 10 mg/kg berat badan/hari sedangkan dosis isoflavon pada rodensia berkisar 1-10 mg/100g berat badan/hari (Whitten dan Patisaul 2001). Hormon Estrogen Struktur kimia dan Fungsi Hormon Estrogen Estrogen terutama dihasilkan oleh sel teka interna dari folikel dan sedikit oleh korpus luteum, plasenta, korteks adrenal dan testis kemudian estrogen diekskresikan dari tubuh melalui urin. Zat yang sebetulnya dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol, sedangkan senyawa organik yang mempunyai efek estrogenik yang disintesa di laboratorium adalah dietilstilbestrol. Seperti halnya hormon-hormon yang lain, grup estrogen bekerja secara selektif. Pengaruhnya yang jelas adalah langsung terhadap traktus reproduksi dan glandula mammae (Gadjahnata 1989). Estrogen terdapat dalam bentuk estradiol, estron, dan estriol (Gambar 2). Potensi estrogenik estradiol adalah 12 kali kekuatan estron dan 80 kali lebih besar dari pada estriol. Dengan mengingat potensi relatif ini, efek total estrogenik dari

26 estradiol biasanya beberapa kali lipat dari estrogen yang lain, sehingga estradiol dianggap sebagai estrogen utama (Guyton 1996). Estriol Estradiol Estron Gambar 2. Bentuk-bentuk Estrogen (Guyton 1996) Fungsi utama dari estrogen adalah untuk menimbulkan proliferasi sel dan pertumbuhan jaringan organ-organ kelamin dan jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi (Guyton 1994). Estradiol bertanggungjawab atas timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder pada hewan betina. Hormon ini menyebabkan timbulnya estrus, merangsang kontraksi uterus, merangsang pelemasan symphysis pubis pada waktu partus, menggertak pertumbuhan sistem saluran kelenjar ambing dan mempercepat osifikasi epifise tulang-tulang tubuh. Menjelang ovulasi, konsentrasi estrogen mencapai kadar yang tinggi di dalam tubuh dan berfungsi menekan produksi FSH dan merangsang pelepasan LH sehingga terjadi ovulasi (Cole dan Cupps 1977). Biosintesis dan Metabolisme Hormon Estrogen Hormon estrogen disintesis dalam ovarium terutama dari kolesterol yang berasal dari darah, walaupun dalam jumlah kecil juga diperoleh dari asetil ko-

27 enzim A, suatu molekul multipel yang dapat berkombinasi membentuk inti steroid yang tepat. Selama sintesis, progesteron dan testosteron akan disintesis pertama kali, baru kemudian sebelum hormon ini keluar dari ovarium, hampir semua testosteron dan sebagian progesteron akan diubah menjadi estrogen (Guyton 1994). Prekursor hormon estrogen adalah kolesterol. Jalur biosintesis estrogen melibatkan pembentukannya dari androgen, juga dibentuk melalui aromatisasi androstenedion didalam sirkulasi. Aromatase adalah enzim yang mengkatalisis perubahan androstenedion menjadi estron dan perubahan testosteron menjadi estradiol. Sel-sel teka interna memiliki banyak reseptor LH, dan LH bekerja melalui camp untuk meningkatkan perubahan kolesterol menjadi androstenedion. Sebagian androstenedion diubah menjadi estradiol, yang masuk ke dalam sirkulasi. Sel teka interna juga memberikan androstenedion pada sel granulosa. Sel granulosa memberikan estradiol bila mendapat androgen. Sel granulosa memiliki banyak reseptor FSH, dan FSH meningkatkan sekresi estradiol dari sel granulosa dan bekerja melalui AMP siklik untuk meningkatkan aktivitas aromatase. Sel granulosa matang juga memiliki reseptor LH, dan LH juga merangsang pembentukan estradiol (Ganong 2003) (gambar 3). Estrogen yang beredar terikat pada protein plasma dan proses pengikatannya terjadi di dalam hati. Hati melaksanakan peranan ganda dalam metabolisme estrogen, yaitu menginaktifkan steroid ini dan juga memberikan pengaruh mengaktifkan lewat pembentukan estoprotein. Kira-kira 50 persen estrogen dalam darah dikonjugasi dengan glukoronida dan sulfat; dan hampir seperlima dari produk konjugasi ini diekskresikan lewat empedu, sedangkan sebagian besar diekskresikan ke dalam urine dan feses (Turner dan Bagnara 1976). Kolesterol adalah prekursor hormon-hormon steroid. Kolesterol diperoleh dari lemak dan karbohidrat melalui jalur metabolisme karbohidrat dan lemak. Kolesterol diabsorpsi dari usus dan dimasukkan ke dalam kilomikron yang dibentuk di dalam mukosa. Setelah kilomikron mengeluarkan trigliseridanya di jaringan adiposa, kilomikron sisanya menyerahkan kolesterol di hati. Hati dan jaringan-jaringan lain juga menyintesis kolesterol. Kelebihan protein di dalam

28 tubuh akan diekskresikan melalui siklus urea (Ganong 2003). Jalur metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dapat dilihat pada gambar 4. Gambar 3. Skema pembentukan steroid pada perkembangan folikel (Johnson dan Everitt 1984).

29 Gambar 4. Hubungan jalur metabolisme karbohidrat, protein dan lemak (Ganong 2003). Biologi Umum Tikus Tikus (Rattus norvegicus) adalah hewan mamalia yang merupakan salah satu hewan percobaan yang banyak digunakan sebagai model dalam penelitian. Hewan ini memiliki keistimewaan yaitu umur relatif pendek, sifat produksi dan reproduksi menyerupai mamalia besar, lama produksi ekonomis (2.5-3 tahun), lama kebuntingan berkisar 21-23 hari, umur sapih 21 hari, umur pubertas 50-60 hari, angka kelahirannya 6 12 ekor per kelahiran, memiliki panjang siklus estrus 4-5 hari dengan karakteristik setiap fase siklus yang jelas, lama estrus 9-12 jam, interval antar generasi relatif pendek dan berukuran kecil sehingga memudahkan dalam pemeliharaan serta efisien dalam konsumsi pakan (10 g/100 g berat badan) (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Ditambahkan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988), bahwa berat badan tikus betina dewasa sekitar 250-300 g

30 dan mulai dikawinkan umur 65-110 hari dan tikus yang baru lahir memiliki berat lahir antara 5-6 gram. Tikus bersifat poliestrus yaitu hewan yang memiliki siklus birahi lebih dari dua kali dalam satu tahun. Perkawinan yang terjadi dalam jangka waktu 24 jam dapat diketahui dengan memeriksa adanya spermatozoa dalam usapan vagina (Malole dan Pramono 1989). Adapun klasifikasi ilmiah tikus adalah : Kingdom Animalia, Filum Chordata, Kelas Mammalia, Ordo Rodensia, Famili Muridae, Sub Famili Murinae, Genus Rattus, Spesies Rattus norvegicus (Sullivan 2007). Siklus Estrus Sederetan proses perubahan kegiatan fisiologis pada organ-organ reproduksi dari awal hingga berulang kembali disebut sebagai siklus estrus. Siklus estrus pertama timbul setelah 1-2 hari dari mulainya pembukaan vagina yang terjadi pada umur 28-29 hari (Malole dan Pramono, 1989). Siklus estrus pada hewan dapat dibagi menjadi fase folikuler dan fase luteal dengan masing-masing memiliki periode perkembangan yang berkaitan dengan periode fungsional ovarium (Macmillan & Burke 1996). Fase folikuler merupakan fase siklus yang singkat dimulai dari awal pembentukan folikel sampai pecahnya folikel Graaf saat ovulasi. Sedangkan fase luteal merupakan periode sekresi progesteron oleh corpus luteum meliputi lebih dari dua pertiga dari siklus estrus (Hunter 1995). Berdasarkan histologi vagina, siklus estrus pada tikus dibagi menjadi 4 (empat) stadium yaitu : proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Fase folikuler dimulai dengan proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi; fase luteal terdiri atas metestrus yang diikuti oleh diestrus dan diakhiri dengan luteolisis (Macmillan & Burke 1996). Siklus estrus pada tikus dapat diketahui dari perubahan epitel vagina yang dipengaruhi oleh hormon estrogen (Turner dan Bagnara 1976). Proestrus merupakan fase menjelang estrus dimana gejala birahi mulai muncul akan tetapi hewan betina belum mau menerima pejantan untuk melakukan kawin. Pada fase ini folikel de graaf tumbuh dibawah pengaruh FSH dan estrogen. Peningkatan konsentrasi estrogen dan penurunan sekresi progesteron menyebabkan corpus luteum mengecil dan atresia. Saluran reproduksi termasuk mukosa vagina mulai mendapatkan vaskularisasi yang lebih intensif sehingga sel-

31 sel epitel saluran reproduksi mulai berproliferasi. Menurut Baker et al. (1980), fase proestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel epitel berinti yang muncul secara tunggal atau bertumpuk (berlapis-lapis) jika dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina. Pada tikus fase ini berlangsung selama kirakira 12 jam (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Fase estrus merupakan fase setelah proestrus ditandai dengan keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk kopulasi. Pada fase ini estradiol yang berasal dari folikel de Graaf yang matang akan menyebabkan perubahan-perubahan pada saluran reproduksi betina (Toelihere 1985). Menurut Nalbandov (1990), pada tikus fase estrus berlangsung selama 12 14 jam dan pada akhir fase ini terjadi ovulasi. Baker et al. (1980) menyatakan bahwa fase estrus dapat diketahui dengan adanya sel-sel tanduk yang banyak pada lumen vagina yang biasanya nampak pada preparat ulas vagina. Kondisi demikian disebabkan oleh banyaknya pembelahan mitosis yang terjadi didalam mukosa vagina dan sel-sel baru yang menumpuk, sementara lapisan permukaan memiliki bentuk skuamosa dan bertanduk. Sel-sel bertanduk ini terkelupas ke dalam lumen vagina (Partodihardjo 1992). Fase estrus dipengaruhi mekanisme hormonal yaitu berhubungan antara hormon-hormon hipotalamus-hipofisis (GnRH, LH, FSH), hormon-hormon ovarial (estradiol dan progesteron) dan hormon uterus (prostaglandin). Proses estrus sangat erat kaitannya dengan mekanisme sistem hormonal. Telah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya bahwa pada saat estrus konsentrasi estrogen meningkat sesuai dengan pertumbuhan folikel de Graaf, dan selanjutnya di bawah pengaruh serta peran LH yang disekresikan dari hipofisis anterior terjadilah ovulasi dan selanjutnya terjadi pembentukan corpus luteum (CL). Pada waktu CL telah mencapai ukuran maksimal dan fungsional akan terjadi peningkatan konsentrasi progesteron (Turner dan Bagnara 1976). Menurut Silva et al. (2004), secara in vitro FSH dapat mempengaruhi pertumbuhan folikel primordial pada kambing. Yu et al. (2003) melaporkan bahwa FSH dan LH dapat mencegah terjadinya folikel atresia. Fase metestrus merupakan kelanjutan dari fase estrus dan berlangsung selama 10 14 jam. Pada fase ini, ovarium mengandung corpora lutea dan folikel-

32 folikel kecil. Fase ini ditandai dengan bertumbuhnya CL dan sel-sel granulosa folikel dengan cepat yang dipengaruhi oleh Luteinizing hormone (LH) dari adenohyphofisa. Menurut Baker et al. (1980) fase metestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel tanduk dan sel-sel leukosit jika dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina. Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa fase metestrus dibagi menjadi 2 stadium yaitu stadium 1 yang berlangsung kira-kira 15 jam dan stadium 2 kira-kira berlangsung selama 6 jam. Fase Diestrus adalah fase setelah metestrus. Fase ini merupakan fase terpanjang diantara fase-fase siklus estrus lainnya. Fase diestrus berlangsung selama 60 70 jam. Pada fase ini kontraksi uterus menurun, endometrium menebal dan kelenjar-kelenjar mengalami hipertropi, serta mukosa vagina menipis, warna lebih pucat dan leukosit yang bermigrasi semakin banyak. Gambaran ulasan vagina pada fase ini menunjukkan leukosit dalam jumlah yang banyak (Turner dan Bagnara 1976). Estrogen bersirkulasi dalam darah selama beberapa menit kemudian menuju ke sel sasaran. Estrogen berikatan dengan protein reseptor dalam sitoplasma sel target membentuk kompleks hormon reseptor, kemudian bermigrasi ke inti. Ia segera memulai proses transkripsi DNA-RNA dalam area kromosom spesifik dan akhirnya mengakibatkan pembelahan sel (Guyton 1996). Menurut Gadjahnata (1889) pembelahan dan proses penandukan (kornifikasi) epitel vagina tergantung dari meningkatnya kadar estrogen dalam tubuh sehubungan dengan akhir periode pertumbuhan folikel. Pelepasan epitel dan penyusunan leukosit terjadi bila kadar estrogen menurun dan bila pengaruh estrogen menghilang epitel vagina kembali dalam keadaan inaktif. Pada fase proestrus, kadar estrogen mulai meningkat dan saluran mukosa vagina mulai mendapatkan peningkatan aliran darah (vaskularisasi) yang lebih intensif sehingga sel-sel epitel saluran reproduksi mulai berproliferasi. Fase estrus, kadar estrogen tinggi dan suplai darah ke vagina bertambah sehingga epitel vagina mengalami kornifikasi dengan cepat dan lendir disekresikan (Toelihere 1979). Pada fase metestrus, kadar estrogen menurun dan vaskularisasi berkurang sehingga terjadi pelepasan sel epitel vagina dan penyusunan leukosit. Pada fase

33 diestrus, kadar estrogen pada level rendah, mukosa vagina tipis dan leukosit bertambah jumlahnya (Turner dan Bagnara 1987).

34 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan Desember 2007. Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat yaitu : pembuatan tepung kedelai dan tepung tempe pada di Laboratorium Jasa Analisis Pangan Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor, Analisis kandungan senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor, pemeliharaan dan ovariektomi tikus di kandang hewan percobaan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, pemeriksaan siklus estrus dan analisis hormon estrogen dilakukan pada Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tikus putih betina (Rattus norvegicus) yang berasal dari galur Sprague-Dawley paritas II berumur dua belas minggu dengan bobot badan 200 gram sebanyak 30 ekor, kit estradiol, kedelai impor varietas americana, tempe yang berasal dari agen pabrik tempe Desa Ciherang Bogor, air, wadah plastik, NaCl fisiologis, Giemsa, kapas (cotton buds), ragi LIPI produksi Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), kertas saring, sekam, kawat ram dan pelet dari Comfeed PT. Suri Tani Pemuka Grup PT. Japis Comfeed Indonesia, dengan kandungan protein kasar 18.0-20%, lemak kasar min 40%, serat kasar max 7.0%, kalsium max 2.0%, phosfor max 2.0%, abu max 13%, air max 10%. Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah perangkat kandang tikus, Automatic Gamma Counter, kamera digital dan mikroskop. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang terdiri dari tahap persiapan tepung kedelai dan tepung tempe, tahap persiapan hewan model, tahap perlakuan dan pengamatan (fase proestrus, fase estrus, fase metestrus, dan fase

35 diestrus), dan tahap akhir yaitu analisa kadar hormon estrogen dengan menggunakan metode Radioimmunoassay (RIA). Tahap Persiapan tepung kedelai dan tepung tempe Sampel biji kedelai impor varietas americana sebanyak 10 kg dibuat menjadi tepung kedelai. Proses pembuatan tepung kedelai sebagai berikut : penggilingan, pengeringan dengan oven pada suhu 45 C dan kadar air 10%, penepungan dan pengayakan (60 mesh) (lampiran 1). Pembuatan tempe pada penelitian ini menggunakan 20 kg kedelai dengan mengikuti tahapan sebagai berikut: pembersihan biji kedelai kering, pencucian dan perendaman, perebusan pertama, pengupasan kulit, perendaman, perebusan kedua, penirisan dan pendinginan, peragian, pembungkusan dan inkubasi, selanjutnya tempe diolah menjadi tepung tempe (lampiran 2). Proses pembuatan tepung tempe sebagai berikut : pengirisan tempe (1 x 2 x 0,5 cm 3 ), penggilingan, pengeringan dengan oven pada suhu 45 C dan kadar air 10%, penepungan dan pengayakan (60 mesh) (lampiran 3). Analisis kandungan isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe dilakukan dengan menggunakan HPLC (High Performance Liquid Cromatography). Prosedur analisis kandungan isoflavon dapat dilihat pada lampiran 4. Tahap Persiapan Hewan Model Tikus betina ditempatkan dalam kandang plastik dengan tutup terbuat dari kawat ram dan dialasi sekam, pakan berupa pelet dan air minum diberikan ad libitum. Lingkungan kandang dibuat agar tidak lembab, ventilasi yang cukup serta penyinaran yang cukup dimana lamanya terang 14 jam dan lama gelap 10 jam. Jumlah tikus betina yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 ekor yang terdiri 15 ekor non ovariektomi dan 15 ekor ovariektomi (ovariektomi dilakukan oleh dokter hewan FKH IPB). Masing-masing tikus ditempatkan dalam kandang individu. Semua tikus diadaptasikan di lingkungan kandang percobaan selama 10 hari. Setelah diadaptasikan, 15 ekor tikus dilakukan ovariektomi dan pemulihan selama 21 hari, kemudian semua tikus dilakukan percobaan.

36 Tahap Perlakuan dan Pengamatan. Tikus dibagi kedalam 6 (enam) kelompok percobaan masing-masing terdiri dari 5 (lima) ekor. Kelompok 1: tikus non ovariektomi yang diberi pelet/pakan biasa (Non-ov K), kelompok 2: tikus non ovariektomi yang diberi tepung kedelai 10 g bk/100 g bb/hari (Non-ov Kd), kelompok 3: tikus non ovariektomi yang diberi tepung tempe 10 g bk/100 g bb/hari (Non-ov T), kelompok 4: tikus ovariektomi yag diberi pelet/pakan biasa (Ov K), kelompok 5: tikus ovariektomi yang diberi tepung kedelai 10 g bk/100 g bb bk/hari (Ov Kd), dan kelompok 6: tikus ovariektomi yang diberi tepung tempe 10 g bk/100 g bb/hari (Ov T). Tahap perlakuan dilakukan selama 28 hari atau 4 (empat) minggu. Pemberian tepung kedelai dan tepung tempe dilakukan secara pencekokan sebanyak tiga kali sehari yaitu pagi hari (pukul 08.00 WIB), siang hari (pukul 12.00 WIB) dan sore hari (pukul 16.00 WIB). Sebelum pencekokan tepung kedelai dan tepung tempe dibuat seperti bubur dengan penambahan aquades sebanyak 30 ml. Setelah selesai masa perlakuan dilakukan pengambilan data untuk menentukan panjang siklus estrus dengan cara melakukan ulas vagina. Ulas vagina dilakukan 2 (dua) kali sehari, yaitu pada pagi hari (pukul 07.00 WIB) dan sore hari (pukul 18.00 WIB) selama dua minggu. Preparat ulas vagina selanjutnya difiksasi dengan methanol selama 15 menit dan diwarnai dengan Giemsa 10% selama 30 menit, dicuci dengan air mengalir setelah itu dikeringkan. Setelah kering, preparat diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 40x10. Penentuan fase siklus estrus dari hasil ulas vagina dilakukan berdasarkan keberadaan sel-sel epitel vagina (gambar 5) dan jumlah kualitatif sel-sel epitel vagina seperti yang tertulis pada tabel 5.

37 Sel epitel berinti Sel kornifikasi Leukosit Sel pavement Gambar 5. Gambaran ulas vagina tikus putih galur Sprague-Dawley dengan pembesaran 40x10. Tabel 5. Perbandingan jenis sel pada preparat ulas vagina Fase siklus estrus Ulasan vagina Proestrus Sel epitel berinti ± 75% Sel kornifikasi (sel tanduk) ± 25% Estrus Sel kornifikasi ± 75% Sel pavement (menumpuk) ± 25% Metestrus Sel pavement 100% Sel pavement dan leukosit Diestrus Leukosit 100% Leukosit dan sel berinti mulai muncul Sumber : Baker et al. 1980

38 Ulas vagina dilakukan selama 15 hari. Setelah masa tersebut terlampaui ulas vagina terus dilakukan untuk mendapatkan fase diestrus. Pada fase diestrus, masing-masing tikus diambil darahnya secara interkardial sebanyak kurang lebih 1 ml. Darah dikoleksi pada tabung penampung, selanjutnya darah disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit sehingga didapatkan serum yang kemudian digunakan untuk penentuan kadar estrogen. Dalam penelitian ini diukur estradiol untuk mewakili estrogen secara keseluruhan. Tahap Analisa Hormon Estrogen. Konsentrasi estrogen dalam serum diukur dengan metode Radioimmunoassay (RIA) dengan teknik fase padat menggunakan kit estrogen coat-a-count yang berisi estradiol berlabel 125 I. Seri larutan standar A, B, C, D, E, F, dan G berturut-turut berisi estrogen dengan konsentrasi 0, 20, 50, 150, 500, 1800, dan 3600 pg/ml yang diperoleh dari diagnostic product corporation (Los Angeles, CA). Volume sampel yang direkomendasikan adalah 100 µl. Tabung untuk Non Spesific Binding (NSB) dan Total Count (T) diberi label dan masing-masing dibuat duplo. Sebanyak 14 tabung diberi label masingmasing A (MB), B, C, D, E, F dan G (duplo). Dengan menggunakan mikropipet 100 µl larutan standar konsentrasi 0, 20, 50, 150, 500, 1800, dan 3600 pg/ml dipipet hingga ke dasar tabung. Pada tabung NSB dimasukkan juga 100 µl larutan standar A. Tabung-tabung lainnya diisi sampel masing-masing sebanyak 100 µl. Ke dalam tiap tabung ditambahkan 1 ml estrogen berlabel kemudian divorteks. Keseluruhan campuran itu diinkubasikan selama 3 jam dalam keadaan temperatur kamar. Sisa cairan yang ada dalam tiap tabung dituang dan tabung dibiarkan kering selama 3 menit. Radioaktivitas yang terikat pada tabung dicacah dengan menggunakan Automatic Gamma Counter selama 1 menit. Pencacahan dilakukan di laboratorium fisiologi dan farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Persen radioaktifitas yang terikat dihitung dengan membagi CPM sampel maupun standar dengan CPM standar A (MB). Persamaan kurva standar dihitung dengan persamaan regresi linier persen radioaktivitas yang terikat sebagai Y dan log konsentrasi standar sebagai X. Konsentrasi estrogen sampel dihitung dengan