BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. sosialnya. Pengertian dari pacaran itu sendiri adalah hubungan pertemanan antar lawan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Aji Samba Pranata Citra, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang No.1 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB II IBU DAN ANAK. Pengertian keluarga berarti nuclear family yaitu yang terdiri dari ayah,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. harus dilakukan sesuai dengan tahapan perkembangannya. Salah satu tugas

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di dalamnya terdapat komitmen dan bertujuan untuk membina rumahtangga serta

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tiga tahun terakhir angka perceraian di Indonesia meningkat secara

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah bagian dari jenjang atau hierarki kebutuhan hidup dari Abraham Maslow, yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah salah satu individu yang menjadi bagian dari ciptaan-

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Manusia merupakan makhluk individu dan sosial. Makhluk individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. suatu interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses interaksi salah satunya dengan adanya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

BAB V PEMBAHASAN MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah

Bab 1. Pendahuluan. Ketika anak tumbuh didalam keluarga yang harmonis, ada satu perasaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

Abstraksi. Kata Kunci : Komunikasi, Pendampingan, KDRT

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks. Semakin maju peradaban manusia, maka masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy. Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari )

BAB 1 PENDAHULUAN. hal komunikasi telah mengalami berbagai perubahan. Hal ini dapat terlihat dari

Bagan 2. Konflik Internal Subyek. Ketidakmampuan mengelola konflik (E) Berselingkuh

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhannya, terutama kebutuhan interpersonal dan emosional. Selain bertumbuh secara

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, dan SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pancaindra menurun, dan pengapuran pada tulang rawan (Maramis, 2016).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. lahir, menikah, dan meninggal. Pernikahan merupakan penyatuan dua jiwa

BAB I PENDAHULUAN. tugas dan sumber-sumber ekonomi (Olson and defrain, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. Komnas perempuan tahun 2014 yang dirilis pada 6 Maret Jumlah kasus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika seseorang memasuki tahapan dewasa muda, menurut Erickson

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

(Elisabeth Riahta Santhany) ( )

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BAB V PENUTUP. Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. yang mendukung dimiliki di jalur kehidupan yang sedang dilalui.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang baru tidaklah mudah, karena dibutuhkan adanya cinta, komitmen, serta rasa tanggung jawab dari setiap pasangan yang memutuskan untuk menikah. Adapun hakekat dari pernikahan itu sendiri menurut Undang-Undang pokok pernikahan No 1 Tahun 1974 LN 2019 dalam pasal 31 adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam membentuk sebuah keluarga, pertama-tama diawali terlebih dahulu dengan ikatan pernikahan diantara pria dan wanita. Pasangan yang menikah terdiri dari dua orang yang mempunyai perbedaan di dalam berbagai hal, antara lain perbedaan latar belakang keluarga, perbedaan kepribadian, perbedaan dalam pola berfikir dan perbedaan dalam hal mengekspresikan emosi. Kathleen M. Galvin, (2003 hal.23-24), mengungkapkan tentang adanya perbedaan pola berpikir pasangan yang mengakibatkan pasangan suami istri mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri satu sama lain. 1

2 Adanya perbedaan dalam pola berpikir dapat membuat pasangan sulit menerima keadaan pasangannya secara personal, seperti yang diuraikan pada contoh di artikel hidup katolik berikut ini. Seorang istri yang telah menikah selama lima bulan, hidup bersama suaminya di rumah keluarga suami. Pada bulan ketiga diawal pernikahan pasangan tersebut mengalami perselisihan yang mengakibatkan istri kembali kepada orang tuanya. Hal tersebut terjadi akibat tindakan suami yang menggunakan tabungan milik bersama dalam jumlah yang besar tanpa berdiskusi terlebih dahulu pada istri. Istri sudah berusaha menemui suami untuk menyelesaikan masalah mereka. Namun suami tetap tidak ingin bertemu dengan istrinya. Istri yang merasa putus asa datang menemui seorang pastur untuk mencari jalan keluar atas permasalahannya tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan peneliti, ketua seksi keluarga di Gereja X Bandung mengungkapkan bahwa permasalahan dalam menyesuaikan diri dengan pasangan biasanya terjadi pada usia pernikahan dibawah lima tahun atau di awal-awal usia pernikahan. Hal tersebut dialami juga oleh umat di gereja X di kota Bandung. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari ketua sie keluarga di gereja tersebut, pasangan suami istri pada dasarnya tetaplah terdiri dari dua orang yang berbeda walaupun sudah menjadi satu dalam ikatan pernikahan. Kepribadian yang berbeda dari setiap individu selama masa kehidupannya bersama keluarga asal, akan dibawa kepada keluarga baru yang dibinanya terutama dalam hal relasinya dengan pasangan hidup. Terdapat sebuah contoh permasalahan klien mengenai faktor ekonomi, ketika proses wawancara berlangsung.

3 Ada seorang pria yang memiliki dua orang adik perempuan dan seorang ibu yang harus diperhatikan oleh dirinya. Kemudian pria tersebut menikah dengan perempuan yang sudah lama dipacarinya dan sudah mengenal keluarganya, setelah menikah perempuan tersebut merasa ada yang tidak benar dengan suaminya karena suaminya tidak memeberitahukan pendapatan setiap bulannya. Istri menuduh bahwa suaminya mempunyai perempuan simpanan. Pada saat suaminya bercerita pada biro tersebut, dia mengatakan bahwa dirinya selalu menyisihkan gaji perbulan untuk ibunya dan membantu adik perempuannya yang masih berkuliah, dia sendiri tidak berani mengungkapkan hal tersebut pada istrinya karena takut memicu pertengkaran. Hal ini menandakan bahwa suami tidak dapat bersikap terbuka dan jujur kepada istrinya, sedangkan tanpa adanya kejujuran dan keterbukaan diri terhadap pasangan maka hubungan yang dijalani tidak akan berjalan dengan baik dan bahkan akan memunculkan permasalahan baru. Di dalam artikel Katolisitas, terdapat pula perbedaan yang dialami oleh pasangan suami istri yang sudah menikah selama lima tahun dan sudah memiliki dua anak, yaitu perbedaan pandangan mengenai cara mendidik anak-anak mereka. Perbedaan latar belakang diantara suami dan istri menjadi kunci dari permasalahan yang dihadapi. Keluarga besar dari suami menganut ajaran agama Budha, sedangkan keluarga besar istri menganut ajaran agama Katolik, namun mereka sepakat untuk menikah berdasarkan aturan gereja Katolik dan membangun keluarga berdasarkan ajaran Katolik. Perbedaan muncul saat memilih sekolah untuk anak-anak mereka. Istri memilih sekolah Katolik yang berkualitas baik

4 namun berjarak cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Sedangkan suami menginginkan anak-anaknya bersekolah dekat rumah yaitu sekolah khusus agama Budha. Alasan suami tidak setuju dengan istri adalah karena di sekolah Katolik tersebut tidak ada AC, sehingga merasa tidak seimbang antara biaya sekolah dengan fasilitas yang didapatkannya. Perbedaan yang ada tersebut mengharuskan pasangan suami istri melakukan penyesuaian diri untuk mengenal lebih dalam pasangan hidupnya dan untuk memahami karakter dari pasangan. Proses dalam menjalani penyesuaian ini terbilang sulit karena dibutuhkan kemampuan berkomunikasi dua arah yang terjalin diantara kedua pasangan. Melalui komunikasi yang terbuka dan mendalam, maka setiap pasangan akan mengetahui kebutuhan dari pasangannya. Komunikasi seperti itulah yang dinamakan Self-Disclosure. Self-Disclosure hanya dapat terjadi pada relasi yang bersifat intim, pasangan dapat menceritakan informasi yang bersifat rahasia dan personal apabila sudah merasa percaya, aman dan nyaman. Menurut (Berger & Bradac, 1982), Self-Disclosure dapat membantu dalam proses relasi di tahap awal dengan menceritakan hal-hal personal dari pasangan. Namun seiring berjalannya hubungan, Self-Disclosure lambat laun akan memudar keberadaanya. Menurut (Derlega & Grzelak, 1979), Self-Disclosure merupakan proses pengungkapan diri sendiri terhadap orang lain dan segala hal yang bertujuan mengungkapkan rahasia kepada orang lain. Adanya Self-Disclosure yang tercipta dalam hubungan, membuat pasangan dapat memahami pola berfikir dan dapat memahami perasaan dari pasangannya.

5 Pada kenyataannya Self-Disclosure tidak mudah untuk dilakukan pada kehidupan pernikahan, dikarenakan adanya ketidakmampuan dari suami dan istri untuk menceritakan mengenai dirinya yang bersifat sangat personal dan rahasia pribadi yang dimilikinya. Hambatan yang ada pada Self-Disclosure akan menimbulkan kesulitan penyesuaian diri bagi para pasangan muda dalam hal pemikiran dan perasaan yang diungkapkannya, terlebih pada pasangan dengan usia pernikahan dibawah lima tahun yang harus melakukan penyesuaian dengan usaha lebih diawal usia pernikahannya. Data ini diperoleh berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan pengelola biro konsultasi keluarga di gereja X Kota Bandung. Berdasarkan survey awal yang dilakukan kepada empat pasangan suami istri usia pernikahan dibawah lima tahun, yang dilakukan berdasarkan aspekaspek dari Self-Disclosure yaitu motivasi, kepatutan melakukan Self-Disclosure, Self-Disclosure orang lain dan beban yang mungkin ditimbulkan dari proses disclosure. Didapatkan hasil sebagai berikut: Dalam menyampaikan perasaan kepada suami, 4 dari 4 istri mengungkapkan bahwa sebelum menyampaikan perasaan dan pemikirannya hal pertama yang dilakukan adalah menetapkan tujuan yang ingin dicapai dari pengungkapan diri yang dilakukan kepada suami. Tujuan istri mengungkapkan diri kepada suami sangat beragam antara lain adalah untuk mengubah cara berpikir suami agar sejalan dengan cara berpikir istri, menyelesaikan permasalahan yang ada dalam rumah tangga, menyampaikan keinginan istri

6 kepada suami secara langsung, ingin dimengerti oleh suami serta ingin membuat hubungan suami istri semakin harmonis. Selanjutnya terdapat 1 dari 4 suami yang melakukan Self-Disclosure dengan tujuan agar istri dapat memahami keadaan suami serta berharap dengan menyampaikan yang dirasakan, relasi pernikahan diantara mereka akan lebih harmonis. Selebihnya terdapat 3 dari 4 suami yang melakukan Self-Disclosure hanya sekedar mengungkapkan saja rasa tidak nyamannya kepada istri, ingin merasa lega dan tidak terbebani karena sudah menyampaikan perasaannya. Hal tersebut dilakukan suami tanpa ada maksud tertentu terhadap istri maupun terhadap relasi pernikahan mereka. Saat melakukan Self-Disclosure, konteks tempat dapat mempengaruhi derajat kedalaman dari proses disclosure tersebut. Terdapat 2 dari 4 istri yang melakukan disclosure kepada suami di tempat-tempat umum seperti restoran dan mall. Mengungkapkan perasaan yang bersifat negatif dan pribadi di tempat umum dinilai cara yang baik bagi mereka. Hal tersebut dilakukan karena mereka dapat merasa bebas mengungkapkan perasaannya dan ketika sampai di rumah perasaan sudah menjadi lega. Hanya saja mereka tidak terlalu mempedulikan kualitas dari Self-Disclosure yang dilakukannya, karena yang menjadi fokus adalah merasa lega karena sudah menyampaikan yang dirasakan kepada pasangan. Berbeda dengan pandangan 2 dari 4 istri yang memilih menyampaikan perasaannya kepada suami ditempat yang sepi seperti di rumah, di dalam mobil dan di kamar tidur. Pertemuan yang intens pada hari libur kerja menjadi salah satu

7 alasan istri untuk mengungkapkan perasaannya kepada suami di saat-saat berdua seperti di dalam rumah, di kamar tidur dan di suasana yang santai dengan memperhatikan situasi dan kondisi dari pasangan agar Self-Disclosure yang dilakukan dapat berkualitas dan mempunyai dampak yang baik bagi relasi diantara mereka. Terdapat 1 dari 4 suami yang dapat melakukan Self-Disclosure dimana saja dan kapan saja yang diinginkan, sehingga yang disampaikan kepada pasangan bersifat jujur. Sedangkan 2 dari 4 suami biasanya bersikap terbuka kepada istri ditempat sepi dengan alasan membutuhkan privasi, terlebih apabila akan mengutarakan hal yang bersifat negatif dari dirinya. Tempat privasi menurut kedua suami tersebut adalah di rumah ketika sedang berdua saja, di dalam kamar tidur dan di dalam mobil. Proses terjadinya Self-Disclosure akan berjalan dengan baik apabila terjadi reaksi timbal balik diantara pasangan. Dengan kata lain pada saat istri melakukan Self-Disclosure maka suami melakukan hal yang sama setelah istri selesai berbicara. Menurut data yang diperoleh seluruh istri yang sudah melakukan Self- Disclosure reaksi dari suaminya adalah diam, menyimak perkataan istri, tersenyum bahkan tertawa dan menanyakan keinginan dari istri serta meminta petunjuk agar suami dapat melakukan yang di inginkan istri. Dengan kata lain, suami hanya memberikan respon-respon secara singkat dan tanpa diikuti dengan Self-Disclosure yang dilakukan suami kepada istri sebagai tanda adanya reaksi timbal balik dalam proses Self-Disclosure.

8 Sedangkan 3 dari 4 suami yang melakukan Self-Disclosure reaksi dari istri adalah menyimak perkataan suami dan saat suami selesai berbicara istri akan mengatakan apa yang dirasakannya dan bagaimana pandangan dirinya mengenai topik yang dibicarakan oleh suami. Suami dapat mengetahui yang dirasakan dan di inginkan oleh istri dan proses Self-Disclosure berjalan dengan baik dengan adanya pengungkapan diri dari kedua pihak. Selanjutnya 1 dari 4 suami yang melakukan Self-Disclosure kepada pasangan mendapatkan reaksi yang pasif dari istrinya, dimana istri hanya menanggapi dan mendengarkan perkataan suami tanpa mengungkapkan apa yang dirasakan oleh dirinya sendiri. Ketika Self-Disclosure dilakukan terdapat kemungkinan bahwa lawan bicara akan merasakan adanya beban perasaan tersendiri, oleh karena itu diperlukan adanya pertimbangan khusus mengenai beban yang mungkin ditimbulkan dari proses Self-Disclosure terhadap pasangan. Sebelum melakukan Self-Disclosure kepada suami, 2 dari 4 istri mengutarakan bahwa dirinya tidak mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin terjadi akibat perkataannya terhadap suami karena istri hanya menyampaikan apa yang dirasakannya saja. Seorang istri mengatakan bahwa sebagai wanita sudah sewajarnya saja ingin dimengerti oleh suami, hal ini mungkin dipengaruhi oleh ego dari wanita sehingga terkadang tidak banyak berpikir mengenai perasaan suami. Sedangkan 2 dari 4 istri mengungkapkan bahwa dirinya setiap akan mengutarakan yang dirasakan kepada suami selalu memperhatikan akibat yang mungkin terjadi dikemudian hari. Oleh karena itu sebelum mengutarakan isi hati

9 kepada pasangan, istri berusaha mencari kata-kata yang tepat agar suami dapat menerimanya dengan baik. Seluruh suami berusaha untuk bersikap hati-hati ketika melakukan Self- Disclosure kepada istrinya agar tidak menimbulkan beban pikiran bagi istri. Alasan utama suami melakukan hal tersebut adalah adanya rasa takut dari diri suami bahwa istri keberatan dan tidak dapat menerima pengungkapan diri dari suami. Kemudian 1 dari 4 suami berusaha menjaga perasaan istrinya karena sedang menjalani program pemberian ASI dan agar istri dapat dengan fokus mengurus anak mereka. Berdasarkan hasil survey awal yang telah dilakukan pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja X kota Bandung didapatkan gambaran bahwa, pada saat melakukan Self-Disclosure istri cenderung sudah mempunyai tujuan yang jelas terhadap relasi pernikahan dan terhadap pasangan, walaupun istri terlihat lebih ingin dimengerti sehingga suami yang harus menyesuaikan diri. Suami pada saat melakukan Self-Disclosure tidak mempunyai tujuan yang jelas terhadap hubungan dan terhadap pasangan, karena alasan suami melakukan Self- Disclosure hanya ingin merasa lega dan tidak terbebani dengan perasaannya. Berdasarkan konteks tempat dilakukannya Self-Disclosure, hanya sebagian suami dan istri yang dapat melakukan ditempat umum dan tidak memperhatikan kualitas dari Self-Disclosure yang dilakukannya tersebut. Namun sebagian lagi sudah melakukan Self-Disclosure ditempat yang bersifat privasi dan sudah memperhatikan kualitas dari Self-Disclosure yang dilakukannya.

10 Dilihat dari pengungkapan-diri orang lain atau konteks orang, istri belum memberikan kesempatan kepada suami untuk menyampaikan perasaannya setelah istri melakukan Self-Disclosure. Sedangkan suami setelah menyampaikan perasaannya kepada istri, cenderung memberikan istri kesempatan untuk melakukan Self-Disclosure. Terakhir berdasarkan beban yang ditimbulkan dari proses Self-Disclosure, istri cenderung tidak memikirkan dampak yang akan dialami suami dari proses Self-Disclosure yang dilakukannya namun istri akan berusaha mencari kata-kata yang tidak membuat suaminya tersinggung saat dirinya berbicara. Hal ini berbeda dengan suami yang selalu memikirkan akibat dari Self-Disclosure terhadap istri, suami merasa takut bahwa istrinya akan merasa tidak nyaman dan tersinggung atas pengungkapan-diri yang dilakukannya. Self-Disclosure didalam pernikahan menjadi hal penting bagi pasangan suami istri untuk lebih mengenal dan membantu menyesuaikan diri dengan pasangannya. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai derajat dari Self-Disclosure pada pasangan suami istri dengan usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja X kota Bandung 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka identifikasi masalah dari penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimana gambaran derajat Self-Disclosure yang tercipta pada pasangan suami istri dengan usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja X kota Bandung.

11 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai Self-Disclosure pada pasangan suami istri dengan usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja X kota Bandung. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah ingin memperoleh gambaran mengenai derajat Self-Disclosure pada pasangan suami istri dengan usia pernikahan 0-5 tahun di Gereja X kota Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis 1. Memberikan sumbangan bagi ilmu Psikologi Keluarga mengenai peran Self-Disclosure terhadap penyesuaian diri pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun. 2. Memberikan informasi data kepada peneliti lain yang berminat untuk meneliti mengenai Self-Disclosure pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi dan gambaran nyata kepada biro konsultasi keluarga di Gereja X mengenai kesulitan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun untuk melakukan Self-Disclosure kepada pasangannya, sehingga berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pihak biro konsultasi keluarga dapat mengadakan seminar mengenai pentingnya Self-Disclosure dalam kehidupan rumah tangga.

12 2. Memberikan informasi kepada konselor pernikahan mengenai peran penting Self-Disclosure pada pasangan suami istri usia pernikahan 0-5 tahun, sehingga konselor dapat memberikan solusi berdasarkan permasalahan Self-Disclosure yang biasa terjadi pada pasangan suami istri yang baru menikah. 1.5 Kerangka Pikir Pasangan suami istri dengan usia pernikahan 0-5 tahun dalam penelitian ini berusia antara 20-40 tahun dan berada pada tahap perkembangan dewasa awal. Pada tahap dewasa awal pasangan suami istri yang baru menikah mengalami ciri-ciri yang biasa dialami oleh individu lain pada tahap tersebut yakni ciri-ciri dalam hal fisik (Physically), ciri-ciri intelektual (Cognitive), serta ciri-ciri peran sosial (Social role), (Santrock, 1999). Berdasarkan ciri-ciri dalam hal fisik, individu dengan rentang usia 20-40 tahun sudah ditandai dengan adanya perubahan suara, adanya rambut halus pada bagian tubuh tertentu, sudah terjadi menstruasi pada wanita dan sudah mempunyai kemampuan reproduksi. Ciri-ciri intelektual mempunyai arti bahwa individu pada tahap dewasa awal sudah mampu berfikir abstrak, mampu menalar informasi dan mampu menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Adanya kemampuan tersebut dapat membuat individu memahami hal-hal yang disukai dan tidak disukai oleh pasangannya serta dapat membantu pasangan untuk saling menyesuaikan diri melalui informasi yang didapatkan dari proses komunikasi bersama pasangan.

13 Kemudian yang dimaksudkan dengan ciri-ciri peran sosial adalah individu yang sudah mempunyai pasangan di tahap dewasa awal akan membawa hubungannya ke jenjang pernikahan dengan tujuan membentuk dan memelihara kehidupan rumah tangga. Ciri-ciri yang harus diselesaikan individu tersebut secara psikologis dapat menimbulkan permasalahan bagi penyesuaian diri individu dengan kondisi sebelum dan sesudah menikah. Pasangan yang baru menikah selain mengalami kesulitan penyesuaian diri, mereka juga akan mendapat kesulitan dalam hal mengurus kehadiran anak pertama dan untuk memelihara keharmonisan di dalam keluarga yang baru dibentuknya. Pada awal membentuk relasi dengan siapa pun diperlukan kemampuan komunikasi agar lawan bicara dapat memahami maksud dan tujuan pembicara sehingga satu sama lain dapat saling memahami. Hal serupa berlaku bagi relasi suami istri karena relasi yang tercipta diantara mereka dapat dikatakan relasi yang bersifat intim, oleh sebab itu dengan adanya komunikasi yang baik didalam pernikahan pasangan dapat saling memahami dan dapat saling beradaptasi satu sama lain. Pasangan dapat membina komunikasi yang baik dengan cara mengutarakan maksud dari pembicaraan dan menyampaikan perasaannya kepada pasangan dengan jujur. Peran komunikasi pada pasangan secara tidak langsung dapat mempengaruhi keharmonisan didalam keluarga. Dalam bukunya (Duvall, 1977), mengungkapkan bahwa dalam pembentukan sebuah keluarga, setidaknya terdapat 8 tahap yang akan dilalui pada setiap tahap perkembangannya. Tahap-tahap perkembangan keluarga ini tidak berhubungan secara langsung dengan proses Self-Disclosure, namun turut

14 mempengaruhi. Pasangan yang baru menikah dan berada pada tahap pertama maka akan membutuhkan proses Self-Disclosure lebih dalam kepada pasangan agar dapat menyesuaikan diri dengan pasangannya. Tahapan yang dialami pada pasangan yang baru menikah adalah tahap married couple, dimana pada tahap ini keluarga baru saja terbentuk tanpa adanya kehadiran anak. Pada tahap awal pembentukan keluarga, terdapat tugas-tugas yang harus dilakukan oleh pasangan suami istri. Tugas tersebut antara lain adalah saling mendukung pasangan, menentukan tanggung jawab diri sendiri dan pasangan serta mampu menerima pasangan secara personal. Pasangan yang dapat melalui tugas pada tahap married couple diharapkan sudah mampu untuk menentukan dan melaksanakan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan terhadap perannya di dalam keluarga, bersikap saling mendukung dalam pengambilan keputusan dan mampu memahami serta menerima pasangan secara personal emosional dan sexual. Tahap selanjutnya adalah childbearing families dimana pasangan suami istri telah dikaruniai anak pertama dan mempunyai tugas yang harus dilaksanakan seperti mengkaji ulang nilai dalam keluarga, menata ulang peran didalam keluarga dan mempersiapkan finansial. Pasangan yang dapat melalui tahap ini diharapkan sudah mampu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru yang tercipta dalam keluarga dan menempatkan diri sesuai peranan baru yang dijalankan setelah kehadiran anak dalam keluarga serta pasangan mampu mempersiapkan finansial mereka untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang sudah dikaruniai anak pertama. Suami akan menjalani peran sebagai ayah dan istri akan menjalani perannya

15 sebagai ibu, kemudian suami dan istri akan menjalankan perannya sebagai pasangan sekaligus orang tua bagi anak pertama mereka. Tahap akhir yang dijalani oleh responden pada penelitian ini, adalah tahap family with preschool children dimana pasangan suami istri sudah mempunyai anak usia balita dan sudah mulai bersekolah. Tugas-tugas yang hendaknya dapat dilakukan pada tahap ini adalah menanamkan nilai dan norma kehidupan (mendidik anak), membantu anak bersosialisasi dengan lingkungan dan mengenalkan kultur keluarga. Sebagai pasangan yang baru menikah, dapat saja mengalami kesulitan dalam menerima pasangan secara personal. Pada tahap adaptasi diawal pernikahan dibutuhkan adanya komunikasi, komunikasi dapat membuat pasangan saling mengenal dan memahami lebih dalam satu sama lain. Adapun pemahaman dari komunikasi adalah sebuah proses pertukaran informasi dan pemahaman dari informasi yang disampaikan (Kathleen M. Galvin, 2004). Apabila proses pertukaran informasi dan pemahaman dari informasi tidak berjalan dengan baik, pasangan akan mengalami hambatan komunikasi di dalam relasi mereka. Proses menyampaikan isi pemikiran dan perasaan kepada pasangan didalam teori komunikasi disebut dengan Self-Disclosure. Di dalam komunikasi suami istri diperlukan adanya kesediaan untuk menyampaikan perasaan dan pemikiran yang sebenarnya kepada pasangan tanpa ada hal-hal yang ditutupi, dengan adanya kesediaan tersebut maka suami dan istri akan lebih memahami karakter dari pasangan hidupnya.

16 Self-Disclosure merupakan proses pengungkapan diri sendiri terhadap orang lain dan mengenai segala hal yang bertujuan untuk mengungkapkan rahasia kepada orang lain (Derlega & Grzelak, 1979). Proses penerapan Self-Disclosure pada relasi awal pernikahan tidak mudah untuk dilakukan. Seperti seorang suami yang mendatangi biro konsultasi keluarga, mengalami kesulitan untuk melakukan Self-Disclosure karena merasa takut akan menyakiti perasaan pasangannya dan karena tidak mampu melakukan Self-Disclosure maka relasi mereka menjadi tidak harmonis lagi. Istri menjadi hilang kepercayaan kepada suami dan berpikir bahwa suaminya mempunyai perempuan simpanan. Secara garis besar terdapat 4 aspek yang tercakup dalam Self-Disclosure (Derlega & Grzelak, 1979), yaitu aspek motivasi, aspek kepatutan melakukan Self-Disclosure, aspek Self-Disclosure orang lain dan aspek beban yang ditimbulkan dari proses Self-Disclosure. Aspek motivasi adalah adanya rasa berkepentingan yang dimiliki terhadap relasi pernikahan, terhadap pasangan dan terhadap diri sendiri pada saat melakukan Self-Disclosure. Pasangan yang mempunyai motivasi tinggi akan menetapkan tujuan-tujuan positif yang jelas pada saat melakukan Self-Disclosure, seperti melakukan Self-Disclosure untuk mengenal pasangan dan bukan untuk menjatuhkan mental pasangan, dengan demikian Self-Disclosure dilakukan karena adanya rasa peduli terhadap rumah tangga yang dan adanya rasa peduli terhadap pasangan untuk menciptakan relasi pernikahan yang lebih harmonis. Ketika hal tersebut dapat dipenuhi oleh pasangan maka akan menghasilkan derajat motivasi yang tinggi didalam melakukan Self- Disclosure. Sementara apabila derajat motivasi rendah, pasangan suami istri tidak

17 mempunyai tujuan yang jelas atau bahkan mempunyai tujuan yang negatif terhadap pasangan saat melakukan Self-Disclosure, serta tidak adanya rasa berkepentingan terhadap relasi pernikahan. Aspek kepatutan melakukan Self-Disclosure. Self-Disclosure sebenarnya dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja sesuai kenyamanan dari pasangan, hanya saja pasangan diharapkan melakukan Self-Disclosure di tempat yang privasi dan dengan memperhatikan kualitas dari Self-Disclosure yang dilakukan, hal ini menjadi penting agar pasangan mampu memahami dan menerima Self-Disclosure yang dilakukan. Kepatutan melakukan Self-Disclosure dapat mempunyai derajat yang tinggi apabila pasangan mengungkapkan dirinya ditempat yang bersifat privasi, demi mendapatkan kualitas komunikasi yang dapat membuat pasangan memahami seutuhnya maksud dari Self-Disclosure yang dilakukan. Sementara itu, ketika proses Self-Disclosure dilakukan pada tempat yang ramai dan tidak memperhatikan kualitas pembicaraan yang dilakukan, maka derajatnya akan rendah. Selanjutnya aspek Self-Disclosure orang lain, pada konteks ini Self-Disclosure individu dapat dikatakan tinggi terhadap pasangannya apabila melakukannya berdasarkan kepentingan terhadap hubungan pernikahan dan bersedia untuk memberikan kesempatan bagi pasangan untuk melakukan Self- Disclosure mengenai perasaannya segera setelah individu tersebut melakukan Self-Disclosure. Namun derajat dari Self-Disclosure orang lain bisa saja rendah apabila individu hanya melakukan Self-Disclosure demi kepentingan dirinya saja tanpa memberikan kesempatan pasangan untuk melakukan Self-Disclosure pada

18 waktu yang bersamaan. Apabila saat melakukan Self-Disclosure tidak memberikan kesempatan bagi pasangan maka komunikasi dan tujuan dari dilakukannya Self-Disclosure tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Aspek terakhir dari Self-Disclosure adalah beban yang mungkin saja ditimbulkan dari proses Self-Disclosure yang dilakukan terhadap pasangan. Dalam melakukan Self-Disclosure terdapat kemungkinan bahwa pasangan sulit menerima ungkapan-ungkapan yang kita sampaikan, oleh karena itu diperlukan adanya pertimbangan-pertimbangan tertentu dari pasangan sebelum melakukan Self- Disclosure. Derajat dari beban yang mungkin ditimbulkan dapat dikatakan tinggi apabila individu telah memikirkan terlebih dahulu kemungkinan akibat yang akan terjadi terhadap hubungan dan terhadap relasinya dengan pasangan sebelum dirinya melakukan Self-Disclosure. Sedangkan derajat dari Self-Disclosure dapat dikatakan rendah apabila individu melakukan Self-Disclosure tanpa memikirkan dampak yang mungkin saja terjadi terhadap hubungan dan terhadap relasi dengan pasangannya. Self-Disclosure dapat terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendukung terjadinya Self-Disclosure di dalam ikatan pernikahan. Faktor tersebut adalah adanya perasaan saling menyukai dan mencintai diantara suami istri. Perasaan menyukai dan mencintai diantara pasangan dapat memberikan dorongan positif untuk melakukan Self-Disclosure dalam ikatan pernikahan. Pasangan yang memang saling mencintai dan saling menyukai akan lebih mudah untuk membuka hati saat berkomunikasi yang dapat membuat pasangan lebih memahami satu sama lain sehingga Self-Disclosure akan lebih mudah tercipta apabila

19 dibandingkan dengan pasangan yang tidak saling menyukai dan tidak saling mencintai. Kemudian faktor berikutnya adalah adanya efek diadik. Efek diadik adalah efek timbal balik dimana pada saat suami melakukan Self-Disclosure, istri menyimak dengan baik dan dilanjutkan dengan Self-Disclosure yang dilakukan oleh istri terhadap suami sehingga pasangan tersebut sama-sama melakukan proses Self-Disclosure. Ketika mereka bersama-sama melakukan Self-Disclosure tentang apa yang mereka rasakan, mereka akan mengerti keinginan dan perasaan dari pasangan masing-masing dan dengan begitu hubungan mereka akan semakin dekat dan harmonis. Faktor selanjutnya adalah adanya faktor kepribadian. Suami atau istri yang mempunyai kepribadian ekstrovert akan lebih mudah untuk melakukan Self-Disclosure daripada yang mempunyai kepribadian introvert. Dalam pernikahan, tidak semua pasangan suami istri mempunyai kepribadian yang serupa ekstrovert atau serupa introvert. Suami dengan kepribadian ekstrovert akan lebih mudah untuk melakukan Self-Disclosure dan cenderung akan mendominasi pembicaraan. Namun apabila suami memberikan kesempatan bagi istrinya yang mempunyai kepribadian introvert untuk melakukan Self-Disclosure, hal tersebut dapat membuat istri berani dan mau untuk mengungkapkan dirinya kepada suami sehingga mereka dapat saling memahami satu sama lain. Kemudian terdapat faktor tema dari topik pembicaraan. Individu akan cenderung terbuka kepada pasangan apabila melakukan Self-Disclosure mengenai hal-hal yang bersifat positif tentang dirinya, sedangkan individu akan menutup

20 diri untuk melakukan Self-Disclosure terhadap hal-hal yang bersifat negatif mengenai dirinya. Faktor terakhir yang dapat mempengaruhi Self-Disclosure adalah faktor jenis kelamin. Wanita secara gender lebih sering melakukan Self-Disclosure daripada pria, terlebih apabila wanita tersebut mempunyai skala maskulinitas yang rendah. Sedangkan pria pada umumnya akan lebih sulit melakukan Self- Disclosure terhadap pasangannya karena skala maskulinitasnya yang tergolong tinggi. Wanita dengan pria dapat melakukan Self-Disclosure terhadap pasangannya, hanya saja hal tersebut bergantung pada skala maskulinitas yang ada pada diri mereka. Misalkan seorang istri dengan karakter yang cuek atau kurang feminine, dia akan lebih sulit mengungkapkan perasaannya kepada pasangan dan hal ini berbanding terbalik pada wanita yang mempunyai karakter feminine yang akan lebih mudah menyatakan perasaannya kepada pasangan. 1.6 Asumsi 1. Dalam komunikasi suami istri, Self-Disclosure dapat mempengaruhi keharmonisan relasi pernikahan. 2. Relasi suami istri akan berjalan baik ketika mereka dapat menghayati pikiran dan perasaan pasangannya agar dapat saling memahami. 3. Semakin tinggi Self-Disclosure yang dilakukan pasangan semakin baik penyesuaian diri diantara pasangan.

21 Tugas tahap childbearing families & married couple, (Duvall, 1977) : married couple childbearing families Family with preschool children Mendukung pasangan Mengkaji ulang nilai dalam keluarga Menanamkan nilai & norma kehidupan Menentukan tanggung jawab diri sendiri dan pasangan Menerima pasangan secara personal Menata ulang peran didalam keluarga Mempersiapkan finansial (mendidik anak) Membantu anak bersosialisasi dengan lingkungan Mengenalkan kultur keluarga Aspek-aspek Self-Disclosure menurut Devito (2001) : 1. Motivasi Self-Disclosure 2. Kepatutan melakukan Self-Disclosure 3. Self-Disclosure Orang Lain 4. Beban yang Mungkin Ditimbulkan dari Self-Disclosure Tinggi Pasutri usia perkawinan 0-5 tahun di Gereja X Bandung Self-Disclosure Ciri-ciri pada tahap early adulthood, (Santrock,1999) : 1. Physically 2. Cognitive 3. Social role Faktor-faktor Self-Disclosure : Perasaan menyukai, Efek diadik, Kepribadian, Topik dan Jenis Kelamin Rendah Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran