Policy Brief Seri-2 EKSTRAKSI PENGALAMAN MELAKSANAKAN KEBIJAKAN PPRG DI DAERAH

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUSUTAMAAN GENDER MELALUI PPRG KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Le

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Pe

STRATEGI NASIONAL PERCEPATAN PUG MELALUI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

WALI KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI KOTA CIREBON

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

PENERAPAN PUG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN BUPATI TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN MALANG. BAB I KETENTUAN UMUM

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 53 TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2013 TENTANG

PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN

OLEH KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK Dalam acara Orientasi Parameter Kesetaraan Gender Dalam Pembentukan Per Uuan bagi Pusat

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 26 Tahun 2016 Seri E Nomor 18 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA PEKALONGAN, PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

-2- Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277); 2. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 t

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI,

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR : 62 TAHUN 2011 TENTANG

Jakarta, Maret Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Ttd. Linda Amalia Sari, S.IP

1) Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 tahun 2006 jo No. 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Keuangan di Daerah

dalam Pembangunan Nasional;

KERANGKA ACUAN PELATIHAN PENYUSUNAN PPRG DENGAN SISTEM PROBA TINGKAT PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2017

Pengarusutamaan Gender di Sulawesi Tenggara Percepatan Pengarusutamaan Gender Dengan Kerjasama Multipihak

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan.

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

2013, No Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional; 3. Peraturan Menteri Pertahanan Nom

LAPORAN TENTANG PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS RAKORTEK PUG DI BATAM DARI TANGGAL 10 APRIL 14 APRIL 2017

PERATURAN WALIKOTA SABANG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ASPEK LANGKAH KERJA NAMA PELAKSANA WAKTU NO KKP

RENCANA KERJA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN GARUT TAHUN 2015

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

STRATEGI PUG dalam pembangunan daerah. Hj. ANDI MURLINA PA, S.Sos KEPALA DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK PROV.

C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER

PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

GENDER BUDGET STATEMENT. (Pernyataan Anggaran Gender) : Kedeputian Bidang SDM dan Kebudayaan. Perlindungan Anak

S A L I N A N BERITA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 15 TAHUN No. 15, 2016 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINDAK LANJUT STRATEGI NASIONAL PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN YANG RESPONSIF GENDER (PPRG) DEPUTI SUMBER DAYA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

Jakarta, 4 Maret Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Linda Amalia Sari, S.IP

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 47 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014

PENYELENGGARAAN SISTEM DATA GENDER DAN ANAK DALAM MENDUKUNG CAPAIAN PEMBANGUNAN DI DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 1 SERI E

IMPLEMENTASI PUG KEMENHUT DRAFT REVISI PERMENHUT PEDOMAN PUG. Dan PEDOMAN PUG DI KEMENHUT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KERANGKA ACUAN TRAINING OF TRAINER (TOT) PPRG BAGI PERENCANA OPD PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2017

KATA PENGANTAR. Makassar, Maret 2015 KEPALA BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA PROV. SULSEL

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 118 TAHUN 2015

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG)

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN TAHUN 2013

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DIDAERAH

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMBANGUNAN NASIONAL BERWAWASAN GENDER

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Direktorat Pembinaan Pendidikan

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 132 TAHUN 2003 TENTANG

WALIKOTA KENDARI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Kebijakan Diklat Satu Pintu

Rancangan Final 8 April 2013

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan;

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

KERANGKA ACUAN KEGIATAN RAPAT KOORDINASI PUG TINGKAT OPD PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2017

I. PENDAHULUAN Sejak tahun 2000 Pemerintah Indonesia telah menyadari adanya kesenjangan gender dalam pengelolaan dan penggunaan anggaran publik.

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU

MATRIK RENSTRA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

BAB I P E N D A H U L U A N

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DENGAN

WALIKOTA PROBOLINGGO

KERANGKA ACUAN PELATIHAN PENYUSUNAN PPRG DENGAN SISTEM PROBA TINGKAT KABUPATEN/KOTA SE-JAWA TENGAH TAHUN 2017

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

ARTIKEL 11 KEGIATAN WORKSHOP PENINGKATAN

Rencana Kerja Perubahan Tahun 2016

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA DEPOK NOMOR 7 TAHUN 2017

MENGENALI DAN MEMAHAMI PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN YURNI SATRIA

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI SIAK PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA PENGARUSUTAMAAN GENDER

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Transkripsi:

Policy Brief Seri-2 EKSTRAKSI PENGALAMAN MELAKSANAKAN KEBIJAKAN PPRG DI DAERAH Penyusun Maya Rostanty Dati Fatimah Dini Inayati Mimin Rukmini Editor Novi Anggriani Mei 2012 0

Policy Brief Seri-2 EKSTRAKSI PENGALAMAN MELAKSANAKAN KEBIJAKAN PPRG DI DAERAH Penyusun Maya Rostanty Dati Fatimah Dini Inayati Mimin Rukmini Editor Novi Anggriani Mei 2012 [Type a 1

I. PENGANTAR Dalam beberapa tahun terakhir, penerapan kebijakan perencanaan dan penganggaran responsif gender (PPRG) telahmenguatkan implementasi strategi pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan di daerah. Terdapat variasi kemajuan antardaerah dalam melaksanakan kebijakan PPRG untuk mendukung keadilan dan kesetaraan gender. Pengalaman implementasi kebijakan PPRG di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Sulawesi Barat dan daerah lainnya diekstraksikan dalam Policy Brief Seri-2 ini. Ekstraksi Pengalaman Melaksanakan Kebijakan PPRG di Daerah ini menjadi data sekunder dan penguat argumentasi untuk pengajuan opsi perubahan kebijakan PPRG di daerah seperti tertuang dalam Policy Brief Seri-1: Opsi Kebijakan Mengakselerasi Pelaksanaan PPRGdi Daerah. II. TAHAPAN KEBIJAKAN PPRG DI DAERAH Proses implementasi kebijakan PPRG di daerah secara umum terbagi dalam tiga tahap kunci, yaitu: 1. Tahap Fondasi. Tahap ini menyediakan referensi dan regulasi untuk melaksanakan kebijakan PPRG di daerah, seperti Inpres No. 9 Tahun 2000, Permendagri No. 15 Tahun 2008, dan PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Melalui regulasi di tingkat nasional ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) dimandatkan melakukan fungsi untuk meningkatkan kapasitas para pelaksana kebijakan PPRG di tingkat provinsi. Ketersediaan panduan dan pedoman yang sifatnya generik adalah salah satu modal untuk melakukan peningkatan kapasitas. Fasilitasi atau pelatihan yang dilakukan KPP&PA di provinsi dengan melibatkan multi-stakeholders adalah awal yang baik untuk menata pelaksanaan kebijakan PPRG. Sebagian dari peserta meski jumlahnya terbatas-- telah mampu menjadi fasilitator dan melakukan advokasi bersama dengan driver kebijakan PPRG di tingkat daerah, baik yang berasal dari Pokja PUG maupun focal point per SKPD. Dari proses peningkatan kapasitas di tingkat provinsi inilah, lahir individu-individu dari kelompok birokrat yang paham nilai gender untuk akuntabilitas pembangunan dan mereka cenderung reformis, terbukaserta memiliki daya juang tinggi. Ini adalah modal untuk melakukan advokasi kebijakan PPRG selanjutnya. Pelaksanaan kebijakan PPRG akan berhasil jika Badan/Biro Pemberdayaan Perempuan juga memiliki daya juang yang tinggi dan paham tupoksinya sebagai fasilitator dan advokator. Mereka perlu melakukan inisiasi dengan modal-modal yang dimiliki seperti di atas untuk membangun tatanan pelaksanaan PPRG. 2

2. Tahap Konsolidasi. Setelah meletakkan fondasi, pelaksanaan kebijakan PPRG memasuki proses konsolidasi pada tatanan yang sudah berjalan dan beradaptasi dengan kebutuhan spesifik/kontekstual daerah masing-masing. Modal di tahap ini berupa peluang yang menjadi komitmen di level nasional dan daerah mengenai sistem perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja yang biasanya menjadi prioritas pimpinan daerah dan ditetapkan menjadi regulasi. Setelah meningkatkan kapasitas multi-stakeholders, driver PPRG di daerah kemudian menyusun rencana peningkatan kapasitas mitra-mitranya sesuai kebutuhan. Kata kunci sesuai kebutuhan ini harus diperhatikan karena kebutuhan di tiap daerah berbeda. Di tahap ini, masyarakat sipil yang sebelumnya memiliki jalur di luar proses teknokratik perencanaan dan penganggaran daerah, mulai terlibat bersama pemerintah yang pada waktu bersamaan menyediakan ruang-ruang pengayaan pelaksanaan kebijakan PPRG. Non Government Organization (NGO) berperan mengisi ruang-ruang kosong terkait persoalan mendasar, seperti ketersediaan data terpilah, analisis persoalan sektoral yang responsif gender, dan pendampingan ke sektor. Sebelumnya, peran fasilitator hanya dilakukan pemerintah antara lain oleh Pokja PUG, focal point atau Tim Teknis PPRG. Bappeda dan SKPD yang membidangi tugas Pemberdayaan Perempuan adalah penggerak utama kebijakan PPRG di daerah. Mereka perlu bersama-sama memperbaiki pengembangan kelembagaan terkait fungsi PPRG sesuai siklus pembangunan. Dalam hal ini melibatkan Inspektorat, Biro Keuangan, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan masyarakat sipil. Pengembangan kelembagaan ini termasuk bagian dari fungsi driver untuk fasilitasi dan advokasi kebijakan PPRG. Misalnya memfasilitasi kebutuhan sektor untuk analisis gender sesuai sektornya dan melakukan pendampingan atas hal itu. Selain itu, memperkuat prasyarat yang belum terpenuhi untuk pengembangan data pembuka wawasan gender, bahan ajar, dan pengembangan sistem pemantauan dan evaluasi kebijakan PPRG. 3. Tahap Keberlanjutan dan Replikasi. Proses keberlanjutan adalah hal yang penting dalam pelaksanaan kebijakan PPRG di daerah. Menjaga keberlanjutan keberlanjutan kebijakan PPRG adalah dengan mengintegrasikannya dalam sistem manajemen pembangunan daerah, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan, serta evaluasi. Replikasi adalah salah satu indikator keberlanjutan pelaksanaan kebijakan PPRG. Setelah proses pelaksanaan kebijakan PPRG berjalan di tingkat provinsi, kemudian penggerak PPRG melakukan advokasi ke kabupaten/kota. Mereka melakukan fasilitasi proses yang sama sesuai tahapan yang sebelumnya tersedia. Dokumentasi atas kerja-kerja yang sudah dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan PPRG di daerah menjadi hal penting untuk mamantau pelaksanaannya dan sekaligus mendorong upaya replikasi. Dokumentasi ini bisa menjadi referensi dalam upaya pelaksanaan kebijakan PPRG. Tiga tahap kunci implementasi kebijakan PPRG di daerah tergambar dalam skema berikut: 3

Fondasi Implementasi Kebijakan PPRG di Daerah Gambar 1: Skema Kebijakan PPRG di Daerah Konsolidasi Implementasi Kebijakan PPRG di Daerah Keberlanjutan dan Replikasi Kebijakan PPRG di Daerah Iklim atau referensi atas regulasi nasional: Inpres No. 9 Tahun 2000, Permendagri No. 15 Tahun 2008 Sistem perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja di daerah sebagai peluang Ada regulasi dan dukungan politik pejabat daerah Kebijakan PRG masuk dalam sistem manajemen pembangunan daerah Masyarakat sipil yang aktif dan memperkuat Peningkatan kapasitas tentang PPRG yang tersedia di tingkat nasional Masyarakat sipil berperan sebagaiwatch-dog juga pada institusi yang masuk di ranah teknokratik Berperannya fasilitator lokal dari pemerintah dan masyarakat sipil Skema peningkatan kapasitas untuk aparatur Pengembangan kelembagaan PPRG Berjalannyapemantauan dan evaluasi Kebijakan PRG ReplikasiKebijakan PPRG di tingkat pemerintahan yang ada di bawahnya Komitmen dari kepala daerah dan birokrat yang reformis Bekerjanyapenggerak PPRG (Badan PP, Bappeda, Biro Keuangan) Pendampingan atas implementasi kebijakan PPRG sampai tingkat sektoral/skpd Tersediadan bekerjanya fasilitator kebijakan PPRG di sektor BadanPP memiliki inisiatif untuk menginisiasi PPRG dalam birokrasi BadanPP memegang peran kunci dalam mengelola implementasi kebijakan PPRG Pengembangan data pembuka wawasan gender Pengembangan bahan ajar kebijakan PPRG Pengembangan sistem pemantauan dan evaluasi Kebijakan PPRG Dokumentasidan pembelajaran Kebijakan PPRG 4

III. FAKTOR KUNCI MENGAKSELERASI PELAKSANAANKEBIJAKAN PPRG DI DAERAH Dalam melaksanakan kebijakan PPRG di daerah, dapat diidentifikasi tiga faktor kunci untuk mengakselerasinya, yaitu: 1. Mensinergikan Komitmen Politik, Kapasitas Teknokratis di Birokrasi,dan Peran Masyarakat Sipil Komitmen politik menjadi variabel yang sangat mempengaruhi dalammengakselerasi pelaksanaan kebijakan PPRG karena mengkonsolidasikan sumber daya, dukungan politik dan finansial. Pengalaman Provinsi Jawa Tengah menunjukkan kuatnya peran komitmen politik dalam percepatan pelaksanaan kebijakan PPRG berupa regulasi dan dukungan kelembagaan bagi percepatan kebijakan PPRG. Komitmen politik memerlukan dukungan kapasitas teknokratis di tingkat birokrasi dan peran masyarakat sipil. Komitmen politik saja akan berhenti di atas kertas seperti pengalaman di Provinsi Sulawesi Selatan dalam pelaksanaan Kebijakan PPRG. Kapasitas dan dukungan birokrasi diperlukan untuk memunculkan perspektif gender di dokumen perencanaan dan penganggaran yang operasional dan teknis, yaitu di dokumen Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja AnggaranSatuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD). Masyarakat sipil berperan dalam mengakselerasi kebijakan PPRG dengan memantau kinerja pemerintahan dan menjadi mitra kritis bagi pemerintah. Peran masyarakat sipil sebagai kontrol menuntut pemerintah bekerja dengan baik dan akuntabel. Sementara itu, peran mitra kritis melengkapi kapasitas internal pemerintah yang memadai untuk menjawab tuntutan publik. Kotak 1 Peran Organisasi Masyarakat Sipil Menguatnya gagasan PPRGhadir dalam pergeseran konsep negara yang bukan menjadi aktor tunggal penentu kebijakan publik. Konsep good governance mengasumsikan negara perlu berbagi ruang dengan elemen masyarakat sipil. Dengan demikian terbuka saluran informasi perencanaan dan penganggaran kepada masyarakat. Konsep ini juga mengandung makna bahwa elemen non negara seperti masyarakat sipil merupakan bagian penting dan memiliki kontribusi dalam pengelolaan kebijakan publik. Di beberapa daerah, masyarakat sipil berperan mengadvokasi pembentukan kelembagaan kebijakan PPRG, seperti Pokja PUG, dan focal point PUG. Masyarakat sipil juga melakukan pendampingan kepada para perencana di SKPD dan mengembangkan perangkat pendukung berupa alat analisis dan data pilah. Secara historis, keterlibatan dan peran masyarakat sipil bersifat dinamis. Awalnya berperan melakukan pendekatan politik dengan melakukan kontrol terhadap kebijakan anggaran dan gencar mempromosikan transparansi dan realokasi anggaran. Saat ini perannya sudah lebih beragam. Sebagian meredefinisi peran menjadicritical engagement atau menguatkan kapasitas institusi pemerintah. Dalam konteks seperti tadi, keberadaan institusi masyarakat sipil berperanmemperkuat kelembagaan untuk mempromosikan kebijakan PPRG di daerah. Masyarakat sipil menjadi bagian yang tak terpisahkan dari percepatan pelaksanaan kebijakan PPRG di daerah. 5

2. Kapasitas yang Kuat dari SKPD yang MembidangiTugasPemberdayaanPerempuan dan Kelembagaan PPRG di Daerah Pengalaman daerah menunjukkan keberhasilan pelaksanaan kebijakan PPRG dipengaruhi penggalangan dukungan politik dan sosial oleh SKPD yang membidangi tugas Pemberdayaan Perempuan. Oleh karenanya, SKPD yang membidangi ini, harus memiliki otoritas yang jelas,memiliki kapasitas SDM dan finansial yang memadai dalam menyebarluaskan gagasan kebijakan PPRG ke SKPD dan institusi pemerintah yang lain, serta memastikan adanya kelembagaan PPRG yang bekerja efektif di daerah. Kotak 2 Penggerak PPRG di Daerah Menarik untuk melihat pengalaman daerah dalam upaya mendorong kebijakan PPRG. Pengalaman Provinsi Jawa Tengah merupakan contoh baik penerapan kebijakan PPRG yang menunjukkan bekerjanya driver PPRG yang efektif di daerah. Hal ini tidak lepas dari keberadaan dan peran aktif Bappeda dan SKPD Keuangan yang merupakan lembaga strategis dalam proses perencanaan dan penganggaran di daerah. Pengalaman Jawa Tengah menunjukkan bagaimana peran penting Bappeda sebagai aktor kunci proses perencanaan dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) khususnya SKPD Keuangan karena lembaga ini merupakan aktor kunci dalam proses penganggaran. Secara umum, advokasi implementasi kebijakan PPRG tidak hanya dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan. Percepatan penerapan kebijakan PPRG juga tidak lepas dari upaya TAPD yang mengadvokasi gubernur untuk memasukan substansi kebijakan PPRG sebagai nilai acuan regulasi daerah terkait pedoman penyusunan RKASKPD tiap tahun yang berupa Surat Edaran Gubernur. Perkembangan baik ini muncul pada 2010. Selain itu, Bappeda, SKPD Keuangan, dan Badan Pemberdayaan Perempuan melalui Pokja PUG menginisiasi terbentuknya Tim Teknis Anggaran Responsif Gender (ARG) untuk pendampingan penyusunan kebijakan PPRG pada tiap SKPD. Keberadaan Tim Teknis ini, sebagaimana dimandatkan Permendagri No. 15 Tahun 2008, menjadi pilar penting untuk penguatan aspek teknokratis. Tim Teknis melakukan pendampingan dan juga review atas usulan anggaran yang diajukan oleh SKPD. Hal yang juga penting adalah implementasi kebijakan PPRG bukan hanya berhenti pada proses penyusunan, namun juga perlu memastikan pelaksanaan anggaran berkontribusi untuk pengurangan kesenjangan gender di berbagai sektor. Jawa Tengah dalam hal ini, melakukan terobosan dengan menjadikan inspektorat sebagai bagian dari driver PPRG. Di beberapa daerah, kapasitas dan peran SKPD yang membidangi tugas Pemberdayaan Perempuan belum kuat. Hal ini menyebabkan pelaksanaan kebijakan PPRG tidak berjalan karena tidak menjadi kesadaran dan gerakan lintas sektor. Dalam konteks seperti ini, akan strategis jika penggerak PPRG nasional menguatkan kapasitas SKPD yang membidangi Pemberdayaan Perempuan sekaligus lembaga driver lainnya (Bappeda, Biro Keuangan dan Inspektorat). Penguatan ini juga perlu memperhitungkan tingkat pemerintahan dengan mempertimbangkan dualisme posisi provinsi sebagai wakil pusat di daerah dan sebagai otoritas otonom. Faktor lainnya yang perlu diperhitungkan adalah posisi serta kompleksitas tata kelola di tingkat kabupaten/kota. 6

Keberhasilan menggalang dukungan oleh driverpprg menjelaskan kemajuan pelaksanaan kebijakan PPRG di beberapa daerah. 3. Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerja Mengakselerasi Pelaksanaan Kebijakan PPRG Pelaksanaan sistem manajemen berbasis kinerja dalam pembangunan di daerah menjadi momentum penting pelaksanaan kebijakan PPRG. Dibandingkan dengan sistem anggaran tradisional, penerapan manajemen berbasis kinerja memberi peluang karena memungkinkan untuk memasukkan isu gender dalam target pembangunan dan perumusan indikator kinerja kunci. Peluang ini juga mencakup di semua siklus manajemen mulai dari perencanaan hingga evaluasi. Perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja memungkinkan untuk mengevaluasi bagaimanakah program pembangunan berkorelasi untuk pengurangan kesenjangan gender di berbagai sektor dan perbaikan pelayanan publik yang adil bagi laki-laki dan perempuan. Kotak 3 Pendampingan dan Penguatan Kapasitas PPRG Momentum penerapan anggaran berbasis kinerja yang memberi peluang besar untuk mengintegrasikan gender dalam perencanaan dan penganggaran tidak secara otomatis menjadikan kebijakan PPRG bisa berjalan. Di tingkat birokrasi, problem utamanya adalah ketiadaan kapasitas teknokratis untuk mengintegrasikan gender dalam sistem perencanaan dan penganggaran daerah. Di sini, strategi pendampingan menemukan bentuknya. Di beberapadaerah yang telahmelaksanakankebijakan PPRG dengancukupbaik, proses pendampingan merangsang dan menindaklanjuti komitmen politik yang ada, dan menjadi tindak-lanjut dari pembentukan focal point gender di setiap SKPD.Focal point sendiri terdiri dari aparatur di tiap SKPD yang telah memahami konsep gender dan PUG. Daerah-daerah itu adalah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Bone, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Polewali Mandar. Namun demikian, untuk menintegrasikan gender ke dalam kebijakan program dan kegiatan di SKPD-nya perlu pendampingan teknokratis yang intensif. Tim ARG yang telah dibentuk oleh ketua Pokja PUG melakukan pendampingan sebagaimana dilakukan di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY. Pendampingan antara lain berupa technical assisstance analisis gender dan penyusunan Gender Budget Statement (GBS). Selain itu, dilakukan penguatan skema koordinasi yang intensif untuk memperkuat perspektif dan kemampuan focal point dalam menganalisis isu gender pada tataran makro (indikator indikator outcome dalam kebijakan dan program) maupun isu gender pada tataran mikro dalam tupoksi SKPD-nya (indikator indikator output pada program dan kegiatan). Inilah ruang yang terbuka bersamaan dengan penerapan anggaran berbasis kinerja yang berfokus pada pencapaian hasil dari belanja anggaran. Secara umum, pemahaman dan kemampuan teknokratis yang semakin meningkat memudahkan SKPD untuk melakukan penyebarluasangagasan ARG terhadap orang lain terutama aparat dalam satu SKPD yang sama. Proses pendampingan menjadi jalan efektif untuk membangun kapasitas ini. 7

IV. SIMPULAN Keberhasilan percepatan pelaksanaan kebijakanpprg di daerah sangat ditentukan tiga faktor kunci, yaitu : 1. Mensinergikan Komitmen Politik, Kapasitas Teknokratis di Birokrasi,dan Peran Masyarakat Sipil 2. Kapasitas yang Kuat dari SKPD yang Membidangi Tugas Pemberdayaan Perempuandan Kelembagaan PPRG di Daerah 3. Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerja Mengakselerasi Pelaksanaan Kebijakan PPRG. 8