ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE PADA PROSES PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL ILMIAH

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I PENDAHULUAN. ayat (3) Undang Undang Dasar Sebagai konsekuensi logis peraturan

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM BAP DI MUKA SIDANG PANGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR)

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) DALAM PRA PENUNTUTAN

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kekacauan-kekacauan,

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BEBERAPA HAMBATAN YANG DIHADAPI HAKIM DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

KEKUATAN HUKUM SAKSI A DE CHARGE DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DIPENGADILAN NEGERI KISARAN JURNAL

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

HAK UNTUK MELAKUKAN UPAYA HUKUM OLEH KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PERAN ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM TINDAK PIDANA UMUM MENURUT KUHAP 1 Oleh : Dedi Hartono Latif 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat),

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Bastianto Nugroho: Peranan Alat Bukti 17. Article history: Submitted 10 November 2016; Accepted 12 January 2017; Available online 31 January 2017

BAB III PENUTUP. sebagai jawaban dari permasalahan dalam penulisan hukum ini yakni bahwa:

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

Transkripsi:

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Oleh: TRI WIJAYANTO NIM: C 100. 100. 134 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015 1

2

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA) Tri Wijayanto C 100100134 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Tri_wijayanto134@yahoo.com ABSTRAK Alat bukti petunjuk sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana di Indonesia memiliki peran dan fungsi yang sangat penting yaitu untuk memperkuat proses pembuktian dalam penyelesaian perkara pidana. Pertimbangan hakim dalam mempergunakan alat bukti petunjuk adalah untuk menyempurnakan alat bukti yang lain dan mencukupi pembuktian perbuatan yang dilakukan terdakwa. Meskipun alat bukti petunjuk bukan merupakan bukti langsung dan baru muncul apabila alat bukti lainnya telah ada, alat bukti petunjuk memiliki kedudukan yang sama dengan alat-alat bukti yang sah lainnya dalam KUHAP. Disamping itu, alat bukti petunjuk banyak digunakan hakim untuk memperkuat keyakinannya dalam memeriksa dan memutus perkara pidana di persidangan. Kata Kunci: Tinjauan Yuridis; Proses Pembuktian; Alat Bukti Petunjuk; Pengadilan Negeri Surakarta ABSTRACT The instructions evidence as one of the legal evidence in criminal procedural law in Indonesia has a role and a very important function, namely to strengthen the verification process in the resolution of a criminal case. Consideration of the judge in the use of evidence hint is to enhance other evidence and insufficient evidence that the act committed by the defendant. Although the evidence is not evidence of direct guidance and new occur if other evidence exists, evidence of the instructions have the same position with the tools other valid evidence in the book of the law of criminal procedure law. In addition, evidence of instructions used to reinforce confidence in the judges examine and decide a criminal case in court. Keywords: Judicial Review; Rule of evidence; Indirect Evidence, District Court Surakarta 1

PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah negara hukum, termuat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4. Salah satu hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Perundang-undangan pidana diluar KUHP, seperti Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang Terorisme, dll. Sedangkan pengaturan hukum pidana formil dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Perundang-undangan lainya seperti Undang- Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Pemasyarakatan, Undang- Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Sistem Peradilan Anak, dll. Dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia diantaranya diatur tentang pembuktian. Untuk pembuktian hakim dapat menjatuhkan pidana, berdasarkan Pasal 183 KUHAP sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang dapat membentuk keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. Salah satu alat bukti dalam pembuktian perkara pidana adalah alat bukti petunjuk. Termuat dalam Pasal 188 Ayat (1) KUHAP: Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Menurut Yahya Harahap, rumusan pasal itu sulit untuk ditangkap dengan mantap. Barangkali rumusan tersebut dapat dituangkan dengan cara menambah 2

beberapa kata ke dalamnya. Dengan penambahan kata-kata itu dapat disusun dalam kalimat berikut : Petunjuk ialah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan dimana isyarat itu mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. 1 Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. 2 Di sini tercermin bahwa pada akhirnya persoalannya diserahkan pada hakim. Dengan demikian, menjadi sama dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Apa yang disebut pengamatan oleh hakim (eigen warrneming van de rechter) harus dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui umum. 3 Menurut P.A.F. Lamintang, petunjuk itu memang hanya merupakan dasar yang dapat digunakan oleh hakim untuk menganggap sesuatu kenyataan sebagai alat bukti, atau dengan perkataan lain petunjuk itu bukan merupakan suatu alat bukti, seperti keterangan saksi yang secara tegas mengatakan tentang terjadinya suatu kenyataan, melainkan ia hanya merupakan suatu dasar pembuktian belaka, 1 M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 313 2 Pasal 188 Ayat (3) KUHAP. 3 http://goresanpenahukum.blogspot.com/2014/05/alat-bukti-petunjuk.html, diakses pada, Kamis, 26 Maret 2015 pukul 11.01 WIB. 3

yakni dari dasar pembuktian mana kemudian hakim dapat menganggap suatu kenyataan itu sebagai terbukti, misalnya karena adanya kesamaan antara kenyataan tersebut dengan kenyataan yang dipermasalahkan. 4 Berdasarkan latar beakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Pertama, apakah alat bukti petunjuk dalam proses penyelesaian perkara pidana; Kedua, bagaimana peran dan fungsi alat bukti petunjuk dalam proses penyelesaian perkara pidana; Ketiga, bagaimana pertimbangan hakim dalam menggunakan alat bukti petunjuk dalam proses penyelesaian perkara pidana di persidangan. Metode pendekatan, yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif empiris. Pendekatan ini mengkaji konsep normatif/yuridis tentang alat bukti petunjuk dilanjutkan pendekatan empiris untuk mengkaji tentang praktik hukum penerapan alat bukti petunjuk dalam penyelesaian perkara pidana sebagai salah satu alat bukti yang sah di Pengadilan Negeri Surakarta. Metode analisis data, yang digunakan dalam penelitian deskriptif ini dilakukan secara kualitatif. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis data deskriptif kualitatif yaitu suatu analisi data yang berpola menggambarkan apa yang ada secara yuridis tentang fungsi alat bukti petunjuk dalam pembuktian perkara pidana dan praktik penerapannya di penyidikan dan peradilan di Pengadilan Negeri Surakarta. Adapun pengambilan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif dimana berangkat dari data-data yang bersifat khusus untuk membuat kesimpulan 4 P.A.F. Laminatang, 2010, Pembahasan KUHAP menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm. 430 4

yang bersifat umum tentang peran dan fungsi alat bukti petunjuk dalam penyelesaian perkara pidana. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana Petunjuk dapat berupa sebuah keterangan, namun tidak semua keterangan itu dapat dijadikan petunjuk. Keterangan yang diperoleh dari seorang saksi bisa disebut sebagai petunjuk, akan tetapi apabila keterangan itu diperoleh dari tersangka maupun terdakwa bukanlah petunjuk tetapi bisa menjadi keterangan yang akan memberatkan (A charge) ataupun sebaliknya keterangannya itu dapat meringankan (A de charge). 5 Selain itu petunjuk dapat diperoleh dari barang bukti, meskipun keberadaan barang bukti ini bukan merupakan alat bukti. Yang mana barang bukti hanya ada di bukti permulaan yang cukup, yaitu bukti yang berupa keteranganketerangan dan data yang terkandung dalam: (a) Laporan Polisi; (b) BAP saksi / tersangka (BAP TKP); (c) Pelaporan hasil penyelidikan; (d) Barang Bukti; 6 Alat bukti petunjuk pengertiannya dapat dilihat menurut KUHAP Pasal 188 Ayat (1). Ardhias Adhi Wibowo sebagai Jaksa/salah satu praktisi hukum, merasa belum memenuhi kualifikasi untuk berpendapat tentang pengertian dari alat 5 Ari Sumarwono, Wakasat Reskrim Polresta Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis 26 Februari 2015, pukul 10.00 WIB. 6 Ari Sumarwono, Wakasat Reskrim Polresta Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Kamis 26 Februari 2015, pukul 10.00 WIB. 5

bukti petunjuk. Dalam praktek yang digunakan adalah KUHAP sebagai hukum acara yang berlaku di Indonesia. 7 Berbicara tentang alat bukti petunjuk itu sendiri mengenai pengertiannya dapat dilihat menurut KUHAP Pasal 188 Ayat (1) : Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Menurut M. Yahya Harahap yaitu: Petunjuk ialah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan dimana isyarat itu mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. 8 Peran dan Fungsi Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana Beranjak dari pengertian alat bukti petunjuk, peran dan fungsi alat bukti petunjuk itu sama dengan alat bukti yang lain dalam KUHAP yaitu untuk memperkuat proses pembuktian perkara pidana yang dilakukan dalam persidangan. Akan tetapi alat bukti petunjuk ini baru dipakai apabila dirasa dari alat bukti-alat bukti yang lain masih kurang untuk dilakukan pembuktian atas kesalahan terdakwa ataupun dari alat-alat bukti yang ada masih belum cukup atau tidak ada persesuaian diantaranya. 7 Ardhias Adhi Wibowo, Jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 31 Maret 2015, pukul 10:10 WIB. 8 M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika. hal. 313 6

Peran dan fungsi dari alat bukti petunjuk ini untuk membuat terang suatu perkara apakah benar-benar terjadi tindak pidana. Suatu ketika surat Berita Acara Pemeriksaan oleh penyidik yang dilimpahkan ke kejaksaan belum lengkap dan belum bisa mencukupi pembuktian maka diberilah petunjuk untuk menemukan persesuaiannya. 9 Alat Bukti Petunjuk berperan setelah alat-alat bukti yang ada saling bersesuaian atau minimal 2 (dua) alat bukti yang bersesuaian. Misal ada saksi yang diperiksa dengan tidak disumpah, tetapi keterangannya bersesuaian satu sama lain. Jadi keterangan itu bisa ditarik sebagai petunjuk / digunakan sebagai petunjuk. Pada praktiknya alat bukti petunjuk tidak selalu digunakan dalam pembuktian perkara pidana, tetapi banyak digunakan oleh hakim dalam hal memperkuat dan mempertebal keyakinannya. Alat bukti petunjuk digunakan manakala alat bukti yang lain (surat, keterangan saksi, keterangan terdakwa) masih belum menguatkan keyakinan hakim. Sehingga dengan adanya alat bukti petunjuk akan lebih mempertebal keyakinan hakim bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwa tersebut benar sebagai pelakunya. 10 Uraian di atas sudah cukup jelas menjabarkan tentang bagaimana peran dan fungsi dari alat bukti petunjuk yang merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam KUHAP, secara singkat dikatakan bahwa peran dan fungsi alat bukti petunjuk adalah memperkuat proses pembuktian perkara pidana, selain itu juga 9 Ardhias Adhi Wibowo, Jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 31 Maret 2015, pukul 10:10 WIB. 10 Kun Maryoso, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Senin 23 Februari 2015, Pukul 13.10 WIB. 7

dalam persidangan untuk memperkuat atau mempertebal keyakinan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Pertimbangan Hakim dalam Menggunakan Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana di Persidangan Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa. 11 Setelah dipelajari beberapa sistem pembuktian, dapatlah dicari sistem pembuktian apa yang dianut oleh KUHAP. Dalam KUHAP sistem pembuktian diatur dalam Pasal 183 yang berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya Berdasarkan Ketentuan Pasal 183 tersebut di atas, putusan hakim haruslah didasarkan pada 2 (dua) syarat, yaitu : (a) Minimum 2 (dua) alat bukti ; (b) Dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. 11 M. Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, hal. 273. 8

Untuk memperkuat atau mempertebal keyakinan hakim dalam memutus perkara di persidangan banyak digunakan alat bukti petunjuk meskipun tidak selalu digunakan. Beberapa pertimbangan dalam mempergunakan alat bukti petunjuk diantaranya: 12 (a) Untuk menyempurnakan alat bukti yang lain; (b) Untuk mencukupi pembuktian perbuatan yang dilakukan terdakwa. Bahwa di dalam Pasal 183 KUHAP ini diisyaratkan pula bahwa segala pembuktian haruslah didasarkan atas adanya keyakinan hakim terhadap minimum alat bukti yang diatur di dalam undang-undang ini. Kekuatan pembuktian petunjuk oleh hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian. Alat bukti petunjuk digunakan oleh hakim apabila terdakwa menyangkal dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum, karena apabila terdakwa membenarkan atau mengakui dakwaan dan keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh penuntut umum maka hakim tidak perlu menggunakan alat bukti petunjuk untuk menambah keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan. 13 Penerapan alat bukti petunjuk oleh hakim berdasarkan Pasal 188 Ayat (1) KUHAP adalah untuk menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan mengetahui siapa pelakunya. Setelah melakukan wawancara dengan hakim, hakim mengatakan bahwa penggunaan alat bukti petunjuk tidak hanya untuk memidanakan seseorang tetapi juga dapat membebaskan seseorang dari tuntutan penuntut umum. Hal ini berarti hakim menyimpulkan bahwa penggunaan alat bukti 12 Kun Maryoso, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Senin 23 Februari 2015, Pukul 13.10 WIB. 13 Kun Maryoso, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Senin 23 Februari 2015, Pukul 13.10 WIB. 9

petunjuk oleh hakim berdasarkan Pasal 188 (1) KUHAP memang telah terjadi tindak pidana tetapi pelakunya belum tentu seseorang yang telah didakwa oleh penuntut umum. 14 Mengenai alat bukti petunjuk di atas maka dapat dikatakan bahwa petunjuk dari berbagai macam alat bukti tidak mungkin dapat diperoleh hakim tanpa menggunakan suatu pemikiran tentang adanya persesuaian antara kenyataan yang satu dengan yang lain, atau antara satu kenyataan dengan tindak pidana itu sendiri. Penekanan alat bukti petunjuk adalah persesuaian antara kejadian, keadaan, perbuatan, maupun dengan tindak pidana itu sendiri. Hal ini menjelaskan bahwa di dalam sistem pumbuktian di Indonesia baik dahulu yang di atur di dalam HIR maupun sekarang yang diatur di dalam KUHAP mengisyaratkan pentingnya keyakinan hakim dalam pembuktian perkara pidana. Menurut Subekti, ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan kesewenang-wenangan (willekeur) akan timbul apabila hakim, dalam melaksanakan tugasnya tersebut, diperbolehkan menyandarkan putusan hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni. Keyakinan hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti. 15 Dari uraian-uraian di atas sudah cukup terang bahwa pertimbangan hakim untuk menggunakan alat bukti petunjuk adalah untuk mempertebal atau memperkuat keyakinannya dan disisi lain haruslah memperhatikan persesuaian antara alat-alat bukti yang lain (keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa). 14 Kun Maryoso, Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, Senin 23 Februari 2015, Pukul 13.10 WIB. 15 Subekti, 1995, Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradnya Paramita, Hal. 2 10

PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, ditarik simpulan sebagai berikut: Pertama, pengertian alat bukti petunjuk dalam proses penyelesaian perkara pidana sesuai dengan pengertian pasal-pasal dalam peraturan perundangan (misal KUHAP), sedangkan para praktisi atau aparat penegak hukum seperti penyidik kepolisian, jaksa/penuntut umum, hakim merasa belum memenuhi kualifikasi sebagai ahli hukum yang berpendapat mengenai definisi alat bukti petunjuk itu sendiri tetapi mereka berpedoman pada KUHAP untuk menjalankan hukum acara pidana. Jadi untuk definisi alat bukti petunjuk banyak mengandung pengertian seperti para ahli hukum berpendapat, tetapi secara konkrit pengertian dari alat bukti petunjuk sudah dirumuskan jelas dalam Pasal 188 Ayat (1) KUHAP. Kedua, peran dan fungsi alat bukti petunjuk yaitu untuk memperkuat pembuktian, dalam penyidikan digunakan untuk memperlengkap alat bukti yang lain dalam berkas perkara yang akan dilimpahkan ke Kejaksaan, Jaksa/Penuntut Umum menggunakan alat bukti petunjuk dalam penuntutan serta memberikan petunjuk kepada penyidik apabila alat buktinya belum cukup untuk pembuktian, sedang hakim hampir selalu dipakai untuk memperkuat atau mempertebal keyakinan hakim dalam memutus sebuah perkara yang mana petunjuk diperoleh dari fakta-fakta persidangan maupun berdasar pada surat tuntutan dakwaan dari Penuntut Umum. Ketiga, pertimbangan hakim dalam menggunakan alat bukti petunjuk sesuai dengan bunyi Pasal 183 dan 188 Ayat (3) KUHAP yaitu untuk memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah 11

yang bersalah melakukannya, yang untuk memperkuat atau mempertebal keyakinan hakim dilakukan penilaian atas kekuatan pembuktian dengan arif lagi bijaksana setelah melakukan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nuraninya. Saran Dari hasil penelitian dan pembahasan tersebut, Penulis memberikan saran sebagai berikut: Pertama, untuk para praktisi/aparat penegak hukum meliputi: penyidik kepolisisan, jaksa/penuntut umum dan hakim (khususnya di wilayah hukum Pengadilan Negeri Surakarta) harus lebih memahami tentang pengertian dari alat bukti petunjuk secara mendasar agar tidak terjadi kesalahan dalam penerapannya untuk mempergunakan alat bukti petunjuk dalam proses pembuktian penyelesaian perkara pidana. Kedua, kepada pakar/ahli hukum termasuk para praktisi hukum (penyidik kepolisisan, jaksa/penuntut umum dan hakim) harus lebih tegas dan jelas dalam merumuskan tentang alat bukti petunjuk. Mengingat perannya yang sangat penting dalam pembuktian, harus diperluas lagi tentang alat bukti petunjuk baik cara memperolehnya maupun syarat-syaratnya. Karena dalam penerapannya secara teori dengan prakteknya cukup berbeda, seperti contoh sumber atau cara memperoleh alat bukti petunjuk itu sendiri bisa diperoleh dari persesuaian keterangan ahli maupun barang bukti dan tidak hanya dari keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa seperti dalam pasal 188 Ayat (2) KUHAP. Sebab hakim dalam prakteknya memperoleh petunjuk dari fakta-fakta di persidangan selama pembuktian. 12

Ketiga, hakim harus benar-benar cermat dan penuh kesaksian berdasar hati nuraninya karena sifatnya subyektif berdasar atas penilaian hakim yang dilakukan dengan arif lagi bijaksana. Oleh karena itu, dalam proses pembuktian hakim harus benar-benar obyektif dalam melakukan pemeriksaan di sidang pengadilan. DAFTAR PUSTAKA Harahap, M. Yahya, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika Harahap, M. Yahya, 2008, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika Laminatang, P.A.F., 2010, Pembahasan KUHAP menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika Subekti, R., 1995, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Indonesia http://goresanpenahukum.blogspot.com/2014/05/alat-bukti-petunjuk.html, diakses pada, Kamis, 26 Maret 2015 pukul 11.01 WIB. 13