BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
Penyebab BPH ini masih belum diketahui, penelitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengungkapkan dengan jelas terjadinya BPH.

BAB I PENDAHULUAN. Proporsi penduduk usia lanjut dewasa yang bertambah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hiperplasia prostat atau BPH (Benign Prostate Hiperplasia) adalah

BAB I PENDAHULUAN. Kelainan kelenjar prostat dikenal dengan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu dianggap berasal dari endoderm. Pertumbuhan dan. perkembangan normal bergantung kepada rangsang endokrin dan

BAB I PENDAHULUAN. keluar kandung kemih melalui kateter urin secara terus menerus. kemih yang disebut dengan bladder training.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars

EDUKASI KLIEN BPH POST TURP DI RUMAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Benign Prostatic Hyperplasia atau lebih dikenal dengan singkatan BPH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pola eliminasi urine merupakan salah satu perubahan fisik yang akan

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sistem perkemihan merupakan salah satu system yang tidak kalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering terjadi pada laki-laki usia lanjut. BPH dapat mengakibatkan keadaan

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. Mencapai derajat sarjana S-1. Diajukan Oleh : NURHIDAYAH J FAKULTAS KEDOKTERAN

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan

BAB I PENDAHULUAN. jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika (Muttaqin, 2011). dapat menimbulkan komplikasi apabila dibiarkan tanpa

BAB I PENDAHULUAN. seorang ibu hamil. Persalinan normal adalah proses pengeluaran bayi dengan

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Memasuki masa tua berarti mengalami perubahan baik secara fisiologi

TUGAS MANDIRI 1 Bladder Training. Oleh : Adelita Dwi Aprilia Reguler 1 Kelompok 1

BAB I PENDAHULUAN. urin (Brockop dan Marrie, 1999 dalam Jevuska, 2006). Kateterisasi urin ini

BAB I PENDAHULUAN. merupakan proses perubahan biologis secara terus- menerus, dan terjadi. suatu kemunduran atau penurunan (Suardiman, 2011)

BAB I PENDAHULUAN. jaringan lunak yang menyebabkan jaringan kolagen pada fasia, ligamen sekitar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau disebut juga benign prostatic

DEFINISI, KLASSIFIKASI DAN PANDUAN TATALAKSANA INKONTINENSIA URINE

BAB I PENDAHULUAN. apabila terjadi kerusakan. Salah satu keluhan yang sering dialami lansia akibat

BAB I PENDAHULUAN. penuaan (Madjid dan Suharyanto, 2009). tindakan untuk mengatasi BPH yang paling sering yaitu Transurethral

TUGAS MADIRI BLADDER TRAINING

: ENDAH SRI WAHYUNI J

BAB 1 PENDAHULUAN. di negara berkembang. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita subur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Berkemih adalah pengeluaran urin dari tubuh, berkemih terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Hiperplasia (BPH) dilaporkan terus meningkat yang banyak dijumpai pada

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1

BAB II HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA ANATOMI KELENJAR PROSTAT

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah persalinan sectio caesarea. Persalinan sectio caesarea adalah melahirkan janin

BAB 1 PENDAHULUAN. Mochtar. 2005). Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin

METODE PELVIC FLOOR MUSCLE TRAINING DALAM MENURUNKAN INKONTINENSIA URIN PADA LANSIA DI DESA DARUNGAN KECAMATAN PARE KABUPATEN KEDIRI

BAB 1 PENDAHULUAN. tujuan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, mempertahankan

Efektivitas Bladder Training Terhadap Retensi Urin Pada Pasien Post Operasi BPH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Monako dengan rata-rata usia 90 tahun (Mubarak, 2012). atau World Health Organization (WHO) tahun 1999 meliputi: Usia

GANGGUAN MIKSI DAN DEFEKASI PADA USIA LANJUT. Dr. Hj. Durrotul Djannah, Sp.S

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian. Tabel 5.1

I. PENDAHULUAN. tahun 2007, Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk

BAB 1 PENDAHULUAN. fisik yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur. Kebanyakan fraktur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang sering dijumpai di masyarakat dan praktek sehari-hari. Pada

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung sesuai waktu dan umur (Irianto, 2014). Penyakit degeneratif. dan tulang salah satunya adalah asam urat (Tapan, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. Papyrus Ebers (1550 SM), dengan terapi menggunakan buah beri untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hiperplasia prostat merupakan salah satu keluhan atau penyakit

Pengkajian : Manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada individu yang mengalami masalah eliminasi urine : 1. inkontinensia urine 2.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

Perubahan Kualitas Hidup Penderita Pembesaran Prostat Jinak Pasca-prostatektomi Terbuka

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan masalah kesehatan benar-benar merupakan kebutuhan. penting. Oleh karena itu, organisasi pelayanan kesehatan diharapkan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam maupun luar tubuh (Padila, 2013). Menjadi tua merupakan proses

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III ELABORASI TEMA

BAB 1 PENDAHULUAN. 2006). Kateterisasi urin ini dilakukan dengan cara memasukkan selang plastik

Kanker Prostat. Prostate Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Survey inkontinensia urin yang dilakukan oleh Departemen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSU Dr. Soetomo tahun 2008 terhadap 793 pen

Aulia Rahman, S. Ked Endang Sri Wahyuni, S. Ked Nova Faradilla, S. Ked

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Teknik Relaksasi...,Bayu Purnomo Aji,Fakultas Ilmu Kesehatan UMP,2017

BAB I PENDAHULUAN. asli ke perifer dan menjadi kaspul bedah (Rahardjo, 1995). Benigna Prostat

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA POST PROSTATECTOMY DI RUANG FLAMBOYAN RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGARUH TEKNIK RELAKSASI GUIDED IMAGERY TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA PASIEN PASCA OPERASI FRAKTUR DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. membuka dinding perut dan dinding uterus (Sarwono, 2005). Sectio caesarea

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan

BAB I PENDAHULUAN. dicapai dalam kemajuan di semua bidang riset DM maupun penatalaksanaan

PENGARUH BLADDER TRAINING

Anita Widiastuti Poltekkes Semarang Prodi Keperawatan Magelang

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan batu ini disebut urolitiasis, dan dapat terbentuk pada ginjal. dan uretra (urethrolithiasis) (Basuki, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan angka kematian ibu (Maternal Mortality Rate) dan angka. kematian bayi (Neonatal Mortality Rate). (Syaiffudin, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. meliputi sebagai berikut : bayi terlalu besar, kelainan letak janin, ancaman

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang dapat dilihat dari usia harapan hidup (UHH) (Mubarak,

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA 2012

disebabkan internal atau eksternal trauma, penyakit atau cedera. 1 tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi,

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat kedua dengan jumlah penderita Diabetes terbanyak setelah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit batu saluran kemih (BSK) merupakan penyakit umum yang

GAMBARAN TINGKAT NYERI PASIEN DI INSTALASI GAWAT DARURAT RS PKU MUHAMMADIYAH BANTUL. Karya Tulis Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. kandung kemih atau pada uretra disebut sebagai urolithiasis yang terbentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Laparotomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor dengan cara melakukan

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada ibu dan janin sehingga menimbulkan kecemasan semua orang termasuk

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelenjar prostat adalah satu organ genetalia pria yang terletak disebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram (Purnomo, 2011). Bila mengalami pembesaran atau hiperplasy organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli atau lebih dikenal Benigna Prostat Hiperplasy (BPH). Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat yang disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua bagian prostat meliputi jaringan kelenjar/ jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pers prostatika (Soetomo, 1994). Penyebab Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) belum pasti namun hampir merupakan fenomena yang sering ditemukan pada laki-laki usia lanjut. Frekuensi terjadinya Benigna Prostat Hiperplasy meningkat seiring dengan pertambahan usia, dan merupakan penyebab morbiditas utama laki-laki usia lanjut (Isselbacher, 1992). Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria diatas usia 60 tahun (Brunner & Suddart, 2002). Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umum diperkirakan hampir 50 % pria Indonesia yang berusia diatas 50 tahun, dengan usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit pembesaran prostat jinak (PPJ) atau Benigna Prostat Hiperplasy (BPH). Selanjutnya, 5 % pria di Indonesia sudah masuk dalam lingkungan usia diatas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat dari 200 juta lebih bilangan rakyat Indonesia maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria yang

2 berusia 60 tahun. Secara umumnya dinyatakan bahwa 2,5 juta pria Indonesia menderita penyakit Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) atau pembesaran prostat jinak (PPJ) ini. Indonesia semakin hari semakin maju dan berkembang, dengan berkembangnya sebuah negara maka usia harapan hidup pasti bertambah dengan sarana yang semakin maju, maka kadar penderita BPH secara pastinya turut meningkat (Furqan, 2003). Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) yang bergejala pada pria berusia 40 49 tahun mencapai 15 %. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50 59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25 % pada usia 60 tahun sebanyak 50 % tahun mencapai angka sekitar 43 %. Angka kejadian Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) di Indonesia sebagai gambaran hospital prevalensi di Rumah Sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumber Waras (1994 1999) terdapat 1040 kasus (Istiqomah, 2010). Tidak jauh berbeda dengan kasus Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) yang terjadi di jawa tengah, kasus tertinggi gangguan prostat berdasarkan laporan rumah sakit terjadi di Kabupaten Grobogan yaitu sebesar 4.794 kasus (66,33 %) dibandingkan dengan jumlah keseluruhan kasus gangguan prostat di kabupaten atau kota lain di Jawa Tengah. Bila dibandingkan kasus keseluruhan penyakit tidak menular lain di Kota Grobogan sebesar 46,81 %. Sedangkan kasus tertinggi kedua adalah kota Surakarta 488 kasus (6,75 %) dan dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penyakit tidak menular lain di kota Surakarta maka proporsi kasus ini adalah 3,52 %. Rata-rata kasus gangguan prostat di Jawa Tengah adalah 206,48 (Profil Kesehatan Profinsi Jawa Tengah, 2003). Di berbagai daerah di Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas terapi pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia di tiap-tiap daerah. Dari hasil penelitian yang dilakukan Ferawaty (2007) dijumpai adanya korelasi positif antara klinis hiperplasia prostat dengan kejadian inkontinensia urin tipe overflow pada pasien pria lanjut usia (koefisien

3 korelasi = 0,778;p<0,0001). Pasien yang mengalami Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) akan mengalami gangguan pengeluaran urin (obstruksi saluran uretra). Gejala obstruksi yaitu pancaran melemah, rasa tidak puas saat miksi, jika akan miksi memerlukan waktu lama/ hesitancy, harus mengedan/ straining, kencing terputus-putus/ intermittency dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena over flow (Mansjoer, 2004). Obstruksi saluran kemih harus segera diatasi karena dapat menimbulkan komplikasi, diantaranya iritasi urin akut yang terjadi buli-buli mengalami dekompensasi, infeksi saluran kemih, hematuri, hidroureter dan hidronefrosis karena tekanan intravesika meningkat dan akan menimbulkan kerusakan fungsi ginjal (Heffner dan Schush, 2006). Untuk menangani komplikasi yang terjadi pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) penatalaksanaan yang dilakukan ada yaitu yang pertama terapi medikmentosa, diantaranya : penghambat adrenergic alfa, penghambat enzim 5 alfa reduktase, dan fitofarmaka (Purnomo, 2011), yang kedua terapi pembedahan/ prostatectomy dan yang ketiga tindakan invasif minimal endourologi serta watcfull waiting. Tindakan yang sering dilakukan untuk penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) adalah pembedahan Prostatectomy yaitu pengangkatan sebagian atau seluruh kelenjar prostat (Susan, 1998). Trans vesica prostatectomy (TVP)/ open prostatectomy/ prostatektomi terbukti merupakan tindakan pembedahan yang sering dilakukan dalam penanganan PPJ dengan mekanisme pengangkatan kelenjar melalui insisi abdomen. Trans vesica prostatectomy (TVP) dibagi menjadi tiga yaitu prostatektomi suprapubik, prostatektomi perineal dan prostatektomi retropubik. Open prostatektomy dianjurkan untuk prostat dengan ukuran (>100 gram). Pasien yang telah dilakukan tindakan pembedahan bukan berarti tidak timbul masalah lain, masalah yang dapat terjadi setelah tindakan trans vesica prostatectomy (TVP) seperti pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak, retensi urine, inkontinensia urine, impotensi dan

4 terjadi infeksi (Purnomo, 2011). Dari 168 pasien yang menjalani trans vesica prostatectomy (TVP), 15 % diperlukan tranfusi darah pasca operasi. Komplikasi lain yang biasa terjadi adalah perforasi usus, infeksi luka bedah, disfungsi ereksi, diamati pada 164 pasien (98%), perubahan berkemih pada 32 pasien (19%) dan perubahan usus (11%). Diantara perubahan perubahan eliminasi urin ditemukan, yang paling sering (64%) adalah inkontinensia urin (Escudero, 2006). Salah satu masalah yang sering ditemui pada pasien pasca prostatectomy yaitu inkontinensia urin, masalah ini merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Dilihat dari sisi pembedahan dan proses penyembuhan luka, trans vesica prostatectomy (TVP) akan memerlukan waktu untuk penyembuhan luka pasca operasi pada saluran kemih khususnya vesica urinary dan otot pelvic yang melemah (Brunner Sudart, 2002). Inkontinensia urin pada dasarnya bukan konsekuensi normal penuaan, tetapi perubahan traktus urinarius (Juniardi, 2008). Inkontinensia urin merupakan komplikasi jangka panjang umum pasca operasi prostatectomy, penyembuhan kontrol berkemih secara spontan pasca operasi memakan waktu 1-2 tahun. Ditemukan 88 % dari 48 pasien dan 56 % dari 52 pasien mengalami inkontinensia setelah 3 bulan (Van Poppel, 2000 ). Penatalaksanaan inkontinensia urin terdiri atas tiga kategori utama, yaitu terapi non farmakologis (intervensi perilaku), farmakologis, dan pembedahan. Terapi non-farmakologis merupakan intervensi keperawatan yang bersifat independent yang dapat dilakukan pada pasien dengan inkontinensia urin antara lain : behavioral oriented seperti bladder training, kegel exercise, dan pengaturan diit (Kozier et.al, 2003). Salah satu terapi non-farmakologis yaitu kegel exercise merupakan nama latihan yang menguatkan otot dasar panggul (Kegel, 1948). Kegel Exercise diartikan sebagai penguatan otot Pubococsigeus secara sadar dengan melakukan gerakan kontraksi berulang-ulang untuk menurunkan

5 incointinence (Memorial Hospital, 2009). Kegel exercise merupakan suatu upaya untuk mencegah suatu timbulnya inkontinensia urin. Mekanisme kontraksi dan meningkatnya tonus otot dapat terjadi karena adanya rangsangan sebagai dampak dari latihan. Otot dapat dipandang sebagai suatu motor yang bekerja dengan jalan mengubah energy kimia menjadi tenaga mekanik berupa kontraksi dan pergerakan untuk menggerakkan serat otot yang terletak pada interaksi aktin dan myosin. Proses interaksi tersebut diaktifkan oeh ion kalsium dan adenotrifosfat (ATP), yang kemudian dipecah menjadi adenodifosfat (ADP) untuk memberikan energy bagi kontraksi otot detrusor (Asikin N, 1984). Rangsangan melalui neuromuskuler akan meningkatkan rangsangan pada syaraf otot polos untuk memproduksi asetilkolin dimana asetilkolin akan meningkatkan permeabilitas membrane otot sehingga mengakibatkan kontraksi otot. Energi yang lebih banyak diperoleh dari proses metabolisme dalam mitokondria untuk menghasilkan adenotrifosfat (ATP) yang digunakan otot polos pada kandung kemih sebagai energi untuk kontraksi dan akhirnya dapat meningkatkan tonus otot polos kandung kemih (Guyton, 1995). Cara latihan kegel adalah dengan melakukan kontraksi pada otot pubococcygeus dan menahan kontraksi tersebut dalam hitungan 10 detik, kemudian kontraksi dilepaskan. Pada tahap awal bisa dimulai dengan menahan kontraksi selama 3 hingga 5 detik. Dengan melakukan secara bertahap otot ini akan semakin kuat, latihan ini diulang 10 kali setelah itu mencoba berkemih dan menghentikan urin ditengah (Johnson, 2002). Untuk menguatkan otot dasar panggul, sehingga memperkuat fungsi sfingter eksternal pada kandung kemih. Latihan ini terus dikembangkan dan dilakukan pada lansia yang mengalami masalah inkotinensia stres. Suatu penelitian mencatat bahwa jika seorang wanita melakukan kegel exercise secara konsisten dengan benar selama satu bulan maka akan mendapatkan hasil memuaskan perubahan yang positif (Northup, 2007). Cockburn dan Chiarelli (2003) dalam penelitiannya juga membuktikan

6 bahwa kegel exercise adekuat untuk menurunkan kejadian inkontinensia urin pada ibu yang melahirkaan dengan bantuan forcep. Kejadian inkontinensia urin lebih sedikit pada kelompok (38,4%) dari 676 responden. Rumah sakit PKU Muhammadiyah Gombong dan RSUD Kebumen merupakan rumah sakit tipe C yang sama-sama melayani pasien rawat inap, rawat jalan, pemeriksaan baik radiologi maupun pemeriksaann laboratorium, hemodialisa, instalasi bedah sentral, instalasi gawat darurat, apotik baik untuk pasien umum, askes pegawai dan jamkesmas, yang ruangnya ada ruang VIP, utama kelas 1, utama Kelas 2, kelas 3, dan khusus ruang/ bangsal diperuntukan untuk pasien Jamkesmas. Dengan didukung tenaga kesehatan baik dokter umum, dokter spesialis, perawat D3 maupun S1, bidan, apoteker, petugas gizi dan tenaga non medis baik administrasi, sopir, petugas kebersihan dan penjaga keamanan. (RSUD Kebumen dan RS PKU Muhammadiyah Gombong, 2013). Berdasarkan hasil observasi studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada 26 Desember 2013 di RSUD Kebumen dan RS PKU Muhammadiyah Gombong menunjukan bahwa selama bulan januari sampai dengan desember tahun 2013 terdapat 141 pasien trans vesica prostatectomy (TVP). Berdasarkan wawancara dengan perawat bangsal masih kurangnya perhatian khusus pencegahan inkontinensia pada pasien trans vesica prostatectomy (TVP) dari perawat. Dari hasil observasi tidak terdapat standar operasional prosedur (SOP) tentang kegel exercise yang baku di dalam ruang rawat inap tersebut. Dari fakta-fakta yang terjadi, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Kegel Exercise Terhadap Pencegahan Inkontinesia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) Pasca transvesica prostatectomy (TVP).

7 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh pengaruh kegel exercise terhadap pencegahan inkontinesia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP). C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengidentifikasi pengaruh kegel exercise terhadap pencegahan inkontinesia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP). 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui kejadian inkontinensia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP) setelah pemberian kegel exercise. b. Mengetahui kejadian inkontinensia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP) yang tidak diberikan kegel exercise. c. Mengetahui efektifitas pemberian kegel exercise pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP). D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Instansi Rumah Sakit Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas dan motivasi dalam penatalaksaan pasien paska operasi di Rumah Sakit khususnya pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasy (BPH). 2. Bagi Institusi Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi, wawasan, bahan referensi,bacaan dan data untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penatalaksanaan pencegahan

8 inkontinensia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP). 3. Bagi Ilmu Pengetahuan Dengan adanya penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan dan pengalaman tentang penatalaksanaan pencegahan inkontinensia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca operasi. Memperkaya riset penelitian di Indonesia, sehingga menjadi motivasi untuk mengembangkan dan memajukan ilmu keperawatan di Indonesia untuk penatalaksanaan pencegahan inkontinensia pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP). E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pengaruh kegel exercise terhadap pencegahan inkontinensia urin pada pasien Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) pasca trans vesica prostatectomy (TVP) di Kabupaten Kebumen belum ada yang melakukan, namun ada beberapa penelitian yang hampir mirip dengan penelitian ini : 1. Penelitian yang dilakukan Chank C1, Chen T2, Liao Y1 (2009) Pengaruh pelvic floor exercise terhadap inkontinensia pada pasien lansia pasca operasi BPH di rumah sakit Chang Gung Memorial Dengan krtiteria inklusi adalah 1) usia 60 tahun keatas, 2) diagnosis dengan BPH oleh dokter 3) disiapkan untuk TURP, perawatan laser thulium, dan foto selektif penguapan operasi. Jumlah 61 pasien menyeleseaikan studi, 32 pada kelompok eksperimen yang menerima intervensi pelvic floor exercise dan 29 pada kelompok non-intervensi tetap perawatan rutin. Pengumpulan data meliputi demografi, international prostat symptom score (IPSS), laju aliran urin maksimal (Qmax) dan urin sisa- void. Hasil dari penelitian tersebut skor IPSS dari kelompok eksperimen secara signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol setiap saat ( β = -4,490, p <0,001 ). Kedua skor obstruktif ( β = 0.231, p < 0,001) dan skor iritasi (β = 0,086, p < 0,001)

9 lebih rendah pada kelompok perlakuan. Semua 5 komponen IPSS menunjukkan kecenderungan yang sama. Peningkatan Qmax ( z = 1,936, p = 0,03 ) dan rata-rata aliran urin ( z = 2,183, p = 0,017 ) keduanya secara signifikan lebih tinggi pada kelompok eksperimen, Namun, volume berkemih serupa dalam dua kelompok. Interpretasi hasil ini membuktikan bahwa melakukan pelvic floor exercise secara efektif dapat mengurangi LUTS, mengurangi skor IPSS pada pasien paska TURP. Dalam penelitian ini menggunakan metode studi crosssectional kuasi-ekperimental. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Angellita Intan Septiastri Cholina Trisa Siregar (2011) dengan judul Latihan kegel dengan penurunan inkontinensia urin pada lansia tujuan penelitian ini untuk melihat efektivitas latihan kegel terhadap penurunan gejala inkontinensia urin pada lansia. Desain penelitian adalah quasy-experiment. Penetapan sampel menggunakan teknik purposiv sampling diperoleh 13 orang intervensi dan 13 orang kontrol. Hasil analisa data menunjukkan bahwa gejala inkontinensia urin sebelum latihan kegel pada kelompok intervensi sebanyak 53,8% ringan dan 46,2% sedang. Sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 61,5% ringan dan 38,5% sedang. Setelah dilakukan intervensi, gejala inkontinensia urin pada kelompok intervensi sebanyak 100% ringan sedangkan pada kelompok kontrol 61,5% ringan dan 38,5% sedang. Hasil uji paired t-test pada kelompok intervensi menunjukkan bahwa gejala inkontinensia urin berbeda antara pre-post latihan kegel ( t= 17,725, p= 0,000). Selanjutnya dengan uji independent t-test, penelitian ini juga menunjukkan bahwa penurunan gejala inkontinensia urin pada kelompok intervensi berbeda dengan kelompok kontrol (t= -3,215, p=0,004). Penelitian ini menunjukkan bahwa latihan kegel efektif terhadap penurunan gejala inkontinensia urin pada lansia. Dengan demikian perawat dapat mengajarkan latihan kegel sebagai intervensi nonfarmakologis untuk mengatasi inkontinensia urin.