1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensi. Aktivitas yang pertama kali dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam. Lahan merupakan sumber daya alam penting dalam menopang setiap aktivitas kehidupan manusia baik sebagai sumber daya yang dapat diolah maupun sebagai tempat tinggal. Sebidang lahan dapat dipergunakan untuk bermacammacam keperluan yang sering tidak serasi (non-compatible), maka timbullah persaingan diberbagai alternatif penggunaan maupun peruntukan dalam pemanfaatannya (Anwar, 1993). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan disebutkan bahwa Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemasnusiaan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi basional. Pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung
2 wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan. Menurut Nasoetion dan Winoto (1996) ketersediaan lahan secara total yang bersifat tetap (constant) di suatu wilayah, dihadapkan dengan permintaan yang terus bertambah dengan cepat menyebabkan terjadinya interaksi antara permintaan dan penawaran lahan, kemudian menghasilkan pola guna lahan yang mengarah pada aktivitas paling menguntungkan. Berlangsungnya fenomena penyusutan luas lahan pertanian, terutama persawahan menunjukan bahwa dinamika penggunaan tanah menjadi semakin intensif dengan semakin berkembangnya perekonomian wilayah. Permasalahan ini tidak terlepas dari proses transformasi struktur ekonomi yang terjadi di Indonesia yakni dari yang berbasiskan sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder (industri) dan tersier (perdagangan/jasa). Penguasaan dan penggunaan lahan mulai beralih fungsi seiring pertumbuhan populasi dan perkembangan peradaban manusia. Hal ini akhirnya menimbulkan permasalahan kompleks akibat pertambahan jumlah penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika pembangunan. Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam, berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi pemanfaatan. Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi nonpertanian yang kemudian dikenal dengan istilah alih fungsi lahan. Fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan yang serius. Implikasi konversi lahan pertanian yang tidak
3 terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial (Sumaryanto, 2001). Dampak konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian menyangkut dimensi yang sangat luas. Hal itu terkait dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat. Arah perubahan ini secara langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian wilayah dan nasional (Nasoetion dan Winoto, 1996). Permasalahan konversi lahan sawah seiring dengan perkembangan industri. Semakin besanya kontribusi industri terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), merupakan indikasi semakin lajunya pertumbuhan industri yang selama ini dilaksanakan. Perkembangan laju pembangunan industri ini mempunyai implikasi terhadap sektor-sektor lainnya, antara lain dengan membawa konsekuensi pada peningkatan konsentrasi penduduk, adanya pemusatan penduduk tersebut akan menimbulkan konsekuensi yang besar pada penyediaan fasilitas, yang selanjutnya akan membawa konsekuensi yang besar pula terhadap penggunaan ruang atau lahan. Peningkatan kebutuhan akan ruang atau lahan untuk sektor industri ini dipenuhi dengan cara merubah penggunaan lahan-lahan pertanian yang ada (Sutrisno, 1998). Perubahan penggunaan lahan dapat dapat terjadi karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Dua hal terakhir terjadi lebih sering pada masa lampau karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tata ruang
4 wilayah. Alih fungsi dari pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanah (Wibowo, 2011). Pertumbuhan penduduk yang cepat diikuti dengan kebutuhan perumahan menjadikan lahan-lahan pertanian berkurang di berbagai daerah. Lahan yang semakin sempit semakin terfragmentasi akibat kebutuhan perumahan dan lahan industri. Petani lebih memilih bekerja di sektor informal dari pada bertahan di sektor pertanian. Daya tarik sektor pertanian yang terus menurun juga menjadikan petani cenderung melepas kepemilikan lahannya. Pelepasan kepemilikan lahan cenderung diikuti dengan alih fungsi lahan (Ashari, 2001). Pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri dan pemukiman. Kondisi demikian mencerminkan adanya peningkatan permintaan terhadap lahan untuk penggunaan nonpertanian yang mengakibatkan banyak lahan sawah, terutama di sekitar perkotaan, mengalami alih fungsi. Alih fungsi lahan juga dapat terjadi oleh karena kurangnya insentif pada usahatani lahan sawah yang diduga akan menyebabkan terjadi alih fungsi lahan ke tanaman pertanian lainnya. Pemilik lahan mengalihfungsikan lahan pertaniannya untuk kepentingan nonpertanian oleh karena mengharapkan keuntungan lebih. Secara ekonomis, lahan pertanian, terutama sawah, harga jualnya tinggi karena biasanya berada dilokasi yang berkembang. Namun, bagi petani penggarap dan buruh tani, alih fungsi lahan menjadi bencana karena mereka tidak bisa beralih pekerjaan. Para
5 petani semakin terjebak dengan semakin sempitnya kesempatan kerja sehingga akan menimbulkan masalah sosial yang pelik. Provinsi Bengkulu terletak di sebalah Barat pegunungan Bukit Barisan. Luas wilayah Provinsi Bengkulu mencapai lebih kurang 1.978.870 hektar atau 19.788,7 Km 2. Wilayah Provinsi Bengkulu memanjang dari perbatasan Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan Provinsi Lampung dan jaraknya lebih kurang 567 km. Luas wilayah Provinsi Bengkulu adalah 19.788,7 Km 2, secara administrasi pemerintah Provinsi Bengkulu terbagi menjadi 9 kabupaten dan 1 kota yang teridir dari 123 kecamatan. Tabel 1. Luas Daerah menurut Kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu Tahun 2010 Kode Wilayah Kabupaten/Kota Luas Areal (Km 2 ) Persentase terhadap Luas Bengkulu (%) 01 Bengkulu Selatan 1.185,70 5,99 02 Rejang Lebong 1.515,76 7,66 03 Bengkulu Utara 4.424,60 22,36 04 Kaur 2.363,00 11,94 05 Seluma 2.400,44 12,13 06 Mukomuko 4.036,70 20,40 07 Lebong 1.929,24 9,75 08 Kepahiang 664,80 3,36 09 Bengkulu Tengah 1.123,94 5,68 71 Kota Bengkulu 144,52 0,73 Jumlah - total 19.788,70 100,00 Sumber : BPS Provinsi Bengkulu 2011 Sektor pertanian berperan penting dalam perekonomian Provinsi Bengkulu karena merupakan sektor utama yang memberikan kontribusi terbesar dalam pembentukan Produks Domestik Regional Bruto (PDRB). Pada tahun 2010 kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Provinsi Bengkulu adalah sebesar 39,90 persen. Nilai nominal 7,2 milyar rupiah (atas dasar harga berlaku). Cakupan kegiatan pertanian yang ada di wilayah ini terdiri beberapa jenis kegiatan yaitu
6 pertanian tanaman bahan makanan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan (BDA, 2011). Konversi lahan marak terjadi di Provinsi Bengkulu, hal ini banyak terjadi konversi lahan sawah di beberapa wilayah di Provinsi Bengkulu. Wilayah sentra produksi beras di Provinsi Bengkulu seperti Bengkulu Utara, Rejang Lebong, Mukomuko dan Bengkulu Selatan telah beralih fungsi. Dalam upaya peningkatan produksi padi, salah satu masalah yang menduduki prioritas untuk diteliti adalah perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian. Perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian tersebut berupa penggunaan lahan untuk perumahan, kawasan industri maupun sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan ekonomi dan perhubungan sebagai contoh jalan yang semakin lama semakin bertambah panjang. Kemajuan pembangunan pertanian di Provinsi Bengkulu yang diikuti dengan perkembangan sektor industri dan sektor jasa (pendidikan, pariwisata dan sarana pendukung lain) yang dewasa ini menyebabkan permintaan lahan untuk sektor-sektor tersebut meningkat. Selain itu dengan bertambahnya jumlah penduduk dan migrasi penduduk dari luar provinsi maka permintaan lahan untuk pemukiman juga meningkat. Peningkatan permintaan lahan untuk sektor-sektor tersebut menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan lahan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti tentang permasalahan Konversi Lahan Sawah dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi di Provinsi Bengkulu.
7 1.2 Perumusan Masalah Konversi lahan sawah ke non sawah secara terus menerus menyebabkan penurunan luas lahan sawah. Konversi lahan tersebut terjadi pada lahan sawah dan lahan pertanian lain yang potensial untuk tanaman pangan, maka hal ini akan menimbulkan masalah pada produksi pangan di Indonesia. Masalah akan timbul apabila peningkatan produkstivitas tanaman pangan tidak sebanding dengan penyusutan lahan pertanian, maka hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi tanaman pangan secara terus menerus. Pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah yang disertai pertambahan penduduk akan menuntut kebutuhan akan lahan yang lebih luas. Hal ini akan meningkatkan permintaan akan lahan dengan sektor-sektor tersebut, yang akan menimbulkan persaingan penggunaan lahan dengan sektor pertanian. Lahan pertanian yang dialihfungsikan adalah lahan kering yang produktivitasnya sangat rendah, maka tidaklah terlalu mengancam produksi pangan, akan tetapi hal ini menjadi lain apabila yang dialihfungsikan menyangkut lahan pertanian sawah yang beririgasi. Hal ini akan mengancam swasembada pangan. Konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan, dimana produksi pangan akan berkurang akibat konversi lahan. Disisi lain kebutuhan konsumsi pangan masyarakat secara agregat meningkat, dan selanjutnya dapat menjadi ancaman bagi kemampuan wilayah untuk menyediakan kebutuhan pangan bagi penduduknya.
8 Untuk mengendalikan konversi lahan sawah ke non sawah seperti perkebunan, pemukiman dan industri yang terjadi agar tidak memberikan dampak negatif yang lebih besar maka perlu diketahui informasi yang akurat mengenai konversi lahan yang terjadi, yaitu bagaimana dinamika luas maupun distribusi dari konversi lahan tersebut sehingga dapat dihitung dampak konversi lahan yang terjadi, terutama dampaknya terhadap kehilangan dan ketersediaan pangan. Mengetahui bagaimana dinamika konversi lahan yang terjadi, selanjutnya dapat diidentifikasi hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya konversi lahan tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, secara rinci masalah yang akan dikaji di dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana trend luas lahan sawah di Provinsi Bengkulu? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Provinsi Bengkulu? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi padi di Provinsi Bengkulu? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka penilitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui trend luas lahan sawah di Provinsi Bengkulu. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Provinsi Bengkulu.
9 3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi di Provinsi Bengkulu. 1.4 Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah : 1. Menambah pengetahuan dan sensitivitas terhadap permasalahan yang terjadi serta sebagai syarat guna memperoleh derajat S-2 Master of Science di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. 2. Memberikan informasi sebagai bahan masukan untuk melakukan penelaahan lebih jauh melalui penelitian sejenis maupun penelitian lebih lanjut. 3. Menambah informasi serta menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam rangka merumuskan dan menerapkan kebijakan dalm mengatasi permasalahan pengendalian konversi lahan sawah.