KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1

dokumen-dokumen yang mirip
Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

1. DARI IDEOLOGI HINGGA TERORISME

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

Mendorong Komitmen Indonesia Meratifikasi Statuta Roma untuk Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG

Disampaikan dalam acara Workshop Memperkuat Justisiabilitas Hakhak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Prospek dan Tantangan, diselenggarakan oleh Pusat

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan

A. LATAR BELAKANG MASALAH

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI

BAB V KESIMPULAN. sosial, serta hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki yang terbentuk

RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi MANAJEMEN.

MAKALAH HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

BAB V KESIMPULAN. evaluasi kegagalan dan keberhasilan kebijakan War on Terrorism dapat disimpulkan

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006

Negara Jangan Cuci Tangan

Eksistensi Konvensi Jenewa di Masa Depan

Hukum Pidana Internasional. Tolib Effendi

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

AMNESTY INTERNATIONAL SIARAN PERS

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

BEBERAPA MODEL LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

Agen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Komitmen Dan Kebersamaan Untuk Memperjuangkan Hak Asasi Manusia diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan

BAB I PENDAHULUAN. kita. Konflik tersebut terjadi karena interaksi antar kedua negara atau lebih

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR

SMP kelas 9 - SEJARAH BAB 1. Perang Dunia IIlatihan soal 1.2

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Bagian 2: Mandat Komisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya perang dunia kedua menjadi titik tolak bagi beberapa negara di Eropa

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

MAKALAH. CEDAW: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Oleh: Antarini Pratiwi Arna, S.H., LL.M

Mengatasi Sisi Gelap Dunia Kripto

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

MENJADI MUSLIM DI NEGARA SEKULER

Eropa Pasca Perang Dingin.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi landasan utama pemikiran marxisme. Pemikiran marxisme awal yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejarah nasional Indonesia tidak lepas dari pemerintahan Soekarno dan Soeharto, seperti

BAB V PENUTUP. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sejatinya dibentuk untuk memenuhi

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

PERATURAN PENGUASA PERANG TERTINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1961 TENTANG LEMBAGA PERSAHABATAN ANTAR BANGSA DI INDONESIA

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Romania, selanjutmya disebut Para Pihak :

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di

Refleksi Akhir Tahun Papua 2010: Meretas Jalan Damai Papua

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

METODE PENGAJARAN HUKUM DAN HAM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS CENDERAWASIH JAYAPURA 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Rinrin Desti Apriani, 2013

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang menganut sistem Demokrasi, kata tersebut

MAKALAH HAK SIPOL & HAK EKOSOB. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Laporan akhir IPT, 8 Juni, 2016

Tentang Pengadilan HAM Internasional 1

KONSEPSI KEWARGANEGARAAN. By : Amaliatulwalidain

Mengenal Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya

REGULASI NO. 2001/11

Etika di Sekolah : Sebuah Model Program Pemberantasan Korupsi di USA

UNTAET Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Lorosae REGULASI NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG SUSUNAN KEJAKSAAN DI TIMOR TIMUR

Signifikasi Kawasan Asia Pasifik. Yesi Marince, S.Ip., M.Si

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1 Ifdhal Kasim 1. Dengan tema konteks sosial, ekonomi, politik dan hukum pengajaran hak asasi manusia, yang diberikan kepada saya, saya kira panitia mengharapkan kepada saya untuk memberikan pembahasan yang lebih luas daripada sekedar berbicara tentang pengajaran hak asasi manusia itu sendiri. Tapi pada aspek-aspek yang menciptakan, mendorong, dan memicu adanya pengajaran hak asasi manusia. 2. Saya akan membahas dari sudut yang luas itu. Bagian pertama, saya akan membahas konteks ekonomi-politik dunia setelah penyerangan 11 September di New York, USA, yang berimplikasi sangat besar pada hak asasi manusia. Pada bagian kedua saya berbicara mengenai pengajaran hak asasi manusia setelah 11 September, dan lembaga-lembaga finansial pendukungnya. Terakhir saya fokuskan bahasan pada prospek pengajaran hak asasi manusia pasca 11 September. I 1. Saya ingin memulai pembahasan dengan mengulas kemunculan the age of enforcement dalam gerakan hak asasi manusia. Istilah ini diberikan oleh Geoffrey Robertson dalam bukunya yang terkenal, Crimes Against Humanity: The Strunggle for Global Justice, untuk menyebutkan kepada gerakan yang muncul pada dua dekade terakhir ini dalam gerakan hak asasi manusia, yakni kepada 1 Makalah disampaikan dalam Semiloka tentang Perumusan Kurikulum Pengajaran HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, bekerjasama dengan NCHR University of Oslo Norway, Yogyakarta pada tanggal 30 Mei 2005 di Yogyakarta.

gerakan yang menuntut pertanggungjawaban (accountability) atau keadilan (justice), yakni menuntut mereka yang bersalah! Gerakan ini menjadikan isu hak asasi populer, yang menuntut perlunya perluasan hak asasi manusia di semua level masyarakat dan negara. PBB akhirnya mengeluarkan Dekade untuk Pendidikan Hak Asasi Manusia (1993). 2. Kemunculan gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari konteks keruntuhan Perang Dingin. Para diktator tidak bisa lagi berlindung dibalik isu politik perang dingin tersebut, karena itu kejahatan mereka dapat dibongkar dan diajukan ke pengadilan. Kecenderungan dalam menerapkan kewajiban semacam itu telah dimulai dengan setengah hati setelah Perang Dunia I dengan Perjanjian Perdamaian Versailles, yang melahirkan penuntutan hukum terhadap Kaisar Wilhelm. Jerman diwajibkan menuntut individu-individu yang tingkatannya lebih rendah melalui pengadilan khusus yang dibentuk di Leipzig. Inisiatif-inisiatif ini tidak menghasilkan apa-apa, sang Kaisar mendapatkan suaka di Belanda; pengadilan Leipzig menunjukkan kurangnya kemauan politik Jerman menghukum warga negaranya sendiri. 3. Komitmen yang serius terhadap pertanggungjawaban pidana muncul setelah Perang Dunia II, ketika diplomasi Amerika mendorong penyelesaian hukum terhadap apa yang dilakukan pemimpin-pemimpin Nazi dan Jepang; jalan penyelesaian yang nampaknya lebih masuk akal bila dibandingkan dengan eksekusi massal yang diinginkan Stalin dan Churchill. Pengadilan Nuremberg dan Tokyo dijalankan, khususnya Nuremberg menunjukkan dengan gamblang dan sepenuhnya kepada dunia tentang kekejaman Nazi kepada segmen publik yang luas. Sebaliknya dengan pengadilan Tokyo terasa lebih sepi, dengan penuntutan yang tampak segan. Tidak terlalu berani menekan tertuduh, karena Jepang dilihat sebagai sekutu yang tidak dapat disingkirkan dalam konflik global dengan Uni Soviet yang sedang berkembang. 4. Tetapi pengadilan Nuremberg dan Tokyo yang spektakuler itu tak luput dari tuduhan keadilan pemenang perang (victor justice). Sebab ada larangan membuat penelitian terhadap pelanggaran hukum perang yang telah dilakukan AS ketika membom kota-kota Jerman dan Jepang secara indiskriminatif, yang telah

menyebabkan tewasnya ratusan ribu warga sipil. Bahkan pemeriksaan terhadap kasus penggunaan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki tidak diperbolehkan. 5. Ketika Perang Dingin mulai, inisiatif-inisiatif membawa mereka yang bersalah ke pengadilan pidana mulai menghadapi tembok politik global tersebut. Kenyataannya pemenang Perang Dunia II diasosiasikan dengan kekuatan yang menggunakan taktik-taktik kotor dalam perang yang dihujat di Pengadilan Nuremberg dan Tokyo. Meskipun demikian gagasan pertanggungjawaban masih tetap hidup, terutama karena inisiatif tanpa lelah masyarakat sipil. Perang Vietnam menimbulkan perpecahan dalam masyarakat-masyarakat demokratis, termasuk Amerika Serikat. Telford Taylor, mantan pejabat militer dan jaksa penuntut pengadilan Nuremberg, menulis buku yang sangat berpengaruh saat akhir Perang Vietnam, menyatakan bahwa kebijakan yang diterapkan AS di Vietnam setara dengan apa yang dianggap sebagai tindakan kriminal pada Nuremberg ---yang telah menjadi dasar bagi penyelidikan dan penghukuman terhadap pimpinan-pimpinan Nazi. 6. Pemenang hadiah Nobel dari Inggris, filsuf Bertrand Russell, mendirikan tribunal kejahatan perang --yang panelnya berasal dari kaum intelektual dan tokoh-tokoh budaya yang mengumpulkan bukti dan meneliti tanggungjawab AS di Vietnam, yang kemudian mencapai keputusan bersalah. Gerakan masyarakat sipil yang berdasarkan pada panggilan suara hati nurahi semacam itu membuat banyak warga Amerika membenarkan penolakan berpartisipasi dalam perang, melalui penolakan wajib militer atau membayar pajak, dengan mengacu kepada apa yang dinamakan Kewajiban Nuremberg, yakni hak warga negara menolak kewenangan pemerintah apabila negara melanggar kewajiban sebagaimana telah ditentukan dalam hukum internasional yang diterapkan di Nuremberg. Praktis sejak tahun 1945 negara-negara telah mengabaikan gagasan pertanggungjawaban pidana, tetapi gagasan itu masih tetap bertahan karena komitmen-komitmen visioner dari masyarakat sipil yang terus melawan kebijakan-kebijakan negara yang memerintah.

7. Tetapi gagasan yang bertahan itulah yang menang. Kita saksikan kemudian akhir tahun 80-an dan awal 90-an, gagasan mengenai pertanggungjawaban kembali naik daun. Dua pengadilan internasional yang terbentuk, yakni International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) menjadi saksinya. Kemudian disusul dengan pembentukan International Criminal Court (ICC) melalui Statuta Roma. Pertanggungjawaban kembali menjadi fokus advokasi gerakan hak asasi manusia, yang kemudian merebak ke negara-negara yang mengalami transisi politik ke demokrasi (yang merebak pada tahun 80-an). Berdiri berbagai macam mekanisme pertanggungjawaban, yang sebagian besar diinsiatif oleh masyarakat sipil. Diantaranya adalah Komisi Kebenaran, Pengadilan Campuran, dan penggunaan mekanisme jurisdiksi universal seperti yang terdapat di Belgia, Inggris, Belanda. II 1. Tetapi belum lagi the age of enforcement tersebut bersemai, politik global berubah dengan munculnya war against terorism. Perang melawan terorisme telah mengubah pentas dunia secara signifikan, yang membawa imbas kepada gerakan hak asasi manusia. Inilah tantangan yang kita hadapi sekarang, yaitu menempatkan kembali isu pertanggungjawaban (accountability) dalam pentas dunia yang telah berubah tersebut. 2. Memasuki tahun 2000, politik global kembali berubah haluan. Setelah penyerangan 11 September 2001 di New York, USA, pentas politik global berubah dengan dratis. USA muncul sebagai pemimpin dunia dalam menghadapi bahaya terorime, muncul jargon war against terorism. Dalam konteks politik global perang melawan terorisme tersebut, berlangsunglah pembatasan terhadap pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Hampir setiap negara mengeluarkan regulasi anti-terorisme, dengan pembenaran pembatasan terhadap hak asasi manusia. Bersamaan dengan itu, komitmen negara-negara dalam memajukan pengajaran hak asasi manusia pun menjadi menyurut! Dalam sebuah

artikelnya yang tawar, Aryeh Neir menengarai fenomena ini sebagai akhir dari the age of rights. Kita memasuki musim gugur gerakan hak asasi manusia? 3. Indonesia sungguh tidak beruntung dalam konteks ini. Belum lagi seluruh proyek reformasi digagas dan diterapkan, kita masuk ke dalam perangkap politik global war against terorism tersebut. USA dan Inggris yang pernah menghukum tentara Indonesia, kini mulai melonggarkan prasyarat-prasyaratnya dalam kerja sama dengan tentara Indonesia. Pertanggungjawaban kasus Timor Leste setelah jajak-pendapat sudah tidak lagi menjadi batu sandungan yang serius dalam kerja sama militer, karena AS dan Inggris tidak begitu menyoal penyelesaian kasus tersebut melalui Truth and Friendship Commission (TFC). AS dan Inggris tampak tidak begitu antusia mendukung usaha Sekjen PBB membentuk Commission of Experts (CeO). Sebaliknya proyek-proyek pengajaran hak asasi kepada aparat negara (seperti polisi, tentara, jaksa) mulai pula melemah. 4. Introduksi war against terorism di tengah-tengah berjalannya reformasi politik di Indonesia, telah mengakibatkan kandasnya gagasan-gagasan reformasi penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Gagasan-gagasan reformasi hak asasi manusia yang sebagian besar berasal dari komunitas pembela hak asasi manusia, kini menjadi etalase pemanis Indonesia; bahwa di Indonesia telah berdiri pengadilan hak asasi manusia; bahwa Indonesia telah ratifikasi instrumeninstrumen hak asasi manusia internasional; bahwa Indonesia telah mengakui hak asasi dalam konstitusinya; dan seterusnya. Tetapi semua ini sekedar etalase, sekarang kekuatan represi negara kembali diperkuat! Rantai impunitas masih membelenggu Indonesia. 5. IV. Prospek Pengajaran Hak Asasi Manusia 6. Ditengah konteks politik, ekonomi dan hukum seperti yang digambarkan di atas, maka interest untuk mengadakan dan mendukung pengajaran hak asasi manusia menjadi sangat lemah. Prospek pengajaran hak asasi manusia ditengah konteks tersebut tidak sebaik sebelum terjadinya perubahan politik global.

7. Dalam konteks perang melawan terorisme tersebut, saya kira agenda pengajaran hak asasi manusia ke semua tingkat perlu tetap dilakukan. Sebagai bagian dari masyarakat sipil, kita bersama-sama dengannya menjadikan agenda pengajaran hak asasi manusia sebagai nilai bersama dalam membangun kekuasaan negara. 8. Penguatan organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia dan masyarakat sipilnya lainnya, dan membangun jaringan kekuatan dengan organisasi yang sama di dunia internasional menjadi salah satu jalan menghadapi situasi ini. 9. Dua dekade ini gerakan hak asasi manusia (internasional/nasional) memfokuskan perjuangan mereka pada isu pertanggungjawaban (accountability) atau keadilan (justice), yakni menuntut mereka yang bersalah! Perubahan politik global --yang ditandai dengan menghempasnya gelombang demokratisasi di negara-negara dengan rezim militer dan otoriter/totaliter, dan berakhirnya Perang Dingin-- menjadi pematik api bagi munculnya gerakan menuntut pertanggungjawaban tersebut. Hasil paling spetakuler dari gerakan ini adalah berdirinya International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), International Criminal Court (ICC), dan pengadilan nasional di beberapa negara yang mengadili mantan penguasanya seperti di Argentina dan Yunani. 10. Pertanggungjawaban yang dituntut dalam gelombang gerakan tersebut bukan hanya terhenti pada state accountability, tetapi merambah ke entitas-entitas lain selain negara (non-state actor) seperti, antara lain, International Finance Institution (IFI), Transnational Corporations (TNC), dan kelompok-kelompok perlawanan bersenjata yang terorganisir. Gerakan ini telah menantang hukum hak asasi manusia internasional agar memasukkan entitas selain negara (non-state actor) dalam cakupannya.