II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat Umum Tanah Masam Tanah tanah masam di Indonesia sebagian besar termasuk ke dalam ordo ksisol dan Ultisol. Tanah tanah masam biasa dijumpai di daerah iklim basah. Dalam keadaan tersebut, basa-basa mudah tercuci dari kompleks jerapan tanah, sehingga konsentrasi ion hidrogen lebih banyak dari ion hidroksil yang disebabkan oleh terhidrolisisnya basa-basa atau ion-ion lain yang terikat lemah pada tanah (Soepardi, 1983) sehingga terbentuklah tingkat kemasaman yang cukup tinggi. xisol adalah tanah-tanah yang sudah mengalami pelapukan sangat lanjut, sehingga sifat-sifat kimia tanah buruk atau sangat buruk dan tingkat kesuburannya rendah hingga rendah. Hal ini dicirikan oleh nilai KTK liat yang sangat rendah (<16 me/100 gram liat). Keadaan ini menunjukkan bahwa pembentukkan liat mengarah pada oksida-oksida. Tanah ini menandakan banyak mengandung oksida-oksida, khususnya oksida besi dan aluminium. Fosfor umumnya hara tanaman yang sangat terbatas, terutama karena kecenderungan horison pertukaran yang kaya liat dan oksida memfiksasi sejumlah besar pupuk P dalam bentuk yang tidak tersedia. Sifat penting yang harus dipahami dalam pengelolaan xisol adalah fiksasi fosfor yang relatif tinggi oleh oksida besi dan Aluminium. xisol dicirikan oleh adanya horison oksik yang batasnya atasnya ada pada kedalaman 150 cm dari permukaan tanah mineral dan tidak memiliki horison kambik atau memiliki kadar liat > 40% pada lapisan setebal 18 cm dari permukaan setelah dicampur. (Rachim, 2007). Ultisol adalah tanah-tanah yang mempunyai horison argilik atau kandik dengan kejenuhan basa rendah. Kadar alumunium umumnya tinggi pada great group Paleudult (Rachim, 2007). 2.2 Fosfor dalam Tanah Fosfor (P) merupakan unsur esensial yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang relatif banyak karena unsur ini secara langsung bertanggung jawab
baik dalam proses metabolisme maupun sebagai aktivator berbagai enzim (Soepardi, 1983). leh karena itu, ketersediaan dan jumlahnya di dalam tanah menjadi perhatian utama dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan produksi tanaman. Secara umum, Barber (1984) meringkas bentuk bentuk fosfor dalam tanah ke dalam empat kategori, yaitu : (1) fosfor sebagai ion dan senyawa dalam larutan tanah, (2) fosfor yang dierap pada permukaan komponen komponen inorganik penyusun tanah, (3) mineral fosfor, baik yang kristalin maupun yang amorf, dan (4) fosfor sebagai komponen bahan organik tanah. Sanchez (1976) mengemukakan pada tanah masam terdapat suatu mekanisme fiksasi fosfor, aluminium dapat ditukar bereaksi dengan monokalsium fosfor dan membentuk senyawa yang tidak larut (Al(H) 2 H 2 P 4 ). Pengaruh tidak langsung dari mekanisme ini adalah menurunnya ketersediaan P dalam tanah. Makin tinggi kandungan besi dan oksida aluminium, makin besar daya fiksasi fosfor tanah tersebut. Kebanyakan fase padat fosfor berasosiasi dengan Fe dan Al pada tanah masam. Fosfor yang ditambahkan kepada tanah akan tererap dengan cepat dan kemudian terfiksasi (dapat juga mengendap) dalam bentuk sedikit terlarut. Fiksasi fosfor cukup besar dalam tanah kecuali pada tanah yang bertekstur kasar dan sangat tinggi pada tanah yang kaya akan amorf Fe dan oksida aluminium (Bohn et al., 1979). Pengikatan kuat antara ion Al 3+ terhadap ion H 2 P 4 - dan aluminium oksida tanah masam dari pupuk membentuk senyawa Al-P yang tidak larut. Coleman et al. (1960) menemukan adanya korelasi sangat nyata antara fosfor yang dierap dengan aluminium dapat tukar. Reaksi kimia yang terjadi antara besi dan aluminium dapat larut dengan ion H 2 P 4 - kemungkinan dihasilkan melalui pembentukan hidroksi fosfor : Al 3+ + H 2 P - 4 + 2H 2-2H + + Al(H) 2 H 2 P 4 (larut) (tidak larut) Bila konsentrasi Al dan Fe dalam tanah lebih besar dari pada ion H 2 P 4 -, maka reaksi bergerak ke kanan dan terjadi pembentukan senyawa aluminium fosfor yang tidak larut. Pada keadaan seperti itu, sangat sedikit sekali ion H 2 P 4 - yang segera tersedia bagi tanaman. Secara keseluruhan bentuk-bentuk fosfor yang terdapat dalam tanah digambarkan secara sederhana oleh Widjaja-Adhi dan Sudjadi (1987) dalam bentuk kesetimbangan hara berikut ini :
1 2 3 P-Larutan P-Labil P-Metastabil P-Stabil Reaksi 1 merupakan proses erapan yang berlangsung cepat, sedangkan reaksi 2 dan reaksi 3 merupakan proses fiksasi yang berlangsung lambat. Fosfor metastabil dan fosfor stabil disebut juga fosfor non labil, sebagai lawan dari fosfor labil. Fosfor labil cepat mengadakan keseimbangan reaksi dengan fosfor larutan, sedangkan fosfor non labil mengadakan keseimbangan dengan kecepatan sedang sampai lambat. Fosfor labil adalah fosfor yang tererap. Besarnya erapan fosfor dalam tanah ditentukan antara lain oleh karakteristik tanahnya. Menurut Sanchez (1976), tanah tanah yang mengandung alofan, seperti Andisol merupakan pengerap fosfor tertinggi dengan besar erapan lebih dari 1000 ppm fosfor. Selanjutnya pengerap tertinggi kedua adalah tanahtanah kaolinitik termasuk ksisol dan Ultisol dengan besar erapan antara 500 hingga 1000 ppm fosfor kecuali untuk tanah tanah bertekstur kasar. 2.3 Mekanisme Erapan oleh Komponen-komponen Tanah Menurut Tan (1998), fosfor dalam tanah dierap dengan dua mekanisme utama : ko-adsorpsi dan fiksasi. Ko-adsorpsi umum terjadi pada tanah masam, yaitu fosfor dierap pada permukaan koloid oleh ion ion aluminium, besi, dan mangan yang bertindak sebagai jembatan, sedangkan fiksasi terjadi pada kisaran ph yang lebih luas, yaitu fosfor dierap oleh hidrus oksida besi dan aluminium, mineral silikat, dan hidrus oksida mangan atau liat amorf. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi erapan P di dalam tanah di antaranya adalah : (1) hidrus oksida besi dan aluminium, (2) kadar liat, dan (3) bahan organik (Leiwakabessy et al., 2003). 2.3.1 Hidrus ksida Besi dan Aluminium Reaksi erapan dapat terjadi antara fosfor dan hidrus oksida besi dan aluminium, oksida oksida besi aluminium yang sedikit kristalin dan yang kristalin, juga besi oksida bebas. Semakin tinggi kadar senyawa senyawa tersebut dalam tanah semakin tinggi pula kapasitas erapan fosfornya (Sanchez, 1976). Besi
bebas adalah besi yang dapat diekstrak dengan dithionit sitrat. Meskipun pada tanah-tanah tertentu memiliki kandungan besi bebas relatif tinggi, namun karena kelarutannya rendah maka tidak menyebabkan keracunan bagi tanaman. Hanya saja, bentuk besi bebas tersebut sangat reaktif pada keadaan teroksidasi terhadap ion fosfor, sehingga kelarutan ion fosfor menurun (Al-Jabri, 1987). ksisol dan Ultisol yang masam dan lapuk biasanya mempunyai daya fiksasi fosfor yang tinggi di dalam sistem oksida atau sistem silikat lapis bersalut oksida. Fiksasi fosfor meningkat dengan peningkatan jumlah mineral liatnya (Sanchez, 1976). Senyawa senyawa besi dan aluminium dan koloid koloid kristalin dan amorf yang mempunyai nisbah silikat : seskuioksida rendah menyebabkan terbentuknya senyawa fosfor yang kurang larut setelah fosfor tererap pada permukaanya (Tisdale et al., 1990). Intensitas penambatan menurut susunan mineral adalah sebagai berikut (Sanchez, 1976).: ksida amorf (termasuk alofan) > ksida kristal > Lempung 1:1 > Lempung 2:1 2.3.2 Kadar Liat Pada tanah, semakin tinggi kadar liat maka semakin besar daya fiksasi fosfor. Salah satu unsur yang berada pada liat adalah aluminium (Soepardi, 1983). Semakin tinggi kadar aluminium dan besi pada tanah, maka akan semakin tinggi erapan fosfor yang dapat terjadi (Tan, 1998). 2.3.3 Bahan rganik Bahan organik ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan ketersediaan fosfor bagi tanaman, karena : (1) pembentukan senyawa fosfohumik yang lebih mudah diserap tanaman, (2) reaksi pertukaran dengan ion-ion humat, (3) terbungkusnya partikel Fe 2 3 oleh humus sehingga mengurangi kapasitas fiksasi tanah, dan (4) membentuk senyawa kompleks yang stabil (khelat) dengan besi dan aluminium (Leiwakabessy et al., 2003). Pada umumnya tanah-tanah di daerah tropika mempunyai kandungan bahan organik rendah. Hal ini disebabkan suhu yang tinggi akan mempercepat proses dekomposisi bahan organik (Al-Jabri, 1987). Fungsi bahan organik pada
tanah, antara lain : 1) sebagai tempat penyimpanan unsur - unsur yang diperlukan tanaman, 2) meningkatkan kapasitas tukar kation, 3) penyangga terhadap perubahan cepat yang disebabkan kemasaman, alkalinitas, salinitas, dan logam berat beracun (Sanchez, 1976). Tan (1998) mengemukakan bahwa bahan organik tanah dibedakan menjadi bahan yang terhumifikasi dan tak terhumifikasi. Bahan terhumifikasi inilah yang dikenal sebagai humus atau sekarang disebut sebagai senyawa humat dan dianggap sebagai hasil akhir dekomposisi bahan tanaman di dalam tanah. Asam humat bertanggung jawab atas sejumlah aktivitas kimia dalam tanah. Mereka terlibat dalam reaksi kompleks dan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung, mereka diketahui memperbaiki kesuburan tanah dengan mengubah kondisi fisik, kimia, dan biologi dalam tanah. Secara langsung, asam humat telah dilaporkan merangsang pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap metabolisme dan terhadap sejumlah proses fisiologi lainnya. Kelarutan senyawa senyawa besi dan aluminium dapat diturunkan dengan pembentukan kompleks pengkhelatan besi dan aluminium oleh senyawa humat tanah. Asam humat dan asam fulvat mempunyai afinitas yang tinggi terhadap aluminium, besi, dan kalsium (Tan, 1998). Interaksi dari fosfor dengan asam organik (senyawa humat) merupakan tipe dari suatu proses fiksasi fosfor yang dapat terbentuk sebagai kompleks fosfohumat atau khelat (fosfo-humat khelat) dan fosfo-asam humat ester. Bentuk kompleks fosfohumat dapat terjadi dengan adanya ion logam yang berfungsi sebagai jembatan antara senyawa humat dengan ion fosfor (Al-fosfohumat). Kompleks organofosfor dapat juga terbentuk dari asam organik lainnya seperti asam sitrat. Asam sitrat dilaporkan sebagai pengkhelat yang efektif untuk ion logam (Fe-fosfositrat). Reaksi pembentukan dari fosfo-humat khelat, fosfo-asam humat ester, Al-fosfohumat, dan asam sitratlogam (Fe-fosfositrat) disajikan pada Gambar 1.
(a) R C P (b) R C P H (c) R C Al P (d) C Fe P HC CH 2 C CH 2 CH Gambar 1. Ikatan pada senyawa humat (a) fosfo-asam humat khelat, (b) fosfoasam humat ester, (c) Al-fosfohumat, (d) Fe-fosfositrat. 2.4 Metode Ekstraksi Senyawa Humat Sejumlah metode tersedia untuk ekstraksi dan isolasi senyawa humat. Pemilihan ekstraktan yang cocok didasarkan pada dua pertimbangan : (1) reagen seharusnya tidak memiliki pengaruh merubah sifat fisik dan kimia bahan yang
diekstrak, dan (2) reagen harus secara kuantitatif memisahkan senyawa humat dari tanah. Pengekstrak NaH adalah pengekstrak yang pertama kali diperkenalkan tahun 1919 oleh den dalam suatu prosedur yang diterima secara umum, tampaknya merupakan ekstraktan yang paling efektif dalam pemisahan bahan humat dalam tanah secara kuantitatif (Tan, 1998). Prosedur yang paling umum untuk ekstraksi dan fraksionasi asam humat dengan NaH ditunjukkan dalam Gambar 2 (Tan, 1998). Bahan rganik Tanah Dengan Alkali Bahan Humat Bahan Bukan Humat + Humin (Mengendap) Dengan Asam Asam Fulvat Asam Humat (Tidak Larut) Disesuaikan ph Dengan Alkohol Asan Fulvat Humus β Asam Asam Himatomelanik (Tidak Humat Dengan Garam netral Humat Coklat Humat Kelabu (Tidak Larut) Gambar 2. Diagram alur untuk pemisahan senyawa-senyawa humat ke dalam fraksi-fraksi humat yang berbeda (Tan, 1998). 2.5 Persamaan Langmuir Persamaan Langmuir pada mulanya diturunkan dari erapan gas oleh zat padat. Proses penurunan persamaannya didasarkan atas tiga asumsi. Asumsi
pertama adalah energi jerapan tetap konstan dan tidak tergantung pada penutupan permukaan (permukaan dianggap merupakan suatu permukaan homogen). Asumsi kedua adalah jerapan terjadi pada tapak tapak spesifik tanpa terjadi interaksi di antara molekul molekul absorbat. Dan asumsi ketiga adalah jerapan maksimum yang mungkin tercapai berasal dari suatu lapisan molekul tunggal pada seluruh permukaan reaktif absorban (Bohn et al., 1979). Bentuk umum persamaaan Langmuir dalam bentuk linier adalah sebagai berikut : C/x/m = 1/kb + C/b Di mana C adalah konsentrasi P dalam tingkat kesetimbangan bahan yang tererap (mg/l), x/m adalah jumlah P tererap per bobot tanah (mg/kg), k adalah konstanta energi ikatan (L/mg), dan b jumlah erapan maksimum (mg/kg). Menurut Widjaja-adhi dan Sudjadi (1987), kurva erapan menunjukkan hubungan antara fosfor larutan dan fosfor tererap yang merupakan satu subsistem yang penting dalam menentukan ketersediaan fosfor dalam tanah. Kurva erapan dapat digunakan dalam menduga kebutuhan pupuk untuk meningkatkan fosfor larutan ke suatu tingkat yang dikehendaki. Penggunaan ini didasarkan pada anggapan bahwa masing masing tanaman membutuhkan konsentrasi tertentu dalam larutan tanah untuk mencapai pertumbuhan optimalnya.