PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA OLEH JAKSA BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Daniel Ch. M. Tampoli 2

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

II. TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

ALUR PERADILAN PIDANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

AKIBAT HUKUM SURAT DAKWAAN BATAL DAN SURAT DAKWAAN DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA PIDANA 1 Oleh : Wilhelmus Taliak 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Indeks: ADMINISTRASI. LEMBAGA NEGARA. TINDAK PIDANA. KEJAKSAAN. Warganegara. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713)

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Masing-masing negara mempunyai sistem peradilan pidana yang khas karena

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

Kata kunci: Penuntutan, Kepentingan Hukum. PENGHENTIAN PENUNTUTAN DEMI KEPENTINGAN HUKUM 1 Oleh : Romel Legoh 2

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

HAPUSNYA HAK PENUNTUNAN DALAM HUKUM PIDANA. BERLIN NAINGGOLAN, SH Fakultas Hukum Jurusan Pidana Universitas Sumatera Utara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

Presiden, DPR, dan BPK.

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

ALASAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PEMBERHENTIAN SUATU PERKARA 1 Oleh: Intansangiang Permatasari Malagani 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

Transkripsi:

PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA OLEH JAKSA BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Daniel Ch. M. Tampoli 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tugas dan kewenangan jaksa dalam proses penuntutan dan bagaimana wewenang jaksa dalam penghentian penuntutan pada perkara pidana. Penelitian ini menngunakan metode penelitian yuridis normatif dan disimpulkan: 1. Wewenang Jaksa sebagai penuntut umum yaitu meneliti berkas perkara apakah berkas perkara tersangka dapat dilimpahkan sampai kepada pemeriksaan di sidang pegadilan ataukah tidak, atas dasar alasan yang benar-benar penting menurut hukum, guna kepentingan pemeriksaan atas penuntutan. 2. Alasan penghetian penuntutan seperti yang disebutkan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP,alasan penghetian penuntutan adalah: karena tidak cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, perkara ditutup demi hukum. Namun demikian alasan tersebut bisa digunakan untuk tidak jadi menuntut oleh penuntut umum seperti yang ditentukan dalam pasal 46 ayat (1) huruf b KUHAP. Berarti perkara tersebut belum sampai dilimpahkan ke pengadilan. Jadi apabila berkas perkara dipaksakan untuk dilimpahkan ke sidang pengadilan, sudah barang tentu hakim akan memutuskan perkara tersebut yaitu dalam bentuk putusan bebas(vrijpraak) atau putusan lepas dari segala Tuntutan Hukum(onslag van rechtvervolging). Jadi apabila perkara tersebut diteruskan dikemudian hari dan ternyata terdapat bukti baru, bukti yang sangat beralasan untuk dapat diproses kembali dan dilimpahkan ke sidang pengadilan. Kata kunci: Penghentian penuntutan, Jaksa, Hukum Acara Pidana. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penjelasan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 1 Artikel Skripsi. 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 110711115 disebutkan secara tegas bahwa di lingkungan Kejaksaan, Jaksa Agunglah yang mempunyai hak mengenyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum. Jaksa Agung bisa menganggap bahwa akan lebih banyak kerugiannya apabila menuntut baik untuk masyarakat maupun untuk negara, maka perkara tersebut dikesampingkan. Sebagai pertanggungjawaban Jaksa Agung atas hak oportunitas ini, Jaksa Agung mempertanggungjawabkan pada Presiden berdasarkan Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Apabila ternyata tetap bahwa cara-cara pelaksanaan hak tersebut timbul keraguraguan, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta keterangan dari Pemerintah (Presiden atau Jaksa Agung). Pada akhirnya Presiden harus mempertanggungjawabkan di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti melakukan tindak pidana, perkaranya dideponir atau dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang. 3 Pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Itulah sebabnya, asas oportunitas bersifat diskriminatif dan menggagahi makna equality before the law atau persamaan kedudukan di depan hukum. Sebab kepada orang tertentu, dengan mempergunakan alasan kepentingan umum, hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegakan hukum dikesampingkan. 4 Apabila diteliti lebih lanjut pemberian kewenangan pengenyampingan perkara pidana kepada jaksa sesuai dengan asas hukum acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana salah satu asasnya mengatur tentang peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dengan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Bila diperhatikan satu persatu mengenai asas tersebut maka dengan penyampingan perkara pidana oleh jaksa 3 R. Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hal. 82 4 Andi Hamzah, Op Cit, hal. 153 124

proses peradilannya cukup diselesaikan di Kejaksaan sehingga proses peradilan itu tidak memakan waktu yang lama dan panjang. Peradilan yang sederhana dan biaya ringan otomatis dapat terwujud bila proses penyelesaian peradilan itu diselesaikan dengan cepat. Sifat sederhana itu diperoleh karena prosesnya tidak berbelit-belit. Administrasi perkara ini jumlahnya banyak dan biasanya dibuat dalam beberapa rangkap, tentu saja hal tersebut membutuhkan biaya yang banyak sehingga asas biaya ringan yang ingin dicapai akan sulit sekali terwujud. 5 B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana tugas dan kewenangan jaksa dalam proses penuntutan? 2. Bagaimana wewenang jaksa dalam penghentian penuntutan pada perkara pidana? C. Metode Penulisan Penulisan penyusunan karya ilmiah ini ialah menggunakan metode penelitian norrmatif. Pengumpulan bahan-bahan hukum yang diperlukan ialah melalui studi kepustakaan(library research).bahan-bahan hukum primer,seperti peraturan perundangundangan, jenis penelitian ini dalam kajian ilmu hukum. Oleh karena ruang lingkup penelitian hukum normatif mencakup tentang penelitian positif, ini adalah disiplin ilmu hukum pidana. PEMBAHASAN A. Kewenangan Jaksa Dalam Proses Penuntutan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Di dalam Pasal 1 undang-undang tersebut diberikan pengertian-pengertian pokok, atau tafsir otentik sebagai berikut: 1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini 5 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 37 untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 3. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim sidang pengadilan. 6 Selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (2), (3) dan (4) menyebutkan: (2) Dalam melaksanakan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara serta bertanggung-jawab menurut saluran hierarki; (3) Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah. (4) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, dan serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat serta senantiasa menjaga kehormatan serta martabat profesinya. Ancaman ketentuan yang diatur dalam pasal 8 ayat (4) tersebut diatur dalam ayat (5) nya, yang berbunyi: Jaksa yang diduga melakukan tindak pidana, maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap Jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung. Ketentuan tersebut diperkuat dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1), yang berbunyi: Jaksa Agung bertanggungjawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Menurut Pasal 1 ayat (3) di atas, sebenarnya jaksa di dalam melakukan penuntutan tidak terlalu ketat mengikuti garis komando seperti saat ini, karena jaksa di dalam penuntutan harus didasarkan keyakinan 6 Ibid, hal. 757 125

berdasarkan alat bukti yang sah. Karena jaksa selaku penuntut umum di dalam persidangan yang paling mengetahui situasi perkara serta perkembangannya yang terungkap dalam sidang. Untuk menjalankan kewajibannya, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang di bidang pidana, bidang perdata dan tata usaha negara serta bidang ketertiban dan ketenteraman umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) sebagai berikut: 7 - Di bidang pidana: a. melakukan penuntutan; b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik; - Di bidang perdata dan tata usaha negara: Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. - Di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. pengawasan peredaran barang cetakan; d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; 7 Lihat Penjelasan Pasal 30 ayat (1), (2) dan (3) Undang- Undnag No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. 8 Tugas-tugas kejaksaan yang terakhir ini bersifat preventif dan edukatif. Tugas-tugas kejaksaan yang lain adalah: 1. Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungannya atau dirinya sendiri (Pasal 31). 2. Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undangundang (Pasal 32). Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya (Pasal 34). Di samping mengatur tugas dan wewenang umum kejaksaan, di dalam Undang-undang ini juga diatur khusus tugas dan wewenang Jaksa Agung di dalam Pasal 35, yakni: a. menetapkan dan mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan. b. mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undangundang; c. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, yakni kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas (asas oportunitas); d. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung); e. dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; f. mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Kesatuan Negara Republik 8 Ibid, hal. 764 126

Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 9 B. Wewenang Jaksa Dalam Penghentian Penuntutan Dalam Perkara Pidana Secara garis besar wewenang penuntut umum menurut KUHAP dapat diinventarisir sebagai berikut: 10 a. menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan dari suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana (Pasal 109 ayat (1) KUHAP) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS yang dimaksud oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP mengenai penyidikan dihentikan demi hukum; b. menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b KUHAP. Dalam hal Acara Pemeriksaan Singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12 KUHAP); c. mengadakan prapenuntutan (Pasal 14 huruf b KUHAP) dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat (3), (4) KUHAP dan Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP; d. memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat (2) KUHAP), melakukan penahanan dan penahanan lanjutan (Pasal 20 ayat (2) KUHAP Pasal 21 ayat (2) KUHAP, Pasal 25 KUHAP dari Pasal 29 KUHAP); melakukan penahanan rumah (Pasal 22 ayat (2) KUHAP); penahanan kota (Pasal 22 ayat (3) KUHAP), serta mengalihkan jenis penahanan (Pasal 23 KUHAP); e. atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 131 KUHAP); f. mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan 9 Ibid, hal. 764 10 HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum, UMM, Malang, 2004, hal. 216 karena tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum tetap, atau mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat (1) KUHAP); g. melarang atau mengurangi kebebasan hubungan antara penasihat hukum dengan tersangka sebagai akibat disalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat (4) KUHAP); mengawasi hubungan antara penasihat hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan (Pasal 71 ayat (1) KUHAP) dan dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara dapat mendengar isi pembicaraan tersebut (Pasal 71 ayat (2) KUHAP). Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan penuntut umum ke pengadilan negeri untuk disidangkan (Pasal 74 KUHAP); h. meminta dilakukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memeriksan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal 80 KUHAP). Maksud Pasal 80 ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horisontal. i. Dalam perkara konesitas, karena perkara pidana itu harus dihadiri oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima penyerahan perkara dari oditur militer dab selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat (1) KUHAP); j. Menentukan sikap apakah berkas perkara telah memenuhi syarat atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139 KUHAP). k. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggungjawab selaku penuntut umum (Pasal 14 huruf f KUHAP). l. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan maka dalam waktu secepatnya membuat dakwaan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP) m. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a 127

KUHAP) dikarenakan tidak cukup bukti, bukan merupakan suatu tindak pidana dan perkara ditutup demi hukum. n. Melanjutkan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikannya penuntutan dikarenakan adanya alasan baru (Pasal 140 (2) huruf d KUHAP). o. Menegakkan penggabungan perkara dan pembuatannya dalam satu surat dakwaan (Pasal 141 KUHAP). p. Mengadakan pemecahan penuntutan (splitsing) terhadap satu berkas perkara yang membuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka (Pasal 143 (1) KUHAP. q. Melimpahkan perkara ke pengadilan disertai surat dakwaan (Pasal 143 (1) KUHAP) r. Membuat surat dakwaan (Pasal 143 (1) KUHAP) s. Menyempurnakan atau tidak penuntutan, penuntut umum dan mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai (Pasal 144 KUHAP). Penghentian penuntutan oleh penuntut umum didasarkan pada bunyi Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Dari ketentuan pasal tersebut secara garis besar dibagi: - alasan penghentian penuntutan; - prosedur di dalam melakukan penghentian penuntutan. 11 a. Alasan Penghentian Penuntutan. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, alasan penghentian penuntutan adalah: - karena tidak cukup bukti; - peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana; - perkara ditutup demi hukum. Untuk memperjelas maksud penghentian penuntutan, pertama-tama kita kembali kepada pengertian penuntutan seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 butir 7 KUHAP yang berbunyi: Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- 11 Lihat Penjelasan Pasal 50 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Jadi menurut pengertian tersebut penuntutan terjadi jika suatu perkara telah dilimpahkan ke pengadilan, sehingga batasan telah terjadi penuntutan atau belum adalah adanya pelimpahan suatu perkara ke pengadilan negeri. Secara harfiah arti kata penghentian penuntutan adalah suatu perkara telah dilimpahkan ke pengadilan negeri, kemudian perkara tersebut dihentikan prosesnya dan kemudian dicabut dengan alasan: - tidak terdapat cukup bukti; - peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana. Namun demikian dua alasan tersebut bisa digunakan juga untuk tidak jadi menuntut oleh penuntut umum seperti yang ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf b KUHAP. Berarti perkara tersebut belum sampai dilimpahkan ke pengadilan. Apakah yang dimaksud perkara ditutup demi hukum? Perkara ditutup demi hukum (Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP) mempunyai perumusan lain yang mempunyai maksud yang sama yakni dalam Pasal 14 huruf h KUHAP tentang kewenangan penuntut umum menutup perkara demi kepentingan hukum. Suatu perkara yang ditutup demi hukum atau menutup perkara demi kepentingan hukum dilakukan oleh penuntut umum sebelum melakukan penuntutan. 12 Perbuatan menutup perkara demi hukum ini antara lain dapat dilakukan oleh penuntut umum, apabila mengenai suatu tindak pidana itu ternyata terdapat dasar-dasar yang meniadakan penuntutan atau ternyata terdapat vervolgingsuitsluitingsgronden, karena dengan adanya dasar-dasar seperti itu menjadi tertutup kemungkinannya bagi penuntut umum untuk dapat melakukan suatu penuntutan terhadap seseorang yang oleh penyelidik telah disangka melakukan suatu tindak pidana tertentu. Dalam suatu tindak pidana itu terdapat dasar-dasar yang meniadakan pidana atau tidak, apakah suatu tindak pidana itu telah dilakukan oleh pelakunya berdasarkan sesuatu unsur schuld 12 PAF Lamintang, KUHAP dengan Pembahasan secara yuridis menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1984, hal. 106 128

atau tidak, apakah sesuatu tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak, apakah seorang tersangka itu dapat dipandang sebagai toerekeningsvatbaar atau tidak, dan apakah tindakan seorang pelaku itu dapat dipandang sebagai toerekenbaar atau tidak, maka setelah seorang itu disidik atau dituntut, hanya hakim sajalah yang berwenang untuk memutuskannya. Apa yang telah penulis katakan di atas itu kiranya perlu mendapat perhatian dari para penuntut umum yaitu untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum dan untuk menjamin agar fungsi hakim jangan sampai diambilalih oleh penuntut umum. Dasar-dasar yang meniadakan penuntutan seperti yang dimaksudkan di atas itu, dapat dijumpai antara lain dalam buku I KUHP: 13 a. Bab I, yaitu dalam Pasal-pasal 2-5 dan Pasal- pasal 7-9 KUHP yang mengatur tentang ruang lingkup berlakunya undang-undang pidana di Indonesia. b. Bab V, yaitu dalam Pasal-pasal 61 dan 62 KUHP yang menentukan bahwa penerbit dan pencetak itu tidak dapat dituntut apabila pada benda-benda yang telah dicetak atau diterbitkan itu telah mereka cantumkan nama serta alamat orang yang telah menyuruh mencetak benda-benda tersebut, atau pada kesempatan pertama setelah ditegur kemudian telah memberitahukan nama dan alamat orang tersebut. c. Bab VII, yaitu dalam Pasal 72 KUHP dan selanjutnya yang menentukan bahwa tidak dapat dilakukan suatu penuntutan apabila tidak ada suatu pengaduan. d. Bab VIII, yaitu: 1. dalam Pasal 82 KUHP yang mengatur batalnya hak untuk melakukan penuntutan karena adanya suatu afdoening buiten proces atau adanya suatu penyelesaian tidak melalui proses peradilan, yakni dengan cara membayar jumlah denda 13 Ibid, hal. 108 tertinggi secara sukarela kepada penuntut umum dalam perkara pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda saja; 2. dalam Pasal 76 KUHP yang mengingatkan orang akan berlakunya asas ne bis in idem di dalam hukum acara pidana, yakni dengan menentukan bahwa tidak seorangpun dapat dituntut untuk kedua kalinya karena tindak pidana yang sama, apabila karena tindak pidana tersebut pelakunya telah mendapatkan suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; 3. dalam Pasal 77 KUHP yang menentukan, bahwa hak untuk melakukan penuntutan itu hapus karena meninggalnya terdakwa dan; 4. dalam Pasal 78 KUHP yang menentukan, bahwa hak untuk melakukan penuntutan itu gugur karena kadaluwarsa atau karena lampau waktu. Sedangkan dasar-dasar yang meniadakan penuntutan di luar KUHP diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 yang berbunyi: Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Keempatnya merupakan hak prerogatif (hak utama) presiden sebagai kepala negara. Dari keempat bangunan hukum yang menjadi wewenang presiden tersebut yang meniadakan penuntutan adalah: - amnesti; - abolisi. 14 Keduanya diberikan oleh presiden berkaitan erat dengan tindak pidana politik atau tindak pidana yang beraspek politik. Wewenang tersebut diberikan setelah presiden mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung atas permintaan Menteri Kehakiman. Sedangkan cara pemberian amnesti dan abolisi dengan 14 Lihat Penjelasan Penuntutan Di luar KUHP yang meniadakan penuntutan yang dijabarkan dalam Pasal 14 UUD 1945 129

jalan: 1. diberikan dengan undang-undang; atau 2. berdasarkan undang-undang. Diberikan dengan undang-undang berarti pemberian amnesti dan abolisi tersebut harus melalui persetujuan antara Presiden (pemerintah) dan DPR, dan apabila berdasarkan undang-undang, maka pelaksanaannya tidak perlu dengan persetujuan DPR lagi, tetapi cukup dengan Keppres atau Perpres. Contoh amnesti dan abolisi adalah: - UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 LN RI Nomor 146 Tahun 1954. - Perpres Nomor 13 Tahun 1961 LN RI Nomor 265 Tahun 1961. - Keppres Nomor 449 Tahun 1961 LN RI Nomor 272 Tahun 1961. Perbedaan amnesti dan abolisi adalah: Amnesti: dengan pemberian amnesti maka semua akibat hukum pidana terhadap orangorang yang tersangkut dalam tindak pidana yang dimaksud dihapus sehingga: a. segala tuntutan yang sedang dilakukan diberhentikan; b. terhadap orang-orang yang belum dituntut tidak diadakan penuntutan; c. semua orang yang sudah dijatuhi pidana harus dibebaskan; d. segala keputusan hakim tentang tindak pidana tersebut dianggap tidak berlaku. Namun demikian terhadap orang-orang yang sedang ditahan dalam rangka penyidikan atau sudah menjalani pidana, tidak dapat minta ganti rugi bahkan pemberian amnesti tidak menghapuskan putusan hakim yang merampas barang-barang tertentu. Abolisi: dengan pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap orang-orang yang tersangkut dalam tindak pidana yang dimaksud ditiadakan. b. Prosedur di dalam Melakukan Penghentian Penuntutan. Prosedur penghentian penuntutan diatur dalam Pasal 140 ayat (2) huruf b, c dan d KUHAP dan penghentian penuntutan dituangkan dalam surat ketetapan. Selanjutnya harus ditempuh prosedur sebagai berikut: - isi surat ketetapan tersebut harus diberitahukan kepada tersangka dan bila ditahan harus dibebaskan; - turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim; - apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. 15 Menurut ketentuan TPP-KUHAP lampiran 1, turunan surat ketetapan harus dikirimkan juga kepada saksi pelapor atau korban agar mereka bisa menghindarinya dari kemungkinan diajukannya ke praperadilan. Ketentuan tersebut menurut pendapat penulis kurang tepat mengingat pengajuan praperadilan merupakan hak seseorang asalkan memenuhi ketentuan Pasal 80 KUHAP. Asas oportunitas tercantum di dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Ketentuan tersebut sebenarnya tidak menjelaskan arti asas oportunitas, hanya dikatakan bahwa: Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Apa artinya kepentingan umum dijelaskan dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah sebagai berikut:...dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara, dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan masyarakat. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahaun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu: Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung, setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Hal ini berarti kewenangan 15 Lihat Penjelasan Pasal 140 ayat (2) huruf b,c dan d. KUHAP, mengenai prosedur melakukan penghentian penuntutan 130

mengesampingkan perkara hanya ada pada Jaksa Agung dan bukan pada jaksa di bawah Jaksa Agung (vide Penjelasan Pasal 77 KUHAP). 16 Dengan Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana tersebut diatas, semakin tidak jelas pelaksanaan asas oportunitas tersebut. 17 Dengan adanya frase Setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Hal ini menjadi semakin kabur pengertiannya. Menjadi kabur karena badanbadan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut tidak jelas. Hal ini berarti wewenang oportunitas dibatasi secara remang-remang sehingga tidak ada kepastian hukum dalam penerapannya. Demikianlah sehingga dalam prakteknya menjadi sama dengan penerapan asas legalitas yang menjadi lawan arti asas oportunitas. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Wewenang Jaksa sebagai penuntut umum yaitu meneliti berkas perkara apakah berkas perkara tersangka dapat dilimpahkan sampai kepada pemeriksaan di sidang pegadilan ataukah tidak, atas dasar alasan yang benar-benar penting menurut hukum, guna kepentingan pemeriksaan atas penuntutan. 2. Alasan penghetian penuntutan seperti yang disebutkan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP,alasan penghetian penuntutan adalah: karena tidak cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, perkara ditutup demi hukum. Namun demikian alasan tersebut bisa digunakan untuk tidak jadi menuntut oleh penuntut umum seperti yang ditentukan dalam pasal 46 ayat (1) huruf b KUHAP. Berarti perkara tersebut belum sampai dilimpahkan ke pengadilan. Jadi apabila berkas perkara dipaksakan untuk dilimpahkan ke sidang pengadilan, sudah barang tentu hakim akan memutuskan 16 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 20 17 Lihat Penjelasan Pasal 35 huruf C, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI perkara tersebut yaitu dalam bentuk putusan bebas(vrijpraak) atau putusan lepas dari segala Tuntutan Hukum(onslag van rechtvervolging). Jadi apabila perkara tersebut diteruskan dikemudian hari dan ternyata terdapat bukti baru, bukti yang sangat beralasan untuk dapat diproses kembali dan dilimpahkan ke sidang pengadilan B. Saran 1. Diharapkan agar supaya jaksa dalam melaksanakan tugas sebagai penutut umum sangat selektif dalam hal pelimpahan berkas perkara ke pengadilan. Jaksa penutut umum janganlah mengulur-ulur waktu mungkin karena kepentingan politik ataukah kepentingan lainnya. Supaya segera mungkin menutup perkara demi hukum dan membuat surat ketetapan penghentian penuntutan(skpp). 2. Diharapkan bahwa mengeyampingkan perkara demi hukum haruslah sangat selektif karena bisa muncul kepentingan umum bisa saja menjadi suatu alasan dan bisa menimbulkan permasalahan baru. DAFTAR PUSTAKA Abidin A. Zainal, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983. Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 1996. Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Bandung, 1984. Harahap Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAp Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Kuffal, HMA, Penerapan KUHAP dalam Praktek Hukum, UMM, Malang, 2004 Lamintang PAF, KUHAP dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1984. Mulyadi Lilik, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Prakoso Djoko, Eksistensi Jaksa Ditengah- Tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985. 131

Prodjodikoro R. Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Bandung, 1984. Prodjohamidjojo Martiman, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, 1974. Sembiring Sentosa, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-Undangan Tentang Badan Peradilan dan Penegakan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung, 2006. Simanjuntak Osman, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Gramedia, Jakarta, 1995. Soedjono, D, Pemeriksaaan Pendahuluan Menurut KUHAP, Alumni, Bandung, 1982. Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982. Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, 1985. Soesilo R, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana) Bagi Penegakan Hukum, Politeia, Bogor, 1974. Subekti R, Dasar-Dasar dan Keadilan, Soesoengan, Jakarta, 1955. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1971. Tahir Hadari Djenawi, Pokok-Pokok Pikiran Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, 1981. Tanusubroto, S, Peranan Pra-peradilan dalam Hukum Acara, Alumni, Bandung, 1983. Utrecht, E, Hukum Pidana I, UI Press, Jakarta, 1960. Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981) Kitab Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan RI 132