BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan gangguan asupan darah di otak yang sering disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah atau tersumbat oleh gumpalan. Gangguan asupan darah tersebut mengganggu asupan oksigen dan nutrisi sehingga dapat meyebabkan kerusakan pada jaringan otak (World Health Organization, 2012). Stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak dan akut berlangsung lebih dari 24 jam yang diakibatkan oleh gangguan aliran darah. Stroke bisa diakibatkan oleh adanya trombus dan embolus (Agustina, dkk. 2009). World Health Organization (WHO) (2012), menilai sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. 205 juta jiwa penderita stroke tersebut 5,5 juta telah meninggal dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia. Data dari Yayasan Stroke Indonesia, memperkirakan bahwa setiap tahun terjadi kasus 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5% atau 125.000 orang meninggal dan sisanya menderita cacat ringan ataupun berat dan stroke merupakan penyakit nomor 3 yang mematikan setelah penyakit jantung dan kanker (Yayasan stroke indonesia, dalam Freshlifegreen, 2011). Data penderita stroke di Amerika setiap tahun terjadi lebih dari 795.000 orang stroke. Akibatnya, banyak penderita stroke yang mengalami kelumpuhan dan masalah keseimbangan. Statistik menunjukkan bahwa 40% dari semua penderita stroke (795.000 orang) mengalami jatuh yang serius dalam periode satu tahun setelah paska stroke (American Stroke Association s, 2011). Kerse (2008), menyatakan bahwa 37% dari 1.104 penderita stroke melaporkan setidaknya 1 kali jatuh selama 6 bulan 1
2 pertama setelah stroke, dari 407 yang jatuh, 37% mengalami cedera yang membutuhkan perawatan medis, dan 8% menderita patah tulang. 407 penderita stroke yang jatuh, 50% jatuh hanya sekali, tetapi 12% jatuh lebih dari lima kali (The hospital, a New Zealand study shows, 2008). Tingginya angka kejadian jatuh pada umumnya dilaporkan setelah keluar dari rumah sakit atau rehabilitasi paska stroke dengan cacat sisa. Kejadian jatuh lebih sering terjadi pada awal setelah keluar dari rumah sakit atau rehabilitasi dengan tingkat insiden 8 minggu pertama mencapai 8,7 juta orang tiap tahunnya (Tsur & Segal, 2010; Geurts, et al., 2008; Stepleton, 2001). Individual dengan stroke tidak hanya hadir dalam fase akut, tetapi masih menjadi masalah kesehatan yang cukup tinggi sepanjang rentang kehidupan pasca stroke karena kejadian dan prevalensi peningkatan stroke akibat penuaan penduduk dan prevalensi juga meningkat sebagai hasil dari perbaikan yang berkesinambungan kehidupan pasca stroke (Geurts, et al. 2008). Pasien dengan stroke berada pada risiko tinggi untuk jatuh. Penilaian kejadian jatuh dan faktor risiko jatuh pada pasien rawat inap beresiko tinggi akibat stroke akut (Tutuarima, et al. 1997). Stroke paling banyak menyebabkan orang cacat pada kelompok usia diatas 45 tahun. Banyak penderita yang menjadi cacat, menjadi invalid, tidak mampu lagi mencari nafkah seperti sediakala, menjadi tergantung kepada orang lain dan tidak jarang menjadi beban bagi keluarganya. Beban ini berupa beban tenaga, beban perasaan dan beban ekonomi (Tutuarima et al. 1997; Lumbantobing, dalam Komariah, 2008). 700.000 1 juta pasien rawat inap mengalami kejadian jatuh pada lantai dengan atau tanpa cedera pada rumah sakit di amerika serikat setiap tahunnya karena disebabkan oleh faktor pasien termasuk kelemahan otot, kondisi kronis dan penggunaan tongkat atau walker, kemudian faktor lingkungan seperti tempat tidur tidak diposisikan pada ketinggian optimal kemudian faktor proses dari keperawatan seperti perawat tidak menanggapi
3 segera paggilan bel pasien (Butcher, 2013). Penelitian epidemiologi menunjukan bahwa orang yang selamat dari stroke beresiko tinggi untuk jatuh dalam semua tahap paska stroke. Stroke memiliki konsekuensi berat terhadap gangguan fisik, kognitif dan psikologis (Geurts, et al. 2008). Jatuh lebih sering terjadi pada awal setelah keluar dari rumah sakit atau klinik rehabilitas dengan tingkat insiden 8 minggu pertama cukup tinggi. Ini menunjukan bahwa selama rehabilitas rawat inap orang mungkin tidak optimal siap untuk tantangan yang mereka hadapi dalam lingkungan hidup mereka. Pengamatan dilakukan bahwa sebagian besar jatuh terjadi pada siang hari dan di kamar pasien, toilet, atau kamar mandi. Tempat yang paling sering pasien mengalami jatuh yaitu, tempat tidur pasien, kamar mandi/toilet, koridor, unit fisioterapi dan ruang makan (Verheyden, et al. 2013; Tsur & Segal, 2010). Faktor-faktor yang menyebkan pasien jatuh yaitu ketika transfer merupakan kejadian yang paling umum. Kemampuan transfer yang tampaknya menjadi faktor resiko jatuh pada pasien jelas terlihat pada pasien rawat inap. Jatuh sering menyangkut pasien dengan defisit kognitif karena itu jatuh sulit untuk dicegah ketika pasien tidak dapat diarahkan dengan baik, hanya tatacara (protokol) individual yang ketat pada pengawasan dan bantuan (misalnya untuk transfer) mungkin menjadi berhasil dengan tanpa membatasi sebagian besar mobilitas pasien (Geurts, et al. 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Agustina, Priambodo & Soementri (2009), menyimpulkan bahwa program Discharge Planning yang diberikan oleh pihak rumah sakit merupakan suatu kebutuhan yang mutlak untuk dipenuhi pada klien paska stroke. Pasien stroke ketika terjatuh cenderung jatuh mengenai pinggul mereka karena tidak mampu menahan jatuh dengan pergelangan tangan mereka, sedangkan pasien yang bukan stroke akan mampu dengan spontan menahan dengan pergelangan
4 tangannya (Geurts, et al. 2008; Tutuarim, et al. 1997). Individu dengan stroke memiliki peningkatan risiko patah tulang pinggul dan setelah mengalami patah tulang, mereka jarang mendapatkan kembali mobilitas independen. Selain itu, takut jatuh merupakan konsekuensi umum dari jatuh yang dapat menyebabkan penurunan aktivitas fisik, depresi sosial dan akhirnya kehilangan kemandirian (Verheyden, 2013; Czernuszenka & Czionkowska, 2009; Geurts, et al. 2008). Upaya-upaya dalam mengurangi kejadian pasien jatuh di rumah sakit dibutuhkan langkah-langkah intervensi pencegahan jatuh (fall prevention) seperti, membiasakan pasien dengan lingkungan sekitarnya dan staf yang ditugaskan sampai dengan mendidik dan memfasilitasi pasien dan keluarga dengan informasi pencegahan jatuh, (Lye, et al. dalam Sunjoto 2013; Geurts, et al. 2008; Morse, dalam Ganesses, 2007). Upaya mengurangi kejadian pasien jatuh banyak rumah sakit telah melakukan pencegahan jatuh seperti, pendidikan pada pasien, pemberian tanda beresiko pada bed pasien dan pelatihan pada para staf merupakan intervensi yang paling efektif untuk mengurangi kejadian pasien jatuh. Dalam proses implementasi intervensi, dibutuhkan struktur organisasi yang baik, infrastruktur keamanan yang baik, budaya keselamatan pasien serta kerja tim dan leadership (Lye, et al. dalam Sunjoto, 2013). Keberhasilan program pencegahan jatuh pada pasien stroke/paska stroke dapat diterapkan pada unit perawatan, perhatian yang konsisten terhadap bahaya lingkungan pada semua pasien, keperawatan dan intervensi medis sejalan dengan mengurangi faktor risiko jatuh pada setiap pasien stroke, terus-menerus belajar tentang kejadian jatuh dengan spesifik serta bersumber dari data jatuh yang benar (Good Fall Data), komunikasi yang efektif pada pasien resiko jatuh kemudian kerja
5 sama antara tim keperawatan dan seluruh unit tenaga kesehatan dengan tanpa membedakan dimana pasien dirawat di rumah sakit (Hendrich, 2006). Pelaksanaan program intervensi pencegahan jatuh (fall prevention) pada pasien diharapkan pasien dan keluarga dapat mengaplikasikan kebiasaan perilaku pencegahan jatuh (Fall Prevention Behavior) baik di rumah sakit atau sebagai bekal ketika pasien kembali ke rumah, seperti: Mengetahui hambatan untuk mencegah jatuh sampai dengan menggunakan prosedur pemindahan (tranfer) dengan aman (Bulechek, el al. 2013). Program yang komprehensif menggabungkan risiko lingkungan dengan key strategies untuk benar-benar mengurangi risiko jatuh dan penilaian jatuh pada pasien post stroke. Ada manfaat keselamatan langsung dari penargetan faktor risiko pada setiap pasien dengan resiko jatuh dapat dikurangi atau dihilangkan. Lebih dari 50% dari semua jatuh terjadi ketika pasien mencoba untuk ke toilet, kembali dari toilet, dan ketika mencoba untuk keluar dari tempat tidur untuk ke toilet. Ini adalah fenomena universal, hal tersebut merupakan salah satu yang paling sering diabaikan (Hendrich, 2006). Hasil studi pendahuluan di Rumah sakit Wava Husada Kepanjen pada ruang rawat inap stroke tanggal 15-27 November 2013, dari data satu tahun terakhir penderita stroke berjumlah 471 orang dimana penderita stroke hemoragik sebesar 147 orang (31,21%) sedangkan pada penderita stroke iskemik (non hemoragik) sebesar 324 orang (64,71%). Hasil wawancara yang dilakukan pada pasien stroke di ruang rawat inap stroke pasien rata-rata mengatakan dengan onset stroke pertama kali. Hasil wawancara pada perawat ruang stroke, mengatakan pernah ada kejadian pasien stroke terjatuh. Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang pencegahan pasien dengan resiko jatuh di RS. Wava Husada belum cukup memadai karena hanya terdapat SOP tentang menjaga keselamatan pasien di tempat tidur. Sehingga para perawat tidak
6 melakukan tindakan-tindakan pencegahan jatuh yang semestunya pada pasien resiko jatuh khususnya kepada pasien stroke sebagai bagian dari rutinitas tindakan keperawatan, seperti education pada pasien atau keluarga tentang pencegahan jatuh dan membantu pasien toileting dengan sering dan menjadwalkan untuk toileting sewaktuwaktu. Berdasarkan gambaran masalah di atas peneliti ingin meneliti tentang Pengaruh Pemberian Pelatihan Pencegahan Jatuh (Fall Prevention) Terhadap Perubahan Perilaku Pencegahan Jatuh (Fall Prevention Behavior) pada Pasien Post Stroke di Rumah Sakit Wava Husada Kepanjen. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan bagaimana Pengaruh Pemberian Pelatihan Pencegahan Jatuh (Fall Prevention) Terhadap Perubahan perilaku Pencegahan Jatuh pada Pasien Post Stroke di Rumah Sakit Wava Husada Kepanjen. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui Pengaruh Pemberian Pelatihan Pencegahan Jatuh (Fall Prevention) Terhadap Perubahan Perilaku Pencegahan Jatuh pada Pasien Post Stroke. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan gambaran perubahan Perilaku pencegahan jatuh sebelum dilakukan pelatihan pencegahan jatuh pada pasien post stroke di rumah sakit Wava Husada Kepanjen.
7 b. Mendeskripsikan gambaran perubahan perilaku pencegahan jatuh setelah dilakukan pelatihan pencegahan jatuh pada pasien post stroke di rumah sakit Wava Husada Kepanjen. c. Menganalisi hubungan pelatihan pencegahan jatuh terhadap perubahan perilaku pencegahan jatuh pada pasien post stroke di rumah sakit Wava Husada Kepanjen. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Ilmu Keperawatan Mengingat klien dengan stroke beresiko tinggi terhadap kejadian jatuh, sehingga memerlukan perhatian yang cukup, hendaknya perawat bisa memberikan edukasi atau latihan menciptakan keamanan lingkungan dan transfer dengan baik, sehingga pasien dan keluarga bisa mengaplikasikannya, baik di tempat pelayanan kesehatan maupun di rumah untuk mencegah kejadian jatuh pada klien. 1.4.2 Bagi Institusi Lain Penulis berharap agar hasil penelitian ini berguna untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada klien dengan immobilitas fisik khususnya klien dengan stroke. 1.4.3 Bagi Penulis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi wawasan baru bagi penulis yang berguna sebagai bekal ketika terjun pada dunia kerja yang sesungguhnya dan meningkatkan mutu asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien immobilitas fisik khususnya stroke.
8 1.5 Definisi Istilah a. Pencegahan jatuh (Fall Prevention) adalah mengadakan tindakan pencegahan khusus pada pasien beresiko cedera karena jatuh (Bulechek, el al. 2013). b. Perilaku pencegahan jatuh (Fall Prevention Behavior) adalah individu atau keluarga perduli terhadap tindakan meminimalisir factor resiko yang mengkin memicu jatuh dalam lingkungan pribadi (Moorhead, et al. 2013). 1.6 Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nathan (2013), yang berjudul Persepsi pasien dengan stroke iskemik terhadap tindakan pencegahan resiko jatuh yang dilakukan perawat di ruang rawat inap dewasa rumah sakit advent bandung. Variabel terikat (dependent) yang digunakan pada penelitian tersebut adalah persepsi pasien dengan stroke iskemik. Sedangkan variabel bebas (independent) yang digunakan pada penelitian tersebut adalah tindakan pencegahan resiko jatuh yang dilakukan perawat. Kesimpulan penelitian tersebut adalah berdasarkan persepsi pasien, para perawat di ruang rawat inap dewasa rumah sakit advent bandung telah melakukan tindakan pencegahan resiko jatuh kepada pasien dengan stroke iskemik dalam kategori tinggi atau sering dilakukan. Perbedaan antara variabel penelitian Nathan (2013), dengan penelitian yang saya lakukan adalah variabel, tempat dan waktu penelitian. Variabel bebas (independent) yang saya gunakan dalam penelitian ini adalah pengaruh pemberian pelatihan pencegahan jatuh (fall prevention) pada pasien post stroke, sedangkan variabel terikat (dependent) yang saya gunakan dalam penelitian ini adalah perubahan perilaku pencegahan jatuh pada pasien post stroke. Tempat yang saya gunakan dalam penelitian ini adalah RS Wava Husada Kepanjen. Kesamaan antara penelitian Nathan (2013), dengan penelitian ini adalah variabel pencegahan jatuh pada pasien stroke.
9 Menurut penelitian Imam (2014), berjudul Hubungan antara pelaksanaan tugas kesehatan keluarga dengan kualitas hidup penderita stroke di poliklinik saraf RSUD Ajibarang. Variabel bebas (independent) yang digunakan pada penelitian tersebut adalah Hubungan pelaksanaan tugas kesehatan keluarga. Sedangkan variabel terikat (dependent) yang digunakan pada penelitian tersebut adalah kualitas hidup penderita stroke. Kesimpulan penelitian tersebut yaitu bahwa faktor penting yang mempengaruhi aspek kehidupan seseorang dan bersikap serta pikiran individu adalah dari dalam dirinya dan bagaimana individu menyikapinya dan karena kualitas hidup bisa dipengaruhi oleh suatu budaya maka dalam pemberian tugas kesehatan kepada anggota keluarga pun mempunyai standar masing-masing, apabila menurut penderita stroke tugas kesehatan keluarga yang diberikan oleh pemberi perawatan dirasa cukup maka kualitas hidup penderita stroke pun akan baik pula. Perbedaan antara variabel penelitian Imam (2014), dengan penelitian yang saya lakukan adalah variabel, tempat dan waktu penelitian. Variabel terikat (dependent) yang saya gunakan dalam penelitian ini adalah pengaruh pelatihan pencegahan jatuh (fall prevention) pada pasien post stroke, sedangkan variabel bebas (independent) yang saya gunakan dalam penelitian ini adalah pengaruh pemberian pelatihan perilaku pencegahan jatuh pada pasien post stroke. Tempat yang saya gunakan dalam penelitian ini adalah RS Wava Husada Kepanjen. Kesamaan variabel antara penelitian Imam (2014), dengan penelitian ini adalah kualitas hidup penderita stroke.