Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI PRAPERADILAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. yang diterapkan dapat sesuai dengan hukum positif dan nilai keadilan.

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. disebut UUD 1945). Sesuai dengan pendapat Julius Stahl, negara hukum

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

I. PENDAHULUAN. Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1989), hal.1. Presindo, 1986), hal.1. Universitas Indonesia. Lembaga hakim..., Ervan Saropie, FHUI, 2009

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

PERTIMBANGAN HAKIM PRAPERADILAN PADA PUTUSAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL ARTIKEL

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

II. TINJAUAN PUSTAKA. tengah-tengah penegak hukum. Menurut Pasal 1 butir (10) KUHAP menyatakan:

LATAR BELAKANG MASALAH

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya, maka

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tumpuan harapan unuk mencari keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

Hukum Acara Pidana. Pertemuan XXVIII & XXIX Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1

BAB 4 PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN UPAYA PAKSA MENURUT KONSEP PRAPERADILAN DI DALAM KUHAP DAN KONSEP HAKIM KOMISARIS MENURUT RUU KUHAP

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

JURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION MATTER ABOUT DEMAND FOR REHABILITATION TO ILLEGAL ARREST AND RESTRAINT (Verdict Number : 01/Pid.PRA/2002/PN.

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. ada yang belum diatur pada suatu peraturan-peraturan atau pun pada Undang-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

Analisis Yuridis Kedudukan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Sebagai Upaya Pembaharuan Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty

Implikasi Hukum Terhadap Di Kabulkannya Permohonan Praperadilan Budi Gunawan

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG PRAPERADILAN DALAM PROSES HUKUM PERKARA PIDANA

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

Transkripsi:

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan Objek Praperadilan 1 Auliandi Nursetia Perdana, 2 Dini Dewi H. 1,2 Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116 e-mail: 1 auliandinursetia@yahoo.com Abstrak. Salah satu lembaga hukum baru yang diciptakan dalam KUHAP adalah lembaga Praperadilan. Wewenang dan fungsi Praperadilan adalah tugas tambahan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus: sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan; sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Hakim Praperadilan Sarpin Rizaldi dalam Putusan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel menetapkan penetapan tersangka Komjen (Pol) Budi Gunawan tidak sah. Dapat disimpulkan bahwa putusan hakim Praperadilan Budi Gunawan adalah tepat karena walaupun tidak dicantumkan sesuai dengan Pasal 77 KUHAP. Mahkamah konstitusi telah mengeluarkan putusan No.21/PUU-VIII/2014 yang dimana berisi tentang perluasan dari objek praperadilan yang memasukan penetapan status tersangka kedalam wewenang praperadilan. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah : Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 KUHAP JO Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 Tentang Perluasan Objek Praperadilan. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif karena mengkaji putusan Praperadilan Budi Gunawan dengan nomor perkara 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel syang meliputi pendekatan kasus, perundang-undangan dan konseptual. Prosedur pengumpulan serta pengolahan bahan hukum dalam penulisan skripsi ini adalah dengan mengumpulkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang kemudian dilakukan analisa dan inventarisasi baik itu terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder tersebut. Putusan hakim Sarpin dalam Praperadilan yang menetapkan pembatalan status tersangka Budi Gunawan pada perkara nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. adalah tepat, mengingat proses penetapan Budi Gunawan menjadi tersangka telah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang perluasan objek praperadilan. Kata Kunci : Yuridis, Status Tersangka, Putusan Mahkamah Konstitusi, Objek Praperadilan A. Pendahuluan Penegakan hukum di negara Indonesia merupakan hal yang terpenting demi terciptanya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Sebagai negara demokrasi dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, sumpremasi hukum merupakan hal yang paling utama. Pembagian hukum menurut isinya maka dikenal adanya ketentuan hukum publik (public law) dan hukum privat (private law). Menurut pandangan para doktrina, disebutkan bahwa hukum publik merupakan ketentuan hukum yang mengatur kepentingan umum (algemene belangen) sehingga sifatnya apriori telah memaksa, sedangkan ketentuan hukum privat prinsipnya mengatur kepentingan perorangan (bijzondere belangen) dan sifatnya apriori tidak memaksa Dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP, dinyatakan bahwa: Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: 1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; 371

372 Auliandi Nursetia Perdana, et al. 3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Dalam Pasal 77 KUHAP menerangkan bahwa penetapan tersangka dan dimulainya penyidikan bukanlah objek pemeriksaan Praperadilan. Keberlakuan Pasal 77 KUHAP telah dilakukan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, yang mengabulkan sebagian pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh terpidana kasus korupsi bioremediasi fiktif PT. Chevron Pasific Indonesia Bachtiar Abdul Fatah. B. Landasan Teori Praperadilan Ditinjau Dari KUHAP Kebebasan dan kemerdekaan adalah suatu hak istimewa dan harus dipertahankan oleh setiap warga negara. Jaminan akan hak-hak ini tidaklah dapat hanya diberikan dengan kata-kata atau janji-janji saja namun haruslah dituangkan ke dalam suatu bentuk, apakah itu amandemen, undang-undang, resolusi, maupun dalam peraturan-peraturan. Lahirnya KUHAP didasarkan pada dua alasan, yaitu alasan untuk menciptakan suatu ketentuan yang dapat mendukung terselenggaranya suatu peradilan pidana yang adil (fair trial) dan alasan adanya urgensi untuk menggantikan produk hukum acara yang bersifat kolonialistik sebagaimana yang tercantum dalam Herziene Inlandsch Reglement atau HIR. Pedoman pelaksanaan KUHAP menjelaskan bahwa HIR sebagai produk dari badan legislatif kolonial belum memberikan jaminan dan perlindungan yang cukup terhadap hak asasi manusia. Dengan pertimbangan tersebut maka KUHAP sebagai produk hukum nasional telah merumuskan ketentuan yang lebih baik dari HIR. 1 Ketentuan ketentuan itu seperti dicantumkannya pengaturan tentang hak-hak tersangka dan terdakwa, adanya bantuan hukum pada semua tingkatan pemeriksaan, persyaratan dan pembatasan terhadap upaya paksa penangkapan atau penahanan, pengajuan jenis-jenis upaya hukum yang lebih lengkap sampai dengan tingkat yang paling akhir serta adanya bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan putusan merupakan hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam HIR. 2 Disamping pemikiran-pemikiran ingin melakukan pembaharuan mengenai hakhak asasi manusia, maka keinginan-keinginan untuk melakukan koreksi terhadap pelaksanaan hukum juga mendapat perhatian tersendiri, terutama di bidang proses pidana, bahwa penegakkan dan pelaksanaan hukum harus memenuhi kebutuhan masyarakat dan perasaan keadilan. Dalam rangka melaksanakan pembaharuan terhadap bidang hukum acara pidana, kemudian berkembang pemikiran bahwa tindakan koreksi terhadap penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan lain lain dalam bentuk penertiban yang melakukan penyelewengan, penyalahgunaan wewenang serta perbuatan-perbuatan lain harus dilakukan secara maksimal, agar penegakkan hukum berlangsung dengan tepat dan oleh karenanya diarahkan ke dalam bentuk pengawasan vertikal yaitu bulit in control dan pengawasan horisontal. Pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia lebih banyak terjadi karena penggunaan kekuasaan yang sewenang- 1 Departemen Kehakiman, Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana, Kepmen Kehakiman No. M.01.07.03 TH. 1982, seperti yang dituliskan oleh Adnan Buyung Nasution dalam tulisannya mengenai Praperadilan vs. Hakim Komisaris pada newsletter Komisi Hukum Nasional. 2 Ibid Volume 2, No.1, Tahun 2016

Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka 373 wenang dalam hal ini antara lain muncul dalam bentuk penahananpenahanan yang tidak tepat atau illegal arrest. 3 Disadari bahwa diperlukan tindakan-tindakan tertentu dimana suatu tindakan akan melanggar hak asasi seseorang, yakni tindakan upaya paksa yang diperlukan bagi suatu penyidikan sehingga dapat menghadapkan seseorang ke depan pengadilan karena didakwa telah melakukan tindak pidana, akan tetapi bagaimanapun juga upaya paksa yang dilaksanakan tersebut akan menuruti aturan yang telah ditentukan dalam undang-undang sehingga bagi seorang yang disangka atau didakwa telah melakukan suatu tindak pidana, mengetahui dengan jelas hak-hak mereka dan sejauh mana wewenang dari para petugas penegak hukum yang akan melaksanakan upaya paksa tersebut, dimana tindakan tersebut akan mengurangi hak asasinya. 4 Di Indonesia sendiri, Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di negara ini telah menjamin adanya pengakuan dan perlindungan atas hak asasi manusia. Salah satu realisasi adanya jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia tercermin pada beberapa pasal seperti yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 1) Pasal 7 Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan undang-undang. 5 2) Pasal 8 Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adany putusan pengadilan, yang dinyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. 6 3) Pasal 9 a) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. b) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana. c) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang. 7 Asas-asas hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersirat juga dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981. Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan pemeriksaan cara pidana, oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan tindakantindakan berupa upaya paksa yang pada prinsipnya merupakan penguranganpengurangan hak asasi manusia. Upaya paksa tersebut harus mentaati ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan sehingga seseorang yang disangka atau didakwa telah melakukan tindak pidana mengetahui 3 M. Yahya Harahap (a), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 68. 4 Ibid, hal. 82 5 Indonesia (d), Undang-undang Tentang Kekuasaan kehakiman, UU No. 4 Tahun 2004, LN. No. 8 Tahun 2004, TLN. No. 4358, Pasal 7. 6 Ibid, Pasal 8 7 Ibid, Pasal 9 Ilmu Hukum, Gelombang 1, Tahun Akademik 2015-2016

374 Auliandi Nursetia Perdana, et al. dengan jelas hak- hak mereka dan sejauh mana wewenang dari para petugas penegak hukum yang akan melaksanakan upaya paksa tersebut. Seorang aparat dalam menjalankan kewajibannya sebagai penegak hukum tidak terlepas dari kemungkinan untuk berbuat tidak sesuai dengan ketentuan undangundang yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pemeriksaan demi terciptanya keadilan dan ketertiban masyarakat justru mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka, atau pihak ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu, untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan agar aparatur negara menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka KUHAP mengatur suatu lembaga yang dinamakan praperadilan. Lembaga praperadilan terinspirasi oleh prinsip-prinsip dalam habeas corpus. Hal ini diterangkan oleh Adnan Buyung Nasution selaku penggagas awal dari praperadilan. Munculnya lembaga praperadilan didalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terinspirasi oleh prinsip-prinsip dalam habeas corpus dari sistem Anglo Saxon yang memberikan hak sekaligus jaminan fundamental kepada seorang tersangka untuk melakukan tuntutan ataupun gugatan terhadap pejabat (polisi atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan bahwa penahanan itu benarbenar sah dan tidak melanggar hak asasi manusia. Lahirnya lembaga praperadilan ini dikarenakan adanya dorongan bahwa tidak terdapatnya pengawasan dan penilaian upaya paksa yang menjamin hak asasi manusia didalam HIR, yang dibentuk dengan berorientasi atas kekuasaan pada zaman penjajahan kolonial Belanda. Praperadilan, pada prinsipnya, bertujuan untuk melakukan pengawasan horizontal atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana agar benarbenar tindakan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan hukum dan perundangundangan, disamping adanya pengawasan intern dalam perangkat aparat itu sendiri. Hadirnya praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri, tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama ini. 8 C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Sesuai dengan undang-undang kekuasaan kehakiman yang menjelaskan bahwa: 1. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman melarang Hakim untuk menolak suatu perkara dengan alasan bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya, sebagaimana ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, yang redaksi lengkapnya berbunyi: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 2. bahwa larangan menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara itu dibarengi dengan kewajiban bagi Hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, 8 M. Yahya Harahap (b), Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal. 1 Volume 2, No.1, Tahun 2016

Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka 375 sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, yang redaksi lengkapnya berbunyi : Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Mengacu kepada paparan diatas, penulis menyimpulkan bahwa putusan yang diambil oleh hakim praperadilan terhadap kasus BG dalam menetapkan status tersangka sebagai objek dari praperadilan sudah tepat. Akan tetapi apabila suatu saat nanti KPK dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan menemukan Novum (bukti baru) maka mereka dapat mengajukan kembali kasus tersebut walaupun saat ini sudah ada putusan yang memenangkan pihak dari BG. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 memiliki konsekuensi yuridis terhadap perluasan objek praperadilan dalam hal penetapan status tersangka yang dimana bersifat Final and Binding yaitu memiliki kekuatan hukum final dan mengikat. Artinya siapapun harus menghormati putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah konstitusi terhadap perluasan objek praperadilan ditambah putusan Nomor: 21/PUU-XII/2014 juga memperluas KUHAP dan berlaku umum. Selain itu, konsekuensi yuridis dari putusan Mahkamah konstitusi bagi para aparat penyidik adalah sebagai media control agar para penyidik lebih berhati-hati dan tidak sewenang-wenang dalam mengambil tindakan seperti: 1. Menetapkan status seseorang menjadi tersangka. 2. Melakukan penggeledahan 3. Melakukan penahanan Berdasarkan uraian diatas, maka daptlah dipahami bahwa pertimbangan hakim pada putusan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 yang memasukan penetapan status tersangka sebagai objek praperadilan adalah adil. Dikatakan adil karena seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka haruslah didasarkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Yang dimana sesuai dengan putusan MK dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka ialah minimal dengan 2 alat bukti yang cukup. D. Kesimpulan 1. Hakim dalam pertimbangan, penggunaan aturan, dan pengambilan keputusan dalam menjatuhkan vonis cukup adil, dikarenakan dasar pertimbangan vonis yang diberikan sudah sesuai dengan aturan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Pertimbangan lain hakim juga menggunakan pendapat ahli hukum dalam melakukan penafsiran, sehingga masuknya penetapan status tersangka kedalam objek praperadilan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi No: 21/PUU-XII/2014 sudah tepat dan apabila ditemukan alat bukti baru maka kasus tersebut dapat diajukan lagi ke pengadilan. 2. Konsekuensi Yuridis dari putusan Mahkamah Konstitusi No: 21/PUU-XII/2014 terhadap pengajuan praperadilan dalam penetapan status tersangka ialah Final and Binding, yang dimana memperluas KUHAP dan sifatnya berlaku umum. Sehingga menjadi acuan bagi para orang yang tersandung kasus serupa. Ilmu Hukum, Gelombang 1, Tahun Akademik 2015-2016

376 Auliandi Nursetia Perdana, et al. Daftar Pustaka Buku M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2003 Undang-Undang Departemen Kehakiman, Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Kepmen Kehakiman No. M.01.07.03 TH. 1982 Undang-undang Tentang Kekuasaan kehakiman, UU No. 4 Tahun 2004, LN. No. 8 Tahun 2004, TLN. No. 4358. Volume 2, No.1, Tahun 2016