Implikasi Hukum Terhadap Di Kabulkannya Permohonan Praperadilan Budi Gunawan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Implikasi Hukum Terhadap Di Kabulkannya Permohonan Praperadilan Budi Gunawan"

Transkripsi

1 Implikasi Hukum Terhadap Di Kabulkannya Permohonan Praperadilan Budi Gunawan Oleh : Kristo Tan 1 Selfianus Laritmas, SH.MH 2 selfianuslaritmas@yahoo.com Abstrak Putusan Pengadilan terhadap Kasus praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan atas penetapan tersangka yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menimbulkan Kontroversi karena telah dikabulkan sebagian Permohonan oleh Hakim Sarpin Rizaldi. Salah satu amarnya, Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan lebih lanjut yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka oleh Termohon. Pertimbangan hukum Praperadilan yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang memeriksa dan mengadili permohonan a quo, dan kedua, bahwa pemohon (Komjen. Pol. Budi Gunawan) bukan merupakan subjek hukum pelaku. Sesuai Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bukanlah merupakan objek praperadilan. karena kewenangan Praperadilan adalah berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dan Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan sehingga praperadilan yang diajukan tentang Penetapan tersangka tidak masuk dalam objek praperadilan dan Putusan Praperadilan dilakukan hanya berdasarkan tafsiran hakim. Praperadilan dalam Sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak sama seperti sistem hukum Anglo-Saxon yang menganut aliran freie rechtslehre, yang memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum (judge made law). Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB AB masih berlaku sepanjang belum dicabut secara tegas oleh Undang- Undang berdasarkan Aturan Peralihan UUD ), yang menyatakan: Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang. Hal ini berarti, bahwa dalam hukum yang berlaku di Indonesia, hakim dilarang menafsirkan lebih dari yang seharusnya jika sudah jelas pengaturannya. Namun bukan berarti hakim menjadi tidak bebas dalam menjalankan kewenangannya. Hakim diperkenankan untuk menafsirkan lebih luas suatu peraturan di kala peraturan tersebut tidak jelas maksudnya atau hakim diperkenankan untuk membuat suatu kaidah hukum di saat terjadi kekosongan hukum karena pada hakekatnya, hakim dilarang menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya. perkara praperadilan yang diajukan Komjen. Pol. Budi Gunawan mengenai penetapan tersangka tidak diatur dalam KUHAP, Para ahli hukum bahkan menyatakan bahwa objek atau alasan praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP bersifat limitatif sehingga Hakim tidak bisa menafsir aturan melampauwi kewenanganya karena ketentuan hukum prapradilan bukan multitafsir. 1 Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum 2 Staf Pengajar Pada Program Studi Ilmu Hukum Universitas Halmahera 1

2 Permasalahan yang dibahas pada penulisan ini adalah Apa Implikasi Hukum terhadap dikabulkannya Permohonan Praperadilan Budi Gunawan dan Apakah Putusan Praperadilan oleh Budi Gunawan Masuk Dalam Kewenangan Praperadilan Penelitian ini dilaksanakan dengan mengunakan tipe penelitian hukum normativ sehingga sumber bahan untuk dianalisa adalah bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, dan pendekatan kasus. Terhadap Hasil penelitian Implikasi Hukum Terhadap Di Kabulkannya Permohonan Praperadilan Budi Gunawan Kata Kunci : Kewenangan Praperadilan Pendahuluan Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum, yang mewajibkan setiap manusia untuk selalu bertindak sesuai dengan hukum yakni sejalan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan dasar dan pondasi utama pelaksanaaan tatanan hukum di Indonesia. Undang-undang Dasar 1945 NRI memberi perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, hal ini dapat di lihat dari Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang memuat asas pokok perlindungan hak asasi manusia. Namun ketentuan yang dibuat oleh pemerintah Kolonial Belanda mengenai acara pidana yaitu Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR), jelas hanya mengutamakan kepentingan penguasa sehingga kurang memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam hal ini hak-hak tersangka/terdakwa. Dalam hal lain juga tidak ada ketentuan Undangundang yang memberikan kewenangan pada suatu lembaga untuk mengawasi sampai sejauh mana penegak hukum menjalankan tugasnya, sehingga memungkinkan mereka melakukan tindakan sewenang-wenang. Sejalan dengan berkembangnya pemikiran hukum maka lahirlah Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang termuat dalam LN.Tahun 1981 Nomor 76 dan TLN No.3209 sebagai pengganti Het Herzeine Inlandsch Reglement yang ditandai dengan pencabutan HIR (S.1941 No.44) jo. Undang-undang No.1 Drt Tahun 1951 (LN.Tahun 1951 No.59 dan TLN No.81) sepanjang yang mengatur Hukum Acara Pidana. Kelahiran KUHAP adala merupakan nafas baru bagi kehidupan peradilan pidana Indonesia dimana telah memberikan spesialisasi, deferensiasi, dan kompetenisasi dalam pelaksanaan dan pembagian tugas antara penyidik, penuntut umum dan hakim. Dalam menjalankan tugasnya di tuntut baik dalam berfikir maupun bersikap harus sesuai dengan Undang-undang yang berlaku dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Terlepas dari itu para penegak hukum adalah manusia biasa, yang tidak terlepas dari khilaf dan salah. Penangkapan atau penahanan yang bertujuan untuk 2

3 kepentingan pemeriksaan ternyata kadangkadang dilakukan terhadap orang yang tidak bersalah sehingga mengakibatkan tersangka/terdakwa menderita lahir dan batin, hal ini sudah tentu saja merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Dengan adanya lembaga Praperadilan ini, KUHAP telah menciptakan sebuah mekanisme kontrol bagi para penegak hukum dalam menjalankan tugas senantiasa fokus dan meningkatkan profesionalisme kerja sehingga tidak terjadi kesalahan penangkapan, penahanan, yang nyata melanggar hak asasi manusia yang telah dilindungi oleh Undang-undang 1945 umumnya dan KUHAP dalam bentuk sebuah asas praduga tak bersalah pada khususnya. Praperadilan adalah salah satu lembaga untuk menguji suatu proses perkara sampai pada tahap beracara dalam Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 77 sampai 83 KUHAP adalah Praperadilan merupakan wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan menurut cara yang telah diatur dalam Undangundang ini tentang : Pertama, Sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Kedua, Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Terhadap kasus Komjen Budi Gunawan yang mengajukan Praperadilan penetapan tersangka terhadap dirinya Dari aspek yuridis Tidak diatur dalam KUHAP, mengenai Praperadilan diatur dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Komjen Budi Gunawan (BG) telah menimbulkan kontroversi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan BG sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode dan jabatan lainnya di Kepolisian. Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mengatur sejumlah hal yang menjadi kewenangan KPK. Disebutkan, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Olehnya itu berdasarkan Gugatan yang diajukan Komjen Budi gunawan hakim praperadilan semestinya Sarpin harus menolak gugatan kuasa hukum pemohon Pra Peradilan BG dengan alasan penetapan tersangka adalah tidak masuk dalam ranah Prapreradilan Karena dalam Pasal 77 junto 82 ayat 1 junto 95 ayat 1 dan 2 KUHAP serta Pasal 1 angka 10 KUHAP memang tidak disebutkan secara jelas mengenai penetapan tersangka sebagai objek Praperadilan akan tetapi penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan sebagaimana dalam butir 2 bahwa praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memutuskan sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Karena setidaknya putusan hakim tunggal Sarpin Rizaldi dalam sidang praperadilan terhadap Komjen Budi 3

4 Gunawan. telah melampaui kewenangan dan menggunakan penafsiran berbeda dalam memutuskan perkara tersebut, menunjukkan sikap inkonsisten dalam melakukan penafsiran, terhadap obyek praperadilan yang telah tegas dan jelas diatur dalam KUHAP. Dengan demikian berdasarkan putusan Hakim tersebut maka setiap Tersangka yang disangkakan dapat mengajukan Praperadilan seperti Surya Dharma Ali sebagai Menteri Agama dan beberapa tersangka lainnya, hal demikian sangat berpengaruh bagi berlaku mekanisme Praperadilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Berdasarkan pemikiran diatas saya tertarik untuk melakukan Penulisan tentang Implikasi Hukum Terhadap Di Kabulkannya Permohonan Praperadilan Budi Gunawan Tinjauan Pustaka a. Praperadilan Dalam Sistem Hukum Indonesia Seperti kita ketahui bahwa Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang lazim disebut sebagai Hukum Pidana Formil adalah bagaimana agar terciptanya tertib proses hukum dan terjaminnya penegak hukum pidana Materiil seperti KUHP dan Undang-Undang, ketentuan Hukum acara pidana (KUHAP) lebih dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang. (M Sofyan Lubis, 2010 : 64) Proses Pra peradilan yang lama tidak pernah muncul, mulai menjadi bahan kajian kembali bagi ahli hukum terutama berkaitan dengan efektifitas pra peradilan melindungi HAM dalam tindakan upaya paksa aparat hukum, serta perdebatan mengenai perlu tidaknya pra peradilan diganti dengan peran hakim komisaris sebagaimana tercantum dalam RUU KUHAP. Banyak pihak menganggap pra peradilan masih di perlukan dalam perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM) dari kesewenang wenangan hukum penguasa serta untuk menguji seberapa jauh aturan hukum acara pidana telah di jalankan aparat hukum. Praperadilan dalam hukum acara pidana dapat dipahami dari bunyi pasal 1 butir 10 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa Pra Peradilan adalah wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutus dan memutus : 1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan; 2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepntingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan; 3. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepntingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan; 4

5 Secara limitattif umumnya mengenai pra peradilan diatur dalam pasal 77 sampai pasal 88 KUHAP. Selain dari pada itu, ada pasal lain yang masih berhubungan dengan pra peradilan tetapi diatur dalam pasal tersendiri yaitu mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana di atur dalam pasal 95 dan 97 KUHAP. Kewenangan secara spesifik pra peradilan sesuai dengan pasal 77 sampai pasal 88 KUHAP adalah memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa (penangkapan dan penahanan) serta memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, akan tetapi dikaitkan pasal 95 dan 97 KUHAP kewenangan pra peradilan ditambah dengan kewenangan untuk memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabitilasi. Ganti kerugian dalam hal ini bukan hanya semata mata mengenai akibat kesalahan upaya paksa, penyidikan maupun penuntutan, tetapi dapat juga ganti kerugian akibat adanya pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah secara hukum sesuai dengan penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP. Dalam keputusan Menkeh RI No. M.01.PW tahun 1982, pra peradilan disebutkan dapat pula dilakukan atas tindakan kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat bukti, atau seseorang yang dikenankan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang undang karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan. Ganti kerugian diatur dalam Bab XII, Bagian Kesatu KUHAP. Perlu diperhatikan dalam pasal 1 butir 22 menyatakan Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang undang atau karena kekeliruan orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur undang undang ini. Beranjak dari bunyi pasal diatas, dapat ditangkap dengan jelas bahwa ganti rugi adalah alat pemenuhan untuk mengganti kerugian akibat hilangnya kenikmatan berupa kebebasan karena adanya upaya paksa yang tidak berdasar hukum. Kiranya sangat tepat jika negara bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi, sebab tindakan upaya paksa tentu dilakukan oleh aparat hukum yang merupakan bagian dari negara. Khusus dalam hal pra peradilan yang dilakukan oleh penyidik terhadap penghentian penuntutan atau penuntut umum terhadap penghentian penyidikan hendaknya di pahami bukan untuk mencampuri urusan kewenangan masing masing kelembagaan tetapi lebih di pahami sebagai kontrol mekanisme penegakan hukum acara. Peran serta masyarakat baik itu melalui LSM maupun secara individu juga mutlak di perlukan dalam pengawasan penegakan hukum. Pengajuan pra peradilan di lakukan di pengadilan negeri, dengan membuat permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk nantinya di register dalam register khusus tentang pra peradilan. Dari permohonan tersebut, sesuai ketentuan pasal 78 ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk seorang hakim tunggal untuk memeriksa perkara pra peradilan dengan dibantu dengan seorang panitera. 5

6 Untuk penetapan hari sidang sesuai dengan pasal 82 ayat (1) huruf c mensyaratkan untuk segera bersidang 3 hari setelah di catat dalam register dan dalam tempo 7 hari perkara tersebut sudah harus di putus, sedangkan untuk pemanggilan para pihak dilakukan bersamaan dengan penetapan hari sidang oleh hakim yan ditunjuk. Memperhatikan Pasal 82 ayat (1) huruf d yang berbunyi Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur maka pra peradilan dianggap gugur apabila : Perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri dan Pada saat perkaranya di periksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan pra peradilan belum selesai. Pra peradilan adalah hal biasa dalam membangun saling kontrol antara kepolisian, kejaksaan dan tersangka melalui kuasa hukumnya. Tidak usah suatu proses pra peradilan di tanggapi dengan kecurigaan bahwa antara lembaga hukum akan saling menjatuhkan. Dalam suatu negara hukum, saling kontrol adalah suatu hal lumrah untuk menghindari kesewenang wenangan penerapan upaya paksa (penangkapan dan penahanan) atau penghentian penyidikan dan penuntutan (SP 3 dan SKPPP) secara tidak beralasan apalagi diam diam. Upaya kontrol itu perlu sebagai peningkatan kinerja di lembaga penegak hukum, serta untuk membangun kembali citra penegak hukum yang saat ini telah terpuruk. Oleh sebab itu semua proses pra peradilan harus dapat diterima dengan lapang dada, begitu pula dengan putusan yang di hasilkan pra peradilan. Kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat harus mampu bekerja sama menampilkan hukum yang pasti, jelas dan memadai. Kepastian hukum akan membuat keadaan negara harmonis dan pencari keadilan merasa terlindungi. b. Wewenang Praperadilan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP) memuat prinsip-prinsip/ asas hukum. Diantaranya prinsip legalitas, prinsip keseimbangan, asas praduga tidak bersalah, prinsip pembatasan penahan, asas ganti rugi dan rehabilitasi, penggabungan pidana dan tuntutan ganti rugi, asas unifikasi, prinsip diferensiasi fungsional, prinsip saling koordinasi, asas keadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, dan prinsip peradilan terbuka untuk umum (Harahap, 2002: 35 56). Pemuatan prinsip-prinsip hukum (the principle of law) tersebut dalam KUHAP tidak lain untuk menjamin penegakan hukum dan hak asasi manusia yang telah digariskan baik dalam landasan konstitusional (baca: UUD 1945) maupun dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun Pengaturan perlindungan hak asasi dalam wilayah/ konteks penegakan hukum ditegaskan dalam Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum. Demikian juga secara jelas 6

7 ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenangwenang. KUHAP yang mengakomodasi kepentingan hak dan asasi/ privasi setiap orang, berarti dalam tindakan atau upaya paksa terhadap seseorang tidak dibenarkan karena merupakan perlakuan sewenangwenang. Menurut Yahya Harahap (2002: 3) mengemukakan bahwa setiap upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, pada hakikatnya merupakan perlakukan yang bersifat: 1. Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka. 2. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undangundang, setiap tindakan paksa yang dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka. Karena tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyidik merupakan pengurangan, pengekangan dan pembatasan hak asasi tersangka. Maka tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab berdasarkan prosedur hukum yang benar. Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan Undangundang merupakan pemerkosaan terhadap hak asasi tersangka. Tujuan dan maksud dari praperadilan adalah meletakkan hak dan kewajiban yang sama antara yang memeriksa dan yang diperiksa. Menempatkan tersangka bukan sebagai objek yang diperiksa, penerapan asas aqusatoir dalam hukum acara pidana, menjamin perlindungan hukum dan kepentingan asasi. Hukum memberi sarana dan ruang untuk menuntut hak-hak yang dikebiri melalui praperadilan. Secara detil Yahya Harahap (2002: 4) mengemukakan lembaga peradilan sebagai pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atas penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan Undang-undang. Undang-Undang telah memberi otoritas (kewenangan) kepada pejabat penyidik untuk melakukan tugas dan wewenangnya. Jika dalam pelaksanan tugas dan kewenangan itu melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, maka lembaga praperadilan yang akan menilai dari pada tindakan pejabat tersebut apakah di luar atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang telah diberikan kepadanya. Selain itu, Yahya Harahap (2002 : 5 8) juga mengemukakan secara rinci wewenang praperadilan yang disesuaikan dengan ketentuan KUHAP (Pasal 1 butir 10, Pasal 77, Pasal 95, Pasal 97) sebagai berikut: 1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan. 2. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan. 3. Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi. 4. Memeriksa permintaan rehabilitasi. 7

8 5. Praperadilan terhadap tindakan penyitaan. Metodologi Penelitian a. Materi Penelitian Materi pokok Penelitian Hukum ini adalah Implikasi Hukum Terhadap Di Kabulkannya Permohonan Praperadilan Budi Gunawan a) Metode Penelitian Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah Yuridis Normatif. 1. Tipe Penelitian Mengingat penelitian ini merupakan Penelitian Hukum, maka tipe yang di gunakan adalah penelitian hukum Normatif. penelitian hukum merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang di hadapi. Penelitian Ini, terutama mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas hukum yang bertujuan untuk mencari pemecahan atas isu hukum serta permasalahan yang timbul di dalamnya, sehingga hasil yang akan di capai kemudian adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang di ajukan. (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 35) b) Pendekatan Masalah Untuk menganalisis isu hukum dalam penelitian ini, maka di gunakan beberapa pendekatan antara lain: a. Pendekatan Perundangundangan (statute approach) Pendekatan undang-undang adalah dengan menelaah semua undang-undang, yang bersangkut paut dengan isu permasalahan hukum yang sedang terjadi, dimana adanya konsistensi dan kesesuaian antar suatu undangundang dengan undang-undang lainnya, dan dari hasil telaah tersebut merupakan suatu argument untuk memecahkan pokok permasalahan yang dihadapi. b. Pendekatan Kasus Adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi. Dengan tujuan mempelajari norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. c) Sumber Bahan Hukum 1. Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun materi bahan hukum yang dijadikan objek permasalahan dalam penulisan ini antara lain : a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat berupa undang-undang dan peraturan pelaksana yang lainnya yaitu peraturan dalam Praperadilan, sebagai berikut : 1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan 8

9 penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer antara lain : tulisan atau pendapat para pakar hukum dibidang hukum Pidana, majalah dan informasi-informasi ilmiah lainnya yang berkaitan dengan Kewenangan Praperadilan terhadap penetapan tersangka. c) Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain : 1) Kamus besar bahasa Indonesia 2) Kamus hukum 3) Surat kabar dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. d) Analisa Bahan Hukum Setelah bahan hukum primer dan sekunder dikumpulkan, diedit, diklasifikasikan, kemudian dipilah-pilah sesuai dengan urgensinya dan dijadikan sebagai bahan analisis terkait dengan permasalahan yang sudah dirumuskan untuk mendapatkan jawaban dan solusi yang tepat. Bahan-bahan hukum yang diperoleh, ditelaah relevansinya dengan permasalahan dan klasifikasi terkait dan subyek penelitian, yaitu Implikasi Hukum Terhadap Di Kabulkannya Permohonan Praperadilan Budi Gunawan Hasil Penelitian dan Pembahasan a. Implikasi Hukum Putusan Praperadilan Penetapan Tersangka Budi Gunawan Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi yang mengabulkan gugatan praperadilan penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan (BG) telah menimbulkan kontroversi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan BG sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode dan jabatan lainnya di Kepolisian. Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 30Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mengatur sejumlah hal yang menjadi kewenangan KPK. Disebutkan, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Praperadilan merupakan suatu sidang pengadilan yang diselenggarakan untuk menguji keabsahan suatu tindakan paksa yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang selaku penegak hukum. Terkait dengan dasar hukum praperadilan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) dan Undang-Undang Mahkamah Agung. 9

10 Kemudian dalam Pasal 77 KUHAP ditegaskan kembali mengenai tujuan diadakannya praperadilan dan batas wewenang hakim yang menyatakan: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undangundang ini tentang: 1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; 2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 1. Putusan Praperadilan Hakim tunggal praperadilan Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan praperadilan BG, karena menganggap objek permohonan praperadilan yang diajukan pemohon termasuk dalam objek praperadilan. Dengan demikian, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berhak memeriksa sah atau tidaknya penetapan status tersangka terhadap pemohon. Dalam pertimbangannya, Hakim Sarpin mengatakan, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan nomor 03/01/01/ pada 12 Januari, BG ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai kepala biro pengembangan karir (Karo Binkar) Deputi SSDM Polri. Peristiwa pidana itu dilakukan dalam rentang tahun Berdasarkan Surat Keputusan Kapolri, jabatan Karobinkar merupakan jabatan administrasi atau pelaksana staf yang berada di bawah deputi Kapolri. Jabatan Karobinkar setingkat dibawah pejabat eselon II dan bukan penegak hukum dan tidak termasuk dalam golongan penyelengggara Negara karena tidak masuk eselon. Menurut Hakim, peristiwa pidana yang dilakukan BG saat itu tidak termasuk dalam subjek kewenangan KPK sebagaimana ditegaskan bahwa salah satu kewenangan KPK yang diatur dalam Undang-Undang antara lain adalah penyelenggara negara atau penegak hukum. Berdasarkan dalil pertimbangan tersebut, Hakim Sarpin menyatakan bahwa, Surat perintah penyidikan (Sprindik 03/01/01/) yang menjadi dasar dalam penyidikan terhadap BG tidak sah dan tidak berdasar hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, oleh karenanya penyidikan atas kasus yang disangkakan terhadap BG juga dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat. Lebih lanjut, karena Sprindik sebagai legalitas dianggap tidak sah, maka segala tindakan yang dilakukan berdasarkan Sprindik 03/01/01/ termasuk penyidikan dan penetapan tersangka atas BG tersebut dinyatakan tidak sah. Selain membatalkan penetapan status tersangka atas BG, Hakim Sarpin juga menyatakan bahwa keputusan atau penetapan yang merupakan tindak lanjut yang dikeluarkan KPK sepanjang masih berkaitan dengan permasalahan 10

11 penetapan BG selaku tersangka akan dianggap tidak sah. Dalam putusan praperadilan tersebut, Hakim Sarpin tidak mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan BG selaku pemohon. Gugatan BG untuk mendapatkan Ganti Rugi secara materiil dari KPK ditolak oleh Hakim Sarpin. Selain itu, dalam putusannya Hakim Sarpin juga menghapuskan biaya perkara yang harus ditanggung negara. Putusan praperadilan tersebut terdapat kelemahan dalam putusan praperadilan tersebut. Pertama, Hakim Sarpin telah melampaui kewenangannya dalam memutus perkara praperadilan tersebut. Dalil-dalil yang dipertimbangkan oleh Sarpin seperti kualifikasi penyelenggara negara/penegak hukum adalah pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana. Hal tersebut seharusnya diperiksa pada persidangan pokok perkara bukan praperadilan. Kedua, Hakim Sarpin juga tidak konsisten dalam melakukan penafsiran hukum. Di satu sisi, hakim memperluas penafsiran terhadap objek praperadilan yang telah tegas dan jelas diatur dalam KUHAP. Namun, di sisi lain, penafsiran yang diperluas itu tidak dilakukan dalam konteks pemaknaan terhadap penyelenggara negara/penegak hukum. Hal senada juga diungkapkan oleh Mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas, menyatakan seharusnya hakim Sarpin Rizaldi menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai landasan putusan. Secara fundamental setiap hakim wajib mengadili berdasarkan Undang-undang. Undang-undang jelas isinya tidak boleh ditafsirkan melainkan sesuai dengan tafsir gramatikal dalam spirit asas kepastian hukum. Terlepas dari kontroversi putusan praperadilan tersebut, Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB) yang menyatakan: Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang. sampai saat ini, AB masih berlaku sepanjang belum dicabut secara tegas oleh UndangUndang berdasarkan Aturan Peralihan UUD Hal ini berarti, bahwa dalam Hukum yang berlaku di Indonesia, hakim dilarang menafsirkan lebih dari yang seharusnya jika sudah jelas pengaturannya. Namun demikian, hal ini bukan berarti hakim menjadi tidak bebas dalam menjalankan kewenangannya sepanjang tidak melanggar ketentuan yang ada. Hakim diperkenankan untuk menafsirkan lebih luas suatu peraturan dikala peraturan tersebut tidak jelas maksudnya atau hakim diperkenankan untuk membuat suatu kaidah hukum di saat terjadi kekosongan hukum, karena pada hakekatnya, hakim dilarang menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya. Hal itu tentunya bertolak belakang dengan system hukum Anglo- Saxon yang menganut aliran freie rechtslehre, yang memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum (judge made law) (H.M.A Kuffal, 2004 : 5). Oleh karenanya dalam perkara praperadilan yang diajukan oleh BG, 11

12 pendapat hakim praperadilan yang menyatakan bahwa mengenai permohonan yang diajukan oleh BG mengenai penetapan tersangka tidak diatur dalam KUHAP, sehingga terjadi kekosongan Hukum adalah pertimbangan yang patut untuk dipertanyakan. Dengan menyebutkan klausa penyidikan yang dilakukan oleh termohon dalam amar putusannya, artinya hakim mengakui bahwa yang dimohonkan untuk diuji keabsahannya adalah sah atau tidaknya penyidikan, sehingga seharusnya hakim tidak memiliki alasan untuk menyatakan permohonan tersebut belum diatur, karena mengenai praperadilan yang berkaitan dengan penyidikan telah diatur dalam Pasal 77 KUHAP, yaitu mengatur hanya tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan, maka seharusnya hakim tidak menafsirkan lebih dari yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP ini, sebab ketentuan tersebut bukan aturan yang multi tafsir, oleh karenanya, dapat dipahami, disaat para ahli hukum menyatakan bahwa obyek atau alasan praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP bersifat limitative. 2. Implikasi Hukum Putusan Praperadilan Putusan praperadilan yang mengabulkan sebagian permohonan BG tersebut menimbulkan berbagai pendapat dikalangan para ahli hukum, Jaksa Agung AM Prasetyo menegaskan bahwa, untuk saat ini putusan hakim Sarpin itu tidak bisa dijadikan sebagai sumber acuan hukum atau yurisprudensi karna baru satu putusan pengadilan. Selain itu, pendapat lain juga diungkapkan oleh Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki mengingatkan, putusan Praperadilan yang dikeluarkan oleh Hakim Sarpin Rizaldi berimplikasi luas pada system penegakan hukum pidana khususnya tugas penyidik. Selain itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD juga menambahkan, dengan putusan praperadilan tersebut, ke depan setiap penetapan tersangka berpotensi akan di praperadilankan. Pengadilan negeri dapat dibanjiri permohonan praperadilan terkait penetapan tersangka oleh KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan. Hal senada juga diungkapkan oleh Nursyahbani Katjasungkana, yang menyatakan bahwa putusan praperadilan tersebut menjadi preseden yang sangat buruk. Penetapan tersangka dalam dua tahun ke belakang dapat dibatalkan semua. Bahkan, mereka yang sudah dijadikan tersangka dan ditahan KPK pun bisa mengajukan praperadilan. Bahkan, segera setelah putusan praperadilan tersebut dikeluarkan, Surya Dharma Ali, tersangka kasus korupsi dana haji mengajukan permohonan Praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka dalam pengelolaan dana haji. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa putusan praperadilan yang diajukan oleh BG dan dikabulkan sebagian oleh Hakim Sarpin Rizaldi memberi peluang bagi para tersangka, khususnya yang penetapan statusnya oleh KPK mengajukan gugatan karena sudah pernah ada permohonan praperadilan yang mengabulkan permohonan pembatalan status tersangka. 12

13 Selain membawa preseden tentang pembatalan status tersangka, melalui sidang praperadilan. Putusan yang dikeluarkan oleh Hakim Sarpin Rizaldi membawa implikasi yang lain, yaitu bagaimana status perkara yang disangkakan terhadap BG dengan adanya putusan tersebut. sedangkan seperti kita ketahui bersama KPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penghentian perkara. Sekretaris Tim 9 atau Tim Independen, Jimly Assidiqque menyatakan status tersangka BG memang gugur dengan sendirinya karena materi praperadilan yang diajukan oleh BG hanya membahas prosedur penetapannya sebagai tersangka. Belum masuk pada materi substansi. Dengan demikian unsur kejahatan yang ada dalam perkara tersebut tidak hilang. Dengan tidak hilangnya unsure kejahatan dalam perkara yang disangkakan kepada BG, maka KPK dapat melakukan perbaikan dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Serta memperkuat data dan bukti yang dibutuhkan. Dengan demikian substansi kejahatan yang menjadi pokok perkara dapat dibuktikan di pengadilan yang adil. a. Eksistensi Lembaga Praperadilan Dalam System Peradilan di Indonesia Ketentuan ini membatasi wewenang Praperadilan karena proses pemeriksaan Praperadilan dihentikan dan perkaranya menjadi gugur pada saat perkara pidana pokoknya mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri. Kalau proses Praperadilan yang belum selesai lalu dihentikan dan perkaranya yang sedang diperiksa menjadi dianggap gugur atas dasar alasan teknis karena perkara pidana pokok sudah mulai disidangkan, yang bukan alasan prinsipiil maka tujuan Praperadilan menjadi tidak berfungsi kabur dan hilang. Karena tujuan Praperadilan memberikan keputusan penilaian hukum tentang pemeriksaan pendahuluan terhadap tersangka seperti yang dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP, yang keputusannya menjadi dasar untuk membebaskan tersangka dari penangkapan dan/atau penahanan yang tidak sah serta tuntutan ganti rugi Untuk menjamin agar KUHAP dapat dilaksanakan dengan baik sebagaimana yang dicita-citakan, maka dalam KUHAP diatur lembaga baru dengan nama PRAPERADILAN. wewenang tambahan kepada Pengadilan Negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasuskasus pidana yang berkaitan dengan penggunaan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dll, yang dilakukan oleh Penyidik dan atau Penuntut umum. Terkait aparat kepolisian yang melakukan tindakan-tindakan yang kurang sesuai dengan Undang-Undang tidak sedikit terjadi di masyarakat. Banyak pendapat dari masyarakat tentang aparat Kepolisian yang sengaja memanfaatkan jabatannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak semestinya baik itu masih dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya maupun diluar tugasnya sebagai pelindung masyarakat. Entah itu semua 13

14 benar atau tidak namun dari segala apa yang berkembang dalam masyarakat mari fokuskan permasalahan pada masalah kesalahan penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan dan penuntutan yang dilakukan penyidik yang didalamnya termasuk juga aparat Kepolisian yang semua ini berujung pada lahirnya lembaga Praperadilan sebagai suatu hukum pada tindakan penyidik menyangkut perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Praperadilan itu. Penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain sebagainya yang bersifat mengurangi dan membatasi kemerdekaan dan hak asasi tersangka. Karenanya, tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan lembaga praperadilan ini adalah untuk menghindari adanya pelanggaran dan perampasan hak asasi tersangka atau terdakwa.demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, Perubahan yang terjadi di dalam struktur hukum terutama dengan dibentuknya sebuah lembaga baru otomatis membawa pengaruh bagi kondisi sosial dengan bergesernya pola berfikir dan tingkah laku dalam masyarakat, Hal ini sejalan dengan pandangan Soejono Soekanto (Satjipto Raharjo,1984:117) bahwa Ada dua fungsi yang dapat dijalankan oleh hukum di dalam masyarakat yaitu sebagai sarana kontrol (a tool of sosial kontrol) dan sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (a tool of social ingieneering). Apabila kita mengkaitkan praperadilan dengan adanya a tool of social control ini maka pada dasarnya, praperadilan berfungsi sebagai perlindungan terhadap tindakan yang sewenag-wenang dari para aparat hukum yang pada pelaksanaan tugasnya sering melakukan tindakan yang kurang pantas sehingga melanggar hak dan harkat manusia. Namun untuk lebih menjamin pelaksanaan sebuah praperadilan maka diperlukan sebuah pemahaman yang lebih mendalam tentang praperadilan terutama dalam masyarakat sehingga lebih mengerti tentang manfaat dan fungsi praperadilan. Selanjutnya hukum sebagai a tool of social engineering, praperadilan dapat membawa masyarakat kepada situasi dan kondisi hukum yang lebih baik menuju ke arah pembangunan hukum ke depan. Pendapat Schuyt (Satjipto Raharjo, 1984: ), sebagai berikut Orang-orang yang mempelajari lahirnya Undang-undang, efek-efek sampingan yang negatif atau positif, orang mempelajari apakah tujuan yang di cantumkan dalam Undang-undang itu, seringkali merupakan endapan perjuangan politik, atau keinginankeinginan politik, ia merupakan sarana yang dipergunakan orang untuk mencoba menimbulkan suatu keadaan yang tertentu dalam masyarakat, kadangkadang orang yang ingin menggunakan perundang-undangan itu untuk menimbulkan suatu perubahan sosial yang nyata. Penguasaan atau pengarahan proses sosial ini, juga di sebut Social engineering. Sehingga eksistensi Praperadilan harus tetap menempatkan posisinya sesuai dengan kewenangannya karena Praperadilan Komjen Budi Gunawan 14

15 Penutup tidak sesuai dengan kewenangan Praperadilan, olehnya itu eksistensi lembaga pengadilan harus tetap berdiri tegak untuk mengakan hokum, karna hukum adalah panglima. Hasil Penelitian ini disimpulkan bahwa Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Komjen Budi Gunawan adalah putusan yang Inkonstitusional karena kewenangan Praperadilan menurut pasal 1 ayat 10, pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak memberikan kewenangan untuk dilakukan pengujian terhadap penetapan tersangka pada Praperadilan, karena yang hanya menjadi kewenangan praperadilan bagi Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dan Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Sehingga hakim Sarpin dalam melakukan tafsirannya telah melampaui kewenangan Hukumnya dan membawa konsekwensi hukum yang besar bagi perkembangan hukum diindonesia, karena semua tersangka bisa saja mengajukan praperadilan terhadap lembaga penegak hukum yang menetapkan dirinya sebagai tersangka. Hal demikian terlihat setelah putusan kasus Praperadilan Komjen Budi Gunawan banyak tersangaka mengajukan Gugatan seperti Suryadharma Ali, Sultan Batu gana dan tersangka lainnya. Maka Saran yang dapat penulis buat adalah Kewenangan untuk melakukan Praperadilan harus berdasarkan ketentuan Hukum yang ada dan Hakim tidak boleh menfsifkan berdasarkan pendapatnya sendiri. DAFTAR PUSTAKA Faisal Salam, Moch, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, CV.Mandar Maju, Bandung. H.M.A Kuffal, 2004, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang M Yahya Harahap, 1985,.Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Peyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika Edisi Kedua. M Sofyan Lubis, 2010,. Prinsip Miranda Rule, Yogyakarta Penerbit Pustaka Yustisia,. R Soenarto Soerodibroto, 2003,.KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung Dan HOGE RAAD, Jakarta Penerbit PT RajaGrafindo Persada Edisi Kelima. R Abdoel Djamali, 1984,.Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Raharjo, Satjipto Hukum Dan Masyarakat. Angkasa, Bandung. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM 15

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut paham nomokrasi bahkan semenjak negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Paham nomokrasi adalah sebuah paham yang menempatkan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS Tri Wahyu Widiastuti Endang Yuliana S Fakultas Hukum UNISRI Surakarta ABSTRAK Wewenang Pengadilan Negeri dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 31 Desember 1981, Bangsa Indonesia telah memiliki Undangundang Hukum Acara Pidana karya bangsa sendiri, yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu Negara di dunia yang merupakan Negara hukum yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan identifikasi masalah, tujuan penelitian dan hasil penelitian serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah memeriksa dan memutus permohonan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-tahapan yang

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. Merumuskan hukum pidana ke dalam rangkaian kata untuk dapat memberikan

Lebih terperinci

Presiden, DPR, dan BPK.

Presiden, DPR, dan BPK. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

Praperadilan Sebagai Control Profesionalisme Kinerja Penyidik. Arhjayati Rahim. Abstrak

Praperadilan Sebagai Control Profesionalisme Kinerja Penyidik. Arhjayati Rahim. Abstrak Praperadilan Sebagai Control Profesionalisme Kinerja Penyidik Arhjayati Rahim Abstrak Praperadilan adalah sebuah relisasi dari eksistensi keberadaan hak asasi manuasia dimana pra peradilan merupakan sarana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan Undang-undang Dasar 1945 membawa perubahan yang sangat mendasar ke dalam kehidupan negara hukum Indonesia, di antaranya adanya pengakuan hak asasi manusia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015

Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015 Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015 Presiden Joko Widodo menghadapi ujian mahadahsyat setelah permohonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Lebih terperinci

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra 90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diterapkan dapat sesuai dengan hukum positif dan nilai keadilan.

BAB I PENDAHULUAN. yang diterapkan dapat sesuai dengan hukum positif dan nilai keadilan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di negara Indonesia merupak hal yang terpenting demi terciptanya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Sebagai negara demokrasi dan menjunjung

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2 PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang praperadilan menurut hukum acara pidana dan bagaimana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI Sigit Budi Santosa 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Korupsi sampai saat ini merupakan

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 77 huruf a] terhadap

Lebih terperinci

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2 GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi alasan ganti kerugian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum Indonesia mempunyai kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Hukum dibuat untuk ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat.hukum merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal budi, kearifan dan keadilan.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus KAJIAN HUKUM TERHADAP PROSEDUR PENANGKAPAN OLEH PENYIDIK MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 1 Oleh: Dormauli Lumban Gaol 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimanakah prosedur

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017 PENAHANAN TERDAKWA OLEH HAKIM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Brando Longkutoy 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum Pada

Lebih terperinci

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN Diajukan Oleh: HENDRA WAGE SIANIPAR NPM : 100510247 Program Studi Program Kekhususan : Ilmu Hukum

Lebih terperinci

9/13/2012 8:29 AM Ngurah Suwarnatha 1

9/13/2012 8:29 AM Ngurah Suwarnatha 1 ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA Sebagaimana hukum pidana materiii, hukum pidana formil atau hukum acara pidana juga memiliki asasasas yang menurut Mark Constanzo dengan asas-asas yang abstrak sifatnya terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017 KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENANGGUHAN PENAHANAN DENGAN JAMINAN ORANG BERDASARKAN PASAL 31 KUHAP 1 Oleh : Nurul Auliani 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui siapa pejabat yang

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, pada pokoknya dapat

BAB III PENUTUP. pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, pada pokoknya dapat BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penulisan dari penulis yang berupa pembahasanpembahasan yang telah diuraikan dalam BAB I, BAB II dan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di lapangan oleh Kepolisian Republik Indonesia senantiasa menjadi sorotan dan tidak pernah berhenti dibicarakan masyarakat, selama masyarakat selalu mengharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong I. PEMOHON Henky Setiabudhi Kuasa Hukum Wahyudhi Harsowiyoto, SH dan Mario Tanasale, SH., para

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG MASALAH LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tumpuan harapan unuk mencari keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tumpuan harapan unuk mencari keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam suatu negara hukum, pengadilan adalah suatu badan atau lembaga peradilan yang menjadi tumpuan harapan unuk mencari keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini semakin meningkat, melihat berbagai macam tindak pidana dengan modus tertentu dan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016 PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Hartati S. Nusi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan penangkapan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Recchstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuann hukum, maka hilanglah sifat

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuann hukum, maka hilanglah sifat 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Dalam melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci