PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA

dokumen-dokumen yang mirip
PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Fusarium oxysporum f. sp. cubense (FOC) Deskripsi

PERAN AGENS ANTAGONIS DAN TEKNIK BUDIDAYA DALAM PENGENDALIAN TERPADU PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA PISANG LANDES BRONSON SIBARANI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Isolasi Cendawan Rizosfer

Fusarium sp. ENDOFIT NON PATOGENIK

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Sebagian besar produk perkebunan utama diekspor ke negara-negara lain. Ekspor. teh dan kakao (Kementerian Pertanian, 2015).

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berpotensi sebagai komoditas agribisnis yang dibudidayakan hampir di seluruh

TINJAUAN PUSTAKA. Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji

I. PENDAHULUAN. Pisang Cavendish merupakan komoditas pisang segar (edible banana) yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pisang adalah tanaman penghasil buah yang paling banyak dikonsumsi dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas tanaman ditentukan oleh interaksi antara lingkungan dan

Ralstonia solanacearum

Penyakit Layu Bakteri pada Kentang

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Uji Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR

TINJAUAN PUSTAKA Pisang

PENGARUH Trichoderma viride dan Pseudomonas fluorescens TERHADAP PERTUMBUHAN Phytophthora palmivora Butl. PADA BERBAGAI MEDIA TUMBUH.

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

PENDAHULUAN. Cabai merah adalah salah satu komoditas sayuran penting yang banyak

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Agrios (1996), penyakit layu Fusarium dapat diklasifikasikan

PERAN DAUN CENGKEH TERHADAP PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN TOMAT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Agrios (1996) taksonomi penyakit busuk pangkal batang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Benih adalah ovule atau bakal biji yang masak yang mengandung suatu

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Agrios (1996), penyakit bercak coklat sempit diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut. : Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen

TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Layu Fusarium Pada Pisang

Tabel 1 Persentase penghambatan koloni dan filtrat isolat Streptomyces terhadap pertumbuhan S. rolfsii Isolat Streptomyces spp.

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Juli 2017 di Laboratorium Bioteknologi dan Greenhouse Fakultas

BAB I PENDAHULUAN. Colletotrichum capsici dan Fusarium oxysporum merupakan fungi

I. PENDAHULUAN. penting di antara rempah-rempah lainnya (king of spices), baik ditinjau dari segi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun PT NTF (Nusantara Tropical Farm) Way

BAB I PENDAHULUAN. allin dan allisin yang bersifat bakterisida (Rukmana, 1994).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei.

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Bahan dan Alat Isolasi dan Uji Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU (Fusarium sp.) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Pengamatan mikroskopis S. rolfsii Sumber :

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sheldon (1904), penyakit layu Fusarium dapat diklasifikasikan

TAHLIYATIN WARDANAH A

I. PENDAHULUAN. Tanaman pisang menghasilkan salah satu komoditas unggulan di Indonesia yaitu

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. (Mukarlina et al., 2010). Cabai merah (Capsicum annuum L.) menjadi komoditas

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Mikoriza merupakan fungi akar yang memiliki peran dan manfaat yang penting

III. BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, termasuk ke dalam jenis tanaman polong-polongan. Saat ini tanaman

KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO

WASPADA PENYAKIT Rhizoctonia!!

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

UJI HAYATI MIKORIZA Glomus fasciculatum TERHADAP PATOGEN Sclerotium rolfsii PADA TANAMAN KACANG TANAH (Arachis hypogaea L. var.

I. PENDAFIULUAN. Tanaman kelapa sawit {Elaeis guineensis Jacq') merapakan tanaman

Kompos, Mikroorganisme Fungsional dan Kesuburan Tanah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

III. BAHAN DAN METODE. Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari Febuari hingga April 2015.

TINJAUAN PUSTAKA. Jamur penyebab penyakit pada tanaman krisan

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi penyakit busuk pangkal batang (Ganodermaspp.) Spesies : Ganoderma spp. (Alexopolus and Mims, 1996).

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih

MENGIDENTIFIKASI DAN MENGENDALIKAN PENYAKIT BLAST ( POTONG LEHER ) PADA TANAMAN PADI

BAB I PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) merupakan salah satu komoditas

HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kedelai menjadi tanaman terpenting ketiga setelah padi dan jagung

I. PENDAHULUAN. serius karena peranannya cukup penting dalam perekonomian nasional. Hal ini

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cabai (Capsicum annuum L.) adalah salah satu komoditas hortikultura

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan pangan dari tahun ke tahun meningkat, hal ini sejalan dengan

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN LITERATUR. Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Agrobioteknologi,

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Percobaan ini dilaksanakan di rumah plastik, dan Laboratorium Produksi

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator

BAB I PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan tanaman sayuran yang

EKSPLORASI Pseudomonad fluorescens DARI PERAKARAN GULMA PUTRI MALU (Mimosa invisa)

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM

PENYAKIT-PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN HUTAN RAKYAT DAN ALTERNATIF PENGENDALIANNYA

Mengenal Penyakit Busuk Batang Vanili. Oleh : Umiati

Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Oleh : Ratnawati

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti

Transkripsi:

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

ABSTRAK MIFTAHUL HUDA. Pengendalian Layu Fusarium pada Tanaman Pisang (Musa paradisiaca L.) secara Kultur Teknis dan Hayati. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA. Layu fusarium merupakan penyakit penting pada berbagai jenis pisang dan salah satu penyakit yang sangat umum yang menyebabkan kehancuran pada tanaman pisang di daerah tropis maupun subtropis. Layu fusarium disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC). Sebagai cendawan yang bersifat penghuni, penyerbu, tular tanah dan penyebab layu yang berkolonisasi di pembuluh xylem, FOC memerlukan berpenetrasi melalui akar tanaman inang, sehingga dalam pengendaliannya perlu diusahakan memberikan perlindungan maupun induksi sistem ketahanan inang pada sistem perakaran. Pengendalian hayati patogen dengan agens antagonis yang diintegrasikan dengan pengendalian kultur teknis sebagai salah satu alternatif pengendalian diharapkan efektif dalam menekan patogen FOC di lapangan melalui perlindungan dan induksi ketahanan tanaman. Tujuan dari studi ini ialah menganalisis keefektifan kombinasi perlakuan kultur teknis solarisasi tanah dan kultur jaringan dengan beberapa agens hayati: Gliocladium fimbriatum, fesikula mikoriza arbuskula (FMA), dan plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) untuk pengendalian layu Fusarium pada tanaman pisang di lapangan. Pengamatan terhadap kejadian penyakit, laju tinggi tanaman dan lingkar batang, dilakukan setiap dua minggu sekali hingga 45 minggu setelah tanam serta presentase asosiasi mikoriza pada akhir pengamatan. Kejadian penyakit di lapangan diamati secara visual terhadap gejala penyakit seperti daun tua berwarna kuning cerah dimulai dari bagian tepinya kemudian keseluruhan daun menguning dan layu, patah pada pangkal tangkai daun, pecahnya batang (pseudostem) di bagian permukaan atas tanah, kelayuan tanaman dan kematian tanaman. Gejala internal menunjukkan adanya bercak hitam hingga kemerahan atau busuknya batang (pseudostem) jika di belah secara melintang maupun membujur dan busuknya bagian bonggol tanaman. Dari hasil analisis statistika diketahui bahwa penggunaan bibit pisang asal kultur jaringan secara tunggal dapat menekan kejadian penyakit layu Fusarium di lapangan dibanding dengan penggunaan bibit asal anakan. Asosiasi mikoriza tertinggi terjadi pada akar dengan perlakuan FMA dan kombinasi antara bibit asal kultur jaringan dengan FMA. Namun demikian, perlakuan tunggal FMA maupun kombinasi antara bibit hasil kultur jaringan dengan FMA tidak menunjukkan penekanan terhadap kejadian penyakit layu Fusarium dan laju lingkar batang/ tinggi tanaman di lapangan. Penggunaan bibit asal kultur jaringan yang dikombinasikan dengan PGPR dapat meningkatkan laju lingkar batang tanaman. Pada taraf α=10%, kombinasi perlakuan bibit asal kultur jaringan dengan Gliocladium fimbriatum fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan solarisasi tanah atau dengan plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) dan solarisasi tanah merupakan strategi pengendalian yang paling baik dalam menekan kejadian penyakit layu Fusarium di lapangan.

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Judul : Pengendalian Layu Fusarium pada Tanaman Pisang (Musa paradisiaca L.) secara Kultur Teknis dan Hayati Nama NIM : Miftahul Huda : A34052093 Menyetujui, Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc. NIP. 19501125 1976 03 2 002 Mengetahui, Ketua Departemen Proteksi Tanaman Dr. Ir. Dadang, M.Sc. NIP. 19640204 1990 02 1 002 Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP Penulis diahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 6 November 1985 dari bpk. Moh. Sodik dan ibu Sutariyah. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang pernah penulis tempuh yaitu, Madrasah Aliyah Negeri 2 Banjarnegara selesai tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis masuk ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), tingkat pertama di Tempat Persiapan Bersama (TPB), tingkat kedua di Departemen Proteksi Tanaman, Faperta, IPB. Selama menjadi mahasiswa di Departemen Proteksi Tanaman penulis aktif sebagai pengurus organisasi himpunan mahasiswa proteksi tanaman (HIMASITA) pada divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) (2006-2008), anggota Entomologi-club (2008-2009), ketua Organic Farming-club Himasita 2007-2009, kepala divisi rumah tangga Mushala AN-Naml Departemen Proteksi Tanaman pada periode 2006-2007, sebagai asisten praktikum mata kuliah Hama dan Penyakit Benih (2008), dan Ilmu Penyakit Tumbuhan Dasar (2009), magang di Laboratorium Mikologi Departemen Proteksi Tanaman-FAPERTA IPB, membantu beberapa proyek dosen serta penulis juga pernah menjadi partisipan pada Danamon Young Leaders Award yang diselenggarakan oleh bank Danamon (2009).

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, rahmat, dan hidayah-nya sehingga penulis dengan segala keterbatasannya dapat menyelesaikan skripsi dengan lancar. Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Kedua Orang Tua tercinta yang selalu mengharapkan agar penulis menjadi yang terbaik, selalu memberikan doa, nasihat, dan semangat yang tiada hentinya. Terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc. sebagai dosen pembimbing skripsi yang selalu membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses magang penelitian yang telah penulis jalankan, Ir. Dhamayanti Adidharma Ph.D. selaku dosen penguji tamu yang telah berkenan memberikan saran perbaikan skripsi kepada penulis, Dr. Ir. Giyanto M.Si. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan nasihat dan bimbingannya selama penulis menempuh studi di Departemen Proteksi Tanaman IPB dan kepada Dr. Ir. Bonny P.W. Soekarno, MS. yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan pelajaran dalam berorganisasi. Penulis ucapkan terimakasih kepada Nurochman dan M. Yusro selaku kakak penulis yang tiada hentinya memberikan semangat serta adik penulis Sri Rahayu semoga semua menjadi yang terbaik. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih dan rasa simpatik kepada keluarga besar Gold Generation DPT 42, rekan-rekan Organic Farming-club 2007/2010 dan khususnya kepada Septripa S, Sp. dan Hardiyanto, Sp. yang selalu memberikan semangat dan bantuan selama menjalankan penelitian ini. Penulis masih menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan penelitian di bidang proteksi tanaman atau yang lainnya. Bogor, 20 Januari 2010 Penulis

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... vii viii ix PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 5 Manfaat Penelitian... 5 TINJAUAN PUSTAKA... 6 Deskripsi Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC)... 6 Gejala Penyakit... 7 Ras dan Persebaran Fusarium oxysporum f.sp. cubense.... 8 Pengendalian Layu Fusarium...... 9 Pengendalian Hayati... 9 Gliocladium fimbriatum...... 10 Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)... 10 Plant Growth Promoting Rhizaobacteria (PGPR)... 11 Solarisasi Tanah... 12 Kultur Jaringan... 13 BAHAN DAN METODE... 15 Waktu dan Tempat... 15 Bahan... 15 Metode... 15 Penyiapan Lahan Percobaan... 15 Perlakuan Agens Biokontrol... 15 Rancangan Percobaan... 15

Rancangan Perlakuan... 15 Pengamatan Kejadian Penyakit dan Karakter Agronomi... 15 Pengamatan Persentase Asosiasi Mikoriza... 16 Pengamatan Keragaman dan Kelimpahan Cendawan Tanah Rhizofer... 17 Pengamatan Kejadian Penyakit dan Karakter Agronomi... 15 Pengamatan Persentase Infeksi Mikoriza... 16 Pengamatan Keragaman dan Kelimpahan Cendawan Tanah Rhizosfer... 17 Analisis Data... 18 HASIL DAN PEMBAHASAN... 19 Kondisi Umum... 19 Gejala Penyakit layu Fusarium... 19 Pengaruh Masing-Masing Perlakuan Terhadap Respon Tanaman... 20 Pengaruh Perlakuan Bibit terhadap Persentase Kejadian Penyakit Layu Fusarium... 20 Pengaruh Perlakuan Tunggal Agens Antagonis... 23 Interaksi Bibit Tanaman dengan Agens Antagonis Terhadap Persentase Asosiasi mikoriza... 24 Interaksi Perlakuan Bibit, Agens Antagonis dan Kultur Teknis terhadap Kejadian Penyakit... 25 Pengaruh Kombinasi Bibit dengan Agens Antagonis terhadap Karakter Agronomi Tanaman Pisang... 27 Analisis Mikroba Tanah... 27 Interaksi Lingkungan Terhadap Agens Antagonis dan Kejadian Penyakit... 28 KESIMPULAN DAN SARAN... 32 DAFTAR PUSTAKA... 33 LAMPIRAN... 37

DAFTAR TABEL No. Halaman Teks 1. Kombinasi perlakuan bibit pisang, agens antagonis dan teknis budidaya.... 15 2. Sidik ragam perlakuan bibit (B), agens antagonis (A), dan teknik budidaya (S), terhadap persentase kejadian penyakit (KjP), laju tinggi tanaman (TT), lingkar batang (LB), dan asosiasi FAM di lapangan.... 20 3. Pengaruh perlakuan bibit terhadap kejadian penyakit di lapangan... 21 4. Pengaruh kombinasi perlakuan bibit, agens antagonis dan kultur teknis terhadap periode laten kejadian penyakit... 21 5. Pengaruh perlakuan tunggal agens antagonis terhadap persentase asosiasi mikoriza.... 23 5. Interaksi perlakuan bibit dengan agens antagonis terhadap persentase asosiasi FMA..... 24 6. Pengaruh kombinasi bibit dngan agens antagonis terhadap karakter agronomis tanaman pisang.... 27

DAFTAR GAMBAR No. Halaman Teks 1. Persentase kejadian penyakit (KjP) pada masing-masing kombinasi perlakuan.... 22 2. Rata-rata persentase kejadian penyakit tiap bulan setelah pengamatan (BST).... 8 3. Kecendrungan keadaan lingkungan pada bulan pengamatan... 9

DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman Teks 1. Gejala layu Fusarium pada tanaman asal bibit anakan dan kultur jaringan.... 37 2. Performa tanaman sehat bibit asal anakan dan kultur jaringan... 37 3. Gejala internal serangan Fusarium pada pseudostem.... 37 4. Interaksi perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik budidaya (S) terhadap kejadian penyakit layu Fusarium di lapangan.. 5. Kelimpahan mikroba rhizozfer tanah pada masing-masing perlakuan..... 39 6. Sidik ragam perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik budidaya (S) terhadap persentase kejadian penyakit (KjP) di lapangan..... 41 7. Sidik ragam perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik budidaya (S) terhadap laju tinggi tanaman (LTT) di lapangan.... 41 8. Sidik ragam perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik budidaya (S) terhadap laju lingkar batang (LLB) di lapangan... 41 9. Sidik ragam perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik budidaya (S) terhadap persentase asosiasi FAM..... 42

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam rangka memenuhi permintaan dalam negeri dan meningkatkan devisa negara dari sektor non migas, pemerintah telah menempuh beberapa upaya diantaranya pengembangan komoditas hortikultura. Salah satu komoditas hortikultura yang sangat berpotensi untuk meningkatkan sumber pendapatan masyarakat dan devisa negara yaitu pisang. Pisang merupakan komoditas buah-buahan terpenting di Indonesia dan sebagai komoditas buah-buahan unggulan nasional (BPTP Jatim 2007). Tanaman pisang merupakan penghasil jenis buah-buahan yang dikenal luas penduduk Indonesia, bahkan dunia. Tanaman pisang mempunyai peranan penting dalam perekonomian masyarakat, terutama di daerah sentra produksi. Dibandingkan dengan tanaman hortikultura dan buah-buahan lainnya, harga pisang lebih stabil (Sinaro 2007). Pisang merupakan tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Pisang (Musa spp.) berasal dari Genus Musa, famili Musaceae, ordo Zingiberales, dan kelas Monocotyledonae. Tanaman pisang dapat dimanfaatkan buah, daun, batang, dan bonggolnya. Buah pisang mengandung zat gizi, antara lain, protein, vitamin A C, B kompleks, B6, kalsium, kalium, zat besi, dan senyawa serotonin yang aktif sebagai neurotransmitter dalam kelancaran fungsi otak. Selain memberikan kontribusi gizi lebih tinggi dari pada apel, pisang juga dapat menyediakan cadangan energi dengan cepat bila dibutuhkan (Wikipedia 2008). Bahan baku pisang merupakan faktor utama yang harus terjamin baik kuantitas maupun kontinuitasnya. Kebutuhan pisang untuk industri pengolahan skala rumah tangga (10-50 kg/hari), skala usaha kecil menengah (UKM) kripik (100-120 kg/hari), sale (1,5-2 ton/bln), ledre (70-120 kg/hari), puree (300-500 kg/h) dan tepung (700-1000 kg/minggu). Untuk melayani pasar dalam negeri terutama pasar-pasar swalayan dan luar negeri dibutuhkan skala besar ± 10-12 ton pisang segar/hari. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan buah dan produk olahan

2 pisang ekspor pada tahun 2010 diperkirakan memerlukan areal pertanaman sekitar 5.000-6.000 ha (Balitbang 2007). Penanaman pisang berskala besar telah dilakukan di beberapa tempat antara lain di pulau Halmahera (Maluku Utara), Lampung, Mojokerto (Jawa Timur), dan beberapa tempat lainnya, sehingga Indonesia pernah mengekspor pisang dengan volume mencapai lebih dari 100.000 ton pada tahun 1996, tetapi pada tahun-tahun berikutnya volume ekspor tersebut terus menurun dan mencapai titik terendah pada tahun 2004 yaitu hanya 27 ton (Balitbang 2007). Pisang menyumbang 50% total produksi buah nasional. Agribisnis pisang di Indonesia menghadapi beberapa kendala salah satunya yaitu adanya penyakit tanaman. Penyakit yang paling utama dan paling banyak menyerang pertanaman pisang di Indonesia adalah penyakit layu Fusarium dan layu bakteri (Ika 2007). Layu Fusarium (Agrios 2005, Booth 1985) merupakan penyakit pada tanaman pisang yang disebabkan oleh cendawan patogen yaitu Fusarium oxysporum Schl. f. sp. cubense. (E. F. Smith) (FOC). Layu Fusarium adalah salah satu penyakit utama pisang yang menghancurkan pertanaman pisang bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara penghasil pisang dunia seperti India, Cina dan Filipina. Patogen penyebab layu Fusarium menyerang semua kultivar pisang komersial di dunia. Hingga tahun 1950-an, perkebunan pisang komersial Gros Michel seluas 40.000 ha di Amerika Latin hancur akibat serangan patogen itu. Diperkirakan hingga saat ini, total kerusakan lahan pisang Gros Michel, Cavendish dan kultivar lokal lainnya di dunia akibat layu Fusarium, sudah mendekati 100.000 ha. Kerusakan tersebut terutama disebabkan oleh munculnya perkebunan pisang skala besar di Asia dan kemudian hancur secara sporadis dalam kurun waktu 20 tahun akibat serangan patogen penyakit layu Fusarium. Penyakit layu tersebut telah dilaporkan menyebar luas di benua Asia, Amerika (Latin) dan Australia (Ploetz dkk. 1993). Penyebab alami terjadinya endemik layu Fusarium di Indonesia karena letaknya berdekatan dengan khatulistiwa, hanya terdapat dua musim yaitu kemarau dan penghujan. Akibatnya, siklus penyakit berjalan terus dan kelembaban juga tinggi sehingga penyakit tumbuh subur. Kecepatan penyebaran penyakit (epidemi) layu Fusarium dapat mencapai 100 km per tahun (Dir PTH 2007).

3 Menurut Kusnardi (Kasubdin Bina Produksi Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Distan) (2003) di Lampung adanya layu Fusarium, produksi pisang menjadi menurun dan menurunkan minat petani untuk bercocok tanam pisang. Menurut data Dinas Pertanian Lampung, tahun 2006 produksi pisang Lampung sebesar 523.038 ton yang dihasilkan 7.022.177 rumpun. Hingga sekarang dari jumlah tersebut terserang penyakit sebanyak 131.942 rumpun. Penyakit yang mendominasi adalah Fusarium atau layu daun sebanyak 56.292 rumpun. Data tersebut menunjukkan layu Fusarium pada tanaman pisang paling merugikan secara ekonomis di antara kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit pisang lainnya. Cendawan penyebab layu Fusarium mampu bertahan lama di dalam tanah sebagai klamidospora sehingga sulit dikendalikan (Widono 2003). Pengendalian yang biasa dilakukan untuk mengendalikan layu Fusarium yaitu membongkar dan membakar tanaman yang sakit (BAPPENAS 2000), eradikasi penyakit layu pisang yang dilakukan dengan penyuntikan minyak tanah/glyphosat (Dir PTH 2007), secara kimiawi masih belum ditemukan karena sampai sejauh ini belum ada pestisida yang efektif mematikan patogen tersebut. Pengendalian hayati patogen yang diintegrasikan bersamaan dengan pengendalian secara kultur teknis merupakan salah satu alternatif pengendalian yang berwawasan lingkungan yang cocok untuk diterapkan pada masa sekarang ini. Sasaran dari pengendalian hayati terpadu yaitu mengupayakan produksi tetap tinggi dan menguntungkan (profitability), memelihara kesehatan manusia dan kualitas lingkungan hidup (safety) dan menjamin agar hasil pengendalian bersifat awet (durability). Menurut Cook dan Baker 1983, pengendalian hayati adalah pengurangan jumlah inokulum atau aktifitas patogen melalui penggunaan satu atau lebih organisme selain manusia. Pengendalian hayati dapat meningkatkan produksi tanaman, menghindari perkembangan resistensi patogen terhadap bahan kimia, relatif menghindarkan dari polusi dan resiko pengendalian, serta pengendalian secara biologis mengadopsi praktek pengendalian yang kompatibel dengan pertanian yang berkelanjutan. Organisme yang digunakan dalam praktek pengendalian hayati meliputi individu atau populasi organisme yang avirulen atau patogen hipovirulen secara

4 alami, mikroorganisme endofitik, organisme termasuk mikroorganisme yang bersifat antagonis terhadap patogen serta mikoriza (Sinaga 1992). Pengendalian hayati juga dapat dilakukan dengan memanipulasi lingkungan yang dilakukan dengan menggunakan tanah supresif patogen, rotasi tanaman, bahan organik dan perlakuan tanah seperti solarisasi tanah yang secara tidak langsung dapat menekan patogen. Hingga saat ini, berbagai upaya pengendalian penyakit baik melalui kultur teknis maupun secara kimiawi telah dilaksanakan, namun belum dapat memecahkan masalah serangan penyakit secara tuntas. Oleh karena itu alternatif pengendalian lain secara hayati melalui pemanfaatan mikroorganisme antagonis yang dikombinasikan dengan pengendalian secara kultur teknis perlu dikembangkan. Sebelum varietas tanaman resisten tersedia, pengendalian hayati yang dikombinasikan dengan kultur teknis mungkin dapat diharapkan berperan sebagai salah satu komponen dalam pengendalian layu Fusarium secara terpadu. Alternatif pengendalian yang bisa digunakan adalah dengan pengendalian secara biologis dan kutur teknis, yaitu menggunakan bakteri Pseudomonas fluorescens strain MR 96, cendawan Gliocladium sp. yang diaplikasikan pada media tanam. Penelitian laboratorium menunjukkan Pseudomonas fluorescens strain MR 96 dan Gliocladium sp. mampu menekan pertumbuhan cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Djatnika et al. 2001 dalam Ika 2007). Gliocladium fimbriatum mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dalam mengendalikan patogen tular tanah seperti dengan mekanisme antagonisme melalui hiperparasitisme, persaingan tumbuh, produksi enzim atau toksin untuk melakukan lisis atau antibiosis (Sinaga 2006). PGPR memiliki kemampuan sebagai agens pengendalian hayati karena kemampuannya bersaing untuk mendapatkan zat makanan, atau karena hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraselluler yang bersifat antagonis melawan patogen dan perlakuan akar atau tanah, dapat menyebabkan ketahanan sistemik pada tanaman (Hasanuddin 2003). Rao (1994), mengemukakan manfaat fungi mikoriza arbuskula (FMA) dalam melindungi akar dari infeksi Fusarium dengan mengkolonisasi akar dan dapat meningkatkan pertumbuhan serta transfer hara tanaman terutama phospat.

5 Praktek budidaya tanaman dengan solarisasi tanah merupakan metode pasteurisasi tanah yang efektif dalam menurunkan populasi patogen tular tanah (Lisnawita 2003). Perbanyakan bibit pisang melalui kultur jaringan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibanding bibit asal anakan, dikarenakan bibit asal kultur jaringan memiliki sistem perakaran yang lebih baik, banyak dan kuat serta bebas dari penyakit (Ikrarwati 2004). Tujuan Menganalisis keefektifan kombinasi perlakuan kultur teknis solarisasi tanah dan kultur jaringan dengan beberapa agens hayati: Gliocladium fimbriatum, fungi mikoriza arbuskula (FMA), dan plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) dalam pengendalian layu Fusarium pada tanaman pisang di lapangan. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian mengetahui keefektifan dari beberapa kombinasi pengendalian secara kultur teknis dan hayati, sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam pengendalian layu Fusarium pada tanaman pisang secara umum di lapangan.

6 TINJAUAN PUSTAKA Fusarium oxysporum f. sp. cubense (FOC) Deskripsi Fusarium oxysporum f. sp. cubense (E. F. Smith) Wollenw merupakan cendawan patogenik tumbuhan dari spesies Fusarium oxysporum Schl., genus Fusarium (Link ex Fr.) (Booth 1985) yang merupakan anamorphig stage dan Gibberella sebagai teleomorphic group. Fusarium oxysporum termasuk ke dalam subdivisi Deuteromycotina, kelas Hyphomycetes, ordo Hyphales (Moniliales), genus Fusarium (Agrios 1996). F. oxysporum mempunyai koloni pada media OA atau PDA (25 0 C) mencapai diameter 3,5-5,0 cm. Miselia aerial tampak jarang atau banyak seperti kapas, kemudian menjadi seperti beludru, berwarna putih atau salem dan biasanya agak keunguan yang tampak lebih kuat permukaan medium. Sporodokhia terbentuk hanya pada beberapa strain. Konidiofor dapat bercabang atau tidak, dan membawa monofialid. Mikrokonidia bersepta 0 hingga 2, terbentuk lateral pada fialid yang sederhana, atau terbentuk fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang pendek, umumnya terdapat dalam jumlah yang sangat banyak, terdiri dari aneka bentuk dan ukuran, berbentuk avoid-elips sampai silindris, lurus atau sedikit membengkok, dan berukuran (5,0-12,0)x(2,2-3,5) µm. Makrokonidia hanya terdapat pada beberapa strain, terbentuk pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang atau dalam sporodokhia, bersepta 3-5, berbentuk fusiform, sedikit membengkok, meruncing pada kedua ujungnya dengan sel kaki berbentuk pediselata, umumnya bersepta 3, dan berukuran (27-46)x3,0-4,5µm. Khlamidospora terdapat dalam hifa atau dalam konidia, berwarna hialin, berdinding halus hingga agak kasar, berbentuk semi bulat dengan diameter 5,0x15 µm, terletak terminal atau interkalar, dan berpasangan atau tunggal. Spesies ini kosmopolit dan termasuk saprofit tanah tetapi dapat bersifat patogen pada banyak tumbuhan, mempunyai arti ekonomi penting dan dapat tumbuh dalam lingkungan anaerob (Gandjar 1999).

7 Gejala Penyakit Layu pada tanaman pisang dapat disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense dan bakteri Ralstonia solanacearum f. sp. selebensis. Kedua patogen ini dapat dijumpai pada batang tanaman sakit secara bersamaan atau tunggal. Patogen F. oxysporum umumnya menyerang tanaman sejak umur tanaman masih muda sedangkan R. solanacearum gejala penyakit yang jelas nampak pada stadia generatif. Jika bonggol batang dipotong akan mengeluarkan cairan seperti lendir yang berwarna kemerah-merahan yang merupakan oose bakteri (Suastika 2005). Fusarium oxysporum (Fo) memiliki lebih dari 120 forma spesialis (f. sp.) (Agrios 2005). Fo. cubense (FOC) merupakan strain yang menyebabkan penyakit Panama (layu vaskular) pada pisang dan abaca (Booth 1985). Beberapa forma spesialis, asosiasi paling utama yaitu dengan penyakit akar atau umbi dari pada penyakit layu pembuluh. Fusarium termasuk ke dalam patogen tanaman yang dapat menular melalui tanah (soil borne). Cedawan ini dapat bertahan dalam tanah sebagai miselium atau spora tanpa adanya inang. Jika terdapat inang maka akan menginfeksi akar, masuk ke jaringan vaskular (xylem) akan menyebar dan memperbanyak diri, dan akan menyebabkan inang mengalami kelayuan (Agrios 2005) karena sistem pembuluh tersumbat (Anonim 2008). Cendawan mengadakan infeksi melalui akar. Menurut Hwang (1980) cendawan tidak dapat menginfeksi batang atau akar-rimpang meskipun bagian ini dilukai. Nematoda (Radopholus similis) membantu dalam infeksi Fusarium. Gejala layu Fusarium yaitu pada daun-daun bagian bawah berwarna kuning orange lalu menjadi cokelat dan mengering, tangkai daun patah di sekeliling batang palsu. Gejala lain pada organ daun yaitu perubahan bentuk dan ukuran ruas daun yang baru muncul lebih pendek. Kadang-kadang lapisan luar batang terbelah dari permukaan tanah. Gejala yang paling khas adalah gejala pada bagian dalam. Jika pengkal batang dibelah membujur, terlihat garis-garis cokelat kehitaman menuju ke semua arah, dari batang (bonggol) ke atas melalui jaringan pembuluh ke pangkal daun dan tangkai. Berkas pembuluh akar biasanya tidak berubah warnanya, namun seringkali akar tanaman sakit berwarna hitam dan membusuk. Tergantung dari keadaan tanaman dan lingkungannya. Gejala penyakit layu

8 Fusarium dapat sangat bervariasi dan dapat mulai tampak pada tanaman pisang yang berumur 5-10 bulan (Semangun; AOI 2007). Pada bibit tanaman pisang dalam invitro, gejala layu Fusarium dapat menyebabkan tunas mati yang pada awalnya menunjukkan gejala busuk pada pangkal batang kemudian menjalar ke bagian atas dan berwarna coklat kehitaman (Sukmadjadja et al. 2002). Ras dan Persebaran Penyakit layu Fusarium pertama kali ditemukan menjadi endemik di daerah Panama pada tahun 1890 yang kemudian menghancurkan pertanaman pisang varietas Gros Michel (AAA) di Amerika Tengah dan Caribbean pada tahun 1950 dan 1960 sekarang penyakit ini sudah banyak ditemukan di daerah tropis maupun subtropis. Patogen Panama mempunyai 4 ras yaitu ras 1 menyebabkan epidemi pada kultivar Gros Michel dan juga menyebabkan penyakit pada Maqueno (genom AAB), Silk (AAB), Pome (AAB), Pisang Awak (ABB), dan hasil hibrida I.C.2 (AAAA). Ras 2 menyebabkan penyakit pada jenis pisang masak seperti kultivar Bluggoe (ABB), dan keturunan tetraploid. Ras 3 menyerang pada Heliconia spp. Di daerah tropis ras 4 paling virulen yang menyerang pisang jenis Cavendish. Ras 4 umumnya menyerang pada tanaman di daerah dengan suhu dingin, stress air dan pada tanah yang miskin unsur hara (Daly, Walduck & Darwin 2006). Ras 4 akan merugikan pada kultivar Cavendish dan pisang kultivar yang lain yang sebelumnya resisten terhadap ras 1 dan 2. Di Indonesia ras 4 dilaporkan di daerah Halmahera, Irian Jaya, Jawa, dan Sumatera. Kecepatan penyebaran penyakit (epidemi) layu Fusarium dapat mencapai 100 km per tahun (Dir PTH 2007). FOC didalam tanah di sebarkan oleh aliran air, dan alat-alat serta mesin pertanian. Klon tanaman yang rentan tidak dapat ditanam kembali hingga 30 tahun pada tanah yang sudah terinfeksi FOC. Di dalam tanah FOC bertahan sebagai parasit pada tanaman gulma yang bukan inangnya. Ujung akar atau bagian permukaan rizoma yang luka merupakan daerah awal utama dari infeksi (Ploetz 2003).

9 Pengendalian Layu Fusarium Beberapa pengendalian yang dapat dilakukan untuk mencegah perkembangan cendawan Fusarium oxysporum yaitu tidak menanam varietas pisang yang rentan, menanam bibit tanaman yang sehat (bebas patogen), tanaman yang sakit beserta dengan tanah di sekelilingnya dibongkar dan dikeluarkan dari kebun, menyiram tanah bekas tanaman pisang yang terserang dengan fungisida, menghindari luka pada akar, penggenangan dan pergiliran tanaman serta penggunaan agens biokontrol (Semangun; AOI 2007). Pengendalian Hayati Definisi pengendalian hayati menurut Soesanto (2008) adalah semua kondisi atau praktik yang berpengaruh terhadap penurunan daya tahan atau kegiatan patogen tanaman melalui interaksi dengan agensia organisme hidup lainnya (selain manusia), yang menghasilkan penurunan keberadaan penyakit yang disebabkan oleh patogen. Menurut Agrios (2005) pengendalian hayati merupakan perlindungan pada tanaman dari patogen tanaman termasuk penyebaran mikroorganisme antagonis pada saat setelah atau sebelum terjadinya infeksi patogen. Mekanisme dari biokontrol organisme yaitu dalam melemahkan atau membunuh patogen tanaman dengan perlawanan yaitu memparasit patogen secara langsung, memproduksi antibiotik (toksin), dan kemampuannnya dalam kompetisi ruang dan nutrisi, produksi enzim untuk melawan komponen sel patogen, menginduksi respon ketahanan tanaman, dan produksi metabolisme tanaman dalam mensetimulasi perkecambahan spora patogen. Cook dan Baker (1983) mengemukakan bahwa pengendalian hayati dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya dengan: (a) manipulasi lingkungan; (b) introduksi agens antagonis; (c) introduksi patogen avirulen dan hipo-virulen alami serta mikroorganisme endofit untuk menginduksi sistem ketahanan tanaman inang. Pemanfaatan mikroorganisme seperti plant growth promoting rhizobacteria (PGPR), Gliocladium fimbriatum dan fungi mikoriza arbuskula (FMA) sebagai agens biokontrol dalam pengendalian patogen tanaman.

10 Gliocladium fimbriatum G. fimbriatum termasuk golongan cendawan yang berasal dari filum Ascomycota, kelas Ascomycetes, ordo Hypocreales, dan genus Gliocladium (Agrios 2005). Gliocladium spp. merupakan cendawan mikoparasit sebagai salah satu cendawan antagonis bagi cendawan patogen yang mempunyai beberapa mekanisme antagonisme antara lain: penyerangan terhadap patogen diantaranya dapat mematikan atau menghancurkan hifa inangnya dengan mengeluarkan satu macam atau lebih antibiotik atau enzim, dan mekanisme hiperparasit dengan melilit hifa patogen sebagai inang, kemudian hidup dan berkembang pada isi sel inang yang telah mati (Sinaga 1992). Sinaga (2002) mengemukakan bahwa Gliocladium spp. mempunyai prospek yang tinggi sebagai agens biokontrol berbagai patogen yang merupakan penyebab penyakit pada berbagai jenis tanaman. hasil penelitiannya, baik pengujian secara invitro maupun invivo dalam rumah kaca maupun di lapangan menunjukkan bahwa G. fimbriatum memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengendalikan penyakit yang disebabkan berbagai patogen terutama patogen tular tanah seperti F. oxysporum. Gliocladium spp. juga dapat meningkatkan vigor tanaman jauh lebih baik dibandingkan dengan tanaman tanpa perlakuan Gliocladium spp. Menurut Agrios (2005) Gliocladium spp. dapat digunakan sebagai agens antagonis terhadap layu Fusarium melalui mekanisme antagonismenya. Berdasarkan berbagai percobaan yang dilakukan oleh Sinaga (2000), diketahui bahwa penggunaan Gliocladium spp. Sebagai agens biokontrol di lapangan akan lebih optimum bila dikombinasikan dengan komponen PHT yang lain. Yulianti (2001) melaporkan hasil pemanfaatan kombinasi cendawan fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan G. fimbriatum dapat menekan perkembangan penyakit busuk pangkal batang pada kelapa sawit (Ganoderma boninense) dan meningkatkan vigor tanaman. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Mikoriza adalah asosiasi atau simbiosis antara tanaman dengan cendawan yang mengkolonisasi jaringan korteks akar selama periode aktif pertumbuhan tanaman. Mikoriza dapat diklasifikasikan menjadi ektomikoriza dan

11 endomikoriza. Fungi mikoriza arbuskula merupakan mikoriza yang membentuk arbuskular, atau struktur bercabang banyak dalam sistem korteks (endomikoriza); misalnya ordo Glomales; dapat memproduksi hifa ekstramatik yang ekstensif (hifa di luar akar) (Handayanto & Hairiah 2007). Arbuskel pada fungi mikoriza arbuskula (FMA) membantu dalam mentransfer nutrea (terutama fosfat) dari tanah ke sistem perakaran dan hifa mikoriza di luar akar dapat memberikan keuntungan secara fisiologis yaitu adanya perlindungan terhadap patogen akar, seperti Fusarium spp. (Rao 2004). Menurut Rainiyati (2007) menyatakan bahwa bibit pisang raja nangka yang bersimbiosis FMA menunjukkan pertumbuhan dan serapan fosfor lebih tinggi dibandingkan bibit tanpa FMA. Setiap jenis FMA memiliki keefektifan yang berbeda dengan bibit pisang. FMA yang diberikan pada saat aklimatisasi lebih efektif menginfeksi akar bibit pisang 23,7-46,7 persen. Pemberian FMA pada umur 2 bulan menginfeksi 25,7-35,7 persen dan pemberian FMA pada umur 1 bulan menginfeksi 21-30 persen. Selain itu juga bibit pisang raja nangka yang bersimbiosis dengan FMA dapat tumbuh dan berproduksi lebih cepat dibandingkan dengan tanaman tanpa FMA. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) Bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman atau plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) adalah bakteri yang mengolonisasi perakaran tanaman (rhizosfer) yang memiliki kemampuan menekan pekembangan penyakit dan atau meningkatkan pertumbuhan tanaman (Nurhadiansyah 2008). Menurut Kloepper, dkk. 1978 mengatakan bahwa kemampuan PGPR sebagai agens pengendalian hayati adalah karena kemampuannya bersaing untuk mendapatkan zat makanan, atau karena hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraselluler yang bersifat antagonis melawan patogen dan PGPR dapat menyebabkan ketahanan sistemik tanaman dari serangan patogen. PGPR yang mampu berperan sebagai agens penyebab ketahanan sistemik tersebut adalah karena perlakuan akar, tanah, atau biji dengan rhizobakteri.

12 Berdasarkan pengujian antagonisme isolat PGPR secara invitro terhadap patogen F. oxysporum f.sp. cepae asal bawang merah oleh Nurhardiansyah (2008), menunjukkan bahwa isolat PGPR menunjukkan adanya mekanisme antibiosis terhadap patogen uji. Antibiosis merupakan mekanisme antagonis dimana terjadi kerusakan dan penghambatan bahkan kematian suatu organisme oleh senyawa metabolik toksik yang diproduksi oleh organisme lain (Sinaga 1992). Perlakuan PGPR pada tanaman dapat meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, dan panjang akar pada tanaman uji (Nurhardiansyah 2008). Menurut Hasanuddin (2003) juga menyatakan bahwa perlakuan PGPR pada tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan dan menekan penyakit yang disebabkan oleh F. oxysporum. Solarisasi Tanah Solarisasi tanah merupakan salah satu metode kultur teknis dalam pengendalian patogen akar (Agrios 2005). Solarisasi tanah merupakan suatu metode untuk menaikkan suhu tanah dengan cara menutup permukaan tanah menggunakan plastik mulsa transparan dalam hal pengendalian patogen tular tanah seperti Fusarium spp. Metode tersebut bekerja sesuai dengan efek green house, temperatur tanah mencapai suhu 50-60 0 C pada kedalaman 10 cm. Hal tersebut sudah cukup besar dalam mengendalikan patogen tular tanah (soil borne) (Horiuchi 2000). Penutupan plastik transparan (polyethylene) pada tanah yang lembab pada musim panas, temperatur tanah pada kedalaman 5 cm akan mencapai suhu 52 0 C dan jika solarisasi dengan menggunakan mulsa selain plastik suhu maksimum hanya sekitar 37 0 C. Solarisasi tanah dapat menurunkan inokulum patogen sehingga akan mengurangi potensi terjadinya panyakit (Agrios 2005). Menurut Lisnawita (2003) pengusahaan pengolahan tanah sehat bertujuan untuk memperkecil kondisi yang dapat menyebabkan tanaman stres dan mengurangi organisme tanah yang merugikan serta meningkatkan organisme tanah yang menguntungkan salah satunya dengan metode solarisasi tanah. Solarisasi tanah dilakukan dengan menutup tanah dengan plasik transparan selama 6-8 minggu, sehingga panas matahari terperangkap dan akan menaikkan suhu tanah. Saylendra (2007) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa sorasisasi tanah dapat menghambat perkecambahan konidia dan pembentukan klamidospora

13 dari FOC. Suhu tanah harian selama solarisasi tanah pada kedalaman 0.5 cm menunjukkan adanya peningkatan di setiap waktunya. Suhu tanah tertinggi dicapai pada solarisasi 4 minggu yaitu 44.5 0 C. Pada kisaran tersebut struktur pertahanan patogen seperti badan sklerotium sudah mengalami kerusakan/ kematian (Kartini dan Widodo 2000). Kultur Jaringan Kultur jaringan adalah suatu metode penanaman protoplas, sel, jaringan, dan organ pada media buatan dalam kondisi aseptik sehingga dapat beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Salah satu aplikasi kultur jaringan yang telah dikenal secara meluas dan telah banyak diusahakan untuk tujuan komersial adalah perbanyakan tanaman (Mariska & Sukmadjadja 2003). Hampir semua teknik kultur jaringan yang digunakan oleh ahli tumbuhan penting bagi ilmu penyakit tumbuhan yang digunakan untuk menghasilkan tumbuhan bebas patogen (Agrios 1996). Penyediaan bibit yang berkualitas baik merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam pengembangan pertanian di masa mendatang. Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan diaplikasikan terutama pada tanaman-tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif, selain itu perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan memeiliki beberapa keuntungan, yaitu diperolehnya bibit yang seragam dalam jumlah besar dan bebas penyakit sehingga meningkatkan hasil dan mencegah penyebaran penyakit ke sentra-sentra produksi baru dibanding dengan penggunaan bibit asal konvensional (anakan) [Biogen 2008]. Menurut Murashige (1974 dalam Mattjik 2005), mengemukakan bahwa salah satu dari kegunaan teknik kultur jaringan yaitu untuk memperoleh klon yang bebas dari penyakit sistemik. Menurut lembaga laboratotium kultur jaringan SEAMEO BIOTROP (2007) menyatakan bahwa keunggulan bibit pisang hasil kultur jaringan dibandingkan dengan bibit dari anakan adalah bibit kultur jaringan terbebas dari penyakit seperti bakteri layu Moko (Pseudomonas solanacearum) dan layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp cubense). Tingkat kecermatan dalam pemilihan bibit pisang sangat berperan/ menentukan munculnya penyakit layu pisang. Penyakit layu pisang dapat ditekan dengan menggunakan bibit hasil kultur jaringan [Dir. PTH 2008].

14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan kebun percobaan Buah dan Tanaman Hortikultura BIOTROP Tajur, mulai dari bulan Juni 2008 sampai dengan Juni 2009. Bahan Bahan dan alat yang digunakan adalah bibit pisang varietas ambon putih umur 2 bulan asal anakan yang berasal dari kebun pisang Sukabumi dan bibit kultur jaringan yang berasal dari Laboratorium Kultur Jaringan, SEAMEO BIOTROP Bogor, agens biokontrol yang tediri dari Gliocladium fimbriatum (isolat koleksi Laboratorium Mikologi, Departemen proteksi Tanaman, FAPERTA-IPB), fungi mikoriza arbuskula (FMA) (formulasi Balai Pengkajian Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Puspitek, Serpong), dan plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) formulasi Laboratorium Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman-IPB), pupuk kandang, pupuk sintetis (NPK), dan plastik transparan polyethylene (untuk solarisasi tanah). Metode Penyiapan lahan percobaan. Lahan uji bertempat di Kebun Buah dan Tanaman Tropika BIOTROP (Tajur I). Lahan percobaan yang digunakan untuk menanam bibit pisang digemburkan, pembuatan lubang tanam kemudian dilakukan perlakuan solarisasi tanah dengan cara menutup tanah menggunakan plastik transparan (polyethylene) selama dua minggu dan tanah tanpa perlakuan solarisasi. Setelah solarisasi tanah, lubang tanam kemudian diberi pupuk kandang dengan dosis 5 kg/lubang. Perlakuan agens biokontrol. FMA diintroduksikan ke sekitar perakaran bibit tanaman pisang (20 g/tanaman) dan diinkubasikan selama dua bulan dalam polybag. Setelah perlakuan solarisasi tanah bibit kemudian di tanam di lapangan

dengan jarak tanam ±2x2 m 2 15 dan sekaligus dilakukan perlakuan: pemupukan dengan pupuk kandang (15 kg/tanaman) dan NPK, agens biokontrol G. fimbriatum (30 g/tanaman), dan (PGPR) (1 liter/tanaman). Rancangan Percobaan Percobaan dilakukan dengan rancangan faktorial dalam acak kelompok dengan tiga faktor perlakuan dan lima ulangan. Faktor bibit (B) dengan dua taraf yaitu bibit asal kultur jaringan (B0) dan bibit asal anakan (B1). Faktor agens antagonis (A) dengan lima taraf yaitu, tanpa agens antagonis (A0), G. fimbriatum (A1), FMA (A2), PGPR (A3) dan perlakuan FMA + G. fimbriatum (A4). Perlakuan teknik budidaya (S) terdiri dari: tanpa solarisasi+pupuk kandang (S0), perlakuan solarisasi (S1) dan perlakuan solarisasi + pupuk kandang (S2). Rancangan perlakuan Tabel Kombinasi perlakuan bibit pisang, agens antagonis dan teknik budidaya Perlakuan A0 A1 A2 A3 A4 B0A0S0 B0A1S0 B0A2S0 B0A3S0 B0A4S0 B 0 B1 S0 S1 S2 B0A0S1 B0A1S1 B0A2S1 B0A3S1 B0A4S1 B0A0S2 B0A1S2 B0A2S2 B0A3S2 B0A4S2 B1A0S0 B1A1S0 B1A2S0 B1A3S0 B1A4S0 B1A0S1 B1A1S1 B1A2S1 B1A3S1 B1A4S1 B1A0S2 B1A1S2 B1A2S2 B1A3S2 B1A4S2 Pengamatan kejadian penyakit dan karakter agronomi. Pengamatan lapangan dilakukan setiap dua minggu sekali. Peubah yang diamati ialah persentase kejadian penyakit, karakter pertumbuhan agronomi yang terdiri dari laju pertumbuhan tinggi tanaman dan lingkar batang (diamati 2-45 minggu setelah tanam/mst), presentase asosiasi mikoriza (pada 43 MST), serta keragaman dan kelimpahan cendawan rhizosfer (pada 45 MST).

Laju (r) tinggi tanaman dan lingkar batang dihitung dengan modifikasi rumus Zadoks & Schein (1979): 16 Ket : Xt = Tinggi tanaman atau lingkar batang pada minggu ke-t : X0 = Tinggi tanaman atau lingkar batang pada minggu awal/ sebelumnya Persentase kejadian penyakit (KjP) dihitung dengan rumus (dalam Sinaga 2003): Ket : n= Jumlah tanaman yang terserang N= Jumlah tanaman yang diamati Pengamatan kejadian penyakit didasarkan pada gejala eksternal; penguningan daun, pecahnya pseudostem, kelayuan, dan kematian tanaman. Gejala internal dilakukan di akhir pengamatan dengan cara memotong batang tanaman secara melintang dan membujur untuk melihat ada tidaknya bercak nekrotik berwarna kecoklatan hingga kemerahan pada jaringan pembuluh xylem dan busuknya bonggol pisang. Pengamatan Persentasi Asosiasi Mikoriza. Persentase asosiasi mikoriza dilakukan menjelang akhir pengamatan (43 MST). Analisis infeksi mikoriza dilakukan dengan cara mengambil akar tanaman pisang. Akar tanaman dicuci dan bulu akar dipotong-potong ± 2 cm kemudian ditimbang 10 g. Bulu akar yang telah dipotong dan untuk membersihkan inti akar dari kandungan lignin agar penetrasi zat warna lebih mudah maka direndam dengan larutan KOH 10% (w/v) hingga akar berwarna pucat. Setelah perlakuan menggunakan KOH akar direndam menggunakan HCl 0.1 N selama 12 jam untuk menetralisir KOH kemudian akar dibilas menggunakan air mengalir hingga bersih. Setelah itu akar diwarnai menggunakan larutan trypan blue 0,05 % (w/v) di dalam larutan lactid acid glycerol (LAG) (berfungsi untuk mengikat trypan blue) yang merupakan campuran asam laktat, gliserol, dan air dengan perbandingan 1:1:1 (v/v). Selama pengamatan akar disimpan di dalam larutan glyserol 50% (v/v). Infeksi akar oleh FMA dihitung menggunakan prosedur the gridline intersection method (Brundett et al. 1996). Akar yang telah diwarnai disebar

17 sacara acak pada cawan petri berdiameter 14 cm yang sudah diberi kotakan berukuran 0,8 cm x 0,8 cm sebanyak 100 kotak. Potongan akar yang melewati gridline dihitung sebagai infeksi, apabila ditemukan struktur mikoriza (spora, hifa, vesikel, atau arbuskula) pada jaringan akar yang ditandai dengan bagian yang berwarna lebih gelap dibandingkan bagian lain. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop binokuler dengan cara mengamati seluruh kotakan gridline secara vertikal dan horisontal. Tingkat asosiasi FMA dihitung menggunakan rumus-rumus berikut (Newman 1966; Tennant 1975; Giovannetti & Mosse 1980 dalam Brundett et al. 1996): Ket: Panjang akar terkolonisasi (cm) = akar terinfeksi FMA Panjang akar interseksi (cm) = total akar interseksi Pengamatan Keragaman dan Kelimpahan Cendawan Tanah Rhizosfer. Keragaman dan kelimpahan cendawan tanah rhizosfer diamati dengan cara mengambil sampel sampel tanah rhizosfer pada areal pertanaman pisang percobaan. Untuk setiap perlakuan terdiri perwakilan dari satu tanaman sakit dan satu tanaman sehat. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan menggunakan bor tanah (diameter 5 cm) pada kedalaman 20-40 cm sebanyak 5 titik pada masing-masing tanaman. Sampel tanah rhizosfer dari kelima titik dicampur lalu diambil ±0.5 kg, kemudian sampel tanah tersebut dibawa ke Laboratoium untuk dilakukan ekstaksi cendawan rhizosfer. Ekstraksi cendawan tanah rhizosfer dilakukan dengan cara melarutkan 10 g tanah sampel ke dalam 9 ml akuades steril dan kemudian di goyang menggunakan shaker selama 12 jam. Pengenceran dilakukan secara berseri hingga pada konsentrasi 10-6 g/ml. Pencawanan/ platting dilakukan pada konsentrasi 10-5 dan 10-6 pada media Martin Agar (MA) dan diinkubasikan selama 5-7 hari. Koloni cendawan yang berhasil tumbuh pada media MA kemudian dihitung dan diidentifikasi menggunakan buku panduan kunci identifikasi cendawan Watanabe (2002) dan Burnett & Hunter (2006).

18 Analisis Data Untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap respon yang diamati dilakukan analisis sidik ragam dengan menggunakan program SAS (Statistic Analisis System) untuk Windows versi 6.2. Apabila perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diamati, dilakukan analisis lanjut dengan Uji Selang Berganda Duncan (α = 10%).

19 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Tanaman pisang hasil kultur jaringan maupun anakan berasal dari kultivar ambon putih. Sebelum penanaman, bibit tanaman pisang dilakukan aklimatisasi selama ± 2 bulan. Setelah aklimatisasi bibit pisang ditanam pada lahan seluas ± 600 m 2 dengan tumpangsari tanaman manggis (tinggi tanaman antara 1-4 m) dan lahan dikelilingi oleh vegetasi pohon buah-buahan (durian dan rambutan). Lahan yang digunakan untuk percobaaan sudah terinfestasi berat oleh Fusarium oxysporum fsp. cubense secara alami. Elevasi lahan sedikit miring dari arah Timur ke Barat. Penyiraman dilakukan setiap hari selama musim kemarau. Keadaan lingkungan saat solarisasi tanah dan penanaman yaitu suhu rata-rata harian 27,2 0 C (maksimal 31,7 dan minimal 22.4 0 C), kelembaban udara harian 77.7 %, radiasi surya 327 (MJ/m 2 /bulan), dan curah hujan 222 mm/bulan. Tidak dilakukan pemotongan anakan yang tumbuh dari induk dari tanaman pisang hingga ± 30 minggu setelah tanam. Hingga akhir pengamatan (45 MST) secara umum tanaman belum berbunga. Gejala Penyakit Layu Fusarium Kejadian penyakit di lapangan diamati secara visual terhadap gejala luar yang terdiri dari daun tua berwarna kuning cerah dimulai dari bagian tepinya kemudian keseluruhan daun menguning dan layu, rebah pada pangkal tangkai daun, pecahnya batang (pseudostem) di bagian permukaan atas tanah, kelayuan tanaman dan kematian tanaman (Gambar 1 Lampiran). Gejala internal menunjukkan adanya bercak hitam hingga kemerahan atau busuknya batang (pseudostem) jika di belah secara melintang maupun membujur dan busuknya bagian bonggol tanaman (Gambar 3 Lampiran). Kelayuan pada tanaman disebabkan adanya penyumbatan makrokonidia atau mikrokonidia pada jaringan xylem, pembentukan tilosis atau adanya mikotoksin fusarik yang dikeluarkan oleh FOC. Patogen penyebab layu Fusarium mengkolonisasi jaringan xylem secara sistemik pada kultivar pisang yang rentan dan menyebabkan kematian jaringan pembuluh (Ploetz dan Pegg 2000).

Pegaruh Masing-Masing Perlakuan Terhadap Respon Tanaman Tabel 1 Sidik ragam perlakuan bibit (B), agens antagonis (A) dan teknik budidaya (S) terhadap persentase kejadian penyakit (KjP), laju tinggi tanaman (TT), lingkar batang (LB), dan asosiasi FAM di lapangan Respon (Pr > F) Perlakuan Asosiasi KjP (%) LTT (cm) LLB (cm) Mikoriza (%) B 0.0779* 0.5503 tn 0.8844 tn 0.8343 tn A 0.8974 tn 0.5032 tn 0.1081 tn 0.0298* S 0.1498 tn 0.8197 tn 0.4465 tn 0.9710 tn B*A 0.4842 tn 0.3346 tn 0.0686 * 0.0063** B*S 0.3138 tn 0.2855 tn 0.8078 tn 0.5534 tn A*S 0.8496 tn 0.4065 tn 0.9989 tn 0.3227 tn B*A*S 0.0998* 0.3762 tn 0.4455 tn 0.6090 tn Blok/ ulangan 0.6420 tn 0.0052** 0.1544 tn 0.2538 tn Keterangan: * nyata (α=10%), **sangat nyata (α=1%), tn (tidak nyata) Pengaruh perlakuan terhadap persentase kejadian penyakit (KjP), laju tinggi tanaman (LTT), laju lingkar batang (LLB), dan persentase infeksi mikoriza pada tanaman uji dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bibit berpengaruh nyata terhadap persentase kejadian penyakit dengan peluang nyata 0.0779 (<α=10%). Pada perlakuan kombinasi penggunaan bibit pisang, agens antagonis dan kultur teknis memberikan pengaruh nyata terhadap kejadian penyakit dengan peluang nyata 0.0998 (<α=10%). Perlakuan kombinasi bibit dengan agens antagonis berpengaruh nyata terhadap laju lingkar batang 0.0686 (<α=10%). Perlakuan agens antagonis berpengaruh nyata terhadap asosiasi mikoriza dengan peluang nyata 0.0298 (<α=10%) dan interaksi bibit dengan agens antagonis (AB) berpengaruh sangat nyata dengan peluang nyata 0.0063 (<α=1%). Akan tetapi semua perlakuan memberikan respon tidak nyata terhadap laju tinggi tanaman. Pengaruh Perlakuan Bibit Terhadap Persentase Kejadian Penyakit dan Periode Laten Layu Fusarium Berdasarkan uji lanjut berganda Duncan (α=10%) penggunaan bibit tanaman hasil kultur jaringan memberikan penekanan terhadap kejadian penyakit yang nyata dibanding bibit asal anakan (Tabel 2). Kejadian penyakit pada bibit asal kultur jaringan rata-rata sebesar 12.5 % sedangkan pada perlakuan bibit asal anakan rata-rata sebesar 15.2 %. 20

21 Tabel 2 Pengaruh perlakuan bibit terhadap kejadian penyakit di lapangan Perlakuan Kejadian penyakit (%) B0 15.2a B1 12.5b Keterangan: Angka dalam satu kolom yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf α=10%. Pengguanaan bibit hasil kultur jaringan selain menghasilkan bibit yang bebas dari patogen juga masih terdapatnya residu zat pengatur tumbuh (ZPT) yang tersisa saat proses kultur jaringan. Selama residu ZPT masih ada, hal tersebut akan memungkinkan hara tersedia sehingga tanaman lebih tahan terhadap patogen karena sebagai patogen lemah FOC mudah menyerang pada tanaman yang mengalami stres/ miskin unsur hara (Daly, Walduck & Darwin 2006). Namun demikian penggunaan bibit asal kultur jaringan dengan bibit asal anakan tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap karakter agronomis tanaman. Seperti yang dikemukakan oleh Mariska & Sukmadjaja (2003) bahwa karakter agronomis seperti tinggi tanaman dan jumlah daun tidak berbeda antara tanaman pisang asal kultur jaringan dengan anakan (konvensional). Tabel 3 Pengaruh kombinasi perlakuan bibit, agens antagonis dan kultur teknis terhadap periode laten kejadian penyakit Perlakuan Periode Laten (MST) Kejadian Penyakit (%) B0A0S0 16 40 B0A1S0 16 20 B0A3S2 16 40 B0A4S2 16 60 B0A2S0 16 60 B0A0S1 16 20 B0A3S0 16 40 B0A3S1 16 60 B0A4S0 16 40 B1A2S2 26 40 B1A1S2 26 80 B1A4S2 26 20 B1A0S1 26 20 B1A0S1 26 40 B1A4S1 26 80 Keterangan: MST (minggu setelah tanam) Penggunaan bibit asal kultur jaringan yang dikombinasikan dengan agens antagonis dan teknik budidaya dapat memperpanjang periode laten layu Fusarium