repository.unisba.ac.id

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. masih tanggung jawab orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yaitu membesarkan,

2015, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

Karakteristik Anak Usia Sekolah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beberapa jenis antara lain; tunanetra, tunarungu/tunawicara, tunagrahita,

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjaga tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomi dan bermartabat.

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang

WALI KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

INDONESIA. UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena itu mereka termasuk kedalam anak berkebutuhan khusus (Miller, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hal yang paling penting dalam setiap kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. hampir sama dengan anak kebanyakan. Namun takdir berkata lain anak yang

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang optimal meliputi kesehatan fisik, mental dan sosial. Terdapat pendekatanpendekatan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

2011, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Pe

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN IBU, BAYI BARU LAHIR, BAYI DAN ANAK BALITA

DIREKTORAT JENDERAL BINA GIZI DAN KESEHATAN IBU ANAK DIREKTORAT BINA KESEHATAN ANAK KEMENTERIAN KESEHATAN RI Ind p

Indonesia Menuju Pelayanan Kesehatan Yang Kuat Atau Sebaliknya?

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM KESEHATAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, cakupan dari disabilitas terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN.

MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing (UU No. 17/2007).

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 7 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG

B. Tujuan Umum : Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan terhadap usia lanjut dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Pendahuluan Landasan Hukum Hak-Hak Anak Batasan Usia Anak

USULAN TENTANG PELAYANAN KESEHATAN LANJUT USIA

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. dilaksanakan secara terarah, berkesinambungan dan realistis sesuai tahapannya

PUSAT PERAWATAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ARSITEKTUR PERILAKU TUGAS AKHIR TKA 490 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan melakukan aktivitas secara mandiri. pembentukan pengertian dan belajar moral (Simanjuntak, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Pencapaian tujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang. menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan

SEMINAR PELAKSANAAN PERDA NOMOR 3 TAHUN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS di KABUPATEN KULON PROGO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. terencana melalui pendidikan. Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh berbagai

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

BAB I PENDAHULUAN. orang tua. Anak bisa menjadi pengikat cinta kasih yang kuat bagi kedua orang

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting. Untuk menilai tumbuh kembang anak banyak pilihan cara. Penilaian

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA ELATAN NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEHATAN REPRODUKSI

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011

a. Hak Hidup Cara Penilaian Nilai

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG

TIME OUT : ALTERNATIF MODIVIKASI PERILAKU DALAM PENANGANAN ANAK ADHD (ATTENTION DEFICIT/HYPERACTIVITY DISORDER)

GERAKAN MASYARAKAT HIDUP SEHAT (GERMAS)

BAB I PENDAHULUAN. sehingga orang yang mengusahakan kesehatan atau membersihkan diri akan

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA

DATA KRITERIA CARA PENILAIAN NILAI a. Hak Hidup 1. Jumlah kematian ibu 1)

2 < 50 % 7. Persentase penyandang aksara 7) buta 2 % 2,1 3 % 3,1 4 % 4,1 5 % > 6 % c. Hak atas Kesejahteraan Cara Penilaian Nilai 8. Penyediaan air be

2016, No Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

PENDAHULUAN.. Upaya Kesehatan Jiwa di Puskesmas: Mengapa Perlu? Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI

2 Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembara

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. I.1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

TENTANG PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA KESEHATAN SEKOLAH/MADRASAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 27 TAHUN 2008

2 pembinaan dan pengembangan usaha kesehatan sekolah/madrasah di setiap sekolah/madrasah; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada

PROGRAM DOKTER KECIL SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT PADA SISWA SEKOLAH DASAR

MENGIMPLEMENTASIKAN UPAYA KESEHATAN JIWA YANG TERINTEGRASI, KOMPREHENSIF,

BAB I PENDAHULUAN. membangun manusia Indonesia yang tangguh. Pembangunan dalam sektor kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

BAB I PENDAHULUAN. ke masa dewasa, yang disertai dengan berbagai perubahan baik secara fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jika dikaitkan dengan produktivitas kerja (Kementerian Kesehatan, 2005). Gigi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PELINDUNGAN DAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS

BAB I PENDAHULUAN. mutu pelayanan kesehatan pada seluruh masyarakat. Menurut WHO kesehatan adalah

BAB I PENDAHULUAN. dan kemandirian, adil dan merata, serat pengutamaan dan manfaat dengan

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH KOTA KENDARI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua merupakan sosok yang paling terdekat dengan anak. Baik Ibu

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga kesehatan gigi mempunyai manfaat yang besar dalam menunjang. kesehatan dan penampilan, namun masih banyak orang yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan sumber kebahagiaan bagi sebagian besar keluarga sejak di

PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 99 TAHUN : 2009 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 4 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

2017, No d. bahwa upaya untuk memenuhi hak serta mempercepat perlindungan khusus bagi anak penyandang disabilitas perlu dikoordinasikan dengan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu faktor genetik dan non genetik, seperti lingkungan, nutrisi, dan penyakit.

2016 GAMBARAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG MANAJEMEN PELAYANAN HOSPITAL HOMECARE DI RSUD AL-IHSAN PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IMPELEMENTASI GERAKAN MASYARAKAT HIDUP SEHAT (GERMAS) DALAM RANGKA MEWUJUDKAN ASN SEHAT

I. PENDAHULUAN. semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEBIDANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

MAKALAH Prevalensi, Karakteris3k, Dan Pelayanan Kesehatan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Di Indonesia Lisa Adhia Garina FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG APRIL 2012 LEMBAR PENGESAHAN PERPUSTAKAAN 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender, nondiskriminasi serta norma-norma agama (Direktorat bina kesehatan anak, 2010). Anak mengalami proses tumbuh kembang yang dimulai sejak dari dalam kandungan, masa bayi, balita, usia sekolah dan remaja. Setiap tahapan proses tumbuh kembang anak mempunyai ciri khas tersendiri, sehingga jika terjadi masalah pada salah satu tahapan tumbuh kembang tersebut akan berdampak pada kehidupan selanjutnya. Tidak semua anak mengalami proses tumbuh kembang secara wajar sehingga terdapat anak yang memerlukan penanganan secara khusus (Kemenkes, 2010). Anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat merupakan salah satu sumber daya manusia Indonesia yang kualitasnya harus ditingkatkam agar dapat berperan, tidak hanya sebagai obyek pembangunan tetapi juga sebagai subyek pembangunan (Direktorat bina kesehatan anak, 2010). Setiap 4

anak, termasuk anak berkebutuhan khusus berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Permeneg perlindungan anak dan perempuan, 2011). Berdasarkan American Academy of Pediatrics/AAP (2005), jumlah Anak berkebutuhan khusus diperkirakan 13% dari total jumlah anak. Empat belas koma lima persen anak dibawah 18 tahun di California, atau sekitar 1,4 juta anak diperkirakan berkebutuhan khusus pada tahun 2007 (CAHMI, 2010). World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia sekitar 7-10% dari total jumlah anak. Menurut data Sussenas tahun 2003, di Indonesia terdapat 679.048 anak usia sekolah berkebutuhan khusus atau 21,42% dari keseluruhan jumlah anak berkebutuhan khusus (Direktorat bina kesehatan anak, 2010). Sedangkan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2007, terdapat 82.840.600 jiwa anak dari 231.294.200 jiwa penduduk Indonesia, dimana sekitar 8,3 juta jiwa diantaranya adalah anak berkebutuhan khusus (Kemenkes, 2010). Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia terus meningkat jumlahnya. Pada hari Autis sedunia yang jatuh pada 8 April 2009 diketahui bahwa prevalensi anak berkebutuhan khusus saat ini mencapai 10 anak dari 100 anak. Berdasarkan data ini menunjukkan 10 persen populasi anak-anak adalah anak berkebutuhan khusus dan mereka harus mendapatkan pelayanan khusus, baik pelayanan pendidikan maupun kesehatan (Keputusan Kemenkes, 2010). 5

Masalah kecacatan pada anak merupakan masalah yang cukup kompleks baik secara kuantitas maupun kualitas, mengingat berbagai jenis kecacatan mempunyai permasalahan tersendiri. Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan bahwa upaya pemeliharaan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis dan bermartabat. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis (Direktorat bina kesehatan anak, 2010). Keberadaan anak berkebutuhan khusus di Indonesia masih kurang mendapatkan perhatian, apabila dibandingkan dengan keberadaan orang-orang berkebutuhan khusus di luar negeri yang begitu didukung oleh fasilitas dan sarana yang memadai. Negara ini sangat kurang dalam peningkatan hak-hak mereka. Salah satu cara untuk dapat mengembangkan kemampuan yang mereka miliki adalah dengan penanganan yang tepat (Keputusan Kemenkes, 2010). Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003, masih ada 295.250 anak penyandang cacat (85,6%) ada di masyarakat dibawah pembinaan dan pengawasan orang tua dan keluarga dan pada umumya belum meperoleh akses pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya (Direktorat bina kesehatan anak, 2010). 1.2 Rumusan masalah - Berapakah prevalensi anak berkebutuhan khusus di Indonesia. 6

- Bagaimanakah bentuk pelayanan kesehatan anak berkebutuhan khusus 1.3 Tujuan yang terdapat di Indonesia. - Mendeskripsikan prevalensi anak berkebutuhan khusus di Indonesia - Mendeskripsikan bentuk pelayanan kesehatan anak berkebutuhan khusus 1.4 Metode yang terdapat di Indonesia. Metode pembahasan dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu menguraikan dan menjelaskan data berdasarkan studi literatur sebagai acuan. 7

BAB II PEMBAHASAN A. Anak berkebutuhan khusus 1. Definisi Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar, dan anak yang akibat keadaan tertentu mengalami kekerasan, berada dilembaga permasyarakatan/rumah tahanan, di jalanan, di daerah terpencil/bencana konflik yang memerlukan penanganan secara khusus (Direktorat bina kesehatan anak, 2010). Berdasarkan Permeneg perlindungan anak dan perempuan (2011), anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami keterbatasan/keluarbiasaan baik fisik, mentalintelektual, sosial, maupun emosional yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. 8

Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki risiko tinggi mengalami keterbatasan fisik bersifat kronis, gangguan perkembangan, gangguan perilaku, atau emosional sehingga memerlukan pelayanan kesehatan yang berbeda dengan anak normal (McPherson, 1998). Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Saat ini anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik dan hambatan tertentu (Keputusan Kemenkes, 2010). 2. Epidemiologi Sekitar 12,8% anak (9360 perkiraan populasi) di Amerika Serikat merupakan anak berkebutuhan khusus pada tahun 2001. Prevalensi tinggi pada anak laki-laki, usia sekolah, dan berasal dari keluarga dengan keadaan sosial ekonomi rendah (van Dyck, 2004). Prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia. Anak dengan usia lebih muda (lahir - 5 tahun) memiliki prevalensi lebih rendah dibandingkan anak yang lebih tua (12-17 tahun), sesuai gambar 1 (CAHMI, 2010). 9

Gambar 1. Persentase anak berkebutuhan khusus dari total populasi anak di California berdasarkan usia Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi anak berkebutuhan khusus berjenis kelamin laki-laki adalah sebesar 18,5, dan 10,3% adalah perempuan sesuai dengan gambar 2 (CAHMI, 2010). Gambar 2. Persentase anak berkebutuhan khusus usia 0-17 tahun berdasarkan jenis kelamin Keberadaan anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat secara nasional maupun sebarannya pada masing-masing provinsi belum memiliki data yang pasti. Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk sebesar 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari jumlah tersebut 24,45% atau 361.860 diantaranya adalah anak-anak usia 0-18 tahun 10

dan 21,42% atau 317.016 anak merupakan anak cacat usia sekolah (5-18 tahun). Sekitar 66.610 anak usia sekolah penyandang cacat (14,4% dari seluruh anak penyandang cacat) ini terdaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Pada tahun 2009 jumlah anak penyandang cacat yang ada di Sekolah meningkat menjadi 85.645 dengan rincian di SLB sebanyak 70.501 anak dan di sekolah inklusif sebanyak 15.144 anak (Direktorat bina kesehatan anak, 2010). 3. Karakteristik Anak penyandang cacat dapat digolongakan menjadi beberapa kelompok antara lain: tunanetra, tunarungu/tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD), autism dan tunaganda, yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dan memerlukan penanganan dan pelayanan yang berbeda pula (Direktorat bina kesehatan anak, 2010). 4. Masalah kesehatan Berdasarkan Kemenkes (2010), masalah kesehatan pada anak berkebutuhan khusus dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu : 11

a. Masalah kesehatan yang dibawa sejak lahir atau kelainan congenital seperti Down syndrome, cerebral palsy, hypotiroid kongenital, anak dengan autis dan kecacatan lain. b. Masalah kesehatan yang didapat akibat kondisi tertentu seperti terjadinya kekerasan dan penelantaran pada anak, dan konsekuensinya terjadinya pelanggaran hukum. Hal tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan bagi anak berkebutuhan khusus yang selanjutnya berdampak terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia. Asma, alergi, ADHD, dan problem emosional merupakan masalah umum yang sering dilaporkan pada anak berkebutuhan khusus di California (CAHMI, 2010) sesuai tabel 1. Tabel 1. Persentase dan perkiraan jumlah populasi anak berkebutuhan khusus dengan kondisi kesehatan spesifik di California 12

Untuk mendapatkan gambaran status kesehatan anak dan teridentifikasinya masalah kesehatan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus terutama penyandang cacat, Kementrian Kesehatan RI telah melakukan survey cepat 13

pada 6 SLB di 3 Provinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan hasil secara deskriptif sebagai berikut: (Direktorat bina kesehatan anak, 2010). a. Karakteristik jenis kecacatan sebagian besar adalah tunanetra, tunarungu/ tunawicara dan sebagian kecil gangguan belajar b. Karakteristik fisik siswa berdasarkan indikator tinggi badan dan berat badan sebagian besar normal sesuai umur. Keadaaan pemenuhan kecukupan gizi berdasarkan hasil food recall 24 jam sebagian besar asupan makanan anak di SLB beraneka ragam. c. Karakteristik perilaku: perilaku hidup bersih dan sehat sebagian besar siswa sudah cukup baik. d. Karakteristik pribadi/sosial dan emosional, hamper sebagian besar siswa dapat melakukan aktivitas sendiri, hanya sebagian kecil yang dapat ikut kegiatan di masyarakat dan kegiatan sehari-hari di rumah. e. Pelayanan kesehatan meliputi: promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif. 5. Pelayanan kesehatan Kondisi pelayanan kesehatan anak berkebutuhan khusus di Indonesia saat ini belum optimal, ketidaksiapan orangtua menerima dan mengasuh anak berkebutuhan khusus, belum optimalnya layanan konseling kesehatan pranikah, terbatasnya informasi tentang penyebab terjadinya kecacatan pada anak berkebutuhan khusus, belum semua fasilitas pelayanan kesehatan yang ramah anak berkebutuhan khusus, belum optimalnya anak berkebutuhan 14

khusus memperoleh akses pelayanan kesehatan, kurang tersedianya layanan spesialis di provinsi dan kabupaten/kota, terbatasnya pelayanan rehabilitasi bagi anak berkebutuhan khusus (Permeneg perlindungan anak dan perempuan, 2011). Pelayanan kesehatan anak berkebutuhan khusus yang ideal membutuhkan pelayanan ilmu kesehatan anak yang standar, pelayan kesehatan tersebut mencakup: Spesialis/tenaga kesehatan dan perawat yang khusus (misalnya: dokter subspesialis, RS khusus anak berkebutuhan khusus, dan pencegahan serta pelayanan primer), pelayanan terapeutik (misalnya: terapis fisik, wicara, dan occupational terapis, pelayanan kesehatan mental, pelayanan kesehatan dan perawatan di rumah), pelayanan pada keluarga (misalnya: konseling dan pendidikan pada orangtua, management yang komprehensif sesuai kasus, dibutuhkan koordinasi serta kebijakan dari pelayanan kesehatan, sarana dan prasarana (misalnya: kelengkapan alat-alat kesehatan khusus), pelayanan dari instansi terkait (misalnya: intervensi dini, pendidikan khusus, dan pelayanan sosial) (McPherson, 1998). Anak berkebutuhan khusus membutuhkan pelayanan kesehatan yang spesifik tergantung pada kondisi kesehatan dan keadaan lingkungan mereka. Pelayanan kesehatan anak berkebutuhan khusus berubah setiap waktu dan pelayanan spesifikpun sangat bervariasi. Pelayanan kesehatan yang spesifik tersebut meliputi: 1). Pelayanan kesehatan dasar: pelayanan preventif, 15

kesehatan gigi dan mulut, pelayanan resep dokter. 2). Pelayanan kesehatan spesialisasi: Dokter Spesialis, terapi fisik, wicara, dan occupational terapi, psikologi atau konseling terapi, pusat krisis terpadu/konseling, pelayanan kesehatan di rumah. 3). Sarana dan prasarana: Kacamata atau pemeriksaan kesehatan mata, alat bantu dengar, alat bantu jalan (kursi roda, kaki palsu, dll), alat bantu komunikasi (papan pengumuman), alat-alat medis, prasarana medis (CAHMI, 2010). Pelayanan kesehatan anak berkebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB), meliputi: Penjaringan dan pemeriksaan kesehatan berkala serta penyuluhan kesehatan, imunisasi, pelayanan gizi dan pembinaan warung sekolah, pengobatan ringan: pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dan pertolongan pertama pada penyakit (P3P), penangan kasus (anemia, obesitas, diare, kecacingan, malaria, cerebral palsy dan lain-lain), rujukan medis ke Puskesmas dan Rumah Sakit (Direktorat bina kesehatan anak, 2010). Selain itu di sekolah, anak yang berkebutuhan khusus telah mendapatkan layanan kesehatan melalui program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) di Sekolah Luar Biasa (SLB), namun program tersebut belum dapat berjalan secara optimal, sehingga anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Masih terbatasnya penyelenggaraan deteksi dini dan intervensi dini terhadap anak berkebutuhan khusus oleh tenaga kesehatan, orang tua, keluarga dan 16

masyarakat, mengakibatkan banyak orang tua yang tidak mengetahui anaknya ternyata termasuk anak berkebutuhan khusus, sehingga pengetahuan mengenai deteksi dan intervensi dini sangat diperlukan untuk mengetahui apakah anak mengalami gangguan penglihatan, pendengaran atau gangguan lainnya (Permeneg perlindungan anak dan perempuan, 2011). Rekomendasi hasil survey cepat Kementrian Kesehatan RI pada 6 SLB di 3 Provinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah sebagai berikut: pelayanan kesehatan siswa perlu dilaksanakan melalui sistim pelayanan kesehatan yang sudah ada. Pemeriksaan rutin kesehatan siswa dilakukan sesuai dengan jenis kecacatan, kegiatan promosi kesehatan perlu ditingkatkan meliputi: penyediaan media penyuluhan, pelaksanaan penyuluhan kesehatan sesuai kebutuhan, pembinaan pengetahuan, sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat, perlunya dilakukan pelatihan bagi guru, siswa dan orangtua agar dapat melakukan tindakan sederhana dalam mengatasi masalah kesehatan dan meningkatkan kemandirian siswa, perlunya kesediaan sarana dan prasarana di puskesmas disesuaikan dengan kebutuhan anak penyandang cacat yang ada di lingkungannnya (Puskesmas Peduli Penyandang Cacat), menggalang kemitraan dengan berbagai sektor terkait untuk pemenuhan kebutuhan baik berupa dana dan sarana prasarana termasuk kemitraan dengan Rumah Sakit, Universitas dan pihak terkait lainnya dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan baik spesialistik dan psikologis secara maksimal (Direktorat bina kesehatan anak, 2010). 17

BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan - Keberadaan anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat secara nasional maupun sebarannya pada masing-masing provinsi belum memiliki data yang pasti - Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2007, terdapat 82.840.600 jiwa anak dari 231.294.200 jiwa penduduk Indonesia, dimana sekitar 8,3 juta jiwa diantaranya adalah anak berkebutuhan khusus - Pada tahun 2009 jumlah anak penyandang cacat yang ada di Sekolah meningkat menjadi 85.645 dengan rincian di SLB sebanyak 70.501 anak dan di sekolah inklusif sebanyak 15.144 anak - Pelayanan kesehatan anak berkebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB), meliputi: penjaringan dan pemeriksaan kesehatan berkala serta penyuluhan kesehatan, imunisasi, pelayanan gizi dan pembinaan warung sekolah, pengobatan ringan: pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dan pertolongan pertama pada penyakit 18

3.2 Saran (P3P), penangan kasus (anemia, obesitas, diare, kecacingan, malaria, cerebral palsy dan lain-lain), rujukan medis ke Puskesmas dan Rumah Sakit - Diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap keberadaan anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat secara nasional maupun sebarannya pada masing-masing provinsi di Indonesia. - Diperlukan adanya perhatian dan penanganan secara khusus dari berbagai pihak/multidisipliner terhadap pelayanan kesehatan anak berkebutuhan khusus yang telah ada untuk mengurangi dan mencegah derajat kecacatan yang lebih parah, sehingga diharapkan mereka dapat melakukan aktifitas sehari-hari serta dapat menjadi subyek/sumber daya pembangunan di Indonesia. - Perlunya kesediaan sarana dan prasarana di puskesmas disesuaikan dengan kebutuhan anak penyandang cacat yang ada di lingkungannnya (Puskesmas Peduli Penyandang Cacat). Puskesmas sebagai pemberi pelayanan kesehatan terdepan diharapkan dapat melakukan pembinaan dan pelayanan kesehatan secara comprehensif, berkesinambungan dan berkualitas. 19

DAFTAR PUSTAKA 1. Direktorat bina kesehatan anak, Kementerian Kesehatan RI (2010). Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Lusar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan. (http://www.kesehatananak.depkes.go.id/index.php?) diunduh pada 3 April 2012. 2. Kementrian Kesehatan RI (2010). Pedoman Umum Perlindungan Kesehatan Anak Berkebutuhan Khusus. (http://www.gizikia.depkes.go.id) diunduh pada 4 April 2012. 3. McPherson M., Arango P., Fox H, Lauver L., Mcmanus M., Newacheck P.W.,Perris J.M., et al (1998). A New Definition of Children With Special Health Care Needs, Pediatrics, Vol. 102, No.1, pp.137-140. 4. Permeneg Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (2011). Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus. (http:// www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?) diunduh pada 4 April 2012. 5. van Dyck P.C., Kogan M.D., McPherson M.G., Weissman G.R., Newacheck P.W. (2004). Prevalence and Characteristics of Children With 20

Special Health Care Needs, Arch Pediatr Adolesc Med, Vol 158, pp. 884-890. 6. The Child and Adolescent Health Measurment Initiative (2010). Children with Special Health Care Needs, A Profile of Key Issues in California. (http://www.ipfch.org/specialneeds) diunduh pada 7 April 2012. 21