Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi.

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. Prospek industri kelapa sawit Indonesia semakin cerah di pasar minyak

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2012 DAN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI TRIWULAN I TAHUN 2016 PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan

Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-2009 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II- 2014

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Estimasi Produksi Komoditas Indonesia Tahun Produksi / Cadangan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik pada masyarakat di masa mendatang. Pembangunan ekonomi

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II-2011

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. kerja seluas-luasnya sekaligus pemerataan pembangunan. Data kontribusi sub

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

BAB I PENDAHULUAN. krisis tersebut adalah industri agro bisnis dan sampai akhir tahun 2010 industri agrobisnis

JAMBI AGRO INDUSTRIAL PARK

BAB I PENDAHULUAN. dalam realita ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia.

SENSITIVITAS PERTUMBUHAN EKONOMI SUMSEL TERHADAP HARGA KOMODITAS PRIMER; PENDEKATAN PANEL DATA

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar)

BAB I PENDAHULUAN. sangat diunggulkan, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Kelapa

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

Lampiran 1. Lanjutan. Keterangan : *) sementara **) sangat sementara. Sumber : Ditjenbun dan PPKS, 2006

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

KAJIAN EKONOMI REGIONAL KAJIAN EKONOMI REGIONAL TRIWULAN IV. website :

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

KAJIAN EKONOMI REGIONAL KAJIAN EKONOMI REGIONAL TRIWULAN IV

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. penting dalam perekonomian nasional. Pada tahun 2012, sumbangan sektor

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun. dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

BAB 1 PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

Pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan tahun 1983

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

PT AUSTINDO NUSANTARA JAYA Tbk. TANYA JAWAB PUBLIC EXPOSE Senin, 14 Mei Bagaimana target produksi dan penjualan Perseroan pada tahun 2018?

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

Kinerja ekspor mengalami pertumbuhan negatif dibanding triwulan sebelumnya terutama pada komoditas batubara

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di

ANALISIS DAYA SAING EKSPOR KOMODITI CRUDE PALM OIL (CPO) PROVINSI RIAU. Eriyati Rosyeti. Abstraksi

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

Boks 1 TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI PROVINSI RIAU. 1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

Suharman Tabrani Kepala Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dari sisi permintaan (demmand side), perekonomian Kalimantan Selatan didorong permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga.

KAJIAN EKONOMI REGIONAL KAJIAN EKONOMI REGIONAL TRIWULAN IV

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi

PENGARUH PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT TERHADAP EKONOMI REGIONAL DAERAH RIAU

Transkripsi:

Boks 1 Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model I. Latar Belakang Perkembangan ekonomi Riau selama beberapa kurun waktu terakhir telah mengalami transformasi. Secara spesifik hal ini terlihat dari menurunnya sumbangan sektor migas yang memiliki porsi terbesar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, sumbangan sektor migas pada tahun 2004 mencapai 58,9% dan pada akhir tahun 2010 diperkirakan akan kurang dari 49% 1 atau secara rata-rata kontraksi pertumbuhan sektor migas terhadap PDRB Riau adalah sebesar 2,8% selama kurun waktu 2005-2010. Tentunya hal ini menimbulkan konskuensi terhadap pertumbuhan ekonomi Riau yang menjadi semakin melemah Sebagaimana diketahui, fenomena ini tidak terlepas dari usia sumur minyak yang sudah relatif tua sehingga mengakibatkan kinerja lifting migas tidak lagi sebaik tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut secara implisit memberikan implikasi penting bagi Provinsi Riau untuk mengurangi ketergantungan pada sektor tersebut serta dapat mengoptimalkan sektor lain yang memiliki peran strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan 1 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2005

Pada dasarnya, dengan mengeluarkan unsur migas, perekonomian Riau pada kurun waktu yang sama mengalami pertumbuhan yang cukup mengesankan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan yang diukur melalui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada sejak 2005-2009 berada diatas 8% atau lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional tanpa migas sebesar 6% dan pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 7,1%. Bahkan pada tahun 2009 atau tepatnya pasca krisis keuangan global, pertumbuhan ekonomi Riau tanpa unsur migas juga mampu mencatat tingkat yang cukup tinggi yaitu sebesar 6,44% atau lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional tanpa migas yang tercatat sebesar 4,90%. Pada sisi sektoral khususnya dalam sektor tradables, sumbangan pertumbuhan ekonomi Riau utamanya berasal dari sektor pertanian dan industri pengolahan. Berdasarkan Grafik 1, terlihat bahwa rata-rata sumbangan kedua sektor tersebut masing-masing mencapai 21,9% dan 18,3%. Sedangkan pada sektor non tradables, sumbangan terbesar diberikan oleh sektor perdagangan dengan angka mencapai 19,5%. Hal ini tentunya memberikan implikasi positif mengingat kedua sektor tersebut memberikan peran terbesar dalam hal penyerapan tenaga kerja 2. Grafik 1. Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi Riau Tahun 2005-2010 16.0 14.0 12.0 21.9 18.3 25.0 20.0 % 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 - Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi Riau (4,3%) 5.5 1.1 7.0 7.5 9.9 10.0 10.9 14.4 9.2 15.0 10.0 5.0 - % Pertumbuhan (kiri) Sumbangan (kanan) Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah 2 Data BPS per Februari 2010 mencatat terdapat 49,3% atau 1,82 juta jiwa penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja di sektor pertanian dan industri pengolahan. Sedangkan pada periode yang sama tahun sebelumnya mencapai 50,8% dari 3.559.336 jiwa.

Sementara itu, dari sisi permintaan, perekonomian Riau masih ditopang oleh kuatnya permintaan domestik khususnya konsumsi serta ekspor. 3 Jika diilihat secara seksama, ekspor Riau yang sebagian besar berasal dari ekspor non migas menunjukkan kinerja yang cukup baik bahkan berada diatas rata-rata pertumbuhan konsumsi sebelum masa krisis keuangan global. Namun demikian, krisis tahun 2008 mengakibatkan pertumbuhan ekspor relatif rendah terkait dengan lesunya kondisi negara mitra dagang utama khususnya India dan Cina. Tentunya ini memberikan pelajaran penting agar dilakukan diversifikasi komoditas mengingat sebagian besar ekspor non migas Riau didominasi oleh komoditas barang mentah terutama Crude Palm Oil (CPO). Padahal seharusnya dilakukan diversifikasi seperti halnya Malaysia untuk mengurangi ketergantungan pangsa pasar eksternal dan mulai meningkatkan pangsa pasar domestik. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Menurut Pengeluaran (yoy,%) Indikator 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Konsumsi 7,77 8,28 7,44 8,03 8,53 7,32 Investasi 10,04 7,33 (1,81) 3,13 13,47 5,16 Ekspor 4,85 4,38 6,27 6,69-3,78 3,76 - Migas 2,84 0,86 4,61 7,07-7,03 3,60 - Non Migas 9,06 11,31 9,23 6,03 1,83 4,00 Impor 13,04 10,32 9,59 8,62 6,20 8,75 Total 5,41 5,15 3,41 5,65 2,97 4,17 Tanpa Migas 8,54 8,66 8,25 8,06 6,56 7,16 Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah Jika dibandingkan dengan kondisi industri pengolahan kelapa sawit di Sumatera Utara, maka terlihat jelas bahwa Provinsi Riau mengalami ketertinggalan yang cukup jauh mengingat besarnya potensi sumber daya. Apalagi peran industri tersebut cukup vital dalam menghasilkan devisa dan pendapatan, serta menyediakan bahan baku bagi industri pangan, seperti minyak goreng. Selain itu juga melihat kondisi pasar yang cukup potensial, peran industri CPO dan produk turunannya diperkirakan akan terus berkembang terutama sejalan dengan adanya program energi alternatif, biodiesel, baik nasional maupun internasional yang dicanangkan oleh negara maju. Walaupun dalam beberapa tahun belakangan sempat terganggu oleh adanya isu lingkungan. 3 Berdasarkan data BPS Provinsi Riau, pangsa kedua komponen tersebut masing-masing sekitar 40% dan 50%.

Tabel 2. Indikator Geografis Wilayah Industri Hilir Kelapa Sawit di Indonesia No Aspek Satuan Sumatera Utara Propinsi 1 Luas Wilayah Daratan Km2 71.680,68 94.561,60 245,2 2 Jumlah Penduduk Juta Jiwa 12,32 5,07 3,09 3 Kepadatan Penduduk Orang/Km2 169 57 14,8 4 Luas Kebun Sawit (Ha) 970,716 1.641.000 477 5 Produktivitas Kebun Ton TBS/Ha/Tahun 3,70 3,83 2, 98 6 Produksi TBS Juta Ton 13,16 22,6 1,42 7 Jumlah PKS (Unit) Unit 87 128 14 8 Kapasitas PKS Ton TBS/Jam 3,03 5,645 735 9 Produksi CPO (Ton) Ton 3.200.000 5.764.000 345,79 10 Produksi PKO (Ton) Ton 322,368 554,071 34,835 11 Industri Refinery & Fraksinasi (Olein, Stearin, PFAD) Unit 18 4-12 Industri Minyak Goreng Unit 10 1-13 Industri Fatty Acid Unit 4 - - 14 Industri Fatty Alcohol Unit 3 - - 15 Industri Biodiesel Unit 3 3 - Sumber : GAPKI 2009 Riau Kalimantan Timur Studi yang dilakukan oleh Nagata dan Arai dalam Sachiho (2008) 4 menunjukkan bahwa proses peningkatan lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau bermula sejak tahun 80-an. Sebelumnya, pada tahun 70-an, lahan perkebunan di Riau didominasi oleh karet sedangkan lahan perkebunan kelapa sawit relatif sangat kecil bahkan mendekati nol. Kemudian, memasuki tahun 80-an, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan pemerintah yang melaksanakan program perkebunan inti rakyat (PIR). Program yang menerima tenaga kerja transmigrasi sebesar lebih dari 132.000 Kepala Keluarga (KK) sebagai petani kebun dilaksanakan di Provinsi Riau juga mulai akhir tahun 70-an sampai tahun 2000 dan berhasil menambah luas lahan kelapa sawit dengan rata-rata 42,28% pertahun Beberapa faktor yang mendukung berkembangnya perkebunan kelapa sawit di Riau antara lain; (i) kondisi tanah dan iklim yang sesuai untuk pengembangan tanaman kelapa sawit, (ii) komitmen yang tinggi dari Pemerintah Daerah untuk mengembangkan perkebunan dengan visi Terwujudnya kebun untuk kesejahteraan masyarakat Riau tahun 2020, (iii) tingginya minat masyarakat karena pada saat dan pasca krisis ekonomi 1997 petani sawit sangat diuntungkan dengan adanya kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO), (iv) kelapa sawit memberikan pendapatan yang tinggi kepada petani dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya. 4 Sachiho, Arai W. 2008. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Riau: Sebuah Tafsiran seputar Pemberdayaan Petani Kebun. Komaba Studies in Human Geography Vol.19 1-16

II. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan pendekatan Tabel IRIO, terdapat enam (6) sektor kunci di Provinis Riau yang sebagian besar berada pada sektor industri. Dari hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa sektor industri kelapa sawit merupakan salah satu dari sektor kunci di Provinsi Riau dengan nilai Indeks Total Forward Linkage (ITFL) sebesar 1,863 dan Indeks Total Backward Linkage sebesar 1,188. Industri lain yang memiliki ITFL terbesar adalah industri pulp and paper dengan nilai mencapai 3,715. 1,280 1,270 Grafik 4.2. Beberapa Sektor Kunci Utama ITBL 1,260 3,715; 1,260 1,250 1,240 1,230 1,220 1,157; 1,223 Kelapa sawit Pulp dan kertas 1,210 Pengolahan hasil laut 1,200 1,190 1,863; 1,188 1,180 1,170 0,000 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 ITFL Sumber : Tabel IRIO 2005, diolah Nilai ITFL sebesar 1,863 dapat diintepretasikan bahwa ketika terjadi peningkatan permintaan akhir pada sektor industri kelapa sawit Riau sebesar satu (1) satuan akan meningkatkan pasokan input ke sektor lainnya di dalam perekonomian sebesar 1,863 satuan. Sebaliknya, nilai ITBL sebesar 1,1863 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan permintaan akhir pada sektor tersebut sebesar 1 (satu) satuan akan meningkatkan permintaan input dari sektor lainnya sebesar 1,188. Relatif lebih besarnya ITFL dibandingkan ITBL sektor industri kelapa sawit Provinsi Riau mengindikasikan bahwa sektor industri kelapa sawit Riau lebih banyak menghasilkan output yang digunakan pada sektor lain dibandingkan dengan menggunakan input dari sektor lain. Hal ini sejalan dengan kondisi dilapangan yang menunjukkan bahwa Provinsi Riau merupakan penghasil CPO terbesar di Indonesia. Penelusuran dampak pembangunan IHKS terhadap perekonomian Riau dilakukan melalui 3 skenario yakni :

a) Simulasi I Simulasi ini dilakukan sebagai pembanding dengan kondisi saat ini dimana produksi CPO Riau sebagian besar diekspor dengan rata-rata kenaikan sebesar 30% per tahunnya. Dengan demikian, simulasi ini mengasumsikan bahwa terdapat kenaikan permintaan akhir ekspor CPO sebesar 30%. b) Simulasi II Simulasi ini mengasumsikan pembangunan industri hilir kelapa sawit dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal (2010-2012) target pembangunan diarahakan pada pembangunan pembangkit energi listrik dan sanitasi air bersih sebagaiamana peta panduan yang telah dicanangkan oleh Kementerian Perindustrian. Asumsi nilai investasi untuk pembangunan kedua proyek tersebut sebesar 50% dengan mengacu kepada usulan biaya pembangunan : c) Simulasi III No Program Biaya (Rp triliun) Klasifikasi Sektor 1 Peningkatan/Pembangunan Jalan Bangunan 11,45 dan Jembatan 2 Peningkatan/Pembangunan Bangunan 3,15 Pelabuhan Laut 3 Pembangunan Jalan Rel 9,45 Bangunan 4 Pengembangan dan Pembangunan Listrik, gas dan air bersih 2,30 Air Bersih 5 Pembangunan Pembangkit Energi Listrik, gas dan air bersih 2.30 Listrik 6 Penyehatan Lingkungan dan Sanitasi 1.40 Listrik, gas dan air bersih 7 Pengembangan Sumber Daya Industri kelapa sawit 0,48 Manusia 8 Dana Investasi dan Modal Kerja Industri kelapa sawit 5,14 Pembangunan Industri 9 Pembangunan Industri Dumai 15,0 Industri Kelapa Sawit Total 50,67 Simulasi ini mengasumsikan bahwa pembangunan industri hilir kelapa sawit sebesar 50% dari funded investement yang dibiayai melalui skema public private partnership sebagaimana usulan biaya pembangunan. Dalam simulasi ini juga diasumsikan bahwa dilakukan pembangunan industri hilir kelapa sawit di Sumatera Utara yang secara spasial diperkirakan akkan memberikan dampak terhadap perekonomian Riau. Secara spesifik, biaya pembangunan industri tersebut diperkirakan mencapai Rp3,81 triliun dan sekitar 410 miliar untuk pembangunan dan perbaikan jalur kereta api. Temuan empiris menunjukkan bahwa secara umum peningkatan permintaan akhir yang berasal dari ekspor maupun investasi industri kelapa sawit akan mengakibatkan peningkatan yang lebih tinggi pada sisi pendapatan masyarakat dibandingkan output

secara umum. Hal ini diperkirakan sejalan dengan besarnya jumlah tenaga kerja yang berada pada sektor tersebut. Tabel 4.2. Perhitungan Distribusi Output dan Pendapatan Distribusi Simulasi I Simulasi II Simulasi III (Rp juta) % (Rp juta) % (Rp juta) % Output 1.914.363 0,61 2.959.876 0,95 27.882.474 8,92 Pendapatan 322.025 1,05 515.413 1,67 3.389.081 11,01 Sumber : Tabel IRIO 2005, diolah Berdasarkan hasil simulasi, diketahui bahwa pada simulasi I (asumsi peningkatan permintaan akhir yang berasal dari ekspor CPO sebesar 30% akan meningkatkan output sebesar 0,61% atau setara dengan kenaikan sebesar Rp1,91 triliun. Dengan asumsi tersebut, hal ini juga akan diperkirakan akan memberikan tambahan pendapatan sebesar Rp322,03 miliar atau sekitar 1,05%. Sementara itu, jika pembangunan industri hilir dilakukan maka peningkatan output dan pendapatan yang diterima oleh Provinsi Riau diperkirakan akan lebih tinggi terutama apabila pembangunan infrastruktur pendukung dan industri tersebut telah selesai dilakukan (Simulasi III). Pada Tabel, terlihat bahwa pada simulasi II dengan asumsi pembangunan industri hilir dimulai secara bertahap melalui pembangunan pembangkit listrik, sanitasi serta penyediaan air bersih, output provinsi Riau diperkirakan akan meningkat 0,95% atau setara dengan kenaikan sebesar Rp2,96 triliun. Peningkatan output ini juga akan memberikan kenaikan pendapatan total sebesar 1,67% atau setara dengan kenaikan sebesar Rp515,41 miliar. Terlebih apabila pembangunan industri hilir kelapa sawit secara efektif telah dilakukan (simulasi III) maka baik peningkatan output maupun pendapatan yang diterima Provinsi Riau akan jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi semula. Kondisi ini secara jelas menunjukkan bahwa investasi pembangunan industri hilir kelapa sawit akan memberikan pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan dengan memenuhi permintaan yang berasal dari pasar ekspor bagi perekonomian Riau secara umum. III. Implikasi Kebijakan Sehubungan dengan besarnya dampak pembangunan industri hilir kelapa sawit terhadap perekonomian Riau yang diukur melalui distribusi output dan pendapat, maka terdapat beberapa implikasi kebijakan diantaranya : a. Pemerintah daerah perlu menggesa pembangunan industri hilir kelapa sawit sesuai dengan peta panduan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat;

b. Pemerintah perlu mengeleminir faktor penghambat iklim investasi dengan melakukan pemberian jaminan kepastian hukum kepada investor dalam dan luar negeri; c. Perlu dilakukan harmonisasi kebijakan antara pemerintah daerah, pelaku usaha dan perbankan dalam rangka meningkatkan percepatan realisasi pembangunan industri hilir kelapa sawit di Provinsi Riau.