Oleh : Sitor Situmorang



dokumen-dokumen yang mirip
Mungkin ada di antara ke-4 buku di atas sudah Saudara baca, bahkan boleh saja sudah membacanya semua.

BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN

Negara Jangan Cuci Tangan

Gus Dur minta ma'af atas pembunuhan tahun 1965/66

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Buku «Memecah pembisuan» Tentang Peristiwa G30S tahun 1965

Komisi Nasional HAM kerangka hukum dan mekanisme penegakan hukum HAM. Dr. Herlambang P Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga 26 Mei 2015

KASUS PELANGGARAN HAM BERAT 1965*

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Niar Riska Agustriani, 2014 Peranan komisi nasional hak asasi manusia Tahun

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI. memuat serangkaian peristiwa yang dijalin dan disajikan secara kompleks. Novel

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

Kelebihan dan Kelemahan Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan

Presiden Seumur Hidup

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIMENSI POLITIS AND YURIDIS KETETAPAN MPR NO. XXXIII/MPRS/1967. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

BAB II PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA YANG DITUANGKAN DALAM UNJUK RASA (DEMONSTRASI) SEBAGAI HAK DALAM MENGEMUKAKAN PENDAPAT

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pesan secara massal, dengan menggunakan alat media massa. Media. massa, menurut De Vito (Nurudin, 2006) merupakan komunikasi yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

A. Pengertian Pancasila

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KONSOLIDASI DEMOKRASI UNTUK KEMAKMURAN RAKYAT

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

Sambutan Presiden RI pada Pembukaan Munas IX GM FKPPI tahun 2012, Jakarta, 24 Februari 2012 Jumat, 24 Pebruari 2012

dikirim untuk JAWA POS PERILAKU POLITISI BY ACCIDENT. Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

HUKUM ACARA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

HAK ASASI MANUSIA DAN KEHIDUPAN BERBANGSA MEMPERINGATI ULANG TAHUN ELSAM KE-20

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1990 TENTANG AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Universitas Indo Global Mandiri Palembang

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi atau berinteraksi.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

Gerakan 30 September Hal tersebut disebabkan para kader-kader Gerwani tidak merasa melakukan penyiksaan ataupun pembunuhan terhadap para

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai peristiwa sejarah tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Peristiwaperistiwa

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kepedulian sebuah Negara terhadap rakyatnya. Di Indonesia sendiri,

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan)

UU 8/1990, AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA. Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor : 8 TAHUN 1990 (8/1990) Tanggal : 13 OKTOBER 1990 (JAKARTA)

LAMPIRAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Herlambang P. Wiratraman 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Oleh : Izza Akbarani*

PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP BANGSA DAN DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai

MATA KULIAH CIRI UNIVERSITAS (MKCU)

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di

Menyoal Delik Penodaan Agama dalam Kasus Ahok. Husendro Hendino

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI LSM: Perspektif Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

- 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM TENTANG PEMBENTUKAN DAN TATA KERJA PANITIA PEMILIHAN LUAR NEGERI DAN KELOMPOK PENYELENG

MATERI UUD NRI TAHUN 1945

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

A. Pengertian Orde Lama

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Transkripsi:

Menelusuri Sejarah sebagai Dialog Terus- Menerus dengan Diri Sendiri dan Sesama Oleh : Sitor Situmorang Judul yang agak panjang dari ceramah saya di sarasehan ini adalah pinjaman dari serorang sejarahwan Belanda, aklau tak salah ingat dari Prof.Geyl. Maaf saya peminat sejarah, namun bukan seorang pakar yang hafal kepustakaan yang tersedia. Pokoknya judul tsb adalah semacam rumus yang sekiranya cukup memuaskan untuk membantu pendekatan kita menghindari sikap mutlakmutlakan, apalagi super-benar, dalam mengemukakan pandangan dan pendapat pribadi kita terhadap sejarah, atau salah satu aspek sejarah bangsa kita, yang menjadi pusat perhatian kita menyambut sarasehan yang diprakarsai oleh generasi baru Indonesia, yang ingin melengkapi penghayatannya tentang sejarah pada umumnya, dan sejarah nasional khususnya untuk lebih mengerti posisi dalam persoalan-persoalan kehidupan bersama. Dari surat undangan kepada saya, saya menyimpulkan saya diharapkan tampil sebagai pembicara, katakanlah generasi yang tua, yang mungkin dianggap tergolong sebagai saksi-sejarah. Anggapan demikian mungkin terkait dengan status saya, yang terkait dengan timbulnya kelompok warga bangsa yang dikategorikan sebagai eks- Tahpol barangkali, yang diharapkan dapat sumbang bahan penjelasan dari dunia pengalaman sebagai eks-tahpol. Pertanyaan yang disampaikan kepada saya terurai dalam 3 kalimat, yang saya sampaikan sekarang dalam susunan kata-kata saya sendiri : 1. Apa yang paling menyakitkan dan meninggalkan luka batin bagi pribadi anda dan keluarga dalam tragedi tsb. (maksudnya) rangkaian kejadian dan kemelut sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari G-30-S, khususnya diakhir tahun 1965, permulaan 1966 dst 2. Bagaimana Anda mengolah pengalaman pahit di masa itu dan sesudahnya kemudian. 3. Pelajaran apa yang dapat ditarik bagi generasi baru dari peristiwa tsb? Dalam bacaan pertama pertanyaan dalam 3 kalimat tsb mengundang saya untuk memberikan semacam kesaksian, dan kesaksian dari pengalaman pribadi pula. Pembacaan demikian untuk saya memberatkan pilihan, yaitu bagaimana saya akan membungkus cerita memenuhi harapan, yang juga mengundang pembicara-pembicara lain baik sebagai pakar maupun yang tergolong saksi, dalam komposisi yang tentu dimaksud menciptakan pergabungan dan perimbangan antar berbagai pendekatan terhadap materi sarasehan. Pendekatan dari sudut pengalaman pribadi bagi saya kurang menarik, karena mengandung kemungkinan bahaya subjektivisme, bahkan kecengengan yang sia-sia, yang bakal tak berguna untuk tujuan sarasehan kita ini. FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965 - Leuven 1

Lagi pula, sebagai eks-tahpol pengalaman saya tak mungkin sepenuhnya representatif, kecuali hanya ingin sekedar bahan perbandingan bagi para pengamat akhli, yang menekuni kandungan sejarah umum di dalamnya. Itu adalah tugas para pakar, terutama sejarahwan generasi baru dan penelitianpenelitian yang mendalam dan bersifat komprehensif, tentang segala aspek sejarah kurun waktu yang terkait dalam usaha mencapai pengalaman (dan pendalaman) sejarah yang lebih utuh, dengan menghindari ilusi fungsi ilmu sejarah yang berpretensi kebenaran mutlak, melainkan sebagai sebuah dialog yang terus menerus, di antara sesama, dan dialog dengan diri sendiri sebagai individu dalam sejarah bangsa, sebagai persekutuan yang didasari wawasan kehidupan sosial, lagi pula yang lebih dimokratis dan beradab, tanpa perlu terjebak dalam ilusi tercapainya Utopia yang bagaimanapun, namun harus selalu diusahakan menangkisnya dengan menggunakan budhi dan nalar, mampu mengatasi konflik dan perpecahan, dan permusuhan berupa perang saudara tertutup, yang melembaga dalam sistem politik dan perangkat hukum, pemutlakan dan pengabadian permusuhan antara sesama, menutup pintu rekonsiliasi dengan sikap mutlak-mutlak. Kisah dan pengalaman pribadi Dengan pengantar sekadarnya seperti di atas, saya akan mencoba menyusun cerita saya, menurut pembabakan garis besarnya, antara tahun nahas peristiwa dahsyat 1965/1966. Cerita saya batasi pada ringkasan kesimpulan pribadi, terpusat pada keinginan manusiawi untuk menggali hikmah atau pelajaran dari pengalaman. Saya mulai dengan rumus hikmah. Saya sebagai nara sumber, tak bisa mewakili pengalaman eks-tahpol lain yang begitu banyak jumlahnya dan tersebar luas di seluruh tanah air, khusus di periode 1965 s/d 1979, periode masa pengalaman sebagai tahanan politik, tanpa peradilan, menjalani masa penjara bertahun-tahun, belasan tahun, dalam jumlah besar (menurut catatan berjumlah sampai 1.2 juta), terhitung yang disekap di penjara-penjara terutama di Jawa dan Sumatra, dan mereka yang kemudian di- manfaat -kan, alias dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979, terpisah dari keluarga, dengan persyaratan yang paling minim dari perawatan kesehatan dan makanan. Kalau saya diharapkan akan menggambarkan pengalaman mereka itu, tentu saja saya tidak mampu. Tapi apakah kita lantas menganggap pengalaman mereka itu seperti tak pernah terjadi, untuk dilupakan? Tentu tidak dan tak mungkin. Demi hati-nurani, demi peri-kemanusiaan (lebih kurang abstrak), demi hukum dan demi keadilan. Dalam pengertian sejarah, maupun pengertian panggilan perikemanusiaan kita sendiri tak beda antara mereka yang objektif menjadi korban, dan mereka yang menjadi pelaku, sebagai pelanggar hukum dan keadilan. Pelajaran yang dapat ditimba justeru harus bermula dari usaha pembenahan oleh para saksi (korban atau aktor penindas), yang masih hidup dengan traumanya masing-masing, dan terus hidup dalam perang dingin abadi antara sini dan sana, sebagai warisan dari gejolak Perang Dingin global, yang ikut menjadi faktor penentu peristiwa Sept.65 dan buntutnya, termasuk malapetaka yang belakangan muncul dan masih belum teratasi, yaitu masalah Timor-Timur, sebagai bencana perikemanusiaan yang belum selesai. FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965 - Leuven 2

Faktor trauma Apabila harus dijawab sekarang di tahun 2000, 35 tahun setelah peristiwanya, bagi diri sendiri, tentang cara saya sebagai individu menempuh krisis kolektif tsb, jelas bahwa faktor jarak, waktu, sudah membantu saya untuk membebaskan diri dari beban yang disebut masa lalu, apalagi yang disebut trauma, demi panggilan kehidupan seterusnya, dengan ke masa depan dan tak terpaku pada derita luka di masa lalu. Namun, saya ulangi bahwa saya tak dapat menduga pada diri mereka, termasuk anggota keluarga saya sendiri yang selama ini mengalami dampaknya secara sosial, di tengah masyarakat, dalam suasana pengucilan struktural, lewat peraturan dan pengawasan terhadap keluarga tahpol /eks-tahpol. Semoga faktor waktu juga pada tiap diri mereka membuahkan kearifan meneruskan hidupnya dalam serba kesulitan yang masih melanjut buat kebanyakan, walaupun oleh sementara orang mungkin dianggap sudah tak relevan lagi diperhatikan. Namun kenangan yang tertutup atau ditutup-tutupi itu akhirnya muncul kembali ke permukaan, dengan tumbangnya hambatan-hambatan psikologis, sisa ketakutan dan self-sensor, buah intimidasi halus atau kasar, dari kekuasaan selama ini, muncul sebagai bagian dari arus yang kita sambut sebagai gerakan Reformasi, sejak 1998, disusul Pemilu 1999, yang belum sempurna tercapai, dan tak mungkin dicapai tanpa pemikiran, perjuangan lanjut, melalui tahap-tahap maju-mundur barangkali. Tahapan yang kita masuki sekarang ialah yang oleh seorang pengamat asing disebut pertarungan antara Power, truth and memory, atau The battle for Indonesia history after Soeharto. The battle for history Istilah battle for history adalah sebuah metafora yang tak berlebihan, yang kita harapkan kiranya jangan melanjut sebagai pertempuran fisik, melainkan sebagai usaha ikhlas memulai penelusuran sejarah, sebuah dialog, dipelopori oleh pakar-pakar kita yang terbaik, yang memiliki integritas, untuk berani memandu dialog bangsa menjadi dialog terbuka, dalam konteks tujuan akhir membina demokrasi dan rule of Law. Termasuk partisipasi para pakar sosiologi, politokologi bangsa kita, dengan atau tanpa melibatkan pengamatpengamat ilmuwan-ilmuwan asing yang berminat memperkaya wawasan dialog, karena persoalan yang kita hadapi sebagai bangsa, peristiwa 65 bukan hanya memiliki dimensi nasional tapi juga internasional, termasuk usaha penyelesaiannya di masa datang. Versi formal atau resmi Dialog sejarah yang kita harapkan bukan tidak diusahakan tetapi karena jelas menyangkut posisi kekuasaan dan legitimasi politik, bagi yang sedang berkuasa selama ini, selalu tersendat-sendat, berjalan fragmentaris, bahkan hampir secara gerilya dan cenderung dipandang oleh kekuasaan sebagai kekuatan subversif yang membahayakan stabilitas bermuatan makar. Yang berlaku sejak 65, terutama sejak resminya berdiri kekuasaan Order Baru / Soeharto, di Maret 1968 sampai jatuhnya di tahun 1998, tafsiran dan pegangan yang syah, sudah tertuang dalam berbagai dokumen penting, seperti berbagai ke-tetapan MPRS, yang dilahirkan oleh MPRS sejak 1966, yang kemudian membuahkan sejumlah dokumen operasional, berupa ketentuan dari lembaga resmi dari Orde Baru, dalam bentuk pegangan menurut faham dan kuasa sekuriti, sebagaimana dikeluarkan oleh Lemhanas, Menteri Dalam Negeri FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965 - Leuven 3

dan terakhir terbitan Sekneg, di tahun 1994, dengan kata pengantar oleh Moerdiono, sekretaris negara. Terbitan tersebut berjudul lengkap Gerakan 30 September Sub judul : Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya. Tulisan tersebut mengandung versi resmi peristiwa baik prolog (sejarah yang mendahuluinya) ; kejadiannya (aksi G-30-S) dan epilognya (penumpasannya yang menyusul). Jadi buku tersebut berupa dokumen sejarah atas nama negara, versi Orde Baru. Jadi kalau kita mau tahu apa itu G-30-S, prolog peristiwanya sendiri dan epilognya, sebagai warga negara seharusnya menjadikannya sebagai pegangan baik untuk penulisan sejarah, maupun untuk memahami kejadian itu sebagai dasar untuk menerima dan mendukung semua kebijakan Orde Baru, dan tunduk pada ketentuan berbagai UU, yang jadi produk pemerintahan Orde Baru khususnya yang mengenai kekuasaan Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menurut aturan-aturan dan berbagai undang-undang yang pelaksanaannya dipegang oleh berbagai lembaga sekuriti dalam struktur pemerintahan Orde Baru sejak 1968, Kopkamtib, kemudian Bakostranas, yang eksistensinya berstatus legal dan konstitusional lewat berbagai TAP-MPR-S, 1966-1968, sebagai dokumen kebijakan politik tertinggi, yang mutlak diganti oleh kekuasaan masa sekarang dengan program Reformasi, yang kita sambut dengan Pemilu 1999, dan Pemerintahan baru, di bawah Presiden dan Wkl-Presiden baru. Reformasi dan Hukum Permulaan tahun ini, dunia politik parlementer, bersifat multi-party hasil Pemilu 1999 yang menimbulkan perbaikan, kebebasan bereksperimen demokrasi kembali, setelah terpasung selama 32 tahun mengalami kontroversi. Kontroversi tsb terpicu oleh sebuah ide yang dilontarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, Gus Dur, dalam sebuah acara rutin di TV, yaitu ide yang merujuk pada tragedi di masa lalu, akhir 1965, permulaan 1966, buntut peristiwa G-30-S dan penumpasan nya, peristiwa dasyat berupa pembunuhan massal atas ratusan ribu manusia, atau lebih, yang terlibat sebagai komunis atau simpatisan komunis, di Jawa, Bali dan Sumatra, sebuah tragedi yang terus menghantui ingatan orang Indonesia, terutama keluarga korban, begitu pula agaknya orang-orang yang bertindak sebagai pembunuh, dengan traumanya masing-masing yang berkelanjutan sampai sekarang, namun tertutup dan ditutup-tutupi dengan alasan dan kepentingan masing-masing. Gus Dur yang kebetulan Presiden, atau Presiden yang kebetulan Gus Dur menggunakan kesempatan acara, melontarkan ide untuk menyatakan permintaan maaf atas tragedi besar di masa lalu itu, disusul dengan lontaran ide mengandung saran supaya salah satu dari berbagai TAP-MPR-S Orde Baru terpenting yang menghantarkan Soeharto pada kekuasaannya, yaitu TAP- MPR_S No:XXV/MPR- S/1966, berisi ketentuan Pembubaran PKI dan dasar-dasar pertimbangannya. Kontroversi Tgl 5 Maret saya menerima fax, dari Harian Media Indonesia-Jakarta, meminta wawancara berdasar 7 pertanyaan. Ringkasnya Media-Indoensia bersama tanggapan dari orang-orang lain, ingin memperoleh pendapat saya, sekitar apa yang disebut Kontroversi sekitar ide Presiden Abdurrahman Wahid, tentang usul pencabutan TAP-MPR-S No. XXV/MPR-S/1966 dan permintaan maaf oleh Gus Dur atas tragedi pembunuhan massal. Jawaban spontan Teks 7 pertanyaan wawancara M. Indonesia itu mendorong saya ikut menyambut gagasan Gus Dur. Tanpa pikir panjang saya mengemukakan sambutan dan FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965 - Leuven 4

persetujuan saya terhadap lontaran ide Gus Dur tsb. Persetujuan saya jelas sebuah spontanitas pribadi, yang saya kaitkan dengan gagasan Reformasi. Artinya : saya simpulkan, tanpa memikir-mikir segala detail prosedur politik dan hukum yang masih harus ditempuh, bahwa ide tsb cocok dan akan membantu usaha Reformasi Total, khususnya Reformasi hukum sebagai komponen utama dari ide reformasi. Sebulan kemudian saya menerima kliping-kliping pers yang memuat teks polemik yang rupanya terjadi di dalam kontroversi. Polemik itu berbentuk suatu Surat Terbuka, tulisan sastrawan Goenawan Mohmad teralamat Pramoedya Ananta Toer, yang kemudian membalasnya lewat wawancara, Surat Terbuka G. M. dapat dibaca dalam Maj. Tempo 9 April, sedang jawaban P.A.T dengan judul Saya bukan Mandela, di Maj. Tempo, 16 April. G.M. dalam Surat Terbukanya mengulangi dukungannya terhadap ide dan sikap Gus Dur, sambil mengemukakan argumentasi dan pertimbangannya, menghargai nilai-nilai moral dan peri-kemanusiaan, sebagaimana dia lihat melatarbelakangi pernyataan dan sikap Gus Dur. Sambil lalu, G.M. juga mengambil sikap Nelson Mandela sebagai contoh-teladan dalam penyelesaian tragedi Apartheid di Afrika-Selatan. Dari pihaknya P.A.T. memberi reaksi tiga bidang : 1. Bidang penanggungan pribadi dan keluarga, sebagai tahpol/buangan 2. Bidang prosedur hukum dan politik untuk memungkinkan gagasan minta maaf dll, yaitu harus lewat DPR/MPR 3. Bidang kepercayaan. Dalam wawancara Tempo, PAT menyatakan, ia menolak ïde Gus Dur, sebagai basa-basi saja, lagi pula, kata PAT : Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia juga seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim, dikatakannya pula saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tidak terkecuali para intelektualnya ; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan (yang dilakukan) Orde Baru. Bertolak dari polemik ini, saya sendiri mengulangi dukungan saya terhadap lontaran ide Gus Dur yang memicu polemik diantara dua tokoh sastra kita itu. Suatu Pengantar Pengharapan Sebagaimana dapat diduga, ide Gus Dur menimbulkan reaksi, sejenis reflex, tanggapan pro dan anti, mengingat situasi krisis yang begitu kompleks dan luas daftar urutan priorita penyelesaiannya. Gaya Gus Dur sebagai intelektual dan gaya kepemimpinannya sudah sejak Gus Dur memulai tugas barunya mendapat sorotan, secara terbuka dan demokratis, sesuai keinginannya sendiri sejak menerima tugasnya sebagai Presiden. Bersama parlemen hasil Pemilu, saya termasuk orang yang mengharapkan betul bahwa Gus Dur kiranya dalam bekerjasama erat dengan parlemen berhasil mengantar bangsa ke peletakan dasar-dasar reformasi, di segala bidang. Sekalipun ide Gus Dur yang sekarang memancing kontroversi tersebut, misalnya belum termasuk prioritas utama, namun materi yang terkait dan prakarsa Gus Dur menyatakan permintaan maafnya saya nilai suatu pengantar pengharapan masa depan, bisa masuk agenda di Parlemen hasil Pemilu berikutnya, sebagai prakarsa Presiden baru bersama Parlemen baru pula FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965 - Leuven 5

Sementara itu, tak berarti bahwa masyarakat luas mesti pasif, berhenti membicarakan, mendalami secara terbuka dan demokratis berbagai aspek persoalan yang tersangkut, bukan hanya ide sebagaimana dilontarkan oleh Gus Dur, tapi meliputi dan menjangkau keseluruhan, pada hemat saya, melatarbelakangi pemikiran Gus Dur tsb. Lontaran ide Gus Dur, bagi saya merupakan sebuah pengantar pengharapan dalam pengagasan program dan strategi reformasi, yang tanpa demikian rasanya akan sia-sia. Di sini saya mengkaitkannya dengan kebutuhan mutlak, yaitu perlunya program dan strategi Reformasi Hukum sebagai bagian dari program dan strategi Reformasi Menyeluruh. Reformasi Hukum dan TAP MPR-S XXV/MPR-S/1966 Perlu kita secara ringkas menelusur berbagai TAP, yang dibuat oleh MPR-S di periode 1966-1968, yang merupakan dasar ke-presidenan Soeharto dan perrmulaan formal dan efektif dari kekuasaan Orde Baru, sampe berakhir secara formal pula dengan turunnya Soeharto dari tahta keprabuannya di tahun 1998. Di masa selama 32 tahun kekuasaannya, Soeharto berhasil menjabarkan semua klaim Orde Baru di bidang politik dan sejarah berdasarkan berbagai TAP, mengakhiri kekuasaan Presiden Soekarno dan struktur Orde Baru, secara ideologis, politik, bahkan secara total terpusat pada diri dalam mana Lembaga Eksekutif, Legislagif, Yudikatif, terpusat tali temalinya pada person-nya, terlasuk penguasaan media informasi. Semua itu didukung dengan produksi berbagai undang-undang. Kekuasaan formal diktator Soeharto sudah berakhir, kita memasuki tahap usaha Reformasi, namun perangkat UU-nya dan berbagai sisa lembarga-lembaga kenegaraan yang ditinggalkannya, yang selama ini dikondisikan melaksanakan kekuasaan tunggalnya, lagi pula pernah diisi dengan personalia yang langsung atau tidak langsung melewati tapisan seleksi akhir yang berada di tangannya sendiri. Situasi umum di lapangan demikianlah yang dihadapi oleh masyarakat umum, oleh rakyat pemegang kedaulatan. Yang baru ingin kita praktekkan lewat a.l. Parlemen, MPR hasil Pemilu murni, serta Presiden pilihan MPR-murni. Situasi lapangan memperlihatkan sebuah struktur, katakanlah peranti halus, berupa berbagai perundang-undangan, peraturan-peraturan pelaksanaan, di tangan personalia yang boleh dikatakan masih utuh, dengan mentalitas yang belum tentu mampu mereformasi diri sendiri, akibat pembenaran diri yang lazim dan praktek kekuasaan yang didasar sejumlah perangkat ampuh berupa berbagai TAP MPR-S bersejarah, tapi yang sejarahnya kini dimasa Reformasi, dapat dan perlu disoroti secara jujur, terbuka, objektif, dengan metoda dan sudut memandang para pakar hukum, sejarawan yang objektif, punya integritas, dilengkapi pula dengan suara serta kesaksian dari begitu banyak warga yang selama ini kehilangan haknya bersuara, bahkan untuk hidup wajar sebagai makluk sosial, akibat stigma dan pengucilan, yang langsung maupun tidak langsung dikondisikan oleh sejumlah perangkat UU Order Baru, yang dijiwai dan berlatarbelakang wawasan hukum serba-darurat, dalam kadar faham sekuriti berlebihan, serta kecurigaan dan apriori terhadap setiap ungkapan yang dipandang oposisi dan akhirnya menciptakan faham dan ideologi bahaya laten, sebagai stigma golongan tertentu, dan dilanggengkannya sebagai wawasan stabilitas-semu. FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965 - Leuven 6

Ironinya, kita juga menyaksikan betapa tokoh-tokoh besar yang tergolong pendiri dan pemegang saham Orde Baru, akhirnya ikut menjadi sasaran dan korban cekalan perangkat jaringan serba sekuriti Orde Baru. Sebagi penutup saya sebagai seorang saksi yang mengalami hidup sebagai Tahpol selama 8 tahun lebih, akan mencoba secara ringkas memajukan sumbangan untuk reformasi, khususnya reformasi hukum dalam konteks Lontaran Ide Gus Dur. Sumbangan Eks-Tahpol untuk Reformasi Hukum Di bidang reformasi hukum sebagai bagian vital dari reformasi menyeluruh, kita telah menyambut pembebasan berbagai orang hukuman, yang menjalani vonis hukuman badan, ada yang puluhan tahun, berdasar keputusan Mahmilub, kemudian berbagai orang terpenjara yang menjalani vonis Pengadilan di masa menjelang jatuhnya Soeharto berupa pengadilan, bermotivasi politik. Semua itu patut kita syukuri, namun tugas kita sekarang ialah untuk membantu menggali dan mengangkat suara penderitaan serta kelaliman yang masih tertutup atau ditutup-tutupi, berupa pelanggaran HAM, menyangkut aktivitas politik maupun korban yang hilang atau tewas, dan para korban kerusuhan yang direkayasa. Dari sarasehan itu kita sepantasnya mengheningkan cipta memperingati mereka sebagai korban kelaliman dan pelaksananya, dengan tekad membantu usaha pulihnya rule of Law, dalam rangka Demokrasi, dan Demokrasi dalam rangka Rule Of Law. Untuk itu, saya mengajukan beberapa usul sebagai berikut : 1. Supaya kita membantu terbentuknya sebuah Mahkamah Konstitusi yang mandiri, jadi bukan alat kekuasaan, di masa depan sejalan dengan usaha penyempurnaan UUD-RI, lewat penyesuaian. 2. Supaya dipertimbangkan oleh masyarakat ilmuwan tanah-air, terbentuknya LEMBAGA SEJARAH NASIONAL, yang bebas pula dari campur tangan eksekutif, dipelopori dan diisi oleh sejarahwan-sejarahwan kita, yang punya integritas pula, generasi baru yang dinilai mampu melakukan tugas ilmiahnya, bebas dari oportunisme demi kedudukan. 3. Supaya sarasehan ini membuat rumusan tentang sebuah lembaga pendamping Komnas HAM yang telah ada, yaitu sebuah Komnas Pencari Fakta perihal penyelamatan data dan dokumen berharga, yang dinilai penting sebagai bahan sejarah setiap bidang dan lembaga-lembaga resmi, berdasarkan UU Perlindungan Ke-Arsipan. Komnas HAM demikian dapat disebut Komnas Pencari Fakta, dokumen pertanggungjawaban petugas penegak/ hukum (polisi dan mereka yang bukan polisi, tapi terlibat dalam tindakan kepolisian dimana darurat ) Bahan yang terkumpul oleh Komnas Pencari Fakta tsb. menjadi data untuk : 1. Komnas HAM, yang sudah ada sekarang. 2. Untuk semua Fakultas Hukum / Universitas, sebagai bahan studi 3. Lembaga Sejarah Nasional (apabila sudah terkumpul dan diatur :) 4. Terbuka bagi orang-orang yang tersangkut dalam berbagai dokumen tsb. Usul ini saya tawarkan untuk didiskusikan. Motif pemikiran saya demikian bermula dalam penjara sebagai wishfull thinking, menghibur hati, dengan anganangan kalau nanti, sudah bebas, nanti kalau sudah bebas, (dan sekarang ini saya bebas) saya ingin mengunjungi semua pos pemeriksaan dimana saya mengalami interogasi-interogasi, tanpa surat penahan, tanpa surat tuduhan yang jelas, dan FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965 - Leuven 7

akhirnya juga tanpa berita-acara (proses verbal) demikianlah a.l. angan-angan saya. Tentu saya tak dapat memperoleh apa-apa. Tapi diantara sekian interogasi, yang saya alami, saya yakin mestinya ada catatan-catatan petugas, baik hasil interogasi maupun daftar perkara yang diperintahkan kepada interogator oleh atasannya untuk dilitsus (diselidiki khusus). Saya yakin misalnya mesti ada catatan luas oleh team terdiri dari 7 perwira intel, tapi yang tak pernah hasilnya disodorkan ke saya untuk diteken. Ingin sekali saya catatan demikian digali dan diangkat ke permukaan, sehingga bukan saya saja akhirnya dapat mengetahui sebabnya saya ditahan, tetapi ribuan, puluhan ribuan eks-tahpol dan keluarganya, sebagai haknya, dan sebagai bagian dari terapi bagi setiap orang untuk, memulihkan normalitas dalam hidupnya, sekaligus bahan pelajaran maha penting, bagi mahasiswa-mahasiswa calon penegak hukum dan hakim dalam masyarakat yang menghormati law dan rule of Law. Suatu waktu, setelah beberapa tahun dalam penjara, saya mengalami akibat hukum dan tata tertib penjara, dimana saya dimasukkan ke isolasi, di blok-n, yang disebut blok kapal selam, sejenis, penjara dalam penjara, tanpa sedikitpun penjelasan, disimpan selama 6 bulan sebagai hukuman. Itupun misalnya saya ingin tahu dan ingin mendengar sekarang ini. Keinginan saya itu bisa dikali beribu kali, berpuluh ribu kali bahkan berjuta ribu kali lipat dari hati manusia Indonesia sampe sekarang tanpa memperoleh jawaban itu. Ini pun harus bisa diungkap, dalam arti : Dimasukkan dokumen sebagai peringatan supaya kiranya jangan bisa terulang di negeri kita. Kaitan Rerformasi dan situasi international Pengharapan saya di atas ada baiknya dipandang dalam perpekstif internasional. Betapapun sulitnya tugas Reformasi, tetapi situasi internasional berkembang demikian rupa, yang membuka jalan bagi perintisan jalan baru dalam mengurusi kepentingan bangsa. Peristiwa 1965 tak terlepas dari situasi internasional, sebagai konteks masa itu, yang ditandai kecamuknya Perang Dingin, yang bersifat global dan regional, yang ikut menentukan dan menjadi dimensi Perang Dingin Dalam tujuan baru kita, segi ini kita serahkan kepada pakar dan politisi kita, untuk menimba hikmahnya sebagai pengalaman bangsa, sebagai bahan pembenahan hubungan internasional kita sesuai cita-cita Proklamasi. Masalah Timor Timur diantaranya salah satu masalah dalam mana Perang Dingin dulu memainkan peranannya, dengan akibat kesalahan fatal bagi bangsa kita, dalam menggapi proses dekolonisasi di Timor Timur, dan jelas terpengaruh perang Dingin, khususnya di tahun 1975, tahun menentukan dalam perang ASdan Vietnam, yang tahun itu berakhir dengan kekalahan AS sebagai agresor. Jauh sebelum itu ada pula Perang Korea, 1956, tapi yang sekarang hampir setengah abad kemudian, akhirnya, berkat suatu refleksi nasional, Korea dapat melangkah memasuki rekonsialisasi antara sesama bangsa-bangsa Korea dalam konteks Perkembangan hubungan yang disebut (engagement) alias real politik antar China dan AS, sekarang ini. Ada baiknya kita merenungkan perkembangan demikian dan menempatkan perspektif kebutuhan rekonsialisasi nasional kita sendiri menurut wawasan yang kita warisi dari Founding Fathers kita. Bagaimanapun juga lontaran ide Gus Dur saya pandang sesuai dengan wawasan founding fathers kita, berbentuk prinsip Pancasila, yaitu sebagai KERANGKA RUJUKAN etika bagi negara-bangsa kita, sebagai persekutuan politik yang didasari rasionalitas, akal FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965 - Leuven 8

budhi beradab, sebagai bingkai semangat kesatuan dan persatuan. Sayang selama 32 tahun kenyataan demikian dikaburkan dengan gerak retorika manipulatif dengan monopoli tafsirnya ala indoktrinasi P7, bertameng pensakralan tafsir penguasa sendiri. Reformasi hukum yang kita perlukan ialah yang akan memulihkan prinsipprinsip etika nasional, sebagai kerangka rujuk bagi setiap UU dan sebagai pegangan mutlak bagi tiap kita, khususnya bagi para petugas / pelaksana yang harus tunduk pada kontrol kedaulatan rakyat berbenduk Parlemen dan prinsip HAM, rule of law dan demokrasi. Sekian! Terima kasih! Sitor Situmorang Sastrawan Eks-Tahpol, Periode 1967-1976, di penjara Salemba Jakarta, tanpa proses pengadilan dan proses hukum Pensiunan terakhir dosen Bahasa Indonesia, di jurusan studi Bahasa dan Kebudayaan Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Leiden, 1982-1989, Anggota aktif PNI (1953-1966), Ketua Umum LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), sesuai gagasan S. Mangunsarkoro, almarhum, tokoh Taman Siswa, salah satu pendiri PNI Pasca-Proklamasi. Sitor Situmorang Paslaan 43, 7311, AJ Apeldoorn, Nederland. Tel./fax.(055)-5222088 e-mail : sitor@nl.packardbell.org FORUM SARASEHAN MAWAS DIRI PERISTIWA SEPTEMBER 1965 - Leuven 9