BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

DINAS PERTANIAN DAN PERKEBUNAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR KUPANG 09 SEPTEMBER 2013

I. PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Pertanian yang berkelanjutan

PENINGKATAN PRODUKSI, PRODUKTIVITAS DAN MUTU TANAMAN TAHUNAN

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengalihan pembiayaan. Ditinjau dari aspek kemandirian daerah, pelaksanaan otonomi

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

Hermanto (1993 ; 4), menyebutkan bahwa pembangunan pertanian termasuk didalamnya tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan,

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA TAHUN 2016 MENCAPAI 5,19 PERSEN

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

V. DESKRIPSI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR (ANGKA SEMENTARA)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca

KEBIJAKAN PELAKSANAAN PROGRAM / KEGIATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENYULUHAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2016

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ayat (3) pasal 33 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Bila pada tahun 1969 pangsa sektor pertanian primer

PENINGKATAN PRODUKSI, PRODUKTIVITAS DAN MUTU TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN TANAMAN JAMBU METE TAHUN 2013

Oleh: Drs. Frans Lebu Raya, Gubernur Nusa Tenggara Timur Materi Pertemuan KADIN tanggal 7 Februari 2012 di Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk kemudian didatangkan ke negara tersebut dengan tujuan untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu aspek penting dan vital

I. PENDAHULUAN. jangkauan pemasaran mencakup dalam (lokal) dan luar negeri (ekspor). Kopi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

Pe n g e m b a n g a n

I. PENDAHULUAN. pertanian. Indonesia memiliki beragam jenis tanah yang mampu. menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakatnya. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. opportunity cost. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2011 MENCAPAI 5,11 PERSEN

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT AGUSTUS 2011

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Subsektor perkebunan merupakan salah satu sektor pertanian yang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN NGADA PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2012 MENCAPAI 5,61 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan pemasaran merupakan salah satu kegiatan yang menghubungkan

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan.

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh United Nations

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional.

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian cukup strategis dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Selama sepuluh tahun terakhir, peranan sektor ini terhadap PDB menujukkan pertumbuhan yang cukup baik, yaitu rata-rata 4% per tahun mampu menciptakan swasembada pangan, sektor ini diharapkan dapat menyediakan kesempatan kerja dan pengadaan bahan baku bagi industri hasil pertanian. Sektor ini juga dituntut untuk meningkatkan perolehan devisa bagi negara dengan jalan meningkatkan volume dan nilai ekspor hasil pertanian (BI, Pola Pembiayaan PPUK Jambu Mete, 2000). Salah satu sektor pertanian adalah subsektor perkebunan. Subsektor ini semakin penting dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional, mengingat makin terbatasnya peranan minyak bumi yang selama ini merupakan sumber utama devisa bagi negara. Hasil komoditas perkebunan yang cukup penting dalam menyumbang perolehan devisa bagi negara adalah biji jambu mente (cashew nut). Pada tahun 2011, ekspor biji jambu mete dari Indonesia telah mencapai 46.027 ton dengan nilai US$ 78.826. Adapun luas areal jambu mete di Indonesia sekitar 575.841 ha dengan produksi 114.789 ton pertahun, sebagaimana dapat terlihat pada Tabel 1.1. volume nilai ekspor- Import jambu mete Indonesia tahun 2000-2011. Harga jambu mete yang cukup baik telah mendorong petani untuk mengusahakan tanaman tersebut. Pengembangan jambu mete di Indonesia berlangsung sangat cepat. Pada periode 1990 1994, laju pertumbuhannya menduduki urutan ketiga setelah kakao dan kelapa sawit (Nogoseno 1996). Pada tahun 2013, luas areal jambu mete telah mencapai 598.503 ha dengan produksi 126.881 dapat dilihat pada Tabel. 1.3 (Statistik Dirjen Perkebunan 2010). 1

2 Tabel 1.1. Volume dan Nilai Eksport Import Jambu Mete Indonesia Eksport Import No Tahun Volume (Ton) Nilai (000 U$$) Volume (Ton) Nilai (000 U$$) 1 2000 27.619 31.502 212 353 2 2001 41.313 28.929 50 165 3 2002 51.717 34.810 - - 4 2003 60.429 43.534 8 25 5 2004 59.372 58.187 202 494 6 2005 69.415 68.972 112 83 7 2006 63.406 56.584 19 65 8 2007 83.646 82.833 1.237 1.718 9 2008 66.990 77.755 1.090 1.743 10 2009 68.767 82.650 2.724 3.997 11 2010 45.593 71.582 2.088 3.171 12 2011 46.027 78.826 5.129 15.525 Sumber : Data Dirjen Perkebunan Data luas areal dan produksi jambu mete Indonesia Tahun 2000 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.2 di bawah ini : Tabel 1.2. Data Luas Areal Produksi Jambu Mete No Tahun Luas Areal ( Ha ) Produksi PR PBN PBS Jumlah (Ton) 1 2000 551.442-9.868 563.310 69.927 2 2001 558.784-1.028 559.812 91.586 3 2002 568.796-1.128 569.924 110.232 4 2003 565.446-7.835 573.281 106.932 5 2004 559.633-6.676 566.309 131.020 6 2005 572.959-6.691 579.650 135.070 7 2006 568.944-253 569.197 149.138 8 2007 570.156-253 570.409 146.148 9 2008 572.727-994 573.721 156.652 10 2009 571.850-1.020 572.870 147.403 11 2010 569.910-1.020 570.930 115.149 12 2011 574.821-1.020 575.841 114.789 Sumber : Data Dirjen Perkebunan

3 Keterangan : PBN = Perkebunan Besar Nasional, PBS = Perkebunan Besar Swasta, PR = Perkebunan Rakyat Dari data Tabel 1.2. terlihat bahwa produksi jambu mete dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan baik luas areal maupun produksinya walaupun terlihat fluktuatif namun terjadi peningkatan, terutama untuk perkebunan rakyat, sedangkan untuk perkebunan besar swasta terjadi penurunan luas dan untuk perkebunan besar nasional luas areal untuk jambu mete tidak diusahakan karena rata-rata tanaman jambu mete diusahakan oleh perkebunan rakyat (Statistik Dirjen Perkebunan, 2010). Daerah sentra produksi jambu mete di Indonesia adalah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan Sumatra, (dapat dilihat pada Tabel 1.3. Data Luas Areal dan Produksi jambu mete/provinsi Tahun. 2013 ). Faktor utama dalam pengembangan produk adalah mutu, yaitu menentukan nilai jual dari produk tersebut. Pada jambu mete dengan tingkat mutu yang tinggi diharapkan akan diperoleh harga yang relatif lebih baik, sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani, penerimaan devisa dan sekaligus menciptakan lapangan kerja baru. Tabel 1.3. Luas Areal Produksi Jambu Mete Menurut Provinsi No Provinsi/Kabupaten Luas Areal/Ha Produksi ( Ton ) 1 Sumatra 303 28 2 Jawa 102.580 23.084 3 4 5 Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur 11.904 68.356 184.556 3.436 1.345 55.845 6 Kalimantan 1.414 78 7 Sulawesi 212.488 39.744 8 Maluku + Papua 16.902 3.321 Indonesia 598.503 126.881 Sumber : Data Dirjen Perkebunan Berdasarkan data Tabel 1.3. terbaca bahwa daerah Nusa Tenggara dan Bali adalah daerah sentra jambu mete, karena dianggap memiliki luas areal

4 terbesar dan produksi tertinggi pada tahun 2013 dibandingkan dengan luas areal dan produksi dari provinsi lainnya di Indonesia. Sehingga sangat layak jika Provinsi Nusa Tenggara Timur dijadikan sebagai aikonnya komoditas jambu mete bagi Indonesia di masa yang akan datang. Dalam perkembangannya tanaman jambu mete merupakan salah satu komoditas yang secara signifikan telah berperan sebagai salah satu upaya penanggulangan kemiskinan dan rawan pangan disamping berperan juga untuk konservasi lahan dan reboisasi. Tanaman jambu mete merupakan tanaman perkebunan yang cocok ditanam di lahan marjinal dan wilayah yang memiliki iklim kering, dimana persyaratan iklim yang diperlukan lebih banyak ditemukan di wilayah Indonesia bagian Timur khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di mana pada daerah sentra tanaman jambu mete yang telah berumur tua (tidak produktif) dilakukan kegiatan Rehabilitasi dan Intensifikasi. Melalui pengembangan tanaman jambu mete akan memberikan nilai tambah dari lahan yang sebelumnya tidak produktif atau tidak dimanfaatkan serta bermanfaat untuk konservasi lahan. Kabupaten Alor adalah salah satu Kabupaten dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang produksi hasil tanaman jambu mete dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan baik dari pengembangan maupun hasil dalam bentuk biji gelondongan, luas lahan yang sangat potensial bagi pengembangan jambu mete karena dari tahun ke tahun prospek pengembangan baik intensifikasi, diversifikasi, peremajaan menunjukan terjadi peningkatan (Satistik Disbun Kab. Alor, 2013) Secara umum data luas areal lahan dan produksi tanaman jambu mete perkebunan rakyat di Nusa tenggara Timur menurut kabupaten, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.4.

5 Tabel 1.4. Data luas areal dan produksi jambu mete menurut kabupaten dan keadaan tanaman di Nusa Tenggara Timur No Kabupaten Luas areal (Ha) Produksi (Ton) 1 Kota Kupang 122 675 2 Kupang 9.410 153 3 Timor Tengah Selatan 4.685 403 4 Timur Tengah Utara 11.298 328 5 Belu 2.691 439 6 Alor 10.899 536 7 Lembata 10.120 294 8 Flores Timur 29.091 690 9 Sikka 21.677 810 10 Ende 7.883 735 11 Ngada 6.745 285 12 Nagekeo 5.300 506 13 Manggarai 6.711 208 14 Manggarai Timur 8.213 106 15 Manggarai Barat 9.314 159 16 Sumba Timur 10.297 513 17 Sumba Barat 3.588 435 18 Sumba Barat Daya 13.185 553 19 Sumba Tengah 3.294 587 20 Rote Ndao 1.220 400 21 Sabu Raijua 1.476 289 Sumber Data: Dirjen Perkebunan Berdasarkan Tabel 1.4. terlihat bahwa Kabupaten Alor dianggap sebagai salah satu daerah sentra pengembangan jambu mete di wilayah Nusa Tenggara Timur dibandingkan dengan beberapa kabupaten lainnya karena memiliki luas areal yang besar dan rata-rata produksinya tertinggi sehingga dapat dijadikan daerah sampel untuk penelitian. Adapun data pengembangan luasan lahan dan produksi tanaman jambu mete di Kabupaten Alor dapat dilihat pada Tabel 1.5. di bawah ini.

6 Tabel 1.5. Data Luas Produksi Jambu Mete Kabupaten Alor No Tahun Luas Lahan (Ha) Produksi (Ton) 1 2004 9.258 3.443 2 2005 9.217 2.178 3 2006 9.247 1.104 4 2007 9.816 1.382 5 2008 9.825 1.155 6 2009 10.234 1.861 7 2010 10.578 1.859 8 2011 10.209 1.626 9 2012 11.069 2.042 10 2013 11.065 1.934 Sumber : Data Statistik Disbun Kab. Alor Berdasarkan data Tabel 1.5 dapat diketahui bahwa telah terjadi penambahan peningkatan luas areal pengembangan tanaman jambu mete dari tahun 2008 2013, yang juga berbanding lurus dengan hasil produksi yang terus meningkat dimana untuk produksi tahun 2004 2005 menurun karena pada tahun tersebut menurut data statistic Dinas Perkebunan Kabupaten Alor bahwa terdapat banyak tanaman yang tidak berproduksi lagi. Pada tahun 2013 mengalami fase penurunan disebabkan jumlah tanaman yang tidak menghasilkan banyak jumlahnya dan jumlah tanaman rusak terjadi peningkatan sehingga sangat mempengaruhi terjadinya penurunan hasil produksi tanaman jambu mete, informasi ini didapat langsung dari data hasil laporan/mantri perkebunan Dinas Perkebunan Kabupaten Alor (Statistik Disbun Kab. Alor, 2013). Pengembangan tanaman jambu mete berpengaruh pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan petani di mana berbagai bantuan bagi pengembangan komoditi ini cukup besar dari pemerintah yaitu bantuan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Alor (APBD II), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Prov. Nusa Tenggara Timur

7 (APBD I) dan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui program peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan berkelanjutan seperti kegiatan pembibitan yang dilakukan sendiri oleh petani, pelatihan pelatihan di tingkat kelompok tani, bantuan sarana produksi yang disalurkan melalui kelompok tani, perluasan akses jalan produksi guna memperlancar arus kegiatan pemasaran. Hal ini berarti ada perhatian khusus dari pemerintah untuk meningkatkan usaha pengembangan komoditas tersebut bagi peningkatan ekonomi petani jambu mete. Peningkatan luasan areal pengembangan jambu mete mempengaruhi hasil terutama untuk komoditi biji mete, hasil pemasaran dapat ikut mendukung meningkatnya pendapatan asli daerah Kabupaten Alor, dari pemasaran hasil sebagian besar hasil dipasarkan melalui transportasi antar pulau karena harga yang didapat melalui perdagangan antar pulau lebih besar dibandingkan jika dijual di dalam daerah sendiri, dari transportasi antar pulau ini pemerintah mengambil kesempatan untuk pajak retribusinya, ijin usaha dan pajak hasil yang didapat melalui pihak ketiga dalam hal ini investor/pengusaha yang terlibat langsung dalam pasar sebagai pelaku agrobisnis. Pemerintah menetapkan harga pasar yang menekan pihak ketiga untuk tidak menurunkan harga, hal ini bertujuan untuk melindungi dan memberikan peningkatan kesejahteraan petani. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan dinamisator. Gambaran tersebut jelas memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan hidup petani jambu mete dan pendapatan asli daerah, namun pada kenyatannya bahwa ada penekanan harga di tingkat pedagang pengumpul baik ditingkat desa, kecamatan maupun kabupaten sehingga perlu sekali dilakukan pengkajian tentang pemasaran sehingga petani sebagai pengusaha sekaligus produsen dapat menerima upah yang layak bagi usaha komoditi jambu mete yang dihasilkan. Besar kecilnya margin pasar komoditi tergantung kepada banyak sedikitnya lembaga yang terlibat dalam pemasaran. Dalam proses pemasaran, lembaga pemasaran yang terlibat langsung dalam pemasaran produk biji jambu mete antara lain pedagang desa, pedagang kecamatan dan pedagang

8 kabupaten. Ketiganya terkonsentrasi pada pemasaran jambu mete gelondong. Pedagang besar atau antar pulau sering merangkap sebagai industri pengolah, menangani produksi jambu mete gelondong ekspor, kacang mete, buah semu, kulit biji dan produk lain dan limbah yang masih dapat dimanfaatkan oleh industri, di samping berhubungan dengan eksportir, pedagang besar ini juga berhubungan dengan pedagang pengecer domestik untuk mensuplai kacang mete sebagai produk yang dikonsumsi oleh konsumen domestik (Darsono, 2004). Petani masih melakukan sistim pemasaran biji jambu mete dengan sistem tradisional yang tidak terpadu dimana kegiatan budidaya yang dilakukan masih menggunakan pola lama diantaranya dengan menanan tanpa melihat kualitas, jarak tanam, penggunaan pupuk. Petani masih sulit melepaskan diri dari keterkaitannya dengan para pedagang pengumpul dan juga sering kali menjadi pihak yang hanya memperoleh bagian yang sangat kecil dalam sistem pemasaran. Dari tingkat petani sampai ke hilir, pasar produk komoditi biji jambu mete masih bebas. Pasar desa sebagai salah satu fasilitas pemasaran tidak selalu ada di setiap desa. Dalam memasarkan hasil usaha tani, petani banyak bergantung pada jasa tengkulak yang ada. Pada situasi yang demikian tumbuhnya kelembagaan market substitusi misalnya sebelum waktu panen tiba petani sudah melakukan transaksi penjualan karena terdorong oleh factor kebutuhan, yang didalamnya terjadi pertukaran pasar karena adanya bahaya risiko dan ketidakpastian, sehingga mekanisme pertukaran risiko dapat terjadi. Pada saat panen raya petani menerima harga jambu mete murah sebagai penyerahan risiko penyimpanan grading dan susut yang ditanggung oleh tengkulak. Pada keadaan menanggung risiko inilah tengkulak menerima harga relatif murah yang bisa disamakan dengan pertukaran risiko pemasaran. Karena selama ini yang menjadi pertanyaan besar bahwa ketika hasil produksi meningkat sebenarnya telah terjadi peningkatan ekonomi dan taraf hidup petani jambu mete, namun sebaliknya petani tidak berada pada kondisi tersebut, dimana petani diperhadapkan dengan harga pembelian dari tengkulak

9 yang berada dibawah rata rata (Anwar, 1994), sehingga dianggap penting untuk mengetahui hal ini dalam kegiatan pemasaran dimana tugas manajemen pemasaran mencakup para pelaku pasar yang terlibat dalam produksi, distribusi dan promosi penawaran yang mencapai sasarannya melalui saluran pemasaran, perlu melakukan langkah langkah penyesuaian yang tepat waktu dalam kegiatan pemasaran untuk dipergunakan nantinya bagi kegiatan pemasaran biji jambu mete kedepannya (Kotler, 2008). Inilah titik fokus permasalahan sebenarnya yang harus dicari jalan keluarnya agar mendapatkan gambaran yang pasti tentang risiko pemasaran dengan mengetahui alur pemasaran yang terjadi. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah sejauh mana asas keadilan sehingga petani jambu mete tidak dikorbankan oleh mekanisme pasar sedemikian sehingga masih menikmati share (bagian) keuntungan pasar yang relatif sejalan, dimana dapat dilihat pada marjin pasar yang rendah dalam mekanisme saluran pemasaran biji jambu mete. Berdasarkan penelaahan keragaman pasar komoditi biji jambu mete yang perlu untuk diadakan kajian meliputi saluran pemasaran, marjin pemasaran dan memperhitungkan bagian dari harga yang diterima petani dalam kajian analisis pemasaran untuk digunakan dalam kegiatan pemasaran biji jambu mete sebagai komoditi yang sangat potensial dan bernilai ekonomis dan berdampak pada peningkatan taraf hidup petani serta peningkatan pendapatan dalam hal ini perputaran ekonomi daerah yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat yang berkeadilan. B. Perumusan Masalah Ketersedian komoditi biji jambu mete tergantung kepada luas lahan dan produksi yang dihasilkan oleh petani, sehingga kinerja dari sistem tata niaga dalam hal ini saluran pemasaran, margin pemasaran dan bagian yang seharusnya diterima oleh petani perlu untuk diperhatikan. Pemasaran biji jambu mete di Kabupaten Alor, dimana petani jambu mete masih melakukan kegiatan pemasaran yang belum tersistem misalnya

10 penjualan tanpa mengetahui kondisi harga pasar yang terjadi, sehingga dianggap petani jambu mete sulit melepaskan diri dari ketergantungan dengan pedagang pengumpul baik di tingkat desa, pedagang pengumpul di tingkat kecamatan bahkan pedagang pengumpul di tingkat kabupaten sehingga petani hanya memperoleh keuntungan yang kecil dari hasil yang didapatkan melalui sistem pemasaran yang ada. Berdasarkan latar belakang dapat diketahui permasalahan sesungguhnya yang terjadi adalah adanya rantai pemasaran yang panjang akan sangat mempengaruhi bagian yang seharusnya diambil menjadi milik petani jambu mete. Hal lainnya adalah karena kurang adanya penerapan inovasi dalam kegiatan budidaya tanaman jambu mete dan kemampuan untuk menerima ataupun membeli sarana produksi berupa pengadaan benih, pupuk dan sarana penunjang lainnya merupakan faktor yang mempengaruhi harga ditingkat petani dalam membeli hasil panen. Proses pemasaran seperti biaya transportasi, akomodasi yang dikeluarkan, biaya penyusutan, grading dalam kegiatan pemasaran biji jambu mete yang pada akhirnya juga akan berpengaruh pada harga jual yang tidak kompetitif diperoleh petani dalam sistem tata niaga/saluran pemasaran ditingkat petani, pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengumpul kabupaten. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana saluran pemasaran biji jambu mete di Kabupaten Alor? 2. Berapa besar margin pemasaran biji jambu mete di Kabupaten Alor? 3. Berapa besar share (bagian) yang diterima oleh petani biji jambu mete di Kabupaten Alor C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui saluran pemasaran biji jambu mete di Kabupaten Alor 2. Mengetahui besaran margin pemasaran biji jambu mete di Kabupaten Alor

11 3. Mengetahui berapa besar share (bagian) yang diterima oleh petani biji jambu mete di Kabupaten Alor D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai sarana pengembangan wawasan dalam mengkaji dan menganalisis permasalahan khususnya yang berkaitan dengan analisis pemasaran sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat Magister Agribisnis Program Studi Agribisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bagi instansi pemerintah daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran sekaligus bahan pertimbangan yang berhubungan dengan sistem pemasaran dan dapat dijadikan dasar dalam merumuskan strategi bagi pengembangan jambu mete dimasa yang akan datang. 3. Bagi pihak lain, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi yang berguna dalam pengembangan topik topik penelitian lanjutan bagi para akademisi dan peneliti bagi penelitian sejenis dan lanjutan pada bidangnya dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan.