BAB II TINJAUAN PUSTTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIDIABETIK TUNGGAL PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN DI RSU PANDAN ARANG BOYOLALI TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan berbagai faktor seperti perubahan pola penyakit dan pola pengobatan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan meningkatnya glukosa darah sebagai akibat dari

Definisi Diabetes Melitus

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Diabetes Mellitus Type II

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN ANTIDIABETIK KOMBINASI PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN DI RSU PANDAN ARANG BOYOLALI TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ANALISA KASUS. Apabila keton ditemukan pada darah atau urin, pengobatan harus cepat dilakukan karena

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang

CLINICAL SCIENCE SESSION DIABETES MELITUS

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolisme dari karbohidrat,

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dari pasien DM sendiri.

glukosa darah melebihi 500 mg/dl, disertai : (b) Banyak kencing waktu 2 4 minggu)

PREVALENSI DIABETES MELLITUS

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM

I. PENDAHULUAN. cukup besar di Indonesia. Hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit

Pengobatan diabetes tipe 2 yang agresif. Lebih dini lebih baik. Perjalanan penyakit Diabetes tipe 2 : Keadaan patologik yang mendasarinya

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA 1, HbA 2, HbF( fetus)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. insulin dan kerja dari insulin tidak optimal (WHO, 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI PEMILIHAN OBAT ANTIDIABETES PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SALATIGA TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam

BAB I PENDAHULUAN. hiperglikemi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan metabolisme

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, ketidakseimbangan antara suplai dan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB I PENDAHULUAN. modernisasi terutama pada masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DIABETES MELITUS GESTASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tanya-Jawab seputar. Diabetes

Pengetahuan Mengenai Insulin dan Keterampilan Pasien dalam Terapi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut kamus kedokteran tahun 2000, diabetes melitus (DM) adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makanan, berkurangnya aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran / polusi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat (Price & Wilson, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit. degenerative, akibat fungsi dan struktur jaringan ataupun organ

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manis atau penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis yang ditandai

Asuhan Keperawatan Pasien Rujuk Balik dengan Diabetes Mellitus di Instalasi Rawat Jalan. RSUD Kota Yogyakarta

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I

DIABETES MELITTUS APAKAH DIABETES ITU?

BAB I. Pendahuluan. diamputasi, penyakit jantung dan stroke (Kemenkes, 2013). sampai 21,3 juta orang di tahun 2030 (Diabetes Care, 2004).

kepatuhan dan menjalankan self care individu lanjut usia dengan Diabetes Melitus selama menjalani terapi hipoglikemi oral dan insulin?.

DM à penyakit yang sangat mudah kerja sama menjadi segitiga raja penyakit : DM CVD Stroke

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang diproduksi dengan efektif ditandai dengan

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Association, 2013; Black & Hawks, 2009). dari 1,1% di tahun 2007 menjadi 2,1% di tahun Data dari profil

BAB I PENDAHULUAN. dicapai dalam kemajuan di semua bidang riset DM maupun penatalaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme kronik yang

Diabetes tipe 1- Gejala, penyebab, dan pengobatannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akhir-akhir ini prevalensinya meningkat. Beberapa penelitian epidemiologi

DAFTAR ISI. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... v. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. RINGKASAN... viii. SUMMARY...

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis. yang telah menjadi masalah global dengan jumlah

KAJIAN PENGGUNAAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS TEMINDUNG SAMARINDA

I. PENDAHULUAN. sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. absolute atau relatif. Pelaksanaan diet hendaknya disertai dengan latihan jasmani

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. adekuat untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal (Dipiro et al, 2005;

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

Gejala Diabetes pada Anak yang Harus Diwaspadai

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Ermita (2002 dikutip dari Devita, Hartiti, dan Yosafianti, 2007) bahwa fluktuasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya telah mengalami perubahan dari basis pertanian menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. insulin atau keduanya (American Diabetes Association [ADA] 2004, dalam

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTTAKA 2.1 Diabetes Melitus DM merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan timbulnya hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin. Hal ini terkait dengan kelainan pada karbohidrat, metabolism lemak dan protein (Palaian, et al., 2005). Hiperglikemia kronik dan gangguan metabolik DM lainnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti mata, ginjal, syaraf, dan system vaskular (Cavallerano, 2009). 2.1.1 Etiologi DM dicirikan dengan peningkatan sirkulasi konsentrasi glukosa akibat metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang abnormal dan berbagai komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Semua keadaan diabetes merupakan akibat suplai insulin atau respon jaringan terhadap insulin yang tidak adekuat (Inzucchi, 2005), ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi DM bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita DM. Manifestasi klinis DM terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta telah rusak. Pada DM yang lebih berat, sel-sel beta

telah rusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan dengan defisiensi insulin (Anonim, 1999). 2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (2008), terbagi 4 bagian yaitu: a. Diabetes tipe 1 DM tipe 1 (tergantung insulin), DM ini disebabkan kerusakan sekresi produksi insulin sel-sel beta pankreas, sehingga penurun insulin sangat cepat sampai akhirnya tidak ada lagi yang disekresi. Oleh karena itu dalam penatalaksanaannya substitusi insulin tidak dapat dielakkan (disebut diabetes yang tergantung insulin). b. Diabetes tipe 2 DM tipe 2 (tak tergantung insulin), adalah DM yang lebih umum, penderitanya lebih banyak dibandingkan DM tipe 1. Penderita DM tipe 2 mencapai 90-9 % dari keseluruhan populasi penderita diabetes. DM tipe 2 sering terjadi pada usia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini di kalangan remaja dan anak-anak populasi penderita DM tipe 2 meningkat. Berbeda dengan DM tipe 1, pada DM tipe 2 terutama penderita DM tipe 2 pada tahap awal umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespons insulin

secara normal. Keadaan ini lazim disebut resistensi insulin. Obesitas atau kegemukan sering dikaitkan dengan penderita DM tipe 2. c. Diabetes gestational DM ini adalah intoleransi glukosa yang mulai timbul atau mulai diketahui selama pasien hamil. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon disertai pengaruh metaboliknya terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan merupakan keadaan diabetogenik. d. Diabetes spesifik DM ini disebabkan defekasi genetik fungsi sel-sel beta, defekasi genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, DM karena obat, DM karena infeksi, DM imunologi dan sindrom genetik. 2.1.3 Gejala dan Diagnosis Diabetes Melitus Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala khas berupa poliuria, polidispia, lemas dan berat badan menurun. Gejala lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan dan gejala khas, ditemukan pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Umumnya hasil pemeriksaan satu kali saja glukosa darah sewaktu abnormal belum cukup kuat untuk diagnosis klinis DM (Perkeni, 2002). Berikut adalah kriteria penegakan diagnosis DM (Tabel 1.1). Tabel 1.1 Kriteria penegakan diagnosis

Glukosa plasma puasa Glukosa plasma 2 jam setelah makan Normal <100 mg/dl <140 mg/dl Pra-diabetes 100-125 mg/dl - Diabetes >126 mg/dl 200 mg/dl Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu : a. Komplikasi akut i. Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (< 50 mg/dl). Gejala umum hipoglikemia adalah lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar-debar, pusing, pandangan menjadi gelap, gelisah serta bisa koma. Apabila tidak segera ditolong akan terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian. Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, survei yang dilakukan di Inggris diperkirakan 2-4% kematian pada penderita DM tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia. ii. Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba. Gejala hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah, dan

pandangan kabur. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis. Ketoasidosis diabetik diartikan tubuh sangat kekurangan insulin dan sifatnya mendadak. Akibatnya metabolisme tubuh pun berubah. Kebutuhan tubuh terpenuhi setelah sel lemak pecah dan membentuk senyawa keton, keton akan terbawa dalam urin dan dapat dicium baunya saat bernafas. Akibat akhir adalah darah menjadi asam, jaringan tubuh rusak, tak sadarkan diri dan mengalami koma. Komplikasi KHNK adalah terjadi dehidrasi berat, hipertensi, dan syok. Komplikasi ini diartikan suatu keadaan tubuh tanpa penimbunan lemak, sehingga penderita tidak menunjukkan pernafasan yang cepat dan dalam, sedangkan kemolakto asidosis diartikan sebagai suatu keadaan tubuh dengan asam laktat tidak berubah menjadi karbohidrat. Akibatnya kadar asam laktat dalam darah meningkat (hiperlaktatemia) dan akhirnya menimbulkan koma. b. Komplikasi kronis i. Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke. Pencegahan komplikasi makrovaskuler sangat penting

dilakukan, maka penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidup termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet gizi seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, dan mengurangi stress. ii. Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA 1c ) menyebabkan dinding pembuluh darah semakin lemah dan menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil, seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi (Anonim, 2006). 2.1.4 Penatalaksanaan Menurut PERKENI terdapat dua macam penatalaksanaan DM, yaitu : a. Terapi tanpa obat i. Pengaturan diet, diet yang baik merupakan kunci keberhasilan terapi diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang terkait dengan karbohidrat, protein, dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan fisik yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel beta terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian

dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian di luar negeri bahwa diet tinggi karbohidrat bentuk kompleks (bukan disakarida atau monoakarida) dan dalam dosis terbagi dapat meningkatkan atau memperbaiki pembakaran glukosa di jaringan perifer dan memperbaiki kepekaan sel beta di pankreas. ii. Olahraga, berolah raga secara teratur akan menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat Continuous, Rhymical, Interval, Progressive, Endurance Training dan disesuaikan dengan kemampuan serta kondisi penderita. Beberapa olahraga yang disarankan antara lain jalan, lari, bersepeda dan berenang, dengan latihan ringan teratur setiap hari, dapat memperbaiki metabolisme glukosa, asam lemak, ketone bodies, dan merangsang sintesis glikogen. b. Terapi obat, apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat. Terapi obat dapat dilakukan dengan antidiabetik oral, terapi insulin atau kombinasi keduanya (Anonim, 2006). Pada penatalaksanaan terapi DM tipe 2 terdapat alur agar terapi optimal (Gambar 2.1).

Target tercapai Target : HbA 1c 6,5-7,0% (Penurunan 0,5-1,0%) GDS < 110-130 mg/dl GDPP < 140 180 Dicek A 1c tiap 3-6 Awal intervensi Edukasi/ nutrisi/ olahraga Monoterapi/ kombinasi awal sulfonylurea dan atau metformin Pilihan monoterapi lain : Pioglitazon/ rosiglitazon Nateglinide Repaglinide Akarbose/ insulin Insulin analog Target tercapai Terapi dilanjutkan atau dicek A 1c tiap 3-6 bulan Target tidak tercapai setelah 3 bulan Kombinsi sulfonilurea Kombinasi lain : Metformin/ sulfonylurea dengan pioglitazon/ rosiglitazon atau akarbose/ miglitol metformin dengan nateglinide atau repaginide:insulin/ insulin analog (monoterapi/ kombinasi) Targer tercapai Targer tercapai setelah 3-6 bulan Terapi dilanjutkan dan di cek: A 1c tiap 3-6 bulan Intermediate-acting Insulin atau 1x perhari glargine : Sebelum pemberian intermediate regular insulin atau lispro/ aspart mix: tambah 3 kombinasi antidiabetik oral: atau ganti untuk memisah dosis insulin/ insulin analog terapi: berkunjung ke endokrinologis Gambar 2.1. Algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 (Dipiro et.,al, 2005) Sejak ditemukannya insulin pada tahun 1921 oleh Banting dan Best, angka kematian DM dapat ditekan secara bermakna. Meski pun waktu paruh insulin

sekitar 7-10 menit, tetapi pemberiannya secara subkutan, intramuskuler, dan intravena mempunyai tujuan klinik yang berlainan. American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan DM (Tabel 2.1). Tabel 2.1. Target penatalaksanaan DM Parameter Kadar ideal yang diharapkan Kadar glukosa darah puasa Kadar glukosa plasma puasa Kadar glukosa darah saat tidur Kadar insulin 80-120 mg /dl 90-130 mg/dl 100-140 mg/dl 110-150 mg/dl Kadar HbA1c < 7% Kadar kolesterol HDL >55 mg/dl (wanita) > 45 mg/dl (pria) Kadar trigliserida <200 mg/dl 2.1.5 Penilaian Pengontrolan Glukosa Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada semua tipe diabetes adalah pengukuran HbA 1c. Hemoglobin pada keadaan normal tidak mengandung glukosa ketika pertama kali keluar dari sumsum tulang (Price, 2002). Pada orang normal, sebagian kecil fraksi hemoglobin akan mengalami glikosilasi. Artinya glukosa terikat pada hemoglobin melalui proses enzimatik dan bersifat reversible. Pada pasien DM glikosilasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan kadar rerata glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya.

Bila kadar glukosa darah berada pada kisaran normal antara 70-140 mg% selama 2-3 bulan terakhir, maka hasil tes HbA 1c akan menujukkan nilai normal. Pemeriksaan HbA 1c adalah pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang (Perkeni, 2009). Pergantian hemoglobin yang lambat, nilai hemoglobin yang tinggi menunjukkan bahwa kadar glukosa darah tinggi selama 4-8 minggu. Nilai normal glikat hemoglobin bergantung pada metode pengukuran yang digunakan, namun berkisar antara 3,5%-5,5% (Tabel 2.2). Pemeriksaan HbA 1c sebagai pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang (Waspadji, 1996). Tabel 2.2 Kadar glikat hemoglobin pada penderita DM Normal/Kontrol glukosa HbA 1c (%) Nilai normal 3,5-5,5% Kontrol glukosa baik 3,5-6,0 Kontrol glukosa sedang 7,0-8,0 Kontrol glukosa buruk >8,0 2.1.6 Obat Obat Diabetes Melitus a. Antidiabetik oral Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan menormalkan kadar gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus lagi dengan menghilangkan gejala, optimalisasi parameter metabolik, dan mengontrol berat badan. Bagi pasien DM tipe 1 penggunaan insulin adalah terapi utama. Indikasi antidiabetik oral terutama ditujukan untuk penanganan pasien DM tipe 2 ringan sampai sedang yang gagal

dikendalikan dengan pengaturan asupan energi dan karbohidrat serta olah raga. Obat golongan ini ditambahkan bila setelah 4-8 minggu upaya diet dan olah raga dilakukan, kadar gula darah tetap di atas 200 mg% dan HbA 1c di atas 8%. Jadi obat ini bukan menggantikan upaya diet, melainkan membantunya. Pemilihan obat antidiabetik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Pemilihan terapi menggunakan antidiabetik oral dapat dilakukan dengan satu jenis obat atau kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen antidiabetik oral yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit DM serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada (Anonim, 2005). Dalam hal ini obat hipoglikemik oral adalah termasuk golongan sulfonilurea, biguanid, inhibitor alfa glukosidase dan insulin sensitizing. b. Insulin Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan dengan jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut (Katjung, 2002). Untuk pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara, misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk, penggantian insulin total menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi insulin antara lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel sel sebagian besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif,

menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa. 2. 2 Farmakoekonomi Farmakoekonomi adalah gambaran dan analisis dari biaya terapi obat untuk sistem perawatan kesehatan dan masyarakat. Farmakoekonomi meneliti, mengidentifikasi, dan membandingkan konsekuensi dari suatu produk farmasi dan jasa (Bootman, et al.,2005). Tujuan dari farmakoekonomi di antaranya membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan pada kondisi yang sama selain itu juga membandingkan pengobatan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda. Ada pun prinsip farmakoekonomi adalah sebagai berikut yaitu menetapkan masalah, mengidentifikasi alternative intervensi, menentukan hubungan antara income dan outcome sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat; mengidentifikasi dan mengukur outcome dari alternatif intervensi, menilai biaya dan efektivitas, dan langkah terakhir adalah menginterpretasikan dan pengambilan kesimpulan. Data farmakoekonomi sangat penting untuk membuat beberapa keputusan klinik, seperti pengelolaan formularium yang efektif, pengobatan pasien secara individual, kebijakan pengobatan dan alokasi dana (Muhlis, 2007). Metode evaluasi farmakoekonomi terdiri dari lima macam yaitu Cost- Analysis (CA), Cost-Minimization Analysis (CMA), Cost-Effectiveness Analysis (CEA), Cost-Utility Analysis (CUA), Cost-Benefits Analysis (CBA) (Dipiro et al., 2005). a. Cost Analysis (CA)

CA, yaitu tipe analisis sederhana, yang mengevaluasi intervensi biaya. Cost-Analysis dilakukan untuk melihat semua biaya dalam pelaksanaan atau pengobatan, dan tidak membandingkan pelaksanaan, pengobatan atau evaluasi efikasi. Adanya tiga syarat penting yang mesti dipenuhi, sebelum melakukan analisis biaya, yaitu struktur organisasi rumah sakit yang baik, sistem akuntansi yang tepat, informasi statistik yang cukup baik. Penerapan analisis biaya di rumah sakit selalunya mengacu pada penggolongan biaya yang terdiri dari 8 macam, yaitu : i. Biaya langsung (direct cost) merupakan biaya yang melibatkan proses petukaran uang untuk penggunaan sumber dan kaitannya dengan pertukaran uang, misalnya pasien diberi obat, maka pasien tersebut harus membayarnya dengan sejumlah uang tertentu. Contoh biaya langsung adalah biaya obat, biaya operasional (pembayaran jasa dokter dan perawat, sewa ruangan, penggunaan alat), dan lainnya. ii. Biaya tidak langsung (indirect cost) adalah biaya yang tidak melibatkan proses pertukaran uang untuk penggunaan sumber berdasarkan komitmen. Contohnya adalah biaya akibat hilangnya produktivitas (tidak masuk kerja), waktu (biaya perjalanan, menunggu), dan lainnya. iii. Biaya non material (intangible cost) merupakan biaya yang dikeluarkan untuk hal-hal yang tak teraba, sehingga sukar diukur. Biaya ini bersifat psikologis, sukar dijadikan nilai mata uang. Contohnya adalah biaya untuk rasa nyeri atau penderitaan, cacat, kehilangan kebebasan, dan efek samping.

iv. Biaya tetap (fixed cost) merupakan biaya yang tidak dipengaruhi oleh perubahan keluar (output). Untuk biaya ini tidak berubah meski pun ada peningkatan atau penurunan output, kecuali untuk gaji berkala. Contohnya adalah gaji Pegawai Negeri Sipil, sewa ruangan, dan ongkos peralatan. v. Biaya tidak tetap (variable cost) merupakan biaya yang dipengaruhi oleh perubahan volume keluaran. Jadi, biaya ini akan berubah apabila terjadi peningkatan atau penurunan output. Contoh adalah komisi penjualan dan harga obat. vi. Biaya rerata (average cost) merupakan biaya konsumsi sumber per unit output. Jadi, hasil pembagian dari biaya total dengan volume atau kuantitas output. Biaya rerata adalah total biaya dibagi jumlah kuantitas output. vii. Marginal cost merupakan perubahan total biaya hasil dari pertambahan atau berkurangnya unit output. viii. Opportunity cost merupakan besarnya biaya sumber pada saat nilai tertinggi dari penggunaan alternatif. b. Cost-Minimization Analysis (CMA) CMA adalah tipe analisis yang menentukan biaya program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan untuk menguji biaya relatif terkait dengan intervensi yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh. Pendapat kritis analisis cost-minimization hanya digunakan untuk prosedur hasil pengobatan yang sama. Contoh terapi dengan menggunakan antibiotika generik dengan merk dagang, outcome klinik (efek

samping dan efikasi sama), yang berbeda adalah onset dan durasinya. Maka pemilihan obat difokuskan pada obat yang biaya per harinya yang lebih murah. c. Cost-Effectiveness Analysis (CEA) CEA adalah tipe analisis yang membandingkan biaya suatu intervensi dengan beberapa ukuran nonmoneter, yang berpengaruh terhadap hasil perawatan kesehatan. Analisis cost-effectiveness merupakan salah satu cara untuk memilih dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria penilaian program mana yang akan dipilih didasarkan pada discounted unit cost dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis atau pengambil keputusan. Dalam menganalisis suatu penyakit, analisis costeffectiveness didasarkan pada perbandingan antara biaya suatu program pemberantasan tertentu dan akibat dari program tersebut dalam bentuk perkiraan dari kematian dan kasus yang bisa dicegah. Analisis cost effectiveness mengkonversi cost dan benefit (efikasi) ke dalam rasio pada obat yang dibandingkan (Muhlis, 2007). Pada studi farmakoekonomi untuk menginterpretasikan dan melaporkan hasil diwujudkan ke dalam bentuk rasio efektivitas, yaitu average costeffectiveness ratio (ACER) dan incremental costeffectiveness ratio (ICER). Apabila suatu intervensi memiliki ACER paling rendah per unit efektivitas, maka intervensi tersebut paling cost-effective, sedangkan ICER merupakan tambahan biaya untuk menghasilkan satu unit peningkatan outcome relatif terhadap alternatif intervensinya.

d. Cost-Utility Analysis (CUA) CUA adalah tipe analisis yang mengukur manfaat dalam utilitas beban lama hidup, menghitung biaya per utilitas, mengukur rasio untuk membandingkan di antara beberapa program. Analisis costutility mengukur nilai spesifik kesehatan dalam bentuk pilihan setiap individu atau masyarakat. Seperti analisis cost-effectiveness, analisis cost-utility membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan tersebut. Pada analisis costutility, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years, QALYs) dan hasilnya ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversi ke dalam nilai QALYs. Sebagai contoh, jika pasien dinyatakan benar-benar sehat, nilai QALYs dinyatakan dengan angka 1 (satu). Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup. Kekurangan analisis ini bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat kesehatan pasien (Martin, 2002). e. Cost-Benefits Analysis (CBA) CBA adalah tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan beberapa ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Analisis ini sangat bermanfaat pada kondisi antara manfaat dan biaya karena mudah dikonversi ke dalam bentuk rupiah. Analisis ini mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan beberapa ukuran moneter, dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat

digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda dan merupakan tipe penelitian farmakoekonomi yang kompreherensif. 2.3 Asuhan Kefarmasian Asuhan Kefarmasian adalah suatu praktik yang bertumpu kepada pasien, bertanggung jawab dan komitmen terhadap kebutuhan pasien akan obat. Menurut Cipolle et.al.,(1997) ada tiga kegiatan dan tanggungjawab dalam proses perawatan pasien yaitu : a. Penilaian (Assessement), tujuan penilaian ada tiga yaitu untuk : i. Memahami bahwa pasien dapat mengambil keputusan yang baik terhadap terapi obat yang rasional. ii. Menentukan ketepatan, keefektifan, keamanan terapi obat pasien dan menentukan kompatibilitas pasien dengan obat yang dipilihkan. iii. mengidentifikasi masalah terapi obat, informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan klinis pasien mencakup data yaitu (informasi demografis, dan pengalaman penggunaan obat-obatan), data penyakit (kondisi medis saat ini, riwayat kesehatan, status gizi, dan tinjauan sistem), dan data obat (obat saat ini, penggunaan pengobatan masa lalu). b. Rencana Perawatan (Care Plan), tujuan rencana perawatan adalah untuk mengatur semua pekerjaan yang telah disepakati oleh praktisi dan pasien untuk mencapai tujuan terapi. Hal ini membutuhkan intervensi untuk menyelesaikan masalah terapi obat, untuk memenuhi tujuan, dan untuk

mencegah masalah terapi obat baru, sehingga mengoptimalkan pengalaman pengobatan pasien. Rencana perawatan mengandung intervensi yang dirancang untuk menyelesaikan masalah terapi obat, mencapai tujuan lain terapi, mencegah masalah terapi obat baru. c. Evaluasi Tindak Lanjut (Follow up Evaluation), tujuan dari evaluasi tindak lanjut adalah untuk menentukan hasil optimal terapi obat untuk pasien, hasil ini dimaksudkan untuk tujuan terapi, menentukan efektifitas dan keamanan farmakoterapi, mengevaluasi kepatuhan pasien, dan menetapkan status pasien. Langkah evaluasi adalah pengalaman klinis dan pengetahuan terkini. Bahkan, kebanyakan terjadi selama evaluasi tindak lanjut. Evaluasi tindak lanjut adalah langkah dalam proses ketika dokter melihat obat dan dosis yang paling efektif atau kegagalan. Pada evaluasi tindak lanjut juga dinilai respon pasien terhadap terapi obat dalam hal efektivitas, keselamatan, kepatuhan dan juga menentukan jika ada masalah baru. Konsep pelayanan kefarmasian muncul karena kebutuhan untuk bisa mengkuantifikasi pelayanan kefarmasian yang diberikan, baik di klinik maupun di apotik (komunitas). Penekanan pelayanan kefarmasian terletak pada dua hal utama, yaitu: a. menentukan pelayanan kefarmasian yang dibutuhkan pasien sesuai kondisi penyakit. b. membuat komitmen untuk meneruskan pelayanan setelah dimulai secara berkesinambunngan. Berkembangnya paradigma baru tentang pelayanan kefarmasian ini tidak jarang mengundang salah pengertian profesi kesehatan lain. Oleh sebab itu perlu

ditekankan bahwa pelayanan kefarmasian yang dilakukan seorang farmasi bukan untuk menggantikan profesi dokter atau profesi lain, namun lebih pada pemenuhan kebutuhan dalam sistem pelayanan kesehatan yang muncul, antara lain: a. adanya kecenderungan polifarmasi dalam terapi, terutama pada pasien lanjut usia atau pun penderita penyakit kronis. b. semakin beragamnya produk obat yang beredar di pasaran beserta informasinya. c. peningkatan kompleksitas terapi obat d. peningkatan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan masalah terapi obat. e. mahalnya biaya terapi apalagi bila disertai kegagalan terapi. Secara prinsip, pelayanan kefarmasian terdiri dari beberapa tahap yang harus dilaksanakan secara berurutan: a. penyusunan informasi dasar atau database pasien b. evaluasi atau pengkajian (assessment) c. penyusunan rencana pelayanan kefarmasian (RPK) d. implementasi RPK e. monitoring implementasi dan tindak lanjut (folloe up) (Depkes, 2005).