BAB IV EKSPLORASI BATUBARA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan BAB IV

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA

PENGANTAR GENESA BATUBARA

BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA

PERINGKAT BATUBARA. (Coal rank)

A. JUDUL KAJIAN TEKNIS TERHADAP SISTEM PENIMBUNAN BATUBARA PADA STOCKPILE DI TAMBANG TERBUKA BATUBARA PT. GLOBALINDO INTI ENERGI KALIMANTAN TIMUR

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III ENDAPAN BATUBARA

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen.

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang

Petrologi Batuan Sedimen

FORMULIR ISIAN DATABASE SUMBER DAYA BATUBARA

BAB III TEORI DASAR. keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan

BAB V PEMBAHASAN. Analisis dilakukan sejak batubara (raw coal) baru diterima dari supplier saat

Gambar 7.1 Sketsa Komponen Batubara

Gambar Batubara Jenis Bituminous

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PERHITUNGAN SUMBERDAYA BATUBARA BERDASARKAN USGS CIRCULAR No.891 TAHUN 1983 PADA CV. AMINDO PRATAMA. Oleh : Sundoyo 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian

GEOLOGI DAN EKSPLORASI BATUBARA DAERAH ASAM-ASAM, KABUPATEN TANAH LAUT, KALIMANTAN SELATAN

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH PRONGGO DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA. SARI

BAB III TEORI DASAR. secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009).

KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF

Degradasi mikrobial terhadap bahan organik selama diagenesis

Bab II Teknologi CUT

BAB II LANDASAN TEORI

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN

Bab V Pembahasan. Tabel V.1. Nilai reflektansi vitrinit sampel Lubang Bor PMG-01 dan peringkatnya

BAB II TINJAUAN UMUM

1. MOISTURE BATUBARA

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM

PROSPEKSI BATUBARA DAERAH AMPAH DAN SEKITARNYA KABUPATEN BARITO TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

INVENTARISASI BATUBARA PEMBORAN DALAM DAERAH SUNGAI SANTAN-BONTANG KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan

JGP (Jurnal Geologi Pertambangan) 50

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

PROPOSAL TUGAS AKHIR ANALISA KUALITAS BATUBARA

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH BATUSAWAR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN TEBO DAN BATANGHARI, PROVINSI JAMBI

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Robert L. Tobing, David P. Simatupang, M. A. Ibrahim, Dede I. Suhada Kelompok Penyelidikan Batubara, Pusat Sumber Daya Geologi

Catatan Kuliah Lapangan Sedimentologi. Parapat Samosir Pusuk Buhit April 2011

Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan IV 2016 ISBN Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH BAYUNG LINCIR, KABUPATEN MUSI BANYUASIN, PROPINSI SUMATERA SELATAN

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

Analisis Kualitas Batubara Berdasarkan Nilai HGI dengan Standar ASTM

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH UMUK DAN SEKITARNYA KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

Gambar 1.1 Proses Pembentukan Batubara

Studi Kualitas Batubara Secara Umum

BAB I PENDAHULUAN. Hal 1

KARAKTERISTIK LUMPUR SIDOARJO

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

KAJIAN POTENSI TAMBANG DALAM PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DAERAH SUNGAI MERDEKA, KAB. KUTAI KARTANEGARA, PROV. KALIMANTAN TIMUR

Oleh. Untung Triono. Kelompok Energi Fosil. Pusat Sumberdaya Geologi. Badan Geologi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM

SIMULASI BLENDING BATUBARA DI BAWAH STANDAR KONTRAK DALAM BLENDING DUA JENIS GRADE BEDA KUALITAS PADA PT AMANAH ANUGERAH ADI MULIA SITE KINTAP

ANALISIS VARIASI NILAI KALOR BATUBARA DI PLTU TANJUNG JATI B TERHADAP ENERGI INPUT SYSTEM

BATUBARA DI DAERAH LONGIRAM DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

INVENTARISASI BATUBARA BERSISTIM DI DAERAH SUNGAI SANTAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II TINJAUAN UMUM

LINGKUNGAN PENGENDAPAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS BATUBARA DAERAH MUARA UYA KABUPATEN TABALONG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PENYELIDIKAN BATUBARA BERSISTEM DAERAH TANJUNG LANJUT KABUPATEN MUARO JAMBI PROVINSI JAMBI. Oleh : Wawang Sri Purnomo, Didi Kusnadi dan Asep Suryana

BAB IV ANALISIS SAMPEL

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB II TINJAUAN UMUM

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 1

Transkripsi:

BAB IV EKSPLORASI BATUBARA 4.1. Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses fisika dan kimia yang mengakibatkan pengayaan pada kandungan karbonnya (Anggayana, 2002). Endapan batubara adalah endapan yang mengandung hasil akumulasi material organik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang telah melalui proses litifikasi untuk membetuk lapisan batubara. Material tersebut telah mengalami kompaksi, ubahan kimia dan proses metamorfosis oleh peningkatan panas dan tekanan selama periode geologis. Bahan-bahan organik yang terkandung dalam lapisan batubara mempunyai berat lebih dari 50% atau volume bahan organik tersebut, termasuk kandungan lengas bawaan (inherent moisture), lebih dari 70% (BSN, 1998). 4.1.1. Pembentukan Batubara Terdapat dua proses utama yang berperan dalam proses pembentukan batubara, yaitu proses penggambutan (peatification) dan pembatubaraan (coalification). Gambut sendiri merupakan tahap awal dari terbentuknya batubara. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam pembentukan rawa gambut menurut Bend (1992) dalam Diessel (1992) yaitu: Evolusi tumbuhan Aneka ragam tumbuhan seperti yang ditemui saat ini sebelumnya telah mengalami proses evolusi yang panjang yang dimulai dari Jaman Devon. Dimulai dari satu jenis tumbuhan seperti alga atau ganggang pada jaman sebelum Devon menjadi bermacam-macam jenis tumbuh-tumbuhan pada waktu-waktu berikutnya. Proses evolusi ini perlu diketahui karena terdapat beberapa tumbuhan yang hanya hidup pada waktu tertentu saja, 33

sehingga beberapa tumbuhan ini dapat digunakan untuk interpretasi genesanya. Iklim Iklim pada suatu daerah banyak mempengaruhi terbentuknya gambut pada daerah tersebut. Hal ini dikarenakan iklim suatu daerah dapat mempengaruhi kecepatan tumbuhan untuk tumbuh, jenis tumbuhan yang tumbuh, serta kecepatan dekomposisi tumbuhan. Di daerah beriklim tropis, dengan melimpahnya sumber air dan sinar matahari, akan menghasilkan lapisan gambut yang banyak dan tebal yang terbentuk dari batang kayu besar. Peningkatan suhu suatu daerah akan mempercepat laju pertumbuhan tanaman dan juga proses dekomposisinya. Sebagai contohnya adalah ditemukannya rawa yang luas dipenuhi gambut dengan ketebalan lebih dari 30 meter di daerah yang beriklim tropis (Taylor dkk., 1998). Geografi dan struktur daerah Gambut dan batubara akan terbentuk di daerah dengan kondisi kenaikan muka air yang lambat. Apabila kenaikan muka air tanah pada suatu daerah terlalu cepat, maka endapan rawa akan berubah menjadi limnik atau terjadi pengendapan sedimen marin. Sebaliknya,apabila terlalu lambat, maka material tumbuhan akan membusuk dan gambut yang terbentuk akan tererosi. Lalu adanya perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai juga dibutuhkan agar sedimen yang terbentuk di rawa dapat terendapkan dan terjadi pembentukan gambut. Energi yang relatif rendah atau tenang juga akan mempengaruhi pembentukan gambut dan batubara, yaitu pada suplai sedimen yang ada sehingga gambut dapat terproses dan terbentuk tanpa banyak gangguan dari sedimen lain. 4.1.1.1. Penggambutan (Peatification) Gambut adalah sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari timbunan hancuran atau bagian tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam kondisi tertutup udara (di bawah air), tidak padat, memiliki kandungan air lebih dari 75% (berat) dan kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi kering (Anggayana, 2002). Pembentukan gambut merupakan tahap awal pembentukan 34

batubara. Dalam tahap ini proses yang terpenting adalah proses pembentukan humic substance (humification). Pembentukan humic substance (humification) ini dikontrol oleh beberapa faktor, yaitu kenaikan temperatur, suplai oksigen, fasies, dan lingkungan alkali. Proses penggambutan ini merupakan proses awal dalam pembentukan batubara, yang meliputi proses perubahan kimia (biochemical coalification) dan mikrobial. Dalam proses ini penggambutan akan bergantung pada faktor keberadaan air pada lingkungan pengendapan dan mikroorganisme (bakteri). Setelah proses tersebut kemudian dilanjutkan dengan proses perubahan geokimia (geochemical coalification), yang dalam prosesnya tidak melibatkan bakteri lagi. Tumbuhan tersusun oleh berbagai unsur, yaitu C, H, O, dan N. Setelah mati tumbuhan akan mengalami proses degradasi biokimia. Adanya mikroorganisme (bakteri) menyebabkan terurainya unsur-unsur pada tumbuhan tersebut, sehingga akan memotong ikatan kimia tumbuhan tersebut dan menyebabkan tumbuhan akan mengalami pembusukan dan terurai menjadi humus. Unsur H, O, dan N akan terurai dan dilepaskan dalam bentuk air (H 2 O) dan NH 3. Sedangkan sebagian unsur C akan dilepaskan dalam bentuk gas CO 2, CO, dan metana (CH 4 ). Semakin bertambahnya kedalaman maka suplai oksigen akan semakin berkurang. Hal ini mengakibatkan bakteri aerob tidak dapat bertahan hidup dan hanya terdapat bakteri anaerob. Karena jumlah bakteri hanya sedikit, pada kedalaman lebih dari 10 meter bisa dikatakan bakteri tidak memiliki peranan penting lagi dan yang terjadi adalah proses kimiawi (polomerisasi, kondensasi, dan reaksi reduksi). Dengan bertambahnya kedalaman maka kandungan karbon (C) menjadi bertambah pula. Pada tahap geokimia, lapisan sedimen akan semakin tertekan oleh lapisan sedimen diatasnya. Hal ini akan menyebabkan adanya kenaikan tekanan pada lapisan sedimen sehingga kandungan air akan berkurang dengan cepat. Kandungan air yang terdapat pada lapisan sedimen gambut dapat digunakan sebagai parameter tingkat diagenesa gambut yang baik. Kemunculan selulosa bebas, yaitu selulosa yang tidak bercampur dengan lignin juga dapat dijadikan parameter tingkat diagenesa gambut. 35

Dalam kenyataannya tidak seluruh bagian tumbuhan mengalami pembusukan. Akumulasi dari sisa-sisa bagian tumbuhan yang tidak mengalami pembusukan inilah yang akan menjadi gambut. Gambut akan terbentuk apabila tumbuhan terendam air dengan cepat dan terhindar dari proses pembusukan yang diakibatkan oleh bakteri. Setelah menjadi gambut, maka proses yang akan bekerja selanjutnya adalah proses pembatubaraan. Proses ini meliputi proses geologi dan perubahan geokimia (geochemical coalification). 4.1.1.2. Pembatubaraan (Coalification) Kelanjutan proses dari penggambutan adalah proses pembatubaraan (coalification). Proses ini meliputi perkembangan dari gambut (peat) menjadi batubara lignit (brown coal), sub bituminous, bituminous, dan anthracite. Proses ini dikontrol oleh beberapa hal, yaitu temperatur, tekanan, dan waktu. Pada saat proses perubahan gambut menjadi lignit, proses yang terjadi adalah kenaikan temperatur dan penurunan porositas. Terjadinya proses kenaikan temperatur yang diikuti penurunan porositas ini diakibatkan karena adanya pembebanan material-material sedimen diatasnya. Akibat tertekan sedimen diatasnya maka lapisan tersebut akan mengalami kompaksi dan terbentuklah lignit. Apabila pada lapisan lignit terjadi peningkatan temperatur dan tekanan yang cukup lama dalam waktu geologi maka lignit ini akan terubah menjadi batubara sub bituninous dan bituminous. Dalam proses perkembangannya, proses pembatubaraan ini akan mengalami peningkatan presentase karbon (C) karena unsur-unsur lainnya seperti H, O, dan N akan terlepas sebagai gas O 2, H 2, dan N 2. Kemudian, apabila batubara bituminous mengalami peningkatan temperatur yang cukup lama, maka unsur H dalam batubara akan terlepas dengan cepat. Peningkatan temperatur ini biasanya diakibatkan oleh adanya gradien geothermal dan tekanan overburden pada lapisan sedimennya. Akibat unsur H yang terlepas pada batubara, maka lapisan batubara ini akan mengandung unsur H yang lebih sedikit dan terbentuklah batubara tipe antrachite. Menurut Sudarsono (2000), berdasarkan asal tumbuhan pembentuk gambut terdapat dua macam batubara, yaitu: 36

Batubara autochtone, merupakan batubara yang gambutnya berasal dari tumbuhan-tumbuhan yang tumbang di tempat tumbuhnya dan tidak mengalami transportasi ke tempat lain. Jenis batubara autochtone memiliki penyebaran yang luas dan merata serta memiliki kualitas yang lebih baik karena kadar abunya relatif lebih rendah. Batubara allochtone, merupakan batubara yang gambutnya berasal dari bagian tumbuhan yang terbawa aliran sungai dan terendapkan di daerah hilir sungai tersebut. Jenis batubara allochtone ini memiliki penyebaran tidak luas dan dijumpai pada beberapa tempat dan tidak merata. Kualitas batubara yang terbentuk dengan cara ini memiliki kualitas yang kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama pada saat tumbuhan tertransportasi dari tempat asalnya. Endapan batubara allochtone relatif lebih banyak mengandung mineral dibandingkan endapan authochtone. Kenaikan temperatur dan waktu merupakan dua faktor utama penyebab proses pembatubaraan. Biasanya batubara dengan tingkat tinggi (anthracite) ditemukan berdekatan dengan intrusi-intrusi batuan beku. Terjadinya kontak metamorfisme intrusi batuan beku terhadap lapisan batubara ini membuat peringkat batubara semakin tinggi. Selain itu, peringkat batubara akan semakin tinggi akibat naiknya temperatur karena bertambahnya kedalaman lapisan batubara. Sedangkan semakin bertambahnya waktu apabila temperatur pembatubaraan tinggi, maka pada daerah yang terkena struktur geologi, seperti daerah patahan atau lipatan, proses pembatubaraan akan semakin cepat karena adanya tekanan dan temperatur yang tinggi pada daerah tersebut. 4.1.2. Lingkungan Pengendapan Batubara Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan dan geologi sekitarnya. Ketebalan, persebaran, kompisisi, dan kualitas batubara banyak dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya. Lingkungan yang memungkinkan untuk terbentuknya endapan batubara yaitu lingkungan yang memiliki tumbuhan yang cukup banyak, terdapat mikroorganisme (bakteri), dan digenangi air dalam kurun waktu cukup lama. 37

Lingkungan pengendapan rawa dapat dibagi menjadi dua jenis,yaitu: Rawa paralis, merupakan rawa yang terdapat di lingkungan tepi laut. Contohnya seperti rawa pinggir laut, laguna, dan delta. Rawa limnik, merupakan rawa yang terdapat di lingkungan tepi danau. Contohnya seperti rawa meadow dan tepi danau. Batubara sendiri umumnya banyak ditemukan pada lingkungan pengendapan rawa paralis, terutama lingkungan pengendapan delta. Lingkungan pengendapan batubara di daerah delta (Gambar 30) dapat dibagi menjadi empat bagian (Horne dkk, 1978), yaitu: 1. Lingkungan back barrier, memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan yang tipis, penyebaran lateral tidak menerus, dan memiliki kandungan sulfur yang tinggi. 2. Lingkungan lower delta plain, memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan yang tipis, penyebaran luas, dan distribusi kandungan sulfur bervariasi. 3. Lingkungan transisi antara lower dan upper delta plain, memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan tebal, penyebaran lateral luas, serta rendah sulfur. 4. Lingkungan upper delta plain - fluvial, memiliki ciri-ciri endapan batubara dengan lapisan cukup tebal, setempat dan umumnya penyebaran lateral tidak merata dengan kandungan sulfur yang rendah. 38

Gambar 30. Lingkungan pengendapan batubara pada daerah delta (Horne dkk., 1978) Untuk lingkungan pengendapan batubara berdasarkan lingkungan sedimenternya (Gambar 31), dapat dibagi menjadi empat (Diessel, 1992), yaitu: 1. Braided Plain Braided plain adalah dataran aluvial yang terdapat diantara pegunungan. Di daerah ini memiliki energi transportasi sedimen yang tinggi karena masih berada dekat dengan sumber air, sehingga endapan sedimennya pun berukuran kasar (>2mm). Batubara yang terbentuk pada lingkungan ini memiliki penyebaran yang terbatas dan ketebalan sekitar 1,5 meter. Kandungan abu, total sulfur, dan vitrinitnya umumnya rendah, tetapi pada daerah tropis kandungan vitrinitnya umumnya lebih tinggi. Kandungan abu yang kadang ditemukan cukup tinggi (20%) kemungkinan berasal dari banjir musiman dan keluarnya air tanah ke permukaan. Bagian tengah gambutnya kaya akan maseral inertinit (28%) karena suplai nutrisi terbatas. Kandungan inertinit (khususnya semifusinit) yang tinggi menyebabkan nilai TPI (Tissue Preservation Index)-nya relatif tinggi. Hal ini dapat menunjukkan bahwa asal tumbuhan ini didominasi oleh tumbuhan berkayu. Sementara itu, 39

dengan nilai GI (Gelification Index) rendah dan warna batubara yang kusam menunjukkan bahwa permukaan gambut mengalami kekeringan dan proses oksidasi secara berkala. 2. Alluvial Valley dan Upper Delta Plain Kedua lingkungan ini memiliki kesamaan litofasies dan juga kondisi pembentukan batubaranya. Lingkungan ini merupakan transisi dari lembah dan dataran aluvial dengan dataran delta. Umumnya melewati daerah sungai meander (meandering river). Lapisan batubaranya memiliki tebal bervariasi dan profil sedimennya umumnya berupa perselingan batupasir dan lanau atau lempung. Gambut yang terbentuk di lingkungan ini dapat terakumulasi pada beberapa morfologi, seperti pada rawa, dataran banjir, bagian luar dari saluran sungai, dan lain-lain. Batubara yang terbentuk memiliki kandungan abu dan sulfur yang rendah serta didominasi oleh maseral televitrinit atau humotellinit. Permukaan gambut relatif hampir selalu basah setiap musimnya dan jarang mengalami periode kekeringan karena kemarau, sehingga endapan batubara yang dihasilkan memiliki nilai TPI dan GI relatif tinggi dan warna yang mengkilap. 3. Lower Delta Plain Lingkungan lower delta plain dapat dibedakan dengan upper delta plain berdasarkan besarnya pengaruh pasang air laut terhadap proses sedimentasi. Batas keduanya yaitu daerah batas tertinggi dari air pasang. Endapan pada lingkungan ini terdiri dari batulanau, batulempung, dan serpih dengan sisipan batupasir halus. Ketika air laut pasang maka akan membawa berbagai nutrisi ke dalam rawa gambut, sehingga menyebabkan banyaknya pertumbuhan tanaman di daerah ini. Akibat pasang air laut ini juga akan membawa material sedimen klastik halus yang kemudian akan terendapkan pada rawa gambut dan menjadi pengotor dalam batubara. Kandungan batubara yang terbentuk pada lingkungan ini umumnya akan memiliki kandungan pirit yang berasal dari reduksi sulfat pada air laut yang terbawa ke lingkungan ini. Menurut Horne 40

dan Ferm (1987) dalam Diessel (1992), batubara yang terendapkan pada lingkungan ini memiliki penyebaran lateral yang luas tetapi ketebalannya relatif tipis. Kandungan inertinit dalam batubaranya rendah dengan nilai GI yang tinggi. Kandungan vitrinit atau huminitnya didominasi oleh detrovitrinit atau humotellinit, yang menyebabkan nilai TPI-nya relatif rendah. Hal tersebut menunjukkan adanya biodegradasi pada ph tinggi dan melimpahnya tumbuhan berjaringan lunak (soft-tissued plant). 4. Barrier Beach Morfologi garis pantai pada lingkungan ini dikontrol oleh rasio suplai sedimen dengan energi pantai, yaitu gelombang dan arus. Apabila nilai rasionya tinggi maka akan terbentuk lingkungan delta. Sedangkan apabila nilai rasionya rendah maka sedimentasi akan terdistribusi di sepanjang pantai. Permukaan rawa gambut di lingkungan ini lebih rendah dari muka air laut, sehingga daerah ini akan sering mengalami kebanjiran dan ditumbuhi alang-alang. Rawa gambut pada lingkungan ini sangat dipengaruhi oleh peristiwa transgresi dan regresi. Gambar 31. Sketsa lingkungan pengendapan dan kondisi akumulasi gambut (Diessel, 1992) 41

4.1.3. Analisis Kualitas Batubara Kualitas batubara berperan penting dalam menentukan kelas batubara. Terdapat lima unsur utama pembentuk batubara, yaitu Karbon (C), Hidrogen (H), Sulfur (S), Nitrogen (N), Oksigen (O 2 ), dan fosfor. Penentuan kualitas batubara dapat diperoleh dengan cara mengetahui parameter kualitas pada batubara. Hal ini dapat diketahui menggunakan analisis kimia dan pengujian laboratorium terhadap sampel batubara. Analisis kualitas batubara terdiri dari dua jenis, yaitu analisis ultimat dan analisis proksimat. Analisis ultimat adalah analisis sederhana yang digunakan untuk mengetahui unsur-unsur pembentuk batubara dengan hanya memperhatikan unsur kimia pembentuk yang penting dan mengabaikan keberadaan senyawa kompleks yang ada di dalam batubara. Salah satu senyawa yang umum dijumpai pada endapan batubara adalah sulfur. Beberapa jenis sulfur yang umum dijumpai pada batubara, yaitu: Pirit (FeS 2 ), dijumpai berupa bentukan makrodeposit, seperti lensa, urat, dan rekahan (joint). Sulfur organik, secara kimia terikat dalam endapan batubara dengan jumlah antara 20 80%. Sulfur sulfat, umumnya dijumpai berupa kalsium sulfat dan besi sulfat dengan jumlah relatif kecil. Analisis proksimat digunakan untuk menentukan kelas (rank) batubara. Analisis ini memiliki empat parameter utama yang digunakan, yaitu: 1. Kadar air (moisture), yaitu kandungan air yang terdapat pada batubara. Kadar air sendiri dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: Kadar air bebas (free surface moisture), yaitu air yang menempel pada permukaan batubara yang berasal dari air hujan dan juga air semprotan yang mana akan mudah menguap dalam kondisi laboratorium. Kadar air bawaan (inherent moisture), yaitu air yang terdapat pada rongga (pori) dan mineral yang terdapat dalam batubara. Air ini dapat dihilangkan dengan suhu pemanasan 105 0-110 0 C. 42

Kadar air total (total moisture), merupakan jumlah dari kadar air bebas ditambah dengan kadar air bawaan. 2. Kadar abu (ash), yaitu kandungan bahan inorganik yang tertinggal atau tidak terbakar sewaktu batubara dibakar pada suhu 815 0 C. 3. Zat terbang (volatile matter), yaitu komponen-komponen dalam batubara yang dapat lepas atau menguap pada saat dipanaskan di ruang hampa udara pada suhu 900 0 C. Zat terbang ini meliputi zat terbang mineral (volatile mineral matter) dan zat terbang organik (volatile organic matter). 4. Karbon tertambat (fixed carbon), merupakan jumlah karbon yang tertambat pada batubara setelah kandungan-kandungan air, abu, dan zat terbangnya dihilangkan. 4.1.4. Klasifikasi Batubara Untuk mengetahui tingkat (rank) dari batubara maka diperlukan analisis klasifikasi batubara. Klasifikasi yang saat ini umum digunakan yaitu klasifikasi yang dibuat oleh ASTM (American Society for Testing and Materials) (ASTM, 1981, dalam Wood dkk, 1983) (Tabel 1). Parameter dasar yang digunakan dalam klasifikasi ASTM, yaitu: Untuk batubara berperingkat tinggi (fixed carbon > 69%), parameter yang digunakan adalah jumlah karbon tertambat (fixed carbon) dan zat terbang (volatile matter). Untuk batubara berperingkat rendah (fixed carbon < 69%), maka parameter yang digunakan adalah nilai kalori (calorific value)-nya. Parameter tambahan, berupa sifat karakter penggumpalan (coking). 43

Tabel 1. Klasifikasi Peringkat Batubara oleh ASTM (ASTM, 1981, dalam Wood dkk, 1983) Rank Anthracitic Group Fixed carbon percentage (dry, mineral matter free basis) Volatile matter percentage (dry, mineral matter free basis) Meta-anthracitie >98 <2 Anthracite 92-98 2-8 Calorivic value (moist, mineral matter free basis) Brithish thermal units per pound Megajoules per kilogram Agglomerating character non agglomerating Bituminous Semianthracite 86-92 8-14 Low-volatile bituminous 78-86 14-22 Medium-volatile bituminous 69-78 22-31 High-volatile A bituminous <69 >31 >14.000 >32,6 commonly agglomerating High-volatile B bituminous 13.000-14.000 30,2-32,6 High-volatile C bituminous 11.500-13.000 26,7-30,2 Subbituminous 10.500-11.500 24,4-26,7 agglomerating Subbituminous A 10.500-11.500 24,4-26,7 Lignitic Subbituminous B 9.500-10.500 22,1-24,4 Subbituminous C 8.300-9.500 19,3-22,1 Lignite A 6.300-8.300 14,7-19,3 Lignite B <6.300 <14,7 non agglomerating Hasil analisis proksimat yang dilakukan pada laboratorium memiliki nilai kalori pada basis pelaporan air dried basis (adb). Pada basis adb ini, conto batubara ditempatkan pada ruangan udara terbuka, sehingga secara perlahan kadar airnya akan mencapai titik kesetimbangan dengan kelembaban udara. Sedangkan untuk penggolongan batubara menggunakan klasifikasi ASTM, batubara digolongkan berdasarkan nilai kalori pada basis pelaporan dry mineral matter free (dmmf). Analisis dengan menggunakan basis dmmf ini akan memberikan gambaran mengenai komposisi organik murni pada batubara. Untuk mengkonversi nilai kalori dalam basis adb menjadi dmmf digunakan Parr Formulas (ASTM, 1981, dalam Wood dkk, 1983) dengan rumus sebagai berikut: 44

4.1.5. Metode Perhitungan Sumberdaya Batubara Perhitungan sumberdaya batubara dilakukan dengan tujuan mengetahui berapa banyak endapan batubara yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pertambangan. Menurut Koesoemadinata (2000), sumberdaya adalah kuantitas dari suatu cebakan berdasarkan atas penafsiran geologi saja, dengan penafsiran pertambangan belum dimasukkan. Sedangkan cadangan adalah kuantitas dari suatu cebakan yang telah memasukkan semua dampak dan aspek pertambangan, sehingga ukuran, bentuk kedalaman, dan kadar dari sumberdaya dapat diketahui dengan baik. Sumber daya batubara adalah bagian dari endapan batubara yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Sumber daya batubara ini dibagi dalam kelaskelas sumber daya berdasarkan tingkat keyakinan geologi yang ditentukan secara kualitatif oleh kondisi geologi atau tingkat kompleksitas dan secara kuantitatif oleh jarak titik informasi. Sumberdaya ini dapat meningkat menjadi cadangan apabila setelah dilakukan kajian kelayakan dinyatakan layak (BSN,1998). Cadangan batubara adalah bagian dari sumber daya batubara yang telah diketahui dimensi, sebaran kuantitas, dan kualitasnya, yang pada saat pengkajian kelayakan dinyatakan layak untuk ditambang (BSN, 1998). 45

Metode yang digunakan untuk menghitung sumberdaya batubara bermacam-macam, seperti Metode Circular USGS, Metode Penampang, Metode Blok, dan Metode Poligon. Penentuan penggunaan metode perhitungan sumberdaya batubara didasarkan atas kualitas dan jenis data yang diperoleh di lapangan dan metode penambangan yang akan digunakan. Data yang diperoleh selama penelitian di lapangan adalah data singkapan, sehingga dalam perhitungan sumberdaya batubara daerah penelitian metode yang cocok digunakan adalah Metode Circular USGS. Untuk menghitung besarnya sumberdaya batubara dengan menggunakan Metode Circular USGS (Wood dkk, 1983), terdapat beberapa langkah kerja yang harus diikuti, yaitu: 1. Pembuatan peta sebaran batubara daerah penelitian 2. Pembuatan lingkaran (circular) pada tiap titik singkapan batubara yang ditemui, dengan mengacu pada tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Jenis sumberdaya batubara mengacu pada jarak radius dari titik singkapannya (Wood dkk, 1983) Radius (meter) Jenis Sumberdaya Batubara 0-400 Sumberdaya Terukur (Measured Resource) 400-1200 Sumberdaya Tertunjuk (Indicated Resource) 1200-4800 Sumberdaya Terkira (Inferred Resource) 3. Setelah mendapatkan lingkaran dengan radius di atas pada tiap singkapan batubara, apabila terdapat titik-titik perpotongan antara lingkaran yang telah dibuat maka digabungkan menjadi satu daerah. Sehingga dari penggabungan lingkaran-lingkaran dari tiap titik singkapan batubara tersebut didapatkanlah suatu daerah dengan luas tertentu dan kemudian dapat dihitung jumlah sumberdaya batubaranya (Gambar 32). 46

Gambar 32. Perhitungan sumberdaya batubara menggunakan Metode Circular dan koreksi kemiringan pada lapisan batubara (Wood dkk, 1983) 47

Rumus yang digunakan dalam Metode Circular USGS (Wood dkk, 1983) untuk menghitung sumberdaya batubara adalah sebagai berikut: Untuk kemiringan lapisan (α) < 30 0, Sumberdaya = Luas area (m 2 ) x Tebal batubara (m) x Berat Jenis (ton/m 3 ) Untuk kemiringan lapisan (α) > 30 0, Sumberdaya = Luas area (m 2 ) x Tebal batubara (m) x Berat Jenis (ton/m 3 ) cos α Perhitungan sumberdaya batubara di Indonesia sendiri sudah memiliki acuan terhadap metode perhitungan sumberdaya batubara yaitu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dibuat oleh Badan Standardisasi Nasional- BSN (1998). Metode perhitungan sumberdaya berdasarkan SNI ini dibuat karena masih beragamnya cara perhitungan sumberdaya dan cadangan di Indonesia. Dengan adanya SNI ini maka dapat digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam penafsiran berbagai istilah dalam sumberdaya dan cadangan batubara di Indonesia secara seragam. Metode perhitungan besarnya sumberdaya batubara berdasarkan SNI (BSN, 1998) prinsipnya adalah sama dengan metode circular USGS (Wood dkk, 1983). Perbedaannya hanya terletak pada radius dari jarak titik informasi batubara yang mengacu pada kondisi geologi daerah tersebut. Untuk menghitung besarnya sumberdaya batubara berdasarkan SNI (BSN, 1998) dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini: Tabel 3. Jenis sumberdaya batubara mengacu pada jarak titik informasi menurut kondisi geologi (BSN, 1998) Kondisi Sumberdaya Kriteria Geologi Hipotetik Terkira Tertunjuk Terukur Sederhana Moderat Komplek Jarak titik informasi (m) Jarak titik informasi (m) Jarak titik informasi (m) Tidak terbatas Tidak terbatas Tidak terbatas 1000<x=1500 500<v=1000 x=500 500<x=1000 250<x=500 x=250 200<x=400 100<x=200 x=100 48

4.2. Endapan Batubara Daerah Penelitian Berdasarkan hasil pemetaan geologi di daerah penelitian, singkapan batubara ditemui pada 20 lokasi singkapan, yaitu pada titik PT-78, PT-82, PT-93, PP-1, PP-2, PP-3, PP-4, PP-15, PP-16, PP-17, PP-39, PP-42, PP-43, PP-51, PP-53, PP-57, PP-61, PP-62, PP-70, dan PP-71. Ciri endapan batubara di daerah penelitian yaitu terdiri dari lapisan batubara yang berlapis-lapis dengan kenampakan fisiknya yaitu berwarna hitam, getas, gores cokelat, kilap kacakusam, pecahan conchoidal - sub-conchoidal, resinous, dan terdapat struktur kayu. Pada daerah penelitian memiliki pola jurus umum lapisan batubara yang sama, yaitu berarah timurlaut-baratdaya dengan kemiringan sekitar 30 0 ke arah tenggara. Ketebalan lapisan batubara yang ditemui antara 0,3-34 meter dengan sisipan batupasir dan batulempung. Berdasarkan korelasi yang dilakukan antar singkapan batubara yang ditemui, dengan melihat ciri fisik dan posisi titik singkapan sebagai dasar penentuan korelasi, maka di daerah penelitian terdapat 13 lapisan batubara yang dapat dilihat pada Peta Penyebaran Batubara (Lampiran C4) dan dibagi menjadi tiga kelompok umum, yaitu kelompok batubara A, kelompok batubara B, dan kelompok batubara C. 4.2.1. Kelompok Batubara A Kelompok batubara A terdiri dari dua lapisan utama batubara dan tersingkap di daerah penelitian pada titik PT-82 dan PT-93. Ketebalan kelompok batubara A ini sekitar 0,5-2 meter dengan jurus relatif berarah timurlaut-baratdaya dan kemiringan lapisan 30-32 0 ke arah tenggara (Gambar 33 dan 35). Ciri-ciri batubara pada kelompok ini yaitu berwarna hitam, getas, gores cokelat, kilap kaca, pecahan conchoidal, mengandung pirit (Gambar 34). 49

Gambar 33. Kontak batupasir-batubara pada lokasi PT-82 Batupasir Batubara Gambar 34. Pirit yang dijumpai pada singkapan batubara PT-82 Mineral pirit Gambar 35. Kontak batulempung-batubara pada lokasi PT-93 Batubara Batulempung 50

4.2.2. Kelompok Batubara B Kelompok ini memiliki tiga lapisan utama batubara. Singkapan yang didapat berada pada titik PT-78, PP-51, dan PP-53. Lapisan batubara pada kelompok ini memiliki ketebalan antara 0,5-3 meter dengan jurus berarah timurlaut-baratdaya dan kemiringan lapisan 28 0-33 0 ke arah tenggara. Batubara pada kelompok B ini memiliki ciri-ciri berupa warna hitam, getas, gores cokelat, kilap kusam, pecahan sub-conchoidal, resinous, dan terdapat struktur kayu (Gambar 36 dan 37). Batupasir Gambar 36. Kontak batubara-batupasir pada lokasi PP-51 Batubara Batupasir Gambar 37. Kontak batubara-batupasir pada lokasi PP-53 Batubara 51

4.2.3. Kelompok Batubara C Pada kelompok batubara C ditemui 8 lapisan utama batubara. Lapisanlapisan tersebut tersingkap di 15 lokasi, yaitu pada titik PP-1, PP-2, PP-3, PP-4, PP-15, PP-16, PP-17, PP-39, PP-42, PP-43, PP-57, PP-61, PP-62, PP-70, dan PP- 71. Batubara pada kelompok ini memliki ketebalan yang bervariasi antara 0,3-34 meter. Batubara pada kelompok ini memiliki khas yaitu berlapis-lapis (Gambar 38). Lapisan batubara pada kelompok ini memiliki jurus berarah timurlautbaratdaya dan kemiringan lapisan 25 0-35 0 ke arah tenggara. Ciri-ciri batubara pada kelompok C yaitu warna hitam, getas, gores cokelat, kilap kusam, pecahan sub-conchoidal, resinous, dan terdapat struktur kayu (Gambar 39). Secara fisik adanya struktur kayu ini menandakan bahwa batubara tersebut masih berumur muda dengan kalori yang tidak terlalu tinggi. Gambar 38. Singkapan batubara PP-15, menunjukkan lapisan batubara yang tebal dan berlapis-lapis 52

Gambar 39. Struktur kayu pada batubara kelompok C Struktur kayu 4.3. Analisa Kualitas dan Klasifikasi Batubara Daerah Penelitian Berdasarkan analisis proksimat, kualitas batubara di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Data-data ini diperoleh dari laporan final report PT Arutmin Indonesia (2010). Dari hasil analisis proksimat tersebut didapatkan nilai dari parameter-parameter yang akan digunakan untuk menentukan klasifikasi batubara. Hasil dari pelaporan analisis proksimat yang didapatkan masih dalam basis adb, sedangkan untuk mengklasifikasikan batubara menggunakan klasifikasi ASTM, nilai kalori batubara harus dikonversi dari adb menjadi dmmf terlebih dahulu menggunakan Parr Formulas (ASTM, 1981, dalam Wood dkk., 1983) seperti yang telah dijelaskan pada bab 4.1.4. mengenai klasifikasi batubara. Setelah dikonversi menjadi basis dmmf, maka batubara di daerah penelitian secara umum memiliki nilai Fixed Carbon (FC) 48,9%, dengan nilai FC minimum 37,66% dan maksimum 63,32%. Nilai Volatile Matter (VM) umum sebesar 51,1%, dengan nilai VM minimum 62,34% dan maksimum 36,68%. Karena memiliki nilai FC<69%, maka parameter yang digunakan untuk menentukan kelas batubara menggunakan klasifikasi ASTM adalah dengan cara melihat dari nilai Calorific Value (CV)-nya. 53

Tabel 4. Hasil analisis kualitas batubara di daerah penelitian Umum Minimum Maximum TOTAL MOISTURE, % as received basis 36 32 42 PROXIMATE ANALYSIS, % air dried basis Moisture 20,5 16 28 Ash 5,5 4 8 Volatile Matter 38 35 42 Fixed Carbon 36 30 40 PROXIMATE ANALYSIS, % as received basis Ash 4,4 3 7 Volatile Matter 30,6 29 34 Fixed Carbon 29 26 31 CALORIFIC VALUE, kcal/kg Gross air dried 5.031 4.750 5.350 Gross as received 4.050 3.750 4.350 Net as received 3.692 3.392 3.992 HGI 60 50 70 ULTIMATE ANALYSIS, % dry ash free basis Carbon 71,5 70 76 Hydrogen 4,84 4 5,5 Nitrogen 1,01 0,8 1,3 Sulfur 0,47 0,25 0,8 Oxygen 22,2 18,5 24,5 SULFUR, % air dried basis 0,35 0,2 0,6 CHLORINE, % air dried basis <0,01 <0,01 0,01 PHOSPHORUS, % dry basis in coal 0,015 0,003 0,01 Berdasarkan hasil analisis kualitas batubara setelah dikonversi dari adb menjadi dmmf, maka klasifikasi kelas batubara di daerah penelitian umumnya berada pada kelas subbituminous C dengan nilai kalori 9.458,04 Kal/g. Sedangkan untuk kualitas batubara terendah berada pada kelas lignite A dengan nilai kalori 8.242,18 Kal/g dan kualitas batubara tertinggi berada pada kelas high-volatile C bituminous dengan nilai kalori 11.689,64 Kal/g (Tabel 5). 54

Tabel 5. Hasil analisis kualitas batubara berbasis dmmf dan klasifikasi kelas batubara di daerah penelitian berdasarkan klasifikasi peringkat batubara ASTM (1981) dalam Wood dkk. (1983) Umum Minimum Maximum Fixed Carbon (dmmf) 48,9 37,66 63,32 Volatile Matter (dmmf) 51,1 62,34 36,68 Calorific Value (dmmf) 9.458,04 8.242,18 11.689,64 Klasifikasi Kelas Batubara Subbituminous C Lignite A High-volatile C Bituminous 4.4. Sumberdaya Batubara Daerah Penelitian Berdasarkan perhitungan sumberdaya batubara menggunakan metode circular USGS (Wood dkk, 1983) pada tiga kelompok batubara di daerah penelitian (Lampiran D), maka diperoleh hasil (Tabel 6), yaitu pada kelompok A terdapat sumberdaya terukur sebesar 378.164 ton dan sumberdaya tertunjuk sebesar 2.312.419 ton; pada kelompok B terdapat sumberdaya terukur sebesar 965.576 ton dan sumberdaya tertunjuk sebesar 7.839.238 ton; dan pada kelompok C terdapat sumberdaya terukur sebesar 42.766.414 ton dan sumberdaya tertunjuk sebesar 139.867.088 ton. Tabel 6. Hasil perhitungan sumberdaya batubara terukur dan tertunjuk pada daerah penelitian dengan metode Circular USGS (Wood dkk, 1983) Lapisan Sumberdaya (ton) Sumberdaya Total (ton) Batubara Terukur Tertunjuk Terukur Tertunjuk A A1 255.124,43 1.681.844,91 A2 123.039,64 630.574,26 378.164 2.312.419 B1 118.852,87 977.448,38 B B2 480.970,30 3.914.086,65 965.576 7.839.238 B3 365.752,77 2.947.702,83 C1 727.517,71 4.027.730,19 C2 2.275.851,19 8.334.935,49 C3 7.940.789,12 19.499.425,13 C C4 15.296.729,79 57.372.455,58 C5 1.946.921,36 12.221.299,94 42.766.414 139.867.088 C6 10.206.218,9 19.373.223,68 C7 3.606.083,43 15.864.553,34 C8 766.302,66 3.173.464,71 TOTAL 44.110.154 150.018.745 55

Sehingga, menurut perhitungan sumberdaya batubara menggunakan metode circular USGS (Wood dkk, 1983) pada daerah penelitian terdapat total sumberdaya terukur sebesar 44.110.154 ton dan total sumberdaya tertunjuk sebesar 150.018.745 ton (Tabel 6). Tabel 7. Hasil perhitungan sumberdaya batubara terukur, tertunjuk, dan terkira pada daerah penelitian dengan metode SNI (BSN, 1998) Lapisan Sumberdaya (ton) Sumberdaya Total (ton) Batubara Terukur Tertunjuk Terkira Terukur Tertunjuk Terkira A A1 115.798,44 339.501,54 1.232.064,47 A2 59.672,82 167.268,65 468.340,92 175.471 506.770 1.700.405 B1 58.026,85 174.215,72 704.345,26 B B2 229.396,42 688.238,11 2.800.785,67 462.527 1.390.758 5.620.384 B3 175.104,21 528.304,1 2.115.253,44 C1 352.679,94 1.074.971,27 3.276.639,54 C2 1.379.065,56 2.647.992,54 6.785.136,18 C3 4.557.309,6 9.042.137,4 16.705.322,76 C C4 8.118.669,72 19.211.279,22 46.706.488,08 21.551.234 48.365.222 117.284.652 C5 958.049,18 2.843.359,39 10.989.152,26 C6 3.430.679,4 8.739.303,48 17.050.796,28 C7 2.289.834,72 3.929.325,6 12.984.571,92 C8 464.946,18 876.853,08 2.786.544,6 2.189.232 50.262.750 124.605.441 Sedangkan berdasarkan perhitungan sumberdaya batubara menggunakan metode SNI (BSN, 1998) pada tiga kelompok batubara di daerah penelitian (Lampiran E), maka diperoleh hasil (Tabel 7), yaitu pada kelompok A terdapat sumberdaya terukur sebesar 175.471 ton, sumberdaya tertunjuk sebesar 506.770 ton, dan sumberdaya terkira sebesar 1.700.405 ton; pada kelompok B terdapat sumberdaya terukur sebesar 462.527 ton, sumberdaya tertunjuk sebesar 1.390.758 ton, dan sumberdaya terkira sebesar 5.620.384 ton; dan pada kelompok C terdapat sumberdaya terukur sebesar 21.551.234 ton, sumberdaya tertunjuk sebesar 48.365.222 ton, dan sumberdaya terkira sebesar 117.284.652 ton. Sehingga, menurut perhitungan sumberdaya batubara menggunakan metode SNI (BSN, 1998) pada daerah penelitian terdapat total sumberdaya terukur sebesar 2.189.232 ton, total sumberdaya tertunjuk sebesar 50.262.750 ton, dan total sumberdaya terkira sebesar 124.605.441 ton (Tabel 7). 56

Berdasarkan perhitungan sumberdaya batubara dengan menggunakan dua metode yang berbeda, yaitu metode Circular USGS (Wood dkk, 1983) dan metode SNI (BSN,1998), didapatkan hasil sumberdaya batubara yang berbeda. Pada perhitungan menggunakan metode SNI (BSN, 1998) menghasilkan sumberdaya batubara yang lebih kecil daripada metode Circular USGS (Wood dkk, 1983). Adanya perbedaan ini dikarenakan pada perhitungan sumberdaya batubara menggunakan metode SNI (BSN,1998) memperhitungkan faktor kondisi geologi suatu daerah, sedangkan pada metode Circular USGS (Wood dkk, 1983) tidak memperhatikan parameter kondisi geologinya dan menganggap kondisi geologi pada tiap daerah adalah sama. Sehingga untuk perhitungan sumberdaya batubara, metode SNI lebih akurat dibandingkan dengan metode Circular USGS karena kondisi geologi pada tiap daerah berbeda-beda. 57