BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian mengalami dua kali revisi yaitu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32/2004 dan terakhir diganti dengan

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan umum UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian yang secara terus menerus tumbuh akan menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

SKRIPSI. Oleh : PURNOMO NIM: B

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DI SURAKARTA. (Studi Empiris di Surakarta Tahun Anggaran )

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, yang mana untuk selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia yang berada di masing masing Provinsi dengan

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

ANALISIS KINERJA PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DITINJAU DARI ASPEK KEUANGAN/FISKAL

BAB I PENDAHULUAN. nasional dan internasional dengan pemerataan dan pertumbuhan yang diinginkan

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuntutan reformasi disegala bidang membawa dampak terhadap hubungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator keberhasilan kinerja

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-undang No.25 Tahun 2000 tentang Program. Pembangunan Nasional , bahwa program penataan pengelolaan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional tidak bisa dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Otonomi. daerah merupakan suatu langkah awal menuju pembangunan ekonomi

I. PENDAHULUAN. kepedulian terhadap potensi dan keanekaragaman daerah. daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia merupakan wujud dari berlakunya desentralisasi sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian mengalami dua kali revisi yaitu UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Persoalan keuangan daerah merupakan salah unsur utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pemberian otonomi kepada daerah diarahkan untuk mempercepat kemandirian daerah demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi yang luas, daerah diharapkan mampu meningkat daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, serta potensi dan keanekaragaman daerah. Dalam rangka meningkatkan efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah maka otonomi dititikberatkan pada daerah Kabupaten/Kota karena dapat berhubungan langsung dengan masyarakat. Sejalan dengan kewenangan yang diberikan dalam pelaksanaaan otonomi daerah, pengelolaan keuangan daerah tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia yang handal tetapi juga harus didukung oleh kemampuan keuangan daerah yang memadai. Tingkat kemampuan daerah salah satunya dapat diukur dari besarnya penerimaan daerah khususnya Pendapatan Asli Daerah. Menurut Yani (2013) Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber utama dalam melaksanakan otonomi daerah yang

bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Peningkatan PAD sebagai sumber pembiayaan dalam menyelenggarakan otonomi daerah akan menentukan keberhasilan kinerja keuangan daerah. Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kemapuan suatu daerah untuk menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerahnya dengan tidak tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keluluasaan di dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Ihyaul dalam Puspitasari, 2012). Upaya pemerintah dalam menggali kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari kinerja keuangan daerah yang diukur menggunakan rasio keuangan daerah. Menurut Mardiasmo dalam Saputra (2014) analisis rasio keuangan dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari suatu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. selain itu dapat juga dilakukan dengan membandingkan dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana potensi keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah lain. Salah satu cara mengukur kemandirian daerah adalah dengan menganalisis tax ratio suatu daerah. Menurut Rachim (2015) rasio pajak (tax ratio) merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik

Bruto (PDB) suatu negara dalam satu tahun. Di tingkat daerah, rasio paj ak merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak daerah dengan PDRB. Rasio pajak dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayarkan pajak, mengukur kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak yang dimiliki. PDRB sangat erat kaitannya dengan pajak daerah karena PDRB menggambarkan jumlah pendapatan potensial yang dapat dikenai pajak dan menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat yang jika berkembang dengan baik merupakan potensi yang baik bagi pengenaan pajak di wilayah tersebut. Sehingga semakin tinggi tax ratio suatu daerah menggambarkan semakin tinggi kemandirian suatu daerah. Semakin mandiri suatu daerah berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak yang nantinya akan meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) wilayah tersebut. Sebagai salah satu Provinsi di Indonesia, setiap Kabupaten/Kota di Sumatera Barat menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta untuk meningkatkan kemakmuran daerahnya sendiri. Namun realitanya, pelaksanaan desentralisasi fiskal yang sudah berjalan kurang lebih 15 tahun yaitu mulai dari tahun 2001 sampai dengan 2016 masih mengalami kasus klasik yaitu walaupun pelaksanaan desentralisasi fiskal signifikan menumbuhkan ekonomi regional tiap Kabupaten/Kota, namun dari sisi lain ketimpangan yang terjadi antar Kabupaten/Kota juga mengalami peningkatan. Salah satu tolak ukur untuk menilai pemerataan/ketimpangan suatu daerah Menurut Putong (2010) adalah dengan menggunakan Indeks Williamson. Pada umumnya Indeks Williamson digunakan dalam ilmu ekonomi untuk menilai perbedaan

tingkat pendapatan per kapita masing-masing daerah. Karena penelitian ini bertujuan untuk melihat ketimpangan kemandirian keuangan daerah dalam memeratakan penerimaan pajak daerah maka pendapatan per kapita diganti dengan tax ratio suatu daerah. Dengan demikian semakin tinggi nilai Indeks Williamsom maka tingkat ketimpangan kemandirian keuangan daerah dalam memeratakan penerimaan pajak daerah semakin besar, dan sebaliknya. Fenomena yang terjadi yaitu tingginya tingkat ketergantungan pemerintah daerah di Indonesia tidak terkecuali Kabupaten/Kota di Sumatera Barat (Sumbar) terhadap dana perimbangan dari pusat, dimana lebih dari 90% pemerintah daerah menggantungkan 50% lebih pembiayaannya dari dana perimbangan yang membuat pemerintah pusat mengalami finansial distres (tekanan berat keuangan) karena kesulitan dalam menanggung beban keuangan yang mana salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD terutama penerimaan penerimaan pajak daerah. (sumbar.antarnews.com) Fenomena diatas juga didukung oleh rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, membuat rasio pajak (tax ratio) Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lainnya. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Dirjen Pajak, Sigit Priadi Pramudito (2015). Menurutnya sejak 2012 hingga 2014 rasio pajak Indonesia hanya kisaran 11,9%, dimana angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura 22%, Filipina 12%, Thailand 16,5% dan Malaysia 16%. Indonesia termasuk ke dalam salah satu negara yang memiliki tax ratio yang terendah. Untuk setaraf dengan negara maju dan melampaui negara-negara berkembang

lainnya, Indonesia harus meningkatkan tax ratio yang idealnya 20%. Berdasarkan data Internasional Monetary Fund (IMF), Indonesia bahkan seharusnya mampu memiliki tax ratio sebesar 21,5%. (www.infobanknews.com) Jika fenomena diatas kita hubungkan dengan data Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan 2014, yang menjelaskan bahwa rata-rata rasio pajak daerah yang bisa dipungut oleh pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia sebesar 0,53% dari PDRB non migas. Rasio ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,37%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perluasan objek pajak dan pengalihan beberapa jenis pajak ke daerah yang diatur dalam UU 28 Tahun 2009 telah memberikan efek positif kepada pungutan pajak daerah. Akan tetapi, jika dilihat dari rasio pajak pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi Sumbar masih jauh dibawah rata-rata yaitu hanya mencapai 0,3%. Hal ini menunjukkan masih rendahnya rasio pajak Kabupaten/Kota di Sumatera Barat jika kita bandingkan dengan Kabupaten/Kota di provinsi lain, salah satunya Bali yang bisa mencapai 3,4%. Tingginya ketimpangan memberikan indikasi masih rendahnya pemerataan kemampuan daerah dalam meningkatkan penerimaan pajak pada seluruh Kabupaten/Kota setiap Provinsi di Indonesia. (www.djpk.kemenkeu.go.id) Ketidakmerataan yang menyebabkan ketimpangan ini merupakan masalah yang harus dicarikan penyelesaiannya. Masalah yang timbul apabila ketimpangan penerimaan pajak yang terus menuerus yaitu akan menimbulkan jurang (gap) antar wilayah yang nantinya akan membuat daerah maju semakin maju dan daerah terbelakang tetap tertinggal, sehingga jika hal ini terus berkelanjutan, tingkat ketergantungan daerah

terhadap dana perimbangan akan terus meningkat sehingga cita-cita otonom untuk menjadikan daerah mandiri tidak akan terwujud. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hermawan (2007), penelitian yang berjudul Analisis Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pemerataan Kemampuan Keuangan dan Kinerja Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. Hasil analisis menunjukan bahwa pengalokasian DAU belum sepenuhnya menunjukan peranan DAU sebagai mediasi pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Adapun peranan DAU di wilayah Banten selama tahun 2001-2005 adalah (a) meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah tercermin pada nilai Indeks Williamson dari 0,45 tahun 2000 (pra desentralisasi fiskal) menjadi berkisar 0,23 0,33 pada tahun 2001-2005 (masa desentralisasi fiskal), (b) berdasarkan hasil estimasi panel data, DAU belum mampu mendukung perkembangan perekonomian daerah dan memperburuk distribusi pendapatan. Sejalan dengan pembahasan tersebut, penelitian ini ditujukan untuk mengetahui seberapa besar ketimpangan penerimaan pajak (tax ratio) antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat dari periode tahun 2010-2014, dengan demikian perlu dianalisis lebih jauh mengenai hal tersebut, sehingga tesis ini mengambil judul Analisis Pemerataan Kemampuan Penerimaan Pajak Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat

1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana kemandirian keuangan daerah dengan analisis tax ratio antar Kabupaten, antar Kota, serta antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat pada periode 2010-2014? b. Bagaimana pemerataan kemampuan penerimaan pajak ( tax ratio) antar Kota, antar Kota, dan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumbar dengan menggunakan Indeks Williamson pada periode 2010-2014? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kontribusi pertumbuhan PDRB terhadap penerimaan pajak Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat pada periode 2010-2014. Berdasarkan tujuan umum tersebut, tujuan khusus dari penelitian ini adalah: a. Menganalisis kemandirian keuangan daerah dengan analisis tax ratio antar Kabupaten, antar Kota, serta antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat pada periode 2010-2014. b. Menganalisis pemerataan kemampuan penerimaan pajak ( tax ratio) antar Kabupaten, antar Kota dan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Sumbar dengan menggunakan Indeks Williamson pada periode 2010-2014.

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil melalui penelitian ini adalah: a. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumbar Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk pengambilan keputusan dalam mengembangkan potensi daerah sehingga pemerataan kemampuan penerimaan pajak antar daerah dapat diwujudkan. b. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran dalam hal menganalisis pemerataan kemampuan penerimaan pajak daerah dalam meningkatkan kinerja keuangan Kabupaten/Kota di Sumbar. c. Bagi Peneliti yang Relevan Penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi, acuan dan perbandingan bagi peneliti selanjutnya.